Locked Wish

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya terima nikah dan kawinnya Syaima Wildatussalwa binti Rais, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan lantunan Surah Ar-Rahman, dibayar tunai."

Lisa tahan napas mendengarnya. Saat-saat penentuan.

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah! Alhamdulillah." Lafadz syukur memuji kehadirat-Nya menggantung di langit-langit masjid, bersamaan dengan jatuhnya air mata Lisa yang segera dienyahkan kasar. Tidak. Lisa kuat, Lisa masih bisa bertahan.

Hatinya kembali terombang-ambing keraguan begitu melihat di ujung sana, seseorang dengan gaun putih yang anggun terjuntai di bawah kakinya kini menuruni anak tangga lantai dua sambil tersipu malu. Beberapa kerabat dekat wanita menggandeng dan memapah jalannya. Ada pula Ibu, yang sudah menjadi lebih dari sekadar saudara tanpa ikatan darah bagi keluarga kecil yang tengah berbahagia itu.

Satu kecupan Je mendarat manis pada dahi wanita yang telah menjadi kekasih halalnya. Bikin baper parah. Kalau saja situasinya berbeda, Lisa pasti sudah guling-guling tak keruan begitu melihat adegan so sweet layaknya FTV yang tayang secara live di depan matanya. Tapi bagian paling menyedihkannya, wanita beruntung itu adalah orang lain. Bibir Lisa mendadak kaku untuk menarik kedua sudutnya.

Kedua mempelai diikuti gerombolan umat berduyun-duyun keluar masjid. Lisa hampir-hampir tak sadar karena terlarut dalam kesedihannya. Ketika pelupuk matanya sudah mengembun, bersiap untuk mengeluarkan air mata, dengan mantapnya bahu orang lain yang tidak sabaran menabok wajahnya telak. Lisa mengelus pangkal hidungnya, merutuk dalam hati. Awas saja kalau hidungnya sampai tambah pesek!

Mengingat tekadnya untuk terlihat normal di antara momen membahagiakan dan pastinya unforgettable bagi setiap undangan, tanpa terkecuali dirinya, Lisa akhirnya memilih bangkit dari duduknya. Berusaha menutupi luka dengan seulas senyuman simpul begitu mendengar pekikan riang di sekitarnya. Yah, hanya itu yang bisa ia lakukan pada rentang waktu setengah jam yang terasa setengah abad lamanya ini. Yang tak lain dan tak bukan adalah menutupi luka, tanpa pernah bisa mengobatinya semili pun.

"Cepatlah, Lisa. Kita harus memilih tempat duduk paling depan agar memudahkan kita menggoda kedua pengantin baru."

Tak sempat mengelak dan mencari alasan lain, Lisa hanya bisa pasrah dengan tangan kirinya yang diseret oleh Arkan, memaksa menerobos lautan manusia. "Tap-tapi, Kan ... tunggu. Aku ... aku ...." Lisa memajukan bibir, usahanya tidak berbuah apa-apa. Dan poin selanjutnya, suara yang biasanya menggelegar kini terdengar layaknya cicitan tikus tak berdaya. Sialan, ada apa dengan lisannya? Padahal saat memaki dalam hati, prosesnya lancar-lancar saja. Tak ada istilah gagap macam ini.

"Kita duduk di ... sini?"

Pertanyaan lembut yang terlontar dari mulut sahabatnya itu membuat Lisa segera tersadar, bersamaan dengan pegangan Arkan yang sudah terlepas karena berhasil menyelesaikan misi untuk duduk di deretan kursi plastik paling depan. Suasana riuh rendah oleh rempongnya para ibu dengan anak-anak lima tahun yang sedang nakal-nakalnya, menarik-narik dekorasi pernikahan, lari sana-sini, membeli jajanan tanpa membayar, sampai menciptakan beberapa kekacauan kecil. Cukup bising. Arkan di sebelahnya bahkan tak henti mengoceh yang tak dipedulikan Lisa sama sekali. Lisa fokus pada satu hal. Chemistry antara Je dan Syaima berhasil mengalihkan dunianya untuk saat ini.

"Oh, ya. Tentu saja. Ini tempat duduk kita, Humaira. Tapi ketahuilah, tempat duduk sejatimu adalah di sini," sahut Je sambil mengangkat tangan Syaima dengan lembut, dan meletakkannya tepat di depan dada bidang lelaki itu. Syaima tersipu dan Je hanya tersenyum. "Kau rasakan getaran yang merambat di telapak tanganmu? Itulah aku, cintamu karena Allah."

Waktu seakan terhenti. Sekali lagi, keadaan sekitar seolah hanya sekadar tayangan video dengan suara yang tak perlu dihiraukan. Telinganya mendadak sensitif serta punya jarak dengar cukup jauh. Dan Lisa menyesali hal itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Lisa merasa lebih memilih jadi orang tuli saja saat ini. Setidaknya, yang terluka hanyalah telinga, bukan hatinya.

Jarak antara kursi pelaminan dengan kursi undangan hanya berkisar satu meter. Meski mereka 'romantis-romantisan' dengan suara lirih yang terkesan berbisik, Lisa dapat menangkap perbincangan itu dengan baik. Lengkap, jelas, dan akan selalu melekat dalam jiwa. Tampaknya, dua besan itu turut mendengarnya. Terbukti dari Ummi yang berdehem, tersenyum menggoda sambil berkata, "Je sudah gerak cepat, ya. Baru saja terucap akad, sudah main gombal-gombalan."

Abi, dan dua orang tua dari mempelai pria tertawa kecil. Berbeda dengan Je dan Syaima yang hanya bisa tertunduk menahan malu.

Ingin rasanya Lisa teriak seperti beberapa hari lalu di tepi danau saat cecunguk buluk itu menagih jaket pinjamannya. Lebih menyesakkannya lagi, mereka memang terlihat sangat serasi. Anak kiai tentu dapat anak ustadz pula, 'kan? Bersatunya dua insan unggulan macam mereka, tentu dapat mengembangkan ponpes jauh lebih pesat dan menghasilkan generasi penerus penuh potensi.

Itulah aku, cintamu karena Allah? Di luar dugaan Lisa, Je dapat mengeluarkan kalimat romantis semacam itu dengan mudahnya. Oh, tentu saja karena mereka sudah halal dan menjadi amalan ibadah ketika membuat pasangan bahagia. Kata demi kata yang terlontar dari keduanya terus bergema di setiap sudut benak Lisa. Bikin resek. Padahal saat berusaha menghafal materi kuliah, otaknya mumet minta ampun. Berbanding terbalik dengan kalimat menyakitkan itu yang justru terus terngiang-ngiang tanpa diminta. Apa Lisa harus tersakiti oleh Linguistik lebih dahulu, supaya mata kuliah satu itu bisa memasuki otaknya lebih mudah?

Bertahanlah, Lisa. Kau hanya perlu bertahan sedikit lagi. Masuk ke acara resepsi. Bagian acara paling dihindarinya saat ini. Kau hanya perlu menyalami Syaima dan menyelamatinya. Itu suatu hal yang sederhana, bukan? Lisa menghembuskan napas sambil mengepalkan tangan, seharusnya ia bisa melewati semua ini.

Tapi sekali lagi, semua itu memang tak sesederhana perkiraannya. Keringat dingin beserta kondisi lebay lainnya mulai bermunculan. Lisa bagaikan sedang berada di kawasan tanpa kepastian cuaca, panas dingin tak keruan.

"Eh, Darling. Kamu tidak apa-apa? Bibirmu pucat sekali. Sudah macam mayat hidup," komentar Arkan yang agak melonggarkan genggaman tangan.

"Eh, tidak. Bibirku memang sedang kering, panas dalam," elaknya.

Arkan menganggukkan kepala, kembali mengeratkan pegangan dan menarik tangan Lisa untuk mengikuti langkahnya ke arah pelaminan. "Cepatlah, Honey. Kita tamu undangan spesial, harus cepat-cepat. Tampaknya kau belum menemui Syaima sama sekali. Ia pasti sangat menantimu."

Lisa menelan ludah, tak bisa berkata apa-apa. Dengan memantapkan langkah, Lisa mulai menyalami satu persatu orang tua Je yang sempat Lisa harapkan akan menyandang label 'mertua' baginya. Tak masalah. Kedua orang tua Je pasti beruntung sekali mendapati Syaima sebagai menantunya, bukan makhluk astral semacam dirinya.

"Lisa! Aku bahagia sekali bisa melihatmu di acara ini. Terima kasih telah menyempatkan hadir."

Hambar. Jabat tangan itu benar-benar hambar. Lisa malah fokus dengan lengan atas Syaima yang masih berkaitan erat dengan lengan kokoh Je di sampingnya, lelaki yang telah sah menjadi pendamping hidupnya. Sekali lagi ... sah. Kenapa Lisa harus mempermasalahkan hal itu? Lisa mengerjap, berusaha mengembalikan logikanya. "Oh, ya. Tentu. Selamat untuk pernikahannya. Semoga ... sakinah mawaddah wa rahmah, ya?"

"Aamiin."

Kesadaran Lisa belum sepenuhnya kembali begitu pelukan hangat Syaima meliputi badan kurus kerempeng Lisa. Tak perlu basa-basi lagi. Lisa harus segera angkat kaki supaya tidak terperosok lembah tanpa dasar.

Orang berikutnya. Lelaki dengan gingsul yang menyembul saat tersenyum ramah ke arahnya. Sorot mata lembut dan sejuk itu hampir-hampir menyedot dunia Lisa tanpa sisa. Oh, tidak. Lisa ingin berhenti mempelajari setiap garis wajahnya yang terlihat jauh lebih tampan hari ini. Setelah mengangguk sambil menguncupkan kedua telapak tangan di depan dada, Lisa menampilkan senyuman yang terlihat dipaksakan. Senyuman tipis dengan luka menganga di baliknya.

Lisa harus segera melarikan diri dari momen menyakitkan ini. Terlambat. Pergelangan tangannya dicekal Arkan yang mengantri di belakangnya untuk menyalami pengantin baru.

"My Sweety-Honey-Bunny, bukankah kita harus photoshoot terlebih dahulu di kursi pelaminan ini? Ayolah, pra-wedding kita. Nanti kita posting pakai caption 'Otewe nyusul, undangan ditunggu'. Boleh, kan, Penganten Baru?"

Lisa meringis, terus memutar tangan, mencari celah untuk meloloskan diri. "Arkan ... tolong. Aku harus ke toilet."

Tidak pekanya, Arkan semakin kuat menarik tangan Lisa. "Tolong jugalah, My Dear! Sebentar saja. Dua detik tidak akan menimbulkan masalah."

Aku tidak ingin berdekatan dengan sesuatu yang mengingatkanku pada hal menyakitkan, tidakkah kamu mengerti? Lisa tak henti mendumel dalam hati. Arkan Sialan. Di saat seperti ini, kenapa harus semakin menusukkan duri tajam di setiap penjuru hatinya?

Pelupuk mata Lisa sudah penuh oleh mozaik kaca yang siap untuk keluar berbentuk cairan bening. Sialan, sialan. Tak bisakah kau membiarkan aku menangis tanpa berhadapan dengan dua orang ini?

"Lepas!" Perubahan intonasi suara yang awalnya lirih, menjadi serak menggelegar sontak saja membuat Arkan melepaskan genggaman tangannya begitu saja. Kakinya terus membawa Lisa ke arah kanan, membelah lautan manusia.

Begitu menginjakkan kaki di lantai keramik halaman depan ruang perpustakaan, Lisa menikung tajam ke sebelah kanan, jalur yang jauh lebih sepi. Selembar kertas bertuliskan 'Toilet Akhwat' yang ditempel di atas dinding kiri mengalihkan perhatian Lisa. Sampai gadis itu tak sadar begitu mendadak tubuh kerempengnya sudah terbanting di atas lantai, menabrak sesuatu.

"Mana jaketku?"

Pertanyaan itu sukses mengembalikan fungsi otak Lisa pada bumi yang tengah ia pijak. Lagi-lagi tubuhnya seolah tak mengenali dirinya sendiri. Lisa bahkan tidak ingat begitu melihat air matanya sudah menerobos keluar. Dengan satu gerakan kasar, Lisa menghapusnya. Kantung plastik hitam dikeluarkan Lisa dari tas gendong kecil di punggungnya. Sambil berlalu dari hadapan mata, Lisa melempar jaket pinjaman itu pada Hafidz. "Ambillah, terima kasih."

Tanpa berniat mengetahui reaksi Hafidz, Lisa masuk dan menutup pintu besi toilet dengan tekanan berlebih, menciptakan suara tak mengenakkan di telinga, bersamaan dengan menyebarnya rasa sakit di ujung hati.

Di dalam bilik kamar mandi yang cukup pengap dan sempit, Lisa mengunci pintu dan menyalakan keran air sekeras-kerasnya, untuk meredam suara. Dalam hitungan detik, Lisa luluh berjongkok di atas lantai, membenamkan kepala di atas tumpuan lengan.

Mengurung diri. Lagi-lagi hanya itu yang bisa ia lakukan. Mengurung diri bersama harapan yang terpaksa harus dipangkas habis saat ini. Kalau tidak, harapan itu akan tumbuh liar dan semakin meracuni rasionalitas dalam dirinya.

Inilah situasi paling menyedihkan. Lisa menjerit tanpa suara, mengeluh tanpa mengaduh, dan menangis tanpa air mata. Sungguh, itu jauh lebih menyakitkan dari pada kelihatannya.

◾◾◾

Gaya bahasaku mudah dimengerti, enggak, sih? Soalnya, aku yang baca ulang buat revisi sebelum publish aja sering pusing sama yang kutulis sendiri, wkwk.

Pertanyaan berikutnya, apa sih yang kamu rasakan pas baca chapter ini? Semoga aja emosi dalam tulisanku bisa tersalurkan pada pembaca, ya. Habisnya, aku baca kok flat banget, ya:( Jadi insecure, nih. (Ga minta disemangatin, kok. Asli. Tapi kalo mau ikut berbelasungkawa, ya ... akan saya terima, hehe).

See ya,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro