Lost Control

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Empat bulan berlalu dengan cepat. Kegiatan Lisa hanya berorientasi pada kuliah, mengantarkan donat buatan Ibu ke warung-warung terdekat, kuliah, diskusi Bumi Sastra meski masih sulit menurunkan gengsi, kuliah, rapat soal penggelaran teater di Yogyakarta, kuliah, meminjam novel dari perpustakaan kota, kuliah, dan mulai menorehkan imajinasi pada karyanya berjudul Majelis in Love.

Masa-masa serius dan mendebarkannya UAS sudah berakhir. Dan Lisa mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Indeks Pengetahuan Komulatif di atas tiga, itu lebih dari cukup baginya. Sebenarnya, Lisa bukan seorang manusia yang idiot-idiot amat. Lisa hanya terlalu malas, dan menguasai bidang yang ia cintai saja.

Arkan

Congratulations karena sudah melewati hari terakhir UAS dengan baik! Mau jalan-jalan denganku untuk mengalihkan sejenak kepenatan otak selepas ditempa banyak materi?

Lisa menyipitkan mata. Sebenarnya, Lisa sedang tidak ingin melakukan aktivitas lain. Lisa terlalu disibukkan oleh pematangan persiapan seni teater di luar kota. Yah, meskipun hari ini jadwal rapat kosong, Lisa hanya ingin menyimpan tenaganya untuk lusa, hari keberangkatan.

Tapi rasa bersalah menggelayuti benaknya. Apalagi begitu mengingat banyak chat ajakan jalan-jalan dari Arkan yang selalu ia tolak selama empat bulan terakhir.

Pacaran berasa temenan? Huft.

Good idea. Temui aku di rumah pukul setengah satu siang.

Otewe.

Lisa terperangah, cukup terkesima mendapati pesan balasan Arkan yang hanya berselang beberapa detik setelah pesan singkatnya sukses terkirim.

Lisa melirik jarum jam di dinding kamarnya. Masih lima belas menit menjelang meet up dengan Arkan. Lisa memilih untuk tetap rebahan. Di samping badannya, tergeletak buku bersampul kertas payung cokelat yang semakin usang, dan tidak sempat dibereskan kembali ke tempatnya. Proyeknya itu sudah berjalan sekitar 75%. Amunisi materi mengenai tata kepenulisan, serta support penuh dari sesama penulis di komunitas Bumi Sastra membuatnya berkembang cukup signifikan empat bulan ini.

Setelah tiga bulan sebelumnya matahari membakar tiada negosiasi, kini akhirnya musim panas telah berlalu. Rintik hujan di luar sana semakin deras menghunjam permukaan bumi. Lisa tersentak. Oh, tidak. Arkan pasti kehujanan. Aduh, sebaiknya ia batalkan saja rencana jalan-jalan ini. Tapi kepalang tanggung. Sepertinya Arkan sudah melesat di jalan. Akan lebih menyakitkan lagi kalau Arkan sudah rela hujan-hujanan demi menemuinya, dan Lisa membatalkan pertemuan begitu saja. Cukup. Lisa tak mau menyakiti Arkan lebih jauh.

Perut Lisa berbunyi nyaring, sahut-bersahutan minta diisi. Lisa melongokkan kepala pada halaman depan rumah yang sejak empat bulan lalu sudah disulap menjadi saung sederhana tempat Ibu menggantungkan penghasilannya. Kesiur angin dingin menusuk tulang. Tapi semenjak Ibu berjualan di depan rumah, Lisa selalu merasa hangat oleh obrolan ringan tetangga yang nongkrong-nongkrong di sana.

Ruangan dapur mendadak seolah mengandung medan magnet tak terelakkan, yang membuat Lisa tertarik untuk memeriksa isi tudung saji di atas meja makannya. Tumis kangkung berlinang-linang kuah, tempe goreng kriuk, lengkap dengan kerupuk renyah dua ribuan rasa-rasanya nikmat sekali disantap hujan-hujan begini. Ditambah nasi yang masih mengepulkan uap hangatnya, membuat nafsu makan Lisa meningkat drastis.

Tumis kangkung, kau buatku candu. Ibu, aku padamu, deh!

Hati Lisa bersenandung riang begitu kapasitas perutnya sudah terisi penuh. Kalau sudah begini, secangkir kopi sambil mendengarkan melodi merdu dari setiap tetesan air yang jatuh menjadi sebuah momen paling tepat sebagai sumber inspirasi yang melanglang buana bersama angkasa imajinasi.

"Lisa, jodohmu sudah datang!"

Teriakan Ibu yang disahuti paduan suara 'cie-cie' dari ibu-ibu rempong lainnya sukses membuat Lisa kembali sadar pada dunia yang ia pijak saat ini. Oh, Arkan sudah datang menjemput, sepertinya!

Setelah masuk kamar hanya untuk mengenakan jaket hitam beserta kerudung salemnya, Lisa bergegas ke arah pintu depan rumah. Hujan masih turun deras membungkus kota. Sepertinya, Lisa harus membawa payung. Tangannya terus menggeledah kardus di atas rak sepatu, tempat Ibu biasa menyimpan payung. Hanya ada sebuah payung berwarna cokelat yang cukup asing di kedua netranya. Detik berikutnya, Lisa sadar payung itu milik Abil yang dipinjam Lisa untuk pulang di hari pernikahan Syaima. Sialan, bagaimana bisa ia lupa? Lisa benar-benar merasa tua dengan kepikunannya saat ini.

"Ibu, payung biru kita di mana?"

"Sedang diperbaiki Mang Sarjo. Itu gara-gara kamu yang selalu bersikeras menutup payung saat masih basah. Sampai akhirnya tulang-tulang penyangga payung itu patah, ingat?"

Lisa segera meraih payung cokelat itu tanpa basa-basi, sekaligus mengembalikan pada yang punya juga, mumpung ingat. Dengan gerakan kilat tanpa peduli ibu-ibu kampung yang sibuk menggodanya, Lisa menyalami tangan Ibu, berpamitan, sebelum Ibu sempat melanjutkan sesi ceramahnya dengan tema, 'Lisa yang Ceroboh'.

Setelah melebarkan payung cokelatnya, langkah kaki Lisa terhenti begitu melihat sosok Arkan yang basah kuyup dengan tarikan kedua sudut bibir di atas sepeda motornya. Tetesan air terus jatuh dari ujung rambutnya, namun tak sedikit pun melunturkan senyum lebarnya. "Halo, Tuan Putri!"

"Arkan! Kenapa hujan-hujanan? Kau bisa sakit! Sebentar, kubawakan dulu handuk, ya," cerocos Lisa, segera melesat pergi masuk tanpa memberi kesempatan pada Arkan untuk mengucapkan sepatah kata pun.

Tak perlu menunggu lama--Lisa tak lupa di mana menyimpan handuk karena memang sengaja selalu digantung pada kenop pintu kamarnya--sehelai kain handuk putih bersih itu akhirnya diserahkan Lisa pada Arkan. Handuk itu sudah persis dalam genggaman tangan Arkan. Tapi mengherankannya, Arkan masih saja mematung, menatap kedua manik mata Lisa dalam.

"Hei, kau bisa masuk angin. Kenapa malah me-menatapku begitu?" Lisa menjilati bibir bawahnya, lama-lama agak risih pula. Rasa cemasnya membuahkan imajinasi liar di benak Lisa. "Ini benar Arkan? Bukan zombie yang menyerupai Arkan, 'kan?"

"Kenapa bukan kau yang mengeringkan tubuhku?"

Serta-merta, kedua alis Lisa mengerut, mencerna kalimat Arkan. Hingga Lisa terkikik geli, begitu mengetahui maksudnya. "Eh? Sejak kapan seorang Arkan Mulyana manja-manja begini?"

"Sejak aku mengenalmu," jawab Arkan dengan mimik serius. "By the way, aku senang akhirnya kau bisa berhenti memanggil calon mertuamu dengan akhiran 'najis'. "

Tak mau basa-basi lagi, Lisa merebut handuk di tangan Arkan dan mengusapkannya pelan pada wajah kuyup dengan air yang masih berjatuhan deras. Kemudian, dengan lembut, Lisa beralih pada rambut dan telinga. Jantung Lisa sempat berhenti berdetak begitu salah satu tangan kekar Arkan menggenggam erat tangan Lisa.

"Tetaplah begini. Izinkan aku ... egois untuk kali ini saja. Untuk rindu ... yang tak pernah bisa diajak kompromi."

Lisa terdiam, mencermati setiap senti ekspresi Arkan yang kini memejamkan matanya. Aneh. Tidak ada wajah tengil, tidak ada seringaian jahil menggoda. Hanya menyisakan raut muka yang seolah baru saja melepas beban sebesar gunung Everest.

Kedua manik mata hitam legam Arkan kembali terbuka, tak lupa senyuman lembut pada garis bibirnya. "Maaf, aku terbawa suasana. Mulai perjalanan kita sekarang?"

Lisa balas tersenyum, tak keberatan sedikit pun. Seusai mengenakan helm dan berpamitan sekali lagi pada kumpulan ibu-ibu yang masih saja bersorak-sorak seolah sedang menonton sinetron live, Lisa akhirnya menaiki sepeda motor sambil kembali mengembangkan payung.

"Payungi saja dirimu sendiri, Sayang. Aku sudah terlanjur basah."

Mendengar itu, Lisa menutup payung, kemudian disimpan pada saku jaketnya yang cukup dalam. Tetesan air hujan mulai menyentuh kerudung Lisa, membungkus tubuhnya secepat kilat yang sesekali timbul di angkasa raya.

"Hei, pakai saja payungmu. Kau bisa sakit!" Di depan kemudi sana, Arkan mulai heboh meneriaki Lisa, mengalahkan suara kesiur angin yang kencang menerpa.

"Tak mengapa. Aku memilih sakit bersamamu."

◾◾◾

Matahari sudah mulai bersiap kembali ke peraduannya, menyebarkan semburat jingga indah di kaki langit. Hujan sudah berhenti beberapa menit lalu, menyisakan rintik gerimis kecil yang sesekali menyapa. Di depan kemudi sana, Arkan terkikik geli. "Kau benar-benar super, Babe! Dingin-dingin begini, kau masih saja lahap makan es krim."

Dengan pakaian kuyup dan wajah yang belum kering sempurna, Lisa terbahak, memukul bahu Arkan pelan. "Tentu saja. Tidak ada kata 'tidak' untuk es krim, bagaimana pun situasinya. Oh iya, boleh antarkan aku ke suatu tempat?"

"As you wish, Princess."

Lima belas menit kemudian, sampailah keduanya pada bangunan dua lantai bercat hijau terawat. Lisa asyik menepuk-nepuk pundak jaketnya yang dijatuhi sisa hujan dari pepohonan, membiarkan Arkan terlarut dalam keheranannya sendiri. Lisa mengetuk pintu tiga kali, kemudian mengucapkan salam.

Tak butuh waktu lama, pintu berderit, diiringi jawaban salam dari dalam. Demi mendengar suara berat itu, Lisa memaki dalam hati. "Ada apa?"

Papan triplek! Sial, kenapa cecunguk buluk itu  yang membuka pintunya? "Oh, ini. Aku mau balikin payung yang sempat aku pinjam dulu, hehe. Maaf ya, baru keinget." Dengan hati-hati sekali, seolah sedang memberi makan harimau liar di tengah hutan, Lisa menyodorkan payung itu dengan ogah-ogahan.

Hafidz berkedip, melirik seorang lelaki tak dikenal di samping Lisa. "Minta maaf sama Allah. Mau sampai kapan kau terus mengabaikan Allah yang cemburu padamu? Zina, tuh." Hafidz mengedikkan dagu pada lengan Lisa yang bergandengan dengan Arkan.

Muka Lisa merah padam saking geramnya melihat lelaki menyebalkan itu tiba-tiba menceramahinya dengan sok tahu, seperti biasa. "Apa-apaan, sih? Urus dulu amalanmu, sebelum menasehati orang lain."

"Kau itu seorang wanita. Mana letak harga dirimu? Mana harga diri seorang wanita yang Rasulullah cap tiga kali lipat jauh lebih mulia dari kaum adam? Lihatlah, dengan santainya kau berzina, merasa peduli amat dengan nasib kedua orang tuamu di akhirat kelak."

Mata Lisa melebar. "Tidak usah sok mengguruiku, apalagi sampai bawa-bawa akhirat. Kau pikir, surgamu sudah terjamin, hah? Kau pikir kau siapa? Tangan kanan Tuhan?"

"Dan kau." Hafidz tak mengindahkan kalimat tajam Lisa. Hafidz justru beralih pada Arkan sambil menatapnya penuh intimidasi. "Aku minta, tolong jangan rendahkan martabat lelaki dengan menabur harapan pada seorang gadis sebelum akad. Kau punya adik atau saudara perempuan, 'kan? Sebagai seorang lelaki sejati, seharusnya kau tidak menginginkan mereka terbelenggu penjara setan berdalih rasa."

Pelupuk mata Lisa mendadak berair. Pandangannya mulai buram. "Kau ...."

"Pegangan tangan kecil itu bisa menyebabkan ibumu menggenggam kerikil panas di akhirat kelak. Sebenarnya, apa yang kau dapat selama mengikuti kajian mingguan dulu? Hanya sebuah rasa untuk lelaki berlabel haram, yang berbuah kekecewaan."

Abil mendadak datang dari balik pintu, menarik lengan Hafidz. "Abang, cukup!"

Dalam hitungan detik, Lisa berlari sekuat tenaga, bersamaan dengan pertahanan matanya yang gagal menampung air mata lebih lama lagi. Arkan sempat mematung, kemudian menaiki sepeda motor, berusaha menyusul Lisa.

"Don't lost your control, Bang! Kak Lisa pasti sakit hati mendengar perkataanmu."

Suasana kembali lengang. Hafidz terduduk di atas tanah, menyembunyikan wajah di balik tekukan lututnya. Hafidz berbisik lirih, "Aku tak ingin ia terlarut lebih jauh. Kau tahu, Bil? Kalau kau ingin tahu siapa manusia paling munafik di dunia ini, itu adalah aku, abangmu. Karena aku ... bahkan masih saja melarang orang untuk berzina, padahal aku sendiri masih sering berzina hanya untuk mengingatnya."

Untuk pertama kalinya dalam sejarah kisah ini, kepala itu tertunduk dalam di hadapan adiknya. Lelaki yang selalu ingin terlihat kuat di hadapan adiknya itu ... pada akhirnya tetap tak berdaya.

Ya, untuk kali ini saja ... Abil perlu tahu betapa munafik abangnya.

◾◾◾

Mentang-mentang pas weekend triple update, balasannya dua hari enggak apdet, haha. Dasar aku. Mon maap, ye. Saya busy dan banyak job:v

See ya,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro