Trip to The Past

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maafkan aku. Tapi ada sedikit kendala, aku membutuhkan waktu."

Seluruh pasang mata di ruangan itu berpusat pada Syaima yang tiba-tiba saja merasa sejuknya lantai sangat menarik untuk diamati lebih lama, di samping kedua tangannya yang bergerak-gerak memilin ujung kerudung, tak nyaman dengan situasi yang ada.

"Aku masih membutuhkan waktu," tekannya kembali, berusaha menegaskan pada semua orang yang malah menatapnya keheranan. Ketika ujung matanya menangkap ekspresi keberatan pada wajah sebagian pendengarnya, Syaima buru-buru menambahkan, "Kumohon."

Desahan napas kelelahan susul-menyusul terdengar di udara. Sebelum suasana semakin tegang mencekam dan tak terkendali, Kiai Rais segera angkat suara, "Nak." Tangannya mengelus pundak sang anak, menyalurkan kelembutan sekaligus menguatkan. "Kau tentu tahu, Islam menganjurkan umatnya untuk tidak menunda-nunda maksud baik."

"Ini juga demi kebaikan, Abi," sahut Syaima, memberanikan diri menatap manik mata pahlawannya, tersenyum meyakinkan. "Aku ... akan segera menyelesaikannya."

Waktu, kumohon. Berhentilah bermain-main dengan sebuah rasa.

Sekilas, Syaima melirik ponselnya. Tidak ada satu pun notifikasi masuk dari nomor yang ia tunggu.

◾◾◾

Tubuh Lisa gemetar, matanya terbuka sedikit untuk menyadari betapa mengenaskannya kondisi ia saat ini. Tasik menjelang musim kemarau, dinginnya sudah tak tertahankan lagi. Lisa bergegas menarik selimut, bergelung, berusaha mengembalikannya pada alam mimpi yang indah. Tapi matanya bersikeras tak mau menutup.

Lisa menggelar selimut di atas kamar tidur. Kemudian berguling-guling di atasnya untuk membungkus dirinya sehingga mirip kepompong. Tangan kanannya susah-payah membebaskan diri dari buntalan selimut, meraih ponsel di bawah bantal. Dan ia tertegun melihat sebuah notifikasi pada pukul 02.58, yang artinya lebih dari tiga jam lalu.

Arkan MulyaNajis

Hello, Sweety. Good morning!
Bisa enggak sih, senyummu jangan jadi yang pertama muncul di langit semenjak aku membuka mata? Masih ileran gini, udah bikin jantungan aja.

Lisa menggigit bibir kuat-kuat, menahan rasa yang membuncah di hati. Oh, Lisa segera mengganti nama kontak Arkan di ponselnya. Dengan semangat, ia mulai mengetikkan balasan.

Idih, dikira senyumku macam kuntilanak di fim horor murahan yang bikin sport jantung, apa?

Di luar dugaan, bilah status Arkan yang mulanya menampilkan last seen today at 02.59, mendadak online setelah pesan Lisa bercentang, tanda berhasil dikirim.

Arkan

Sebelas dua belas lah:p Mungkin harusnya aku suruh kamu daftar buat casting jadi pemeran kuntilanak kali, ya?

Ish, aku tuh harusnya ngisi casting jadi princess.

Dan aku prince-nya.

Enggak. Kamu jadi penyihir yang jahat aja, cocok, kok:/

Nanti kita bertolak belakang, dong?

Iya. Dan aku pemenangnya.

Hm, okelah. Aku tak mengapa jadi penyihir jahat yang kalah telak, asal itu semua demi memperjuangkanmu.

Oksigen susah-payah ditarik hidungnya. Entah sejak kapan Lisa mulai sering terkena asma begini. Dan berdasarkan yang ia alami, dapat diketahui bahwa faktor penyebabnya adalah hati dan panca indera yang berkonspirasi mencerna setiap kejadian untuk menghasilkan sebuah rasa bernama baper tingkat akut. Oksigen, mana oksigen? Lisa sudah hampir saja lupa bagaimana caranya bernapas. Kan tidak lucu kalau ia harus bertanya dulu pada Mbah Google mengenai tutorial bernapas. Masih menjadi misteri, sebenarnya, bagaimana seorang bayi kecil dapat melakukannya tanpa memerlukan seorang guru. Mata Lisa kembali fokus pada layar ponselnya.

Aku gak lihat, aku pake headset.

Oh, salting?:*
Nanti ada kuliah, enggak?

No, i'm free now! Kemerdekaan yang hakiki sekali.

Wanna take a trip with me?:3

Bayarannya?

Es krim cokelat ukuran jumbo.

Deal!

Haha, okay. Kujemput pukul setengah delapan. Satu setengah jam, cukup buat dandan, enggak?:v

Dandanku cuma lima menit.

Iya, percaya. Kamu kan jarang mandi:p

Arkan!

Di tengah dinginnya kota Tasik, Lisa merasakan kehangatan. Jauh di lubuk hati.

◾◾◾

Sambil berpose dari setiap sudut, Lisa mengamati bayangan yang terlihat pada cermin. Tunik abu mengembang mencapai lutut, sewarna dengan kerudung yang tersampir asal di bahunya, berlapis jaket hitam--seperti biasa--dengan legging gelap sebagai bawahannya. Lisa mematut sudut kerudungnya yang menampakkan anak rambut. Sejak SMP, gaya berpakaiannya tidak berkembang. Itu-itu saja. Membuatnya tetap terlihat bocah meski usianya sudah hampir delapan belas.

"Lisa, kau mau ke mana?" Begitu membuka pintu kamar, sosok Ibu segera menghadangnya.

"Pergi."

Ibu menghela napas. "Kau tahu? Selama dua hari belakangan ini, Syaima sudah belasan kali ke rumah, hanya untuk menemuimu! Entah itu sedang di kampus, atau reuni dengan teman sastramu. Kau juga selalu saja punya alasan setiap kali mendengar suara Syaima di pintu depan. Berjam-jam di toilet, pura-pura ada kebutuhan mendesak, mengurung diri di kamar, yang kalau tidak Ibu kasihani, mungkin Syaima tidak akan pulang sampai kau mau menampakkan diri di hadapannya. Sampai kapan kau akan menghindarinya?"

"Ibu jangan terus mendesakku."

"Sekali saja, Lisa. Tolong." Ibu menggenggam kedua tangan Lisa. "Tolong tunggulah sebentar di rumah. Syaima pasti akan berkunjung kembali, memastikan kondisimu."

"Oke." Lisa melepaskan diri dari genggaman Ibu. "Maaf Ibu, tapi tidak hari ini. Sudah ada yang menunggu. Lisa pergi, assalamu'alaikum."

"Lisa!" Ibu masih memanggil, berharap putrinya dapat mempertimbangkan untuk mendengarkan perkataannya. Tapi urung. Lisa sudah menutup pintu depan. Pergi begitu saja. Entah bagaimana, situasi ini semakin pelik. Ibu menggigit bibir, menjawab salam dengan lirih, "Wa'alaikumussalaam."

Lisa menimang-nimang ponsel di genggaman tangannya, mungkin ia akan meminta Arkan menjemputnya di tempat lain. Di sini terlalu berbahaya jika harus menunggu. Lisa membuka pintu pagar sambil menyalakan layar ponsel. Bertepatan dengan itu, sebuah sepeda motor berhenti tepat di hadapannya.

"Arkan! Kebetulan yang menyenangkan," pekik Lisa begitu dengan dramatisnya Arkan membuka helm, menghamburkan rambut agak panjangnya menjadi acak-acakkan. Niatnya sih, tebar pesona di depan Lisa. Karena mayoritas cewek--apalagi yang hobi baca novel--kesemsem banget sama tipikal cowok badboy begitu. Arkan sudah menyesuaikan pakaiannya, kok. Kaos putih berlapis kemeja hitam yang sengaja dibuka kancing atasnya. Itu yang didapatnya setelah mempelajari artikel '10 Tips Ampuh Tampil Memesona di Depan Gebetan' versi Mbah Google.

Senyuman simpul tercetak di bingkai wajah Arkan, mempersilakan naik sambil memasangkan helm di kepala Lisa. Arkan menaik-turunkan alis, kembali menggoda, "Sekarang sah-sah aja dong, ya, kalau teriak ke orang-orang bahwa cewek yang di boncenganku adalah calon istri Arkan Mulyana di masa depan?"

Pipi Lisa menghangat begitu Arkan mengingatkannya pada peristiwa memalukan saat mereka masih belum genap berusia lima tahun. Untungnya, Lisa sudah naik ke atas jok sehingga Arkan tidak bisa melihat semburat merah muda yang menjalar cepat di pipinya. Dengan leluasa, Lisa menggetok sekuat tenaga helm Arkan yang sudah kembali dipakai. "Gak usah malu-maluin!"

Arkan tergelak. "Princess sudah siap? Oke, penyihir jahat akan segera berangkat, berpegangan yang erat!"

◾◾◾

"Itu Mang es krim!" tunjuk Lisa dengan riang, sambil tak henti melonjak-melonjak di jok belakang, sepeda motor hampir oleng dibuatnya.

"Duduk manis di tempatmu, Honey. Jangan membuat dunia terasa berguncang. Selain itu, kau tak masalah membeli es krim di sini? Kuamati beberapa waktu lalu, kau mengunjungi kedai es krim bersama Syaima. Ini hanya es krim kemasan, lho."

Lisa mengangkat bahu, ia sudah puas berjalan-jalan mengelilingi Tasik dari ujung ke ujung sejak pagi. "Aku suka es krim. Sekali suka, ya suka. Dari mana pun produknya dibuat, asalkan tidak dari air comberan."

Lagi pula beli di kedai es krim kalau ditraktir Syaima saja. Eh, Syaima? Cengiran lebar pupus begitu saja dari wajahnya.

Sepeda motor Arkan mendarat mulus di pinggir jalan, tepat di hadapan boks es krim. Berusaha melupakan nama itu, Lisa segera memilih es krim favoritnya. Tak tanggung-tanggung, tujuh bungkus sekaligus. Katanya, dua dimakan di sini, tiga di perjalanan, dan dua untuk tambahan stok persediaan es krim di rumah.

"Misi ya, Mang. Geseran dikit."

Lisa sudah duduk di atas bangku yang ditempati Mang es krim sebelumnya, mencari posisi senyaman mungkin.

"Aku buka dulu es krim varian terbaru, deh. Twister!" pekiknya kegirangan, mulai membuka kemasan es krim. Arkan menemani, ikut memakan miliknya di samping Lisa. "Oh, kita harus selfie dulu!"

Keduanya memotret ria dengan berbagai pose. Tak peduli dengan kehadiran mang es krim yang seolah menjadi nyamuk di antara mereka. Dasar anak muda. Dunia berasa milik berdua, yang lain cuma ngontrak.

"Sini, aku ingin lihat!" Arkan meraih ponsel yang disodorkan Lisa. "Kukirim ke WA-ku, ya."

Lisa mengangguk saja, sudah asyik sendiri dengan es krim segar di tangannya. Voila! Es krim varian baru ini sesuai dengan ekspektasi. Pasti akan menjadi favoritnya juga.

Arkan membuka aplikasi WhatsApp di telepon genggam Lisa, dan mencari kontaknya sendiri.

Arkan. Hm, hanya itu saja, ya? Tanpa ada embel-embel Sayang, Cinta, Baby, atau Darling, gitu?

Belasan foto itu berhasil terkirim. Arkan melirik Lisa sekilas, memastikan gadis itu masih sibuk dengan dunianya sendiri. Yap, ini waktunya untuk melancarkan misi. Arkan hendak menekan fitur pencarian, hanya saja urung mengingat chat Lisa selalu sepi, tidak pernah mencapai lebih dari lima orang setiap harinya.

Benar saja. Satu kali guliran layar, Arkan dapat menemukan kontak itu. Mungkin belum sempat diarsipkan. Tanpa ragu lagi, Arkan menekan tombol berwarna abu-abu.

Unblock.

Succeed.

Maaf, Lis. Aku tidak pernah tahu kejadian sebenarnya. Tapi ia bilang, dengan begini, kau dapat menghilangkan blokiran rasa, serta kejadian menyakitkan di masa yang telah berlalu. Semoga saja.

"Sudah?" Pertanyaan Lisa sukses membuat jantung Arkan hampir copot, segera kembali pada layar utama, kemudian mengembalikan ponsel pada pemiliknya. Nasib baik, Lisa tidak curiga sedikit pun.

"My Sweety-Honey-Bunny, apa definisi cinta bagimu?"

Lisa menoleh, sedikit mendongak untuk menatap manik mata lembut itu, merasa tertarik dengan topik pembicaraan Arkan. "Cinta? Cinta itu ... ehem, apa, ya?" Begitu sosok Je melintas di benaknya, Lisa segera memperbaiki pita suara. Kenapa pula ia malah teringat hal menyakitkan akibat sebuah perasaan, yang orang lain sebut 'cinta'? "Cinta itu tidak akan pernah cukup untuk kudefinisikan dengan kata-kata. Penyair hebat dan penulis legendaris sekali pun tak dapat merangkai kalimat lebih indah lagi demi mewakili rasa cinta."

Arkan mengembangkan senyuman mendengarnya.

"Bagaimana denganmu?"

"Simpel. Bagiku, cinta itu kamu. Dan perjalanan tadi adalah buktinya. Kita tak perlu restoran berbintang lima untuk menyelami rasa di antara binar manik mata. Tak perlu materi, atau kata-kata romantis yang bisa dirangkai setiap saat. Aku hanya butuh satu, yaitu kamu."

Mendengar itu, entah mengapa, ada sesuatu yang mengganjal di lubuk hati. Ada sensasi aneh menjalar. Membuat pijakan kakinya mendadak jauh lebih menarik untuk diamati lebih lama.

Arkan segera kembali angkat suara, mengganti suasana. "Kau sudah menemaniku sampai siang begini. Sekarang giliranmu. Ada tempat yang ingin kau kunjungi hari ini, Princess?"

"Nope," jawab Lisa singkat. Sebenarnya, Lisa sempat memikirkan perpustakaan atau toko buku sebagai pertimbangan. Hanya saja, ia segera menggeleng. Uang jajannya sudah membunyikan alarm bahaya tanda berada pada situasi krisisnya. "Oh, di belakang kita ada toko busana. Aku sudah ingin membeli jaket hitam model terbaru. Mungkin melihat-melihat sebentar akan memberi gambaran yang akan kubeli di tanggal muda nanti."

Tanpa merasa perlu menunggu persetujuan Arkan, Lisa sudah menarik tangan lelaki itu memasuki kawasan toko. Kesalahan besar. Karena begitu masuk, matanya menangkap jajaran gaun pengantin, dengan dua orang paling tak ingin ditemuinya di sana.

Je, dan Syaima. Yang kini memandang terkejut ke arahnya.

◾◾◾

Gimana, Sa? Hatinya udah hancur teu puguh rupa, belum? Haha.

Cheers,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro