Disintegrasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semi membersihkan biji-biji keringat di dahinya yang terus mengalir. Dari luar kaca mobil, ada puluhan orang yang saling berhimpitan, melempar umpatan, mempertontonkan slogan-slogan mencolok dan pamflet anti-etnik--bahkan ada yang sampai menghalangi laju kendaraan--yang untungnya segera ditertibkan oleh para polisi.

Keadaan yang di luar kendali--ditambah dengan matahari musim kemarau--membuat Semi nyaris tidak berkutik, selain meremas-remas kedua tangannya dan membenturkan pandangannya ke bawah jok mobil seperti seorang tahanan politik.

"Silakan lewat sini, Mbak," ujar salah satu ajudan Bupati setelah pintu mobil terbuka secara otomatis. Tangannya mengibas tegas seraya memberi mandat pada bawahannya untuk menertibkan para demonstran. Wanita paruh baya dengan rambut hitam sebahu itu sedikit demi sedikit mulai mengangkat pandangannya sementara salah seorang ajudan lain mengantarkannya ke ruang kerja sang Bupati.

Usai melintasi beberapa ruangan bercorak mewah, ajudan tadi mengetuk pintu ruang kerja dan membukanya perlahan. Terlihat sang Bupati sedang membelakangi posisi pintu, sibuk membaca arsip dan dokumen melalui hologram transparan yang berpendar. Mulanya Semi sempat ragu-ragu, tetapi sang ajudan bersikeras memperbolehkannya masuk.

"Selamat pagi, silakan masuk," ucap sang Bupati dengan lembut. Pria itu segera menutup semua berkas dengan satu kibasan tangan, lalu membalikkan kursinya ke arah Semi. Sesaat kemudian, pandangan mereka berdua terkunci.

Dengan sedikit bergetar, sang Bupati bertanya, "Semi? Jadi, itu benar, kamu yang mau bertemu denganku?" Seketika itu suasana menjadi sedikit aneh karena baik sang bupati maupun Semi sudah lama kenal satu sama lain. Ia kemudian berdiri dan mempersilakan Semi untuk duduk di sofa merah magenta.

"Ah, Semi, sudah lama rupanya," kata sang bupati memulai percakapan. "Bagaimana aku bisa lupa?" gumam sang bupati sambil terkekeh-kekeh. Semi tidak menyangkal fakta, bahwa yang berada di depannya ini adalah orang yang nyaris sama, sekitar lima belas tahun lalu, ketika dirinya masih mewujud seorang remaja lugu dulu. Tidak seperti anak-anak yang lain, lelaki di depannya ini pernah begitu akrab dengannya. Meski demikian, seingat Semi, relasi antar mereka berdua hanya sebatas kawan sebaya.

Tak ada seorangpun yang bakal mengira mereka selalu bersama, dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama, bahkan saat kuliah pun mereka berada dalam satu kota yang sama, mungkin hal semacam itu hanya ditemui dalam cerita dongeng murahan yang sering diceritakan oleh para orangtua pada anak-anaknya.

"Marsan, selamat, Anda sudah terpilih menjadi Bupati." kata Semi sedikit tersendat-sendat lalu menjabat tangan sang bupati. Marsan, pria berkacamata itu, hanya terkekeh-kekeh seraya menaikkan kacamatanya.

"Agak terlambat kamu mengucapkannya. Lagipula, aku," papar Marsan terang, "sudah terpilih beberapa minggu lalu. Juga tidak perlulah kamu memprioritaskan formalitas seperti ini ke salah satu teman lamamu. 'Tapi karena kamu ingin bicara, silakan saja langsung."

Semi lagi-lagi mengutuki dirinya yang takaluf di ruangan penuh prestise ini. Semi ingat benar, alasan mendesak yang membawanya kemari.

Setelah selesai kuliah dan meraih gelar cum laude, hasrat Semi untuk memasuki area kebudayaan daerahnya semakin besar. Sebelumnya, ketertarikan Semi mulai tumbuh subur saat ia pertama kali menyaksikan pagelaran seni akbar di pusat kota. Tak lupa, teman terbaiknya, Marsan, diajaknya pula. Begitu terus, berulang kali, hingga ia jatuh cinta pada tarian tersebut.

Dalam usia yang masih belia, ia bercita-cita menjadi seorang penari—yang mampu melestarikan kebudayaan daerah.

Semi menghela napas sebentar, kemudian menatap Marsan. "Sebenarnya saya datang kemari mewakili sisa-sisa anggota Dewan Kesenian Banyuwangi. Marsan, kamu sendiri tahu bagaimana diriku, dan dalam situasi seperti ini aku juga tidak mau merepotkanmu," kata Semi perlahan. Wanita paruh baya itu sesekali mengusap keringat dingin yang bercucuran dari tengkuknya.

"Iya, saya juga sudah dengar hal itu. Hanya, saya tidak habis pikir, mengapa banyak orang-orang yang membenci organisasi yang kamu ikuti, Mi. Banyak rumor liar yang berkeliaran," tukas Marsan sambil memperbaiki posisi duduknya.

Semi, dengan jantung berdegup, berkata hati-hati, "Saya pastikan rumor itu tidak benar, San. Sudah puluhan tahun saya berada di sana, dan, sama sekali tidak ada kasus berupa pelecehan seksual terhadap penari, sihir, atau erotisme yang melampaui batas. Kamu tahu sendiri."

Sanggahan Semi sendiri terasa seperti abu di mulutnya—tentang betapa manusia zaman sekarang yang penuh dengan spekulasi liar, mempunyai tabiat super protektif, dan tenggelam dalam intrik politik.

Hati Semi terasa ngilu setiap kali teringat bahwa organisasi yang didukungnya dicap sebagai organisasi penganut paham sesat dan primitif alias ketinggalan zaman.

Semi kembali melanjutkan, "Nyatanya, kami tidak pernah melakukan hal yang demikian. Kalaupun ada, itu cuma rumor tanpa bukti alias omong kosong."

"Aku tegaskan, tujuan organisasi ini tidak lebih dan tidak lain untuk melestarikan ragam budaya yang nyaris punah--sebagai identitas dari daerah--dan menghimbau masyarakat untuk mencintai warisan turun-temurun yang sudah mengakar sejak lama. Hanya itu," kata Semi berapi-api. Marsan hanya diam mendengarkan argumen dari kawan lamanya.

Semi kembali terdiam sejenak, kemudian berkata, "Maaf jika ini ... terkesan jadi sebuah paksaan. Aku juga tidak mungkin diam saja melihat budaya—terutama tarian gandrung—diolok-olok. Jika DKB bubar, bagaimana nasib kebudayaan daerah?

Marsan, yang sedari tadi terdiam agak lama, angkat bicara. Ia menampilkan raut wajah yang gundah sambil menghela napas panjang. "Saya paham dengan tabiat kaum borjuis yang kamu maksud, Mi. 'Tapi, saya bukan orang yang paling berkuasa, dan ini tidak seperti puluhan tahun lalu ketika pelestarian budaya masih menjamur."

"Tolong, pasti ada sesuatu yang bisa kamu lakukan! Anggota-anggota DKB juga sudah jenuh diperolokkan destruktif dan sesat. Provokator malah bahagia mengerti yang demikian. Massa bisa tambah beringas nanti," bujuk Semi sekali lagi.

Marsan meletakkan kacamatanya di atas meja, kemudian beranjak menuju jendela yang memperlihatkan keadaan luar. Sampah-sampah dibakar dan para demonstran berusaha membelah barisan polisi yang berjaga di sekitar kantor.

"Mereka memang sudah beringas, Mi. Mereka terang-terangan menolak budaya kuno Banyuwangi, dan kamu meminta saya untuk meyakinkan kembali masyarakat? Itu hal yang mustahil, dengan resiko yang tidak sebanding dengan hasilnya," jawab Marsan singkat.

Muka Semi seketika memerah. Gigi-giginya gemeretak. Kedua tangannya terkepal rapat. Dalam hatinya, ingin sekali ia melabrak Marsan. Namun, apa yang dikatakan Marsan memang benar. Rasanya ia ingin raib saja. Tidak, ini bukan Marsan yang ia kenal.

Semi menatap tajam ke arah Marsan dan berkata, "Marsan yang dulu berani mengambil resiko untuk hal yang benar. Tidak ada satupun jenis kebudayaan di sini--yang bertujuan untuk mencelakakan manusia--tidak ada, nihil! Apa DKB perlu mengeluarkan manifesto kebudayaan agar semuanya jelas?"

Marsan seketika terperanjat mendengar perkataan Semi. Sedangkan Semi tak memberi kesempatan sedikitpun lawan bicaranya untuk berkutik. "Pikirkan lagi, San. Pikirkan lagi dengan matang. Tiap bentuk kebudayaan bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman dan aturan yang berlaku. Belum terlambat untuk mengubah pola pikir masyarakat. Kamu tentu bisa membayangkan bagaimana jika Indonesia kehilangan salah satu perangkat nasionalisme dan ciri khasnya," tambah Semi lagi.

"Kita bangsa Indonesia dan kebudayaan kita berabad-abad umurnya. Kita tidak akan bermaksud memplagiat prinsip orang luar yang tidak sesuai dengan kepribadian kita, lalu menerapkannya di sini."

"Saya minta kamu mempertimbangkan ini, San. Saya permisi dulu," ujar Semi lirih. Ia kemudian beringsut menuju pintu dan keluar dari ruangan, meninggalkan Marsan yang masih terpaku--mencerna dan menimang kata-kata Semi.

Semi berusaha sekuat tenaga menahan luapan emosinya yang menggelenyar ketika keluar dari pintu utama kantor. Wanita paruh baya itu berbalik, menatap kemegahan Kantor Bupati Banyuwangi dengan perasaan campur aduk. Lidahnya terasa kelu.

Langkah kakinya seketika terhenti sejenak. Ia menyadari bahwa dirinya juga bagian dari masa lalu. "Semi, seperti dalam sejarah. Lahir sebagai penari gandrung wanita pertama, dan mungkin ... lahir sebagai penari gandrung yang terakhir," gumam Semi masygul. [.]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro