10. Jarak ~ Terpisah atau Tewas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika itu aku sehabis pulang dari liburan dan di tengah jalan ada keramaian, jelas sekali mereka berdemo. Katanya turunkan pemerintahan yang sekarang, mereka bilang pemimpin tak becus menangani negara. Lebih parahnya, ada yang menggambar wajah presiden dengan hal yang sangat-sangat merendahkan.

Aku tak membenarkan hal itu, cukup dengan berdemo, memakai kata-kata yang sopan pun cara yang terbaik. Saling menghina hanya akan menimbulkan dosa, itu sama sekali tidak dibenarkan.

Sebenarnya aku tak peduli, tetapi mataku tak mungkin bisa berpaling dengan apa yang sedang terjadi. Hingga mobil yang kutumpangi terhenti, dengan secara paksa dihentikan oleh seseorang, tidak, bahkan beberapa orang.

Kata mereka, "Berhenti! Kami butuh mobil ini!"

Mereka mengancam, bahkan dengan mengacungkan senjata tajam. Aku sedikit bingung, sang sopir turun, dia begitu berani, lantas terjadi hal yang sangat mengerikan.

Aku tak sempat mengalihkan pandangan saat kepala sang sopir dibacok seperti semangka yang dibelah dua. Gila, orang-orang ini sudah kehabisan akal. Semua yang ada di dalam mobil menjerit, lantas segera turun, melarikan diri ke arah yang berbeda-beda.

Aku mual, perutku ingin mengembalikan apa yang telah kucerna. Aku keluar dari mobil itu, berlari sekencang mungkin ke arah rumahku yang sebenarnya masih cukup jauh.

Sesekali aku menengok ke belakang, mobil itu telah beralih tangan ke para penjarah. Anehnya, ada polisi, datang dan membiarkan apa yang terjadi begitu saja.

Saat itu aku berpikir, apa yang terjadi?

Keributan itu tak ada hentinya. Bahkan ketika aku lewat di depan toko-toko, semuanya dijarah oleh orang-orang secara brutal, merusak, dan tak ada yang peduli. Mereka seperti tak punya akal lagi, sudah kehilangan jati diri sebagai manusia.

Mungkin ini awal dari sebuah kemunduran yang tak terelakkan. Kerusuhan itu terjadi di sepanjang jalan, bahkan di tempat yang seharusnya sepi.

Ketika sampai di rumah. Aku hanya menatap dengan bingung, pintu depan terbuka, seseorang yang tak kukenal keluar dari sana dengan membawa benda elektronik. Aku akan mengejarnya jika saja ia sendirian dan tak membawa senjata tajam.

Aku masuk perlahan, memanggil adikku. Namun, tak ada jawaban. Ketelusuri setiap ruang, setiap cela, dan bahkan di dalam lemari.

Tidak, aku tak menemukan Adikku. Di mana dia? Pikiranku campur-aduk tak keruan, saat di depan rumah ada orang, kutanya ia dan jawabannya, "Mungkin sudah mati."

Aku terdiam, mati katanya? Jika iya, mana jasadnya?

Saat itu aku tahu dunia sedang kacau. Indonesia mengalami krisis dalam segala sektor. Tidak ingin berlarut dalam kesedihan, aku berusaha mencari ke manapun yang mungkin di sana ada adikku. Namun, aku menyerah, aku yakin adikku sudah mati, apalagi setelah diriku bertemu dengan gerombolan mayat hidup, dan untungnya aku selamat sampai sekarang.

Jika ditanya apa aku menangis? Benar, aku menangis saat itu.

***

Deka sudah mewakili perasaan sedihku. Ia lucu, dan pemberani, saat kubuka pintu ia bilang jika ada mayat hidup ia yang akan menghentikannya.

"Deka di belakang aja, oke?"

"Oke deh, Deka di belakang Kak Jalak aja. Aman."

Kuusap kepalanya saat ia bersembunyi tepat di belakangku. Aku maju perlahan, menengok lingkungan di sekitar dan cukuplah aman.

"Inget kan apa yang Kakak tadi bilang?"

"Jangan belisik, itu, kan?"

"Ya, dan apalagi?"

"Hmmm apa, ya? Kalau capek di jalan ngomong aja."

"Bagus." Aku tersenyum, lantas melewati pintu keluar.

Toko makanan di sekitar sini cukup jauh, itu pun belum tentu masih utuh. Bisa saja sudah hancur lebur atau lebih buruk lagi.

Mataku selalu waspada, melihat jikalau ada mayat yang mengetahui keberadaan kami. Aku juga sengaja mengalihkan pandangan Deka dari bangkai atau mayat yang sudah benar-benar mati mengenaskan, kepala hancur, kaki terkoyak, tangan buntung, atau usus yang keluar dari dalam tempatnya.

"Haus."

Aku berhenti. Menatapnya yang ada di sampingku, wajahnya terlihat lelah, terik matahari juga menambah banyaknya tenaga yang terkuras. Kubuka tas, lalu minumkan ke Deka, dia kehausan, seperempat air dalam botol itu habis.

"Masih jauh?" tanya Deka saat aku menutup botol.

"Lumayan, bentar lagi, kok," jawabku dengan tersenyum.

Aku membungkuk membelakangi Deka. "Yuk, Kakak gendong biar gak capek."

"Nanti Kakak yang capek, dong."

"Gak masalah, yuk."

Dia mau, dan segera aku berdiri saat Deka sudah dalam dekapan gendonganku. Aku melanjutkan perjalanan, baru beberapa langkah Deka pun berbicara, "Kak, di belakang kita ada yang lari-lari."

Aku menengok sambil mempercepat lariku. Jelas sudah, lima mayat dengan kecepatan yang lumayan itu mengejarku, jaraknya memang jauh, tetapi mereka tak mempunyai lelah.

"Pegangan!" Kau berteriak pada Deka yang langsung mendekapku kuat.

Lariku cukup kencang, lurus ke depan melewati mobil-mobil yang rusak atau ditinggal pemiliknya. Aku berbelok saat berada di sebuah gang. Tempat sampah yang cukup besar ada di sana, tak mempedulikan apa yang ada di dalamnya aku memasukkan Deka begitu saja.

"Kak?" dia terlihat bingung.

"Diam di sini, jangan bicara, oke? Kakak ada di kotak sampah itu, ngerti?" Deka mengangguk, kututup tong sampah dengan rapat kembali.

Sementara aku segera menyembunyikan diri di dalam tong sampah yang berjarak sekitar dua meter dari tong sampah milik Deka. Aku berharap, ia dapat diajak berkerja sama, dan aku yakin itu.

Suara langkah kaki yang berlari terdengar jelas. Semakin lama semakin dekat, hingga akhirnya lari menjadi berjalan. Erangan lapar para mayat begitu ngeri. Sampai saat ini Deka belum bergerak atau berteriak.

Syukurlah ia dapat diajak bekerja sama.

Sudah beberapa menit, aku ingin sekali keluar dari sini dan langsung melihat keadaan Deka. Sialan, bahkan lima mayat itu hanya berdiam diri, cuma mengeluarkan suara erangan dan aneh lainnya.

Bau yang berasal dari tong sampah membuatku menutup hidung. Jika tak terbiasa dengan bau, maka diriku sudah mati konyol akibat bau yang begitu wangi ini.

Aku ingat, Deka membawa kucing itu. Sementara hewan tak mungkin akan bisa diajak bekerja sama, aku berharap dan berdoa semoga saja si Bilu tetap diam hingga mayat-mayat pergi dari sini.

Namun, kucing itu mengeong, aku membuka penutup tong sampah tempatku bersembunyi. Lantas aku berdiri, lalu berteriak, "WOY!"

Aku bisa saja mati, karena itu segera aku berlari sekuat tenaga. "Tetap di dalam sana!"

Lariku cukup jauh, kalaupun aku berbelok, mereka tetap mengikuti. Namun ....

Satu hal fakta yang membuatku bersyukur, para mayat tak bisa memanjat. Jadi, saat kulihat pagar sebuah rumah yang dekat sekali dengan gentengnya, kupanjat secara cepat.

Tidak hanya lima, tapi lebih dari sepuluh mayat kini sedang berusaha meraihku dari pagar tembok itu. Untungnya aku sudah berada di atas sini, lalu kutatap di mana arah gang tadi, sialnya malah tertutup oleh bangunan itu, aku tak bisa melihat bagaimana kondisi Deka.

Satu hal yang kulakukan, yaitu berteriak. Beberapa mayat datang dengan berbagai kondisinya, kulakukan hal ini agar tak ada yang mendekati Deka.

Setiap sudut rumah ini kini dikerumuni oleh mayat tak berakal dan menginginkanku sebagai santapannya. Tak ada yang bisa kulakukan saat ini, kecuali berharap ada manusia yang menolongku.

Sementara matahari masih begitu terik, menyengatku yang berada di atas genteng. Kini aku lelah berdiri, aku duduk dan masih memperhatikan sudut gang di mana Deka berada. Ia belum terlihat keluar dari sana.

Aku mulai bosan, karena itu aku bangkit berdiri sambil mengambil satu genteng dan kulempar ke arah kaca salah satu rumah di depan sana, suaranya memang ada, tetapi tak cukup untuk mengalihkan perhatian mereka.

Telingaku berdenging, seolah tak sanggup lagi mendengar erangan dari para mayat hidup. Aku bisa gila jika aku tak memikirkan Deka yang masih di sana.

Mungkin satu jam lebih aku di sini dengan berbagai posisi. Ya, Deka terlihat keluar dari gang itu, tak ada mayat yang mengikuti, tetapi ia tak berjalan ke arah sini, melainkan ke arah lain, lurus ke depan dan kutebak ia mengikuti kucingnya, karena di dekapannya tak ada binatang berbulu dan lucu itu.

"DEKA!"

Percuma, anak itu tak bisa mendengarnya. Ia jelas tak tahu jika aku berada di atas genteng. Aku punya dua kemungkinan, loncat dari sini, kaki terluka, lalu aku disergap para mayat, atau aku loncat dari sini dengan keadaan baik-baik saja, lalu berlari sekuat tenaga menyusul Deka, berakhir dengan mati di makan para mayat.

Artinya, aku tak ada pilihan lagi selain membiarkan bocah itu pergi. Sementara jika aku ingin turun, setidaknya menunggu para mayat teralihkan, dan ketika itu aku turun, dan kemungkinan aku mati hanya beberapa persen saja.

Aku masih saja memandang ke arah Deka pergi. Kuharap ia kembali ke gang itu setelah mendapatkan kucingnya, tetapi pikiranku mengatakan ia takkan selamat jika sendiri di luar seperti sekarang.

Ah! Sialan, apa yang kupikirkan ini hanya memperburuk situasi. Kuambil lagi satu genteng, kulempar ke arah kaca sebuah toko, mereka -para mayat- teralihkan, tetapi hanya beberapa saja.

"DEKAAAA!!!"

Suaraku menggema, kuharap Deka mendengarnya atau orang lain. Sialan memang, sebenci apapun diri kita terhadap orang lain, pada akhirnya masih saling membutuhkan.

***

Halo! Kalian bisa baca kisah ini di Akun Karyakarsa kak muktihidayat_ sampai tamat ya! Bisa beli per bab atau paket lengkap dengan harga lebih murah. Daily update di sana loh!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro