2. Jarak ~ Bertahan Hidup

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terjebak di sini, di sebuah toko sepatu. Beberapa saat lalu aku hampir saja mati, awalnya kukira tempat ini cukup aman, ternyata tidak. Mayat-mayat itu berlari mengejar entah dari mana datangnya.

Aku duduk di lantai begitu saja setelah menutup pintu dan menahannya dengan meja-meja kayu. Mengeluarkan isi tas ransel yang kubawa, satu botol air mineral dengan merek terkenal. Kubiarkan para mayat itu meraung, memperhatikanku yang sedang minum.

Keringatku bahkan sampai habis terkuras, penampilanku mungkin sudah tak keruan. Beberapa noda merah mengering di celana jeans, dan baju lengan panjang yang kupakai. Kurasakan bau menyengat di seluruh toko ini, tidak, bahkan badan ini juga berbau busuk.

Kutatap lagi tiga mayat di luar sana, mencoba masuk, untung saja mereka tak berakal. Ah, salah satunya bernama Sunaryadi, dari pakaiannya kemungkinan besar ia adalah satpam. Sementara dua lainnya berpakaian biasa, celana pendek dengan baju berlengan pendek pula.

Jangan tanyakan wajah mereka. Jelas sekali buruk.

Aku sudah lama terlunta-lunta di jalanan. Tentu saja dengan berjalan kaki, kendaraan sudah banyak yang tak berfungsi, kalaupun bisa, aku tak bisa mengendarainya tanpa menggunakan kunci.

Jadi, yang kubutuhkan saat ini hanya minum dan makan. Ah, tentu saja pakaian yang layak dan sepatu. Kebetulan aku berada di dalam toko ini.

Setelah mencari yang pas, ukuran empat puluh satu. Kuganti sepatu yang sudah sangat tak layak itu. Aku tak mencari yang bagus, asalkan muat dan nyaman, tentu saja awet, akan kupakai.

Di luar masih ada tiga mayat hidup itu. Tetap memperhatikan dengan penuh napsu, mereka lapar, hanya itu. Menggedor-gedor pintu, tetapi tiga mayat tak sanggup membukanya.

Baru saja aku memikirkan cara agar bisa keluar dari sini. Suara mobil terdengar jelas, para mayat teralihkan, aku bersembunyi di balik lemari sepatu dan melihat dari sela-sela kecil.

Di saat seperti ini, manusia bisa lebih mengerikan dari para mayat hidup. Bahkan saat lapar, manusia bisa menghalalkan segala cara, tak berpikir bahwa itu menimbulkan dosa. Baik atau buruk asal perut terisi.

Mobil MPV merah itu melaju, beberapa bagiannya sudah tergores. Para mayat pergi, sepertinya aku harus berterima kasih pada sang pengemudi. Setelah terasa aman, meja yang menutupi pintu itu ku pindahkan, lalu kulangkahkan kaki dengan begitu hati-hati. Bisa gawat jika suara langkah kaki terdengar oleh para mayat.

Tentu aku bisa melawan satu atau dua mayat, tetapi tidak jika lebih dari itu, bisa mati atau lebih parahnya menjadi bagian dari para mayat tak berakal. Dengan berbekal linggis di tas ini aku melindungi diri, dari para mayat, begitu pula dari manusia lain.

Kota ini sudah mati, mungkin sudah beberapa tahun lalu, tepatnya aku tak begitu mengerti. Para penguasa tak sanggup lagi menahan pandemi yang sangat mengerikan ini. Alhasil, terjadi kekacauan, orang-orang mulai turun ke jalanan, berdemo, awalnya berjalan kondusif, tetapi setelahnya mereka menjadi buas.

Mulai merusak fasilitas umum. Membakar gedung-gedung, kepulan asap membumbung tinggi di langit ibukota. Namun, itu bukanlah permasalahan utama, karena setelahnya, sesuatu yang mengerikan terjadi, ibukota dikarantina, ditutup akses keluar masuknya.

Di siaran berita, puluhan ribu orang meninggal dalam satu waktu. Teori-teori konspirasi bermunculan, perdebatan tak bisa dihindari, walau akhirnya semua tak terkendali, mereka yang mati akan hidup kembali.

Sampai akhirnya, Jakarta menjadi kota mati. Bahkan, Indonesia menjadi negara yang sudah lumpuh total. Lebih miris lagi, seluruh dunia mengalami hal yang sama, termasuk Korea Utara, negara yang sempat mengklaim bahwa mereka sangatlah aman.

Langkah para mayat begitu cepat. Mereka tak butuh beristirahat, mengatur napas pun tidak. Jadi, pilihan utama sebagai manusia adalah bersembunyi jika sudah lelah dalam berlari.

Aku berada di tengah jalan yang biasanya penuh akan kendaraan, macet pula. Kini masih saja ramai dengan mobil, tetapi sudah menjadi rongsokan, di dalamnya terkadang ada mayat membusuk dengan luka di sekujur tubuhnya.

Bau bangkai sudah mencemari udara. Sementara panas terik matahari tak bisa menghilangkannya. Selain pengemudi mobil MPV itu, apakah masih ada yang hidup di negara ini?

Aku berhenti di depan sebuah toko pakaian. Kulihat di dalamnya masih cukup rapi, hanya beberapa saja yang berserakan.

BRAKKK

Aku terperanjat, terjatuh ke belakang dengan mataku yang masih melihat ke dalam toko. Namun, ada lima mayat hidup di sana, pakaiannya berseragam. Jelas sekali bahwa mereka adalah pegawainya.

Aku segera berdiri. Persetan dengan pakaian penuh noda darah, di dalam sana ternyata penuh akan mayat hidup. Jika aku tetap di depan toko itu, kemungkinan suatu saat kacanya akan pecah dan mayat-mayat jelek membunuhku.

Tubuhku tetap saja gemetaran. Aku tidak seberani omonganku, tetap saja aku takut. Kulihat lagi toko itu dari kejauhan.

Sebuah mobil truk ada di pinggir jalan. Aku memanjat bak yang berwarna kuning itu, benar sekali, hanya kotoran biasa, masih bersih.

Aku bersembunyi di dalam bak mobil. Kuminum beberapa teguk air dalam botol, terik matahari memang menyengat, tetapi tak ada pilihan lain.

****

3 April xxxx

"Jarak!" Panggil temanku, namanya Julia.

Aku menghampirinya yang sedang berada di dekat sebuah toko makanan. Jakarta sudah sepi, para petinggi entah ke mana, aku pun tak mengerti. Setidaknya aku punya teman ngobrol.

Julia bukan teman yang sedari awal aku kenal. Kami bertemu saat sama-sama bersembunyi dari kejaran para mayat hidup. Dia ketakutan, begitupun aku, tetapi aku berusaha menutupi kelemahanku. Menguatkannya dan akhirnya berhasil membuatnya bersemangat untuk bertahan hidup.

Dia masih memakai pakaian sekolah. Baju putihnya kini bernoda darah, sementara roknya sudah sedikit ia sobek agar mudah dalam melarikan diri.

Julia sudah membuka pintunya. Masuk ke dalam, lalu memilih makanan yang bisa bertahan lama. Memasukkannya dalam tas yang kubawa, kaleng susu cair, roti isi, dan sebuah korek api.

"Adikmu pasti masih hidup. Di suatu tempat, dia pasti menunggumu." Tiba-tiba Julia berkata seperti itu dengan tersenyum.

"Terlalu berharap juga tidak baik, Julia," jawabku, tentunya dengan membalas senyumannya.

"Tapi, ya jangan berhenti berharap. Manusia hidup karena hal itu, lo."

Setelah berbincang untuk beberapa saat. Kami segera keluar dari toko itu. Mencari tempat untuk bermalam, kami kira dengan masuk ke rumah kosong dan menempatinya akan aman. 

Ternyata tidak.

Dua orang datang, berbincang, tertawa terbahak-bahak. Kami bersembunyi di dalam lemari, tak sempat untuk pergi.

Tak hanya suara dua orang laki-laki, tetapi juga ada tangisan perempuan yang ikut meramaikan heningnya malam.

"Berhenti menangis! Kau bisa membunuh kita semua, tahu!"

Setelah bentakan itu, suara tangis berhenti. Mungkin mulut perempuan itu disumpal. Aku tak tahu harus berbuat apa, saat ini tak mungkin kami menang melawan dua orang pria dewasa.

Suara yang tak ingin aku mendengarnya terdengar. Tangisan itu, rintihan itu. Walaupun gelap, aku tahu kalau Julia tak tega mendengar suara ini.

Akhirnya, Julia nekat keluar dari lemari sambil berteriak, "Hentikan!"

Aku melihatnya, dua pria sedang menyiksa satu perempuan. Mereka seperti binatang, dan aku lantas menjadi benteng terdepan, berdiri tepat di depan Julia sambil sok menatap tajam ke arah dua orang yang sekarang bangkit berdiri.

"Ngapain kalian di sini, hah!" Satu orang berteriak, ia memakai celananya.

Seperti yang aku duga, mata mereka langsung tertuju pada Julia. Aku tetap berdiri, dan saat satu orang mendekat, kepalan tanganku tak sanggup kutahan, melayang dan mendarat tepat di wajah sang binatang.

Pria itu terlihat marah, aku tak sanggup menghindar saat ia mendaratkan kepalan tangan tepat di wajahku. Kurasakan darah mengalir dari dalam hidungku. Tak hanya itu, pria satunya pun menghantamku kuat, aku tersungkur saat mereka mendorongku.

"Dasar bocah!" Umpat salah satunya, lalu ia meludah dan kurasakan tepat mengenai wajahku.

Mereka tertawa, memegangi Julia yang berusaha melawan. Aku berusaha bangkit, tetapi sebuah tendangan langsung menghantam kuat wajahku, tubuhku lemas dan hanya bisa menyaksikan mereka.

Teriakan terdengar, dari luar rumah. Kata mereka, itu adalah suara perempuan tadi yang berusaha kabur dan sialnya beberapa mayat malah menangkap dan memakannya.

"Udah, biarin dia mati di sini."

Mereka keluar sembari membawa Julia, lalu teriakan terdengar lagi. Aku berdiri perlahan, melongok ke arah kerumunan mayat hidup.

Tak terasa air mataku mengalir perlahan. Pakaian itu, suara itu, jelas sekali milik Julia. Sementara dua orang tadi terlihat sudah jauh di ujung jalan, berlari dengan sesekali menengok ke belakang.

Aku terpaksa meninggalkan Julia. Tak mungkin juga menyelamatkannya, dia sudah tak bernyawa. Kini, aku sendiri lagi, berjalan tanpa arah.

Suatu malam, aku berhenti untuk melangkah. Di depanku ada satu mobil, berniat untuk mengecek kondisinya dan sudah kusiapkan bensin. Namun, ternyata di dalamnya ada dua orang, aku mengenali mereka, kuingat sekali bagaimana rupanya. Dua binatang yang sangat kubenci.

Beberapa saat, dengan kesadaran penuh aku telah melumuri mobil dan sekitarnya dengan bensin yang kubawa. Kuambil korek kayu yang ada di dalam tasku, saat itu, aku membakar mereka.

Dua manusia itu keluar dari mobilnya, tubuhnya telah dilahap api. Beberapa mayat hidup berdatangan, saat itu aku berlari pergi meninggalkan mereka, bahkan aku tak sempat membawa tas yang berisi beberapa makanan itu.

****

Kurasakan butiran air yang menghantam wajahku. Perlahan kubuka mata, langit yang sebelumnya cerah, kini menghitam.

Hujan, sudah lama aku tak merasakannya. Sejak kejadian waktu itu, ketika para pendemo mulai kehilangan nyawanya.

Aku ingat, jelas sekali aku tertidur di dalam bak mobil truk. Yah, saatnya bagiku untuk pergi, berpindah tempat lagi agar tetap hidup. 

Namun, saat aku berdiri, Kudengar suara orang berbicara, lantas membuatku waspada.

Mereka menyalakan mesin, lantas mobil bergerak maju sebelum aku sempat pergi.

"Sial, siapa orang-orang ini?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro