14. Curse Runs so Deep

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari-hari yang kami lalui setelahnya adalah serangkaian pelarian. Jika kami menemukan jalur ke labirin bawah tanah, kami akan memilih jalur itu. Jika kami terpaksa harus keluar, Irsyad mewanti-wanti diriku untuk tidak terlalu jauh dan menggunakan penutup mulut, agar udara yang beracun di luar sana tidak langsung membunuhku.

Irsyad terus membimbing kami, berpindah dari satu Liang ke Liang lain. Seperti inikah rasanya menjadi hewan pengerat? Bersembunyi di lubang dan berpindah ketika ada predator menyerang?

Rasanya tidak menyenangkan.

Sekian lama menjadi predator puncak, sekarang kami harus berlari seperti serangga. Dikejar oleh makhluk-makhluk raksasa buas berkeliaran bebas, di lingkungan yang tidak kami kenali sama sekali.

Kami baru berhenti berpindah ketika infeksi Irsyad semakin parah, melumpuhkan separuh badannya. Saat itu usia Kala sudah tiga tahun.

Kami berdiam di sebuah gua. Kami berdiam cukup dalam di dalam sana, jauh dari penciuman para Yaksha, dan jauh dari para Yaksha sendiri yang mungkin meninggali gua itu sebelum kami.

Aku dan Irsyad bersembunyi di salah satu patahan gua tempat tidak ada yang akan mengganggu kami.

"Kau seharusnya pergi saja, Dayu....." Irsyad berkata lemah kepadaku dalam pembaringan. "Pergi ... dan besarkan Kala...."

Aku diam saja, tidak menyahuti ucapannya dan sibuk membersihkan tubuhnya dengan kain dan air yang mengalir di sungai di dekat kami.

"Kau juga ... berhentilah mengurusku ... aku mohon, Dayu...." Tanganku berhenti. "Demi kebaikanmu sendiri ... karena mungkin ... ini menular...."

"Maaf, tapi ... aku tidak bisa mengabulkan permohonanmu itu."

"Bu ... bu...."

Di belakangku, Kala ikut duduk, memamerkan seekor udang kecil di tangannya. Dia tidak menyentuhnya seperti apa yang aku suruh. Kala baru tiga tahun, tapi kepintaran dan tingkah lakunya tidak pernah menyusahkanku.

"Kita keluarga."

"Di sini...." Irsyad mengernyit seperti menahan sakit. "Di sini bukan hanya ... aku yang dipertaruhkan ... kau pernah memikirkan soal Kala?"

Aku terdiam.

"Bagaimana jika dia tertular? Bagaimana jika dia ikut mati sepertiku? Bagaimana jika kau juga...." Irsyad sekali lagi mengernyit kesakitan. Air mata menetes dari mata kanannya yang masih normal. "Aku tidak mau ... kalian sampai ikut menderita seperti ini...."

Kata-kata Irsyad berhenti lagi saat pria itu mengerang kesakitan. Ia berguling dan menjauh dariku. Dan aku hanya bisa menutup mata, menemaninya, tanpa bisa berbuat banyak.

"Irsyad ... jangan banyak bicara dulu."

Aku bukannya tidak memikirkan itu setiap malam. Bagaimana dengan Kala?

Aku bisa bertahan dari virus ini. Aku tidak masalah jika sampai mati. Tapi jika harus menyeret Kala juga, aku lebih baik masuk ke neraka paling dalam. Aku memahami perasaan Irsyad, tapi bagaimana aku harus bersikap sekarang?

Aku tidak mau meninggalkan Irsyad. Aku tidak mungkin membiarkan dia menderita sendirian. Tidak setelah semua yang ia lakukan untuk kami.

Aku menoleh ke belakang, ke arah Kala yang masih mengamati air di dekatnya. Membayangkan masa depan anak itu terasa sulit sekarang. Dan semakin sulit dengan malam-malam yang aku habiskan karena terjaga pada erangan Irsyad. Kala terganggu, jelas, tapi ia masih tiga tahun. Ia tidak mengerti banyak.

Sekarang aku masih punya Irsyad, tapi seperti kata dirinya ... jika sampai terjadi sesuatu kepadanya dan segalanya terserah kepadaku ... jika sampai sesuatu yang buruk terjadi lagi pada anak kami....

"Aku...." bisikku. "Aku tidak bisa memberi banyak janji kepadamu sekarang, Irsyad...."

Aku berjalan menghampiri Kala, mendekapnya. Dan menangis diam sembari memeluk tubuh hangat putraku.

"Tapi aku berjanji ... jika keadaan sudah sangat berbahaya ... aku dan Kala akan pergi meninggalkanmu."

Napas Irsyad terengah-engah di belakang sana. Ia hanya berbaring seharian, tapi bahkan tidak melakukan apa pun sudah membuat tubuhnya letih. Infeksi itu memakannya perlahan dengan cara yang sama sekali tidak menyenangkan dan ia tidak cukup kuat untuk berpura-pura dirinya masih baik-baik saja.

"Terima kasih....." Sayup-sayup aku mendengar Irsyad membisikkan kata itu. "Terima kasih ... Dayu...."

Sekali lagi air mataku menetes dan meski tidak begitu mengerti, Kala balas memelukku.

***

Sesuai kata-kata Irsyad, keadaannya memang semakin memburuk. Dalam waktu dua tahun, seluruh tubuhnya lumpuh. Tiga tahun kemudian, perlahan seluruh tubuhnya membengkak dan membiru. Tiga tahun kemudian, dia kehilangan kemampuannya bicara sepenuhnya. Tahun berikutnya, ia kehilangan kemampuannya berpikir. Dan dua tahun kemudian, ia kehilangan kemampuannya berpikir.

Ketika usia Kala menginjak tujuh belas tahun, Irsyad telah berubah dari wujud manusia menjadi wujud buruk rupa. Ukurannya membengkak hingga menghalangi pintu gua. Sehari-hari ia hanya berdiam di sana, bersuara seperti lenguhan sapi, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Dari balik matanya yang mengintip dari balik lipatan kulit itu, kadang aku masih berharap akan menemukan sedikit saja rona kehidupan di sana.

Hanya untuk kecewa di kemudian hari.

Aku hanya terus berbicara sendiri. Irsyad tidak pernah lagi menyahut. Dia hanya bernapas di sana. Hidup, makan, bernapas, dan tidur. Siklus itu terus berulang.

Aku kira, aku bisa menahan semua ini sendirian. Namun setelah Yaksha masuk dan hampir membunuh kami, Kala jadi ... berubah.

"Ibu?" Kala berkat apadaku di suatu malam. Tepat ketika aku sedang merawat luka Irsyad akibat serangan Yaksha yang sama. "Bukannya sudah saatnya kita menghentikan penderitaan Ayah?"

Aku terdiam.

"Ibu!" Kala terdengar semakin menuntut di belakang. "Ayah hampir saja menjadi mangsa Yaksha dan dia bahkan tidak bergerak untuk melawan!"

"Ayahmu tidak bisa bergerak, Nak," Aku mengingatkan dengan lembut. Dalam keterbatasannya, Irsyad bersuara, pelan sekali, saat aku menyentuh lukanya dengan kain basah. "Ah, apa terasa sakit? Maaf, aku akan lebih lembut lagi nanti."

Terdengar suara decak dari belakang.

"Dia bahkan tidak bisa melindungi Ibu."

"Kala."

"Tapi itu benar, kan?" Kala balas menghardik. "Aku babak belur, ibu nyaris terbunuh, tapi apa yang dia lakukan? Dia hanya diam di sana menanti untuk dimakan! Seperti barang tidak berguna!"

"Kala!" Kali ini aku menghardik, berputar dan menatap anak itu. "Tarik lagi kata-katamu! Biar bagaimanapun juga, dia ini ayahmu!"

"Justru karena dia ayah Kala, Kala ingin mengakhiri penderitaannya," ujar Kala. "Atau ... Ibu mau membiarkan Ayah terus seperti itu sampai dia mati ... entah kapan?"

Oh, Tuhan. Kata-kata macam apa yang baru saja aku dengar itu?

"Kau tega ... apa kau tega ingin membunuh ayahmu sendiri?" Melihat tatapan kurang ajar Kala, perasaan marahku semakin menggebu. "Dia sudah melindungimu bahkan sebelum kau lahir! Kau tidak tahu apa saja yang sudah dia korbankan—

"Ya, Kala memang tidak tahu!" Kala balas menghardikku. "Kala tidak ingat apa saja yang ia korbankan untuk kita. Kala mungkin masih terlalu kecil saat itu untuk mengingatnya...." Dengan susah payah ia berdiri, dengan tongkat bantu, sambil bersandar pada dinding gua, ia menatapku dari atas. "Mungkin juga ... kita di sini dan aman selama bertahun-tahun karena kerja kerasnya...."

Di depanku, Kala berdiri menjulang, meski dengan tongkat batu dan harus bergantung pada dinding untuk bisa berdiri tegap. Di sanalah aku sadar, betapa anakku sudah tumbuh jauh melampauiku.

"Tapi itu sudah berlalu, Ibu." Kala menatap Irsyad di belakangku. Kedua tangannya mengepal kuat. "Apa Ibu tidak pernah memikirkan kemungkinan ada jalan keluar di balik dinding ini tapi terhalang oleh tubuh Ayah?"

Aku terdiam. Karena memang kata-kata Kala ada benarnya. Gua ini masih belum berakhir. Masih ada jalan panjang di belakang yang sayangnya tidak bisa kami tempuh karena seluruh tubuh Irsyad yang membengkak menutupi jalan.

"Apa Ibu juga tidak pernah terpikir untuk mencari Liang yang lebih aman di luar sana?"

Telingaku berjingkat. Tanpa sadar, aku sudah bangkit berdiri.

Kenapa Kala tiba-tiba menyebut soal dunia luar? Aku ... aku tidak pernah membawanya ke dunia luar. Akulah yang berburu sendirian jika memang kami harus keluar. Kala tinggal mengambil apa yang tersedia di gua ini: air dan makanan.

Seharusnya topic itu tidak keluar dari mulutnya, kecuali....

"Kala, kau ... keluar?"

Kala tidak menjawab. Tapi matanya yang berpaling ke arah lain sudah menjawab kecurigaanku.

"Kapan?" desakku. "Kapan kau keluar?"

Ketakutan menjalar di seluruh nadiku. Jika Kala sampai keluar tanpa pengaman ... udara beracun di luar, Yaksha ... dan infeksi....

"Ibu kira Yaksha itu bisa menemukan tempat ini tanpa alasan?!" Kala kembali menatapku. Memelototiku, ibunya sendiri, untuk pertama kalinya.

"Kau...." Aku menggeleng tidak percaya. "Kau yang...."

Bunyi tamparan itu bergema di sepenjuru gua.

"Anak tidak tahu diri!" Hinaan berbisa itu keluar dari mulutku. Otakku yang dipenuhi oleh amarah, tidak bisa berpikir jernih dan semua amarah dan emosi yang selama ini kutampung, keluar begitu saja kepada putraku. "Kau hampir membuat ayahmu terbunuh, kau sadar itu?!"

Aku lantas menunjuk wajahnya. Benar-benar menunjuknya, seperti seorang jaksa menunjuk hidung terdakwa.

"Tarik kata-katamu sekarang juga dan minta maaf ke ayahmu!" Aku menunjuk Irsyad. "Minta maaf sekarang!"

Sebelah mata Kala yang membiru karena dihajar yaksha yang sempat masuk ke gua ini, memandangku pahit. Ada goresan dan lebam di berbagai sisi wajah, leher, dan tubuhnya. Segera setelah sadar, betapa menyedihkannya keadaan putraku, amarah yang tadi hampir meledak, kata-kata yang siap aku lontarkan bagai bisa beracun kepadanya, segera sirna.

Oh, Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?

Tenggelam dalam perasaan bersalah itu, aku tersentak mundur. "Ka-Kala...."

Jantungku mencelus ketika melihat mata gelapnya tiba-tiba berpendar. Dan sesuatu yang hitam mengintip dari balik pakaiannya.

"Kala, kau...." Aku meraih kerah baju putraku. Menyingkapnya. Gurat-gurat hitam tampak di lehernya. Tanda pertama infeksi. "Kau keluar ... tanpa pelindung?"

Kala memejamkan mata sesaat. Setelahnya, marah di mata Kala berubah menjadi penyesalan. Rasa bersalah yang amat dalam. Dia menunduk.

Tanpa suara, putraku melangkah menjauh, melepaskan tanganku dari bajunya. Dengan susah payah, ia berlutut di depan Irsyad.

"Maafkan Kala ... Ayah."

Ketika rasa bersalah dan rasa sakit itu kembali, tubuhku langsung ditarik.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro