22. Rakyan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Dugaanku benar. Rakyan terluka.

Darah biru gelap mengalir di dekatnya, menetes dan membasahi lantai, bersama dengan ceceran darah dari Yaksha lain yang tergeletak, tidak lagi bergerak. Dengan lentera di tangan, aku menerangi bagian yang terluka dari tubuhnya dan berlutut mendekat. Aku mencondongkan badan dengan hati-hati dan tanpa suara, berusaha untuk tidak lagi terperangkap masalah sementara aku mengatasi yang ini.

Kedengaran mudah, karena tidak ada Yaksha lagi yang hidup di sini dan aku sudah menutup semua tirai yang mungkin akan mengungkapkan keberadaan kami.

Tapi tugasku tidak semakin mudah dengan tangan yang tiba-tiba datang mencekik leherku. Dan sepasang mata merah yang berpendar di dalam gelap, menatap tepat ke arahku dengan sorot yang tidak ramah.

"Mau apa kau?" Rakyan bertanya dengan suara yang sama tidak ramahnya seperti wajahnya.

Suara yang mirip seperti Purusha langsung membuat nyali dalam diriku ciut. Tapi aku berusaha tetap tidak gentar di hadapannya. Dan tetap memandang ke arah matanya yang berpendar. Mata dengan iris tegak lurus seperti jarum ... seperti binatang.

"Kau terluka," ujarku, berusaha tetap tenang di hadapan tangannya yang dapat mematahkan leherku dalam satu kali percobaan. "Aku hanya berusaha sedang membantu."

"Pergi."

Rakyan mengempasku ke dinding. Tubuhku membentur jasad Yaksha yang tergeletak.Lentera di tanganku bergetar, Kristal apinya jatuh. Aku segera meraih lampu itu dan membetulkannya sebelum Kristal api itu membakar segalanya.

"Kau menolak bantuan? Sungguh?" Aku terbatuk. "Di saat bantuan itu datang kepadamu Cuma-Cuma?"

Terdengar suara cemoohan. Di bawah sinar lilin, wajah mencemooh Rakyan tampak temaram. Dan sekali lagi aku heran.

Dia benar-benar hampir tidak ada bedanya dengan manusia. Jika bukan karena tanduknya, kedua lengannya yang hitam legam, dan mata merahnya, dia benar-benar tidak ada bedanya dari manusia berusia di pertengahan dua puluh tahunan.

"Dan kau berharap aku percaya bantuanmu Cuma-Cuma, Manusia?" Dan ada sesuatu yang familier yang terus mengusikku soal suaranya. Sayang, benakku seperti terbentur tembok. "Di saat tangan dan kemampuan anehmu itu hampir membunuhku?"

Aku melihat ke tanganku sendiri, masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Apa itu Maladies, kenapa mereka muncul, apa kaitannya dengan perjanjian yang sering disebut-sebut para Yaksha? Perjanjian untuk membuat dunia ini menjadi milik mereka?

Masih ada banyak pertanyaan, tapi aku tidak bisa mencari tahu itu sekarang. Semua itu bukan tujuanku.

Tujuanku hanya ingin menemukan Kala.

"Kau ini sebenarnya apa?" Rakyan kembali bertanya. "Manusia yang ditugaskan untuk menghancurkan kami?"

"Kau sendiri?" Aku menatap Rakyan sekali lagi dan berdiri tegap. Siap kembali menghampirinya. "Kau berwujud terlalu seperti manusia."

Rakyan lantas memalingkan muka dan di sanalah aku membeku. Gestur dan caranya memalingkan muka ke sebelah kanan, rasanya pernah aku lihat.

"Bukan urusanmu." Suara itu seperti bergema dalam kepalaku. Dalam tubuhku. Tapi bukan dari Maladies di tubuhku.

Itu suara yang lain. Seperti suara sebuah ingatan.

Bukan urusan Ibu.

Seketika itu juga aku mengingatnya. Kapan dan dari siapa aku pernah mendengar suara itu. Suara Rakyan mungkin bergema. Mungkin sedikit lebih berat, tapi jika aku mengesampingkan semua hal itu, semuanya ... jika aku melihat lebih dekat....

Tanpa sadar, aku telah mengambil langkah pertama. Langkah yang sebenarnya tidak berapa jauh. Tapi dengan tubuhku yang entah kenapa terasa lebih berat dan lebih sakit untuk digerakkan, langkahku tentu saja mengundang perhatian Rakyan dengan mudah. Dia langsung menghunuskan cakarnya lagi, hendak meraihku.

"Kau sendiri sebenarnya apa?"

Cakar itu tepat berhenti di depan wajahku. Membeku di sana. Aku menghindar dengan mudah. Rakyan bahkan tidak repot mengejarku lagi. Dia hanya membeku di tempat, memandang kosong ke arah lentera yang aku pegang. Sumber cahaya di antara kami.

"Kau tidak terasa seperti Purusha," ujarku. "Dan penampilanmu tidak seperti Yaksha lainnya. Kau ini ... sebenarnya apa, Rakyan?"

"Jangan seenaknya memanggil namaku, Manusia!" Dengan tangannya, Rakyan menamparku. Untungnya, tidak dengan kekuatan penuh. Tangan kananku berhasil meraih tangannya sebelum tangan itu kembali melemparkanku ke ujung lain ruangan.

"Kita tidak punya waktu untuk saling berdebat, kan?" Aku mengingatkan. Kemudian aku mengangkat tangan kiri, menggigit lengan baju sampai sobek, dan menarik kain dari sana.

"Apa yang kau—

"Mengobatimu," ujarku, menukasnya. "Setidaknya itu yang bisa aku lakukan agar kita impas."

Rakyan mendelik, masih tampak tidak percaya padaku. Tapi aku mengulurkan kain di tangan sebagai tanda kalau aku bisa dipercaya.

"Kalau kau tidak mau aku mengobatimu, kau bisa mengobati lukamu sendiri?"

Rakyan mencoba menggerakkan tangannya yang lain, meraih handuk itu, tapi ia lantas menarik dengan cepat cakarnya. Luka parah di perutnya tampak mengalirkan darah sekali lagi. Aku lantas mengalihkan penerangan ke lorong di dekat kami. Ada suara tetesan air dari sana.

"Aku akan segera kembali."

***

Tidak sulit menemukan sumber air. Kolam kecil tempat aku mandi dulu, masih ada sisa-sisa air di sana.

"Dia tidak pernah menunjukkan sisi itu kepadaku."

Aku menoleh dengan kaget, mengarahkan lenteraku ke satu sudut tempat datangnya suara itu. Meski kenal suara itu, tetap saja mendengarnya langsung tepat di belakang adalah perkara lain.

Sosok Suvia yang diterangi cahaya tampak tembus pandang. Sosoknya sedikit memudar dan tidak lagi memadat seperti sebelumnya. Tapi wajah yang biasanya menyeringai itu kini tampak murung. Wajahnya menggelap dan aku rasa aku tahu apa sebabnya.

"Kau tahu ... rahasia itu?"

Suvia menggeleng. "Tidak sampai tadi." Dia mendebas. "Itu menjawab semua tingkah aneh Tuan Rakyan selama ini."

Tingkah aneh. Aku kemudian ingat sesuatu. "Kau bilang ... kau menyebarkan rumor dan Rakyan pantas diusir dari kota ini."

Suvia terdiam. Sosoknya bak nyala lilin yang berpendar.

"Jadi yang terkuat bukan berarti menjadi yang terhormat," ujarnya. "Tuan Purusha pun begitu. Beliau menguasai kota ini, tapi orang-orang yang tidak puas atau yang sekadar memang tidak menyukainya, mulai mendorong Tuan Rakyan untuk menyaingi Purusha."

"Tapi Rakyan ada di dekat Purusha."

"Untuk membuat Tuan Purusha percaya, dirinya tidak terpengaruh semua rumor itu dan tetap setia," Suvia tertawa sinis. "Tuan Rakyan tidak seserakah penyelamatnya."

Aku mengernyit. Penyelamat?

"Saat orang-orang sadar Tuan Rakyan tidak bisa dijadikan pion, mereka mulai memutar rumor." Suvia tersenyum semakin sinis. "Dan aku menyetir rumor itu semakin liar."

Mulutku membuka, ingin bertanya, tapi lantas aku ingat sifat alami makhluk ini. "Karena kau memakan ingatan buruk, ya?"

Suvia melirikku dengan tatapan sinis yang sama. "Tuan Rakyan memiliki banyak ingatan buruk. Kebanyakan buram dan aku tidak bisa membacanya, tapi sensasi yang ditinggalkannya cukup mengenyangkan."

Aku mengernyit jijik. "Kau seperti parasit."

Suvia tertawa. Tangannya turun, memperlihatkan lubang yang mengaga di perutnya. Cacat dalam sosoknya. Lubang itu semakin lebar. Sosok Suvia semakin aku sadari, semakin pudar wujudnya.

"Banyak yang menjuluki kami seperti itu sejak dahulu kala, Manusia. Jangan tersinggung, tapi kau bukan yang pertama," Suvia lenyap lalu muncul di sisiku. "Kurasa sejak dulu Leannan Sidhe memang tidak pernah jauh dari nama buruk."

Leannan Si?

"Dan kau membuatku bisa mengetahui kenapa emosi dan kenangan negative yang banyak bisa ada di tubuh Tuan Rakyan," Suvia melirik ke arah lorong tempatku datang. "Dia biasanya akan membiarkan yang lain mati begitu saja. Tidak pernah menempatkan dirinya ke dalam risiko. Tapi untukmu, dia berani menerjang semua itu. Kau pikir kenapa itu bisa terjadi?"

Kami berdua terdiam.

"Aneh sekali bukan?" Tanpa sengaja, kami berdua bicara dalam saat yang sama. Tapi tidak ada di antara kami yang tertawa. Yang ada malahan, kami semakin terdiam. "Padahal kami baru saja bertemu dan dia selalu memperlakukanku dengan kasar."

Suvia tidak mengatakan apa pun, tapi diamnya dia sudah cukup sebagai pembenaran atas kata-kataku.

"Aku tidak tahu banyak soal dia, sekalipun sudah satu tahun tinggal bersama," Suvia mengaku. "Tidak ada yang tahu, sampai seorang Manusia datang. Lucu sekali."

Sosok Suvia memudar di dekatku dan dia pun lenyap. Meninggalkanku sendiri di ruangan yang gelap itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro