28. A Broken Promise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kekuatannya yang besar meledak. Aku berpegangan pada salah satu reruntuhan dan duduk merendah, mencegah ikut terbawa oleh gelombang kejut yang diciptakan oleh ledakan kekuatna itu. Miasma menyelubungi udara, membuat Maladiesku seperti meledak.

Yaksha-yaksha di sekeliling kami ikut berlari

Aku ikut menjerit kesakitan saat ledakan kekuatan itu menghantam sekeliling. Sesuatu meraih tubuhku dan aku tidak terkejut saat mendapati Kala sudah ada di samping, berpegangan pada salah satu reruntuhan dan melindungiku.

"Kala!"

"Sudah aku bilang jangan panggil aku dengan—

Kala tiba-tiba mengernyit kesakitan. Aku menunduk dan mengetahui penyebabnya.

Tangan kananku yang ia pegang.

Tangan kananku merespons semua miasma yang tersebar di udara. Tangan yang semula sudah terpotong itu, tumbuh lagi dalam keadaan yang tidak wajar. Bentuk yang keluar dari sana seperti pohon dengan terlalu banyak ranting dan bunga yang mencuat. Tangan kiriku yang mulai terinfeksi pun menunjukkan gejala yang sama. Keluar kuncup bunga putih dari sana.

"Kala, lepas—

Tapi Kala tidak menjawab. Dia tidak pula melepaskan tangan kananku.

Serbuk keemasan dari bunga di tanganku memenuhi udara dan menghapus aroma miasma. Maladies di tubuhku berhenti berdenyut sakit, tapi dia tidak begitu saja hilang, karena tangan kiriku justru semakin parah.

"Pembohong! Pembohong! Mereka berbohong! Kalian semua sama seperti para Manusia yang pembohong!" Purusha menjerit. "Ini tidak sesuai perjanjian! Seharusnya kami menguasai bumi ini setelah semua manusia terinfeksi, tapi kenapa?! Kenapa malah muncul lagi mereka yang menghalangi setelah kerja keras kami selama in?!"

Aku tertegun oleh luapan kemarahan itu. Bukan karena aku iba, tapi lebih karena tidak percaya, sebegini besar kekuatan Yaksha Alfa. Para Yaksha di sekeliling kami berlari ketakutan. Mereka menjerit. Purusha lantas menolehkan kepala ke arah sekumpulan Yaksha yang lari tunggang langgang menjauhinya. Namun terlambat. Kabut-kabut hitam dari tubuh Purusha menjerta mereka seperti akar menjerat pepohonan di sekeliling.

Seluruh Yaksha itu menjerit dan sebuah pemandangan mengerikan pun tersaji di depan mataku.

Para Yaksha menjerit kesakitan. Miasma dari tubuh mereka menguar kuat hingga aku harus menutup mulut dengan kain dan menahan napas. Biasanya miasma akan memancar ketika Yaksha dalam keadaan segar dan prima. Tapi kali ini miasma muncul dari tubuh para Yaksha yang semakin lama semakin kurus. Tulang-tulang mereka terlihat, jeritan mereka semakin memekakkan telinga.

"T-tuan Purusha! Kenapa....?"

Aku bukan orang yang bersimpati pada Yaksha. Mereka sudah lebih dari menghancurkan hidupku dan dunia ini, tapi nurani tidak pernah bisa aku bohongi. Pemandangan ini jauh lebih mengerikan dari yang aku prediksi.

Aku menatap pusat dari semua penderitaan itu. Ketika para Yaksha di sekelilingnya semakin kurus dan tidak lagi bergerak, tubuh-tubuh mereka berubah menjadi tulang belulang dan tulang belulang berubah menjadi ranting dan pohon yang kering, sosok Yaksha di hadapanku malah semakin besar dan memancarkan miasma yang semakin kuat.

Miasma yang didapatkannya dari para Yaksha yang lain.

"Bagaimana bisa kau melakukannya?" tanyaku dengan suara serupa gumaman. Aku tidak berharap akan didengar, apalagi dijawab olehnya.

Tapi Purusha menoleh ke arahku.

"Ah, Manusia...." Ia menghunuskan tangannya yang bercakar. Ukuran tangan itu lima kali lebih besar dari ukuran normalnya, penuh otot, dan lima cakar hitam yang sebesar batang pohon. "Kau mau tahu bagaimana aku bisa melakukan hal luar biasa ini? Mudah saja, mereka bawahanku. Mereka wajib mengorbankan diri untukku. Sebuah kehormatan bagi mereka—

"Aku tidak peduli bagaimana dan akan jadi apa kau nanti, Yaksha," Aku menukas, mengundang delikan marah dari Purusha, tapi aku tidak peduli. "Aku hanya penasaran kenapa ... kau bisa melakukan hal sekeji ini kepada para Yaksha yang tinggal denganmu. Bukankah kau seharusnya melindungi mereka?"

Purusha menyeringai. Ia tertawa. "Kau terlalu naif, Manusia." Ia mengepalkan tangan. "Jangan menyamakan moral kami dengan moralmu yang dangkal itu!"

Purusha menerjang, siap membunuhku dalam sekali serangan.

"Kau tidak lagi bimbang?" Pertanyaan itu sekali lagi berdengung di kepalaku. Tapi kali ini aku tidak menolaknya. Aku tersenyum menyambutnya.

Ya, aku tidak lagi bimbang.

Maladies di dalam tubuhku berdenyut sekali lagi. Tapi kali ini aku tidak merasakan kesakitan. Sebaliknya, aku merasakan tenaga meluap-luap di dalam tubuhku. Menunduk, aku merasakan sesuatu terjadi pada tangan kananku.

Sesuatu bertumbuh di sana. Tanpa rasa sakit. Tanpa darah.

Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mengacungkan tangan kanan yang belum seberapa sempurna itu ke arah Purusha. Beradu langsung dengan tinjunya. Teriakan bersahutan di udara. Rasa pahit-manis miasma tidak lagi menggumpal di lidah atau bibirku. Sesaknya tidka lagi menyakitiku. Sebaliknya, semakin banyak miasma yang aku serap dalam setiap helaan napas, semakin terasa mantap pijakanku dan kuat tanganku.

Kain yang menutupi mulutku sudah lama turun, membiarkan wajahku sepenuhnya terekspos miasma dalam jarak dekat dengan Purusha. Normalnya, itu akan membunuhku pelan-pelan.

Tapi kini aku bisa menahan tinjunya hanya dengan satu tangan.

Maladies itu sebenarnya apa? Di tengah pertarungan, pertanyaan itu masih sempat muncul di benakku, memecahkan kesunyian di tengah waktu dan segalanya yang terasa melambat seketika. Yaksha itu sebenarnya apa?

Apa penyebab semua ini terjadi?

Apa perjanjian yang selalu saja mereka sebut-sebut?

Ranting-ranting itu bermunculan dari tanganku. Bunga-bunga putih yang tidak aku kenal namanya itu bermunculan di lenganku. Tinju Purusha retak oleh kekuatanku. Purusha tampak kesal.

"Manusia!"

Tapi aku melupakan fakta kalau dia bisa menumbuhkan empat lengan yang lain. Dua dari empat lengan itu menyerangku dari bawah. Dari titik buta yang luput dari pengawasanku.

Aku sudah siap untuk mundur, tapi di kakiku, tangan-tangan miasma yang tadi membunuh para Yaksha sudah melilit. Kedua kakiku lemas dan tidak bisa bergerak. Saat itu, aku hampir bisa melhat masa lalu melintas di depan mata.

Tapi masa lalu itu terhalang sebuah bayangan pekat yang menahan dua tangan Purusha sekaligus.

Kala sekali lagi melindungiku. Dengan tubuhnya yang terluka. Dengan dua tinju, dia mengenyahkan empat tangan Purusha yang hendak menyrangku. Lukanya semakin parah, tapi Kala masih dapat berdiri tegak.

"Kala, lukamu—

"Sudah aku bilang, berhenti memanggilku dengan nama asing itu," tukasnya. "Aku Rakyan. Aku tidak kenal kau atau nama yang kau sebutkan sedari tadi itu."

Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan. Ada banyak hal yang perlu aku mintai maaf darinya, tapi kami tidak pernah punya waktu untuk itu. Karena aku membuang semuanya. Karena aku terlalu bodoh untuk menyadari apa yang paling berharga bagiku. Sekarang aku harus menanggung risikonya.

"Kau ... seharusnya aku tidak menyelamatkanmu hari itu!" Purusha membelalak ke arah Kala. "Seharusnya kau kubiarkan saja dimakan para Yaksha!"

Kala tidak terguncang. "Ya, mungkin seharusnya memang begitu, Tuan Purusha."

Purusha menggertakkan gigi. Energi miasma darinya semakin menjadi. Aku menunduk ketika menyadari bunga-bunga tumbuh pula dari tangan kiriku. Keduanya mengusir miasma pergi dari kedua kakiku. Secara ajaib, aku bisa kembali bergerak.

"Kau ... manusia laknat!" Purusha sekarang mendelik ke arahku. "Itu kau, kan?! Kau manusia murni itu, kan? Kau berpura-pura terinfeksi tapi menghancurkan kami secara perlahan!"

Aku mendecih. "Aku tidak paham omongan gilamu!"

"Kalian seharusnya terinfeksi sampai mati! Kalian seharusnya tidak ada lagi! Sejak kalpataru mengorbankan akar-akarnya untuk kehidupan dan miasma muncul, seharusnya kalian semua terinfeksi miasma. Tidak ada lagi dari kalian yang bersih!" Aku mengernyit mendengar omongan Purusha. Kalpataru? Apa itu?

Kemudian otakku bekerja.

Apa mungkin ... dia sedang menyebutkan perjanjian yang ia maksud?

"Benar." Suara dalam kepalaku menyahut. Dan aku membelalak.

***

Segala hal di sekelilingku berubah putih seketika. Aku hanya sendirian. Tidak ada Kala. Tidak ada Purusha. Hanya ada diriku seorang.

"Perjanjian dari bumi kepada angin dan angin kepada benih," Suara itu berkata lagi. "Di atas akar Kalpataru, dua kehidupan akan silih berganti."

Aku mencoba bicara, tapi mulutku tidak bida digunakan.

"Kami mengizinkan miasma muncul sebagai janji kepada tanah. Dan tanah membiarkan membiarkan Manusia singgah sebagai perjanjian dengan benih," Suara itu berkata. "Jika benih sudah tiada, Yaksha bebas berkuasa."

Benih? Apa maksudnya ... Manusia murni? Apa pula maksudnya manusia murni itu? Maksudnya ... manusia yang tidak terinfeksi miasma? Memangnya ada manusia seperti itu?

"Benih masih ada. Yaksha tidak bisa berkuasa sampai benih terakhir binasa." Suara itu berkata lagi. "Selama benih ada, perlawanan akan ada."

Perlawanan?

Aku langsung melihat kedua tanganku. Di sini, kedua tanganku utuh dan tidak terinfeksi. Meski pakaianku masih sama kotor seperti yang aku ingat, semuanya tidak lagi cacat. Aku bisa mengepalkan tangan dengan kuat dan berdiri dengan tegap.

Aku tidak lagi bimbang.

Perlawanan.

Sekarang semuanya masuk akal. Aku adalah perlawanan itu. Aku adalah anomaly, seperti yang dikatakan oleh Purusha. Aku menghancurkannya. Aku tidak seperti manusia terinfeksi yang bisa menjadi makanan Yaksha. Aku justru bisa menghancurkan mereka.

Aku tidak seharusnya ada.

Karena jika aku ada, artinya akan terus ada manusia lain sepertiku yang muncul. Manusia yang bisa menentang para Yaksha.

Karena ada benih yang masih terjaga. Di suatu tempat di dunai ini, ada manusia yang belum terinfeksi miasma. Manusia murni.

Sebuah harapan bagi Manusia. Harapan bagi bumi yang lama. Aku tersenyum. Sekarang aku memahami semuanya.

Dan aku siap menerima apa pun risikonya

***

Segalanya di sekelilingku kembali. Aku kembali berhadapan dengan Purusha dan Kala kembali ada di hadapanku. Tapi aku sadar, aku tidak kembali dengan tekad yang sama seperti sebelumnya.

"Seharusnya tidak ada yang dapat membunuh kami!" Purusha kembali mengulangi ucapan itu. "Seharusnya semuanya mendukung ekosistem kami dan menghancurkan ekosistem manusia seperti kalian! Tapi kenapa .... Kenapa manusia terinfeksi sepertimu...!"

Aku mengepalkan tangan. Merasakan kekuatan menggebu-gebu dalam darahku. Kedua kakiku mberpijak mantap ke tanah dan kedua tanganku yang baru mengeras, mengepal seperti tinju.

"Maaf, Tuan Purusha," ujarku yakin. "Tapi kekuasaanmu mungkin harus berakhir di sini."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro