30. The End of The Beginning

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita itu hanya bisa melihat warna putih di sekelilingnya. Tidak ada silau cahaya, tidak ada terik yang menyengat. Tidak ada pula langit kelabu abadi yang tampak sedih senantiasa dan suram. Ia dapat bernapas dengan lancar, bergerak dengan leluasa.

Dan tersenyum tanpa rasa bersalah.

Wanita itu terus berjalan dalam cahaya yang hangat itu, meniti jalan tidak terlihat yang ada di bawah kakinya. Jalan tanpa ujung, tanpa pembatas, tapi dengan sennag hati ia lalui, hanya untuk menemui orang yang ada di depan sana.

Pria itu menoleh ke arahnya, tersenyum lembut. Seperti yang ia ingat dahulu kala, di hari-hari sebelum mimpi buruk itu terjadi.

Mimpi burukkah itu?

Ia sendiri tidak yakin, tapi sekarang, semua telah selesai. Ia telah melepaskan semua beban yang ada. Dan ia mampu menyambut pria itu dengan seulas senyuman.

"Lama menunggu?" Dayu menyapa.

Irsyad menggeleng. "Tidak selama penantianmu di sisi lain sana." Pria itu lantas mengulurkan tangan. "Siap untuk pergi?"

Dayu melihat sekeliling mereka, tidak melihat ada sesuatu apa pun yang menanti mereka. Tidak ada yang menahannya. Tidak ada yang menghalangi mereka. Semuanya terasa bebas. Lepas dan bersih. Tapi pertanyaan-pertanyaan akan muncul di selembar kertas putih:

Dengan apa mereka akan pergi? Ke mana Irsyad akan membawanya? Semua pertanyaan itu bergulir dalam kepalanya tanpa henti, sementara kesunyian dan warna putih di sekelilingnya tidak memudar sedikit pun.

"Kau masih mengkhawatirkan Kala?"

Kala, namam itu membuat sang wanita tertegun. Terdiam. Sebutir air mata meleleh turun di pipinya. Ia mengingat semuanya sekarang. Ia mengingat pula nama itu dan kali terakhir mereka bertemu.

Namun kini tidak ada rasa bersalah. Ada sekelumit penyesalan, tapi tidak ada beban yang memberatkan kakinya.

"Sedikit," Dayu mengakui dengan jujur, tapi tetap meraih tangan Irsyad tanpa ragu. "Kala mewarisi sifat pemalumu ... dan kepala batuku."

Dayu membalas senyum Irsyad, menoleh terakhir kalinya ke belakang dan tidak melihat apa pun selain cahaya putih di sana.

Seperti kata Irsyad, urusannya sudah selesai. Semua kewajiban, semua keinginannya, telah tercapai, kecuali satu hal: menemani putranya lebih lama.

Tapi ia rasa, memang hanya sampai sinilah batas tubuhnya dapat bertahan. Dia tidak bisa memaksakan keberuntungannya lebih dari ini. Dia dan tubuh fananya, hanya sanggup meminta maaf.

"Kau sudah melewati banyak hal." Irsyad merangkulnya. "Dan kau benar-benar wanita kuat. Kala mewarisi sifatmu itu dengan baik."

Dayu bersandar ke pelukan suaminya, menikmati setiap momen. Entah kapan terakhir kali ia bisa bersandar di pundak orang lain dan tidak menjadi sandaran bagi siapa pun. Ia sudah lupa betapa nyamannya punya punggung yang menopangnya. Baru sadar, betapa selama ini ia sangat kesepian berjuang sendiri.

Setetes air mata Dayu mengalir, mewakili setiap kesedihan yang ia pendam selama ini. "Aku belum meminta maaf kepadamu."

Irsyad memeluk Dayu. "Setiap Manusia pasti berbuat salah."

Dayu menggeleng. "Tapi karena keteledoranku, kau meninggal ... dengan cara yang amat tragis."

"Apa yang menimpaku ... jangan sampai menimpa keluarga kita yang lain ... kau memastikan itu dengan baik, Dayu." Irsyad melepas rangkulannya, dan menangkup wajah Dayu. Tersenyum lembut. Sorot matanya penuh akan pengharapan. "Bagi mereka yang masih hidup, akan selalu ada harapan."

Dayu menoleh sekali lagi ke arah putih yang tidak terbatas di sekeliling mereka, membayangkan anaknya yang tidak lagi bisa ia lihat.

"Apa dia akan baik-baik saja seorang diri?"

"Dia akan baik-baik saja." Irsyad meyakinkan, menggenggam tangan Dayu untuk menguatkannya. "Dia putra kita."

Dayu memejamkan mata, mengingat semua hal yang telah mereka lalui, dirinya lalui, dan mungkin telah Kala lalui seorang diri. Dia sudah menyaksikan sendiri betapa kuat Kala sekarang. Dia mungkin bukannya tidak terkalahkan, tapi pasti dia akan bertahan. Jika melawan Purusha saja sanggup, dunia ini seharusnya bukan tantangan baginya.

"Benar, dia memang sangat kuat," Dayu tersenyum, melepaskan beban terakhirnya ke dunia. "Dia putra kita."

Kemudian semuanya ditelan cahaya putih yang hangat.

***

Waktu berjalan dalam cara yang misterius. Kadangkala terasa lambat. Bunga yang kehausan menanti hujan, pada akhirnya mati karena tidak sanggup menahan dahaga meski baru satu hari berlalu. Namun tanah yang menantikan hadirnya tuan yang baru, menanti dalam waktu yang terasa sangat cepat.

Hari berubah ke bulan dan bulan berubah ke tahun, selama itu pula rotasi kehidupan di bumi seolah kembali bergerak setelah beberapa puluh tahun berhenti di kekuasaan Yaksha. Namun di tengah semua roda kehidupan yang bergerak, akan ada seseorang yang tetap setia pada porosnya sekalipun sudah lama menanti.

Poros itu tetap berdiam. Waktu baginya telah berhenti. Dirinya senantiasa diam di kota yang telah lama mati itu, seorang diri. Menanti di bawa naungan pohon Jaksi ibunya yang semakin lama semakin besar. Berbunga semakin banyak, merekah dengan bunga yang semakin harum.

Miasma menyingkir dari tanah itu sejak lama. Para yaksha yang keracunan karena sedikitnya miasma di udara pun memilih menyingkir, membuang semua harta benda mereka di kota yang telah ditinggalkan itu.

Purusha tinggal nama, baik kota maupun Yakshanya sendiri. Ibukota para Yaksha dipindah, dengan benteng lebih tinggi dan lebih sulit ditembus. Dia juga mendengar, kekuasaan para Yaksha goyah karena salah satu Yaksha tertua meninggal di tangan seorang Manusia.

Mereka yang tadinya menikmati kebebasan, sekarang mengurung diri sekali lagi. Seperti di masa lampau.

"Kalau kau mau di sini sampai busuk, aku tidak akan menghalangi," Suvia mengucapkan salam perpisahannya untuk kali terakhir dengan pahit. "Tapi aku akan hidup di tempat lain, hidup dan menjalani kehidupan yang jauh lebih baik dari kota yang telah jadi bangkai ini."

Tapi ia memilih menyendiri dan hanya datang ketika miasma pekat dan bunga itu tertahan harumnya. Hanya di malam-malam itu, sang yaksha merasa layak untuk mengunjungi pohon jaksi besar itu, sekadar untuk menatapnya, berlutut dan menunduk di hadapannya. Entah memanjatkan apa dan kepada siapa.

Hingga pada suatu hari, ketika miasma sedang pekat, dunia kembali berguncang sekali lagi.

Rakyan terbangun dari tidurnya ketika diciumnya aroma bunga jaksi semerbak menyebar. Dinding di atas kepalanya runtuh. Miasma yang menutupi tubuhnya sedikit memudar karena aroma semerbak bunga itu, tapi ia tetap bangun dna keluar dari kediamannya. Sekadar memeriksa keadaan di luar. Perasaannya tidak enak.

Dan dugaannya tidak sepenuhnya salah.

Di depan bunga jaksi ibunya yang tengah merekah, seseorang sedang duduk di sana. Seseorang yang terluka. Aroma darahnya menguar dengan kuat dan Rakyan langsung tahu makhluk berjubah itu adalah manusia. Ukurannya yang kecil dan tangan yang tidak segan ditunjukkannya tanpa penutup, menjawab semua pertanyaannya.

Hanya itu yang dibutuhkan oleh Rakyan.

"Pergi," geramnya. "Pergi dari sana. Manusia!"

Namun Manusia itu bergeming.

"Aku tidak akan pergi!" Suara seorang wanita. Dan ia bicara dalam bahasa Yaksha. Rakyan terperanjat. Dirinya terbawa ke masa lalu, ketika seseorang pernah mengatakan hal yang sama kepadanya. Dengan tekad yang sama. "Aku butuh bunga ini!"

"Tidak ada yang boleh menyentuh bunga itu!" Rakyan menghunuskan cakarnya. "Terlebih Manusia yang terinfeksi."

"Aku tidak terinfeksi!" Manusia itu lantas membuka tudungnya, memperlihatkan rambut panjang, wajah putih, dan sepasang mata kelam yang membara oleh tekad. Dari wajahnya yang bersih tanpa ada tanda-tanda infeksi Maladies, dia memang berkata jujur. "Aku Manusia yang tidak terinfeksi!"

Pikiran Rakyan mencoba meyakinkannya bahwa tidak mungkin ada Manusia yang tidak terinfeksi, tapi inderanya memang tidak mencium aroma Maladies dari gadis itu. Tidak sedikit pun.

Malahan, aromanya yang aneh membuat liurnya menetes. Aroma lezat yang telah lama tidak ia cium. Baru kali ini ia cium dari seorang Manusia. Aroma segar seperti daging yang dipotong segar. Dan membuatnya sangat kelaparan.

"Aku bersumpah demi nama yang diberikan oleh Ibuku, aku tidak akan merusak tanaman ini lebih dari yang seharusnya," Gadis itu berkata lagi. "Kau bisa pegang namaku, Tuan Yaksha. Kau bisa memburuku kalau memang aku melanggar kata-kata ini."

"Namamu?"

"Kiyari." Gadis itu berkata dengan teguh. "Namaku Kiyari, Tuan Yaksha."

Dan satu kisah pun bergulir kembali.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro