7. The Day I Lost My Hope

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terbangun dalam kondisi kacau balau. Di tempat yang tidak aku kenali, Irsyad terduduk dengan dagu menempel ke dadanya, entah tertidur ataukah tidak sadarkan diri. Aku mengamati sekeliling: sebuah ruangan yang hanya bisa aku pikirkan sebagai bangsal darurat dengan hanya infus yang tergantung di tiang yang bahkan bukan tiang infus, tidak ada kardiograf. Bahkan tidak ada ruang rawat bersih, hanya ada ruang rawat penuh puing yang lantai dan jendelanya telah hilang sebagian entah ke mana.

Kemudian aku ingat semua akar dan pohon itu. Semuanya masuk mendadak ke dalam kepalaku hingga aku sesak napas dan gelisah secara tiba-tiba.

Rasanya ada yang hilang. Aku memandang sekeliling, mengedarkan pandan,g mengabaikan kepala yang sakit dan berdentam-dentam. Ada yang seharusnya di sisiku.

"Ir-syad?" Aku mencoba bangun, hendak mengecek apakah dia masih hidup atau tidak.

Saat berdiri, aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku menunduk, melihat perutku yang rata. Ada rasa sakit di sana, tapi aku bahkan tidak terfokus pada rasa sakit itu sekarang. Aku lantas menengok ke sampingku, merasa aneh dan janggal pada kasur kotor yang terlalu lebar di sisiku.

Ada sesuatu yang hilang. Ada sesuatu yang seharusnya di sini, tapi sekarang tidak ada.

"Dayuh?" Suara itu mengagetkanku. Irsyad telah terbangun dan langsung memelukku. "Syukurlah! Syukurlah kamu selamat!"

"Ir-syad...." Pelukan suamiku tidak terasa lembut. Tidak ketika rasa sakit dan bingung menghantam tubuh dan pikiranku berkali-kali, bergantian. "Apa yang ... ada yang hilang ... tubuhku rasanya ringan ... bayi kita ...." Kemudian aku mengingatnya. "Azka...."

Ketika nama itu keluar dari mulutku, kenangan saat anak itu terbaring dalam jangkauan tanganku, tapi tidak bisa aku raih, datang menghantam kepalaku dengan palu-godam. Tanganku meremas kemeja Irsyad yang ketika aku sadari, berlumuran cairan coklat karat dengan aroma besi menempel kuat di bajunya. Ini noda darah yang sudah kering.

"Irsyad ... ke mana ... ke mana Azka...." Aku mencoba melepaskan dekapan suamiku, tapi dekapan itu justru semakin erat. "Di mana Azka?!" Aku meraung sekarang, terutama ketika ingat anak itu berdarah. Sebuah akar menikam dadanya dan perutku. "Di mana anak kita?!"

"Dia sudah tidak ada, Dayuh!"

Kalimat itu bagai vonis hukuman mati. Tanganku yang sebelumnya mendekap Irsyad, mencoba melepaskannya, terjatuh begitu saja dengan lunglai ke udara, ketika makna dari kata-kata itu menyerap masuk ke dalam kepala dan pikiranku.

Hilang. Tidak ada.

Ranjangku kosong tanpa ada Azka di sisiku karena dia sudah tiada. Karena aku sudah gagal melindunginya. Aku gaga melindungi anakku sendiri.

"Aku ... ibu tidak berguna...."

"Tidak, itu tidak benar, Dayuh!" Irsyad naik ke atas ranjang. "Kamu sudah berusaha. Kamu juga terluka..."

"Dia ada di jangkauan tanganku, Irsyad ... sedikit lagi dan ... dia bisa aku gapai...." Aku menggumam, seiring dengan air mata yang jatuh ke pipi. Ke atas kemeja Irsyad, membangkitkan kembali aroma darah dari percikan itu. "Aku bisa saja melepas seatbelt-nya ... dan membawanya...."

"Tidak, kamu tidak bisa. Kamu terluka, Dayuh. Kamu hampir saja kehilangan nyawamu...."

Hampir. Tapi aku tetap saja selamat, kan? Yang tidak selamat justru anakku. Justru mereka yang harusnya punya harapan hidup paling banyaklah yang pergi.

Kenapa?

Kenapa bukan aku yang sudah usang ini saja yang pergi? Aku yang sudah berumur inilah yang pantas untuk pergi. Bukan anak yang baru saja melihat dunia seperti Azka. Dia tidak berdosa. Akulah yang berdosa. Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawaku saja? Kenapa akar-akar itu tidak membunuhku sekalian agar aku bisa bersama Azka?

Agar aku menjadi ibu berguna yang bisa melindungi putraku ... setidaknya ada di sisinya ketika kematian menjemputnya?

***

Irsyad membawaku ke kamar jenazah saat kondisiku sudah tenang. Di sana, terbaring ratusan, bahkan ribuan kantung jenazah. Beberapa yang tidak beruntung, tidak dimasukkan ke kantung jenazah dan dibungkus kain seadanya.

Kantung jenazah telah lama habis, kata Irsyad. Putra kami adalah salah satu yang beruntung mendapatkan kantung jenazah.

Beruntung mendapatkan kantung jenazah. Kalimat itu terdengar optimis untuk sesuatu yang salah. Apanya yang untung dari mendapatkan kantung jenazah? Apanya yang untung jika Azka tidak selamat? Aku menjeritkan kata-kata itu selama berjam-jam lamanya, menumpahkan tangisan sampai aku puas di ruang jenazah bersama ratusan orang lain yang selamat, menangisi saudara dan keluarga mereka yang telah mati.

Di sebelahku, seorang ibu memeluk sepotong tangan dari anak kecil yang aku kira adalah anaknya. Seketika itu juga, aku memejamkan mata. Aku tidak mau merasa beruntung. Aku tidak mau merasa bersyukur. Tidak hanya di atas penderitaan orang lain, tapi juga kematian anakku. Itu terasa salah. Sangat salah.

***

Seusai pemakaman, Irsyad memberitahu aku sudah tertidur selama tiga hari lamanya. Aku berada di ambang hidup dan mati dengan peralatan Rumah Sakit yang tidak lagi bisa dipakai dan hanya tiang-tiang infus yang tersisa. Irsyad sudah tidak tahu harus berbuat apa ketika dokter yang menanganiku juga mati diserang para monster dari kabut dan para perawat banyak yang tewas, entah karena kelelahan, bunuh diri, atau dibunuh oleh para monster dari kabut itu.

"Yaksha." Irsyad menyebut nama itu. "Makhluk-makhluk itu memanggil nama mereka sendiri dengan Yaksha."

Yaksha. Aku tidak pernah mendengarnya, tapi namanya terdengar seperti nama sanskerta yang pernah aku pelajari dulu di SMA. Tapi karena aku masuk jurusan IPA, aku tidak memahami apa pun soal itu. Apalagi setelah berhenti dari pekerjaanku sebagai admin kantor pos dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.

Berlainan dengan Irsyad yang masih mengajar bahasa dan Geografi di SMA Swasta. Dia tahu sedikit seluk beluk makhluk itu, meski tidak yakin informasinya akurat.

"Info soal mereka ada di berbagai literature dari masa ke masa. Mereka muncul sejak masa Manusia belum ada. Mereka hidup di dunia yang berbeda dari kita, terpisah sejak peristiwa pengadukan samudera. Tapi .... Semua itu seharusnya hanya mitos."

Irsyad mengatakan kata terakhir itu dengan putus asa. Dia sama terguncangnya seperti aku. Sama syoknya. Aku pun tidak percaya dengan semua penjelasannya.

Pengadukan samudera? Dunia yang terbagi? Yaksha? Apa itu?

"Kenapa .... Mereka di sini?"

Irsyad menggeleng. "Aku juga tidak tahu."

Aku bersikeras untuk melihat keadaan di luar, meski Irsyad melarangku. Tidak ada yang aku lakukan selain berbaring. Para suster pun tidak ada yang datang. Tidak ada lagi. Hari kelima aku di sini, semua suster telah pergi. Semua pasien yang masih bisa bergerak pun pergi. Tidak ada yang sudi untuk tinggal tak terawatt di bangunan ini.

Mereka punya alasan bagus, tentu saja.

Monster-monster bernama yaksha itu mungkin saja akan kembali dan entah melakukan apa kepada mereka. Para perawat itu juga tentunya mementingkan nyawa sendiri dan nawa keluarga mereka yang entah bagaimana nasibnya, daripada nyawa orang lain yang tidak dikenal.

"Telepon?" Aku bertanya dan Irsyad menggeleng.

"Sudah tidak aktif sejak hari itu. Begitu pula dengan internet," ujarnya muram. "Air dan listrik juga. Kami harus menimbanya sendiri dari kolam terdekat. Tapi terlalu banyak Yaksha di dekat perairan."

"Di air juga?" Aku berkata tidak percaya dan tidak lama setelah itu, terdengar kaokan nyaring yang tidak aku kenal di luar.

Kaokan itu jelas bukan dari burung kakaktua.

Irsyad tersenyum miris pada ketakutanku. Ia lantas mengeluarkan sesuatu dari kolong ranjangku. Sebuah shotgun.

"Udara, air, daratan. Semua dipenuhi oleh mereka dalam satu malam, Dayuh," ujar Irsyad dengan nada getir. "Kau belum lihat malam hari. Semua amunisi nyaris habis di malam pertama. Mereka tidak kenal lelah."

Makhluk yang tidak kenal lelah saja sudah membuatku ngeri, apalagi ketika dia bilang amunisi kami menipis. Artinya senjata yang bisa menahan mereka tinggal senjata jarak dekat.

"Jumlah mereka ... banyak?"

"Lebih dari yang kau bisa bayangkan."

Aku mengelus perutku yang rata. Tidak terasa apa-apa di sana, tapi Irysad bilang, terakhir kali dokter memeriksanya, kandunganku selamat, meski tidak menutup kemungkinan akan adanya kecacatan saat kelahirannya atau risiko atas kesehatanku sendiri. Dengan tidak adanya yang memeriksa kehamilan ini, entah apa yang akan menanti di dunia ini nanti.

Aku menitikkan air mata. Sungguh berat dunia tempatmu akan lahir nanti, Nak. Padahal kamu belum lahir.

Semua duka itu menggiringku kepada deretan pertanyaan penting: kenapa ini semua ini terjadi? Apa itu Yaksha? Kenapa mereka datang? Apa tujuan mereka? Dan pertanyaan yang lebih besar adalah:

Apa penyebab semua bencana ini?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro