9. Dumped

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cakar tidak terlihat menggaruk pikiranku, mengais dan mengupas semua yang dapat disentuhnya. Memori dan emosiku, semua digalinya, entah untuk dikenali atau dirampas.

Aku takut pada kemungkinan yang kedua.

Tapi aku tidak punya daya. Di dalam alam bawah sadarku sendiri, cakar-cakar itu tidak terjangkau. Mereka bergerak terlalu jauh untuk ditelusuri, terlalu transparan untuk digenggam.

"Jangan bercanda."

Sebuah suara terdengar di samping telingaku. Kemudian sebuah tangan putih pucat menggenggam tangan kananku, mengangkatnya ke udara yang kosong. Ke tengah kegelapan.

"Kau bisa meraihnya. Kau tahu kau bisa." Suara itu lantas berubah menjadi bisikan. "Kau tahu aku ada di sini. Aku bisa membantumu, Dayuh. Asal kau mengakuiku."

"Kau sudah melalui banyak hal, ya." Sebuah suara lembut bergema dalam kepalaku. "Perlihatkan lagi kepadaku apa yang telah kau lalui. Mungkin aku bisa membantumu."

Mungkin. Sebuah janji. Sebuah kemungkinan.

Bukankah itu yang aku butuhkan? Sebuah kemungkinan di kota Purusha? Sebuah harapan jika putraku selamat dan baik-baik saja?

"Dia ingin merampas semuanya darimu, Dayuh. Dia ingin memeriksamu." Suara lembut itu berubah dingin. "Aku bisa memberimu kekuatan."

Kekuatan. Aku memang membutuhkannya. Aku butuh kekuatan untuk membawa putraku kembali, melintasi kota penuh monster dan bertahan hidup dari mereka, lalu pulang membawa putraku, pulang ke rumah; di mana pun tempat kami bisa bersama.

Kalian berdua berisik sekali.

Tapi aku tidak butuh bantuan siapa pun untuk melakukannya.

Aku menyembunyikan ingatanku semakin dalam, mendorong kesadaranku sebagai gantinya untuk diraih oleh tangan-tangan itu. Beruntung, cakar itu tidak sepintar yang aku duga. Kesadaran dan memori tidak bisa ia bedakan.

Aku tidak sudi ingatanku dilihat apalagi dicuri oleh siapa pun. Aku tidak akan membiarkannya.

Aku menggenggam balik cakar-cakar itu, menariknya dan menjadikannya akar tumpuan untuk kembali ke kenyataan.

Tapi aku juga tidak sudi memakai kekuatan orang lain untuk meraih tujuan itu.

Di balik alam sadarku, jauh di tempat yang tidak mungkin diraih, di sudut pikiranku, dia ada di sana. Bersembunyi. Menjalar tanpa bisa aku hentikan, sembari bersmebunyi agar tidak ketahuan.

Aku menangkapnya. Maladies itu. Tangan imajinerku mencengkamnya kuat-kuat dan menahannya.

Kala adalah putraku! Aku sendirilah yang akan menyelamatkannya!

Maladies itu sirna. Pergi. Bersamaan dengan pulihnya cahaya di sekelilingku. Kegelapan menyingkir dan aku kembali ke alam nyata dan terbatuk-batuk. Tapi tidak sebelum aku mendengar lantunan peringatan lembut itu di telingaku:

"Apa kau yakin anakmu sudi diselamatkan olehmu?"

Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk ketakutan atau merespons suara Maladies itu. Napasku yang baru pulih sibuk terbatuk-batuk meraup semua udara yang hilang, sementara kepalaku sakit seperti dihantam palu-godam.

Tangan-tangan dingin sebeku es di kanan dan kiriku menjauh. Aku menengok liar ke kanan dan kiri, bersiap untuk menghindar jika tangan-tangan itu hendak menyentuhku lagi, tapi alih-alih ia semakin mundur.

"Tidak buruk." Suara yang bergema itu kembali dan aku pun menengok ke depan. Sosok itu melangkah mundur, tidak sedikit pun memalingkan pandangannya dariku ketika kembali ke kursinya yang lebih mirip singgasana. "Pikirannya masih berfungsi dengan baik, tapi dia tidak jauh berbeda dari barang lelang yang lain."

Purusha menoleh ke gadis di sebelahnya. "Menurutmu Rakyan mulai rabun matanya?"

Gadis asap itu terkikik. "Melihatnya sampai melakukan kesalahan konyol seperti ini, ya, aku berani jamin matanya sudah mulai teracuni miasma."

"Tu-tuan Purusha, aku berani jamin dia bernilai lebih dari yang terlihat." Roksha. Tampak panik tiba-tiba "Dia ... dia bisa dimakan dan berasal langsung dari perburuan—

Raksasa itu tidak sempat meneruskan kata-katanya. Mulut, berikut rahang, kepala, dan seluruh otaknya keburu berceceran ke tanah. Ke baju dan wajahku. Memuntahkan darah hijau beraroma seperti kayu yang busuk. Tubuhnya jatuh tidak bergerak, mengotori lantai, sebelum menguap seketika menjadi akar dan pohon yang hidup dan menyusup ke dalam lantai, menyatu dengan bagian rumah ini. Menyisakan hanya noda darahnya yang menggenangi lantai.

Aku menelan asam lambung dan sisa dari apa pun yang ada di perutku kembali. Sudah berkali-kali melihat dan aku masih belum terbiasa dengan pembunuhan seperti ini.

Dengan napas terengah karena lelah menelan muntah, aku menatap sosok yang tampak seperti Manusia normal dengan hanya tinggi yang agak berlebihan di hadapanku. Dia baru saja meledakkan kepala seorang Raksasa bahkan tanpa menyentuhnya.

Kekuatan macam apa itu? Aku baru kali ini melihat kekuatan seperti itu.

Inikah ... Purusha? Penguasa kota terbesar kaum Yaksha?

"Aku benci sekali dituduh keliru." Purusha melirik Rumya. "Mau menyusul Roksha?"

"Ti-tidak, Tuan Purusha...." Potong kupingku, apa tadi Rumya, raksasa yang sempat ingin merebusku, bergetar suaranya? Seperti anak kecil yang ketakutan dimarahi.

"Nah, kalau begitu obrolan kita selesai sampai di sini," ujarnya. "Aku tidak butuh sesuatu yang tidak sempurna."

Rumya menatapku dan menatap Purusha balik. Dia tampak tidak paham. "A-Aku boleh memakannya, Tuan?"

Purusha menyeringai, memperlihatkan sekali lagi deretan taringnya yang bagaikan pisau. "Kenapa tidak?"

Rumya pelan-pelan tertawa dan ketika aku meliriknya, raksasa itu sudah menatap langit-langit, terbuai akan khayalan mengerikan di dalam kepalanya—khayalan yang tidak ingin aku ketahui—sambil air liurnya menetes-netes.

"Makan malam lezat...."

Suara tawa lantas bergema di tengah ruangan itu. Kepalaku menengok tepat ke awah gadis berwujud asap itu. Dialah yang tertawa. Memamerkan gigi geliginya yang diisi oleh taring, gadis itu menyeringai tepat ke arahku.

"Perempuan malang ... tidak jadi barang lelang." Gadis asap itu melambai-lambai. "Selamat menikmati makan malam, Nona Manusia."

Tidak jadi barang lelang? Aku yang Manusia ini?

"Apa yang kau tunggu, Rumya?" Purusha bertanya lagi. Kali ini ia bahkan tidak melirikku. "Segeralah pergi sebelum aku berubah pikiran dan merampas manusia itu jadi barang lelang."

Rumya dengan kikuk mengangguk. Gerakannya yang ceroboh membuat kandang tempatku berada berguncang lebih hebat. Raksasa itu segera pergi dari ruangan tempat Purusha berada. Tapi aku yang masih kebingungan dan penasaran pun menoleh, menatap sosok yang menyerupai manusia itu dan gadis asap di sisinya. Keduanya sama-sama menyeringai keji; sebuah salam perpisahan tanpa belas kasih, persis seperti orang yang sedang menikmati penderitaanmu.

Tapi mereka tidak menikmati penderitaanku untuk mereka sendiri. Aku diberikan kepada raksasa ini, bukan sebagai barang lelang, tapi sebagai makanan. Meski aku ... tidak sepenuhnya tertelan Maladies.

Ada apa ini sebenarnya?

***

Sekeluarnya dari rumah itu dan kembali ke pasar, Rumya berjalan dengan riang. Langkahnya ringan dan bahkan ia melompat-lompat sembari bernyanyi sepanjang jalan. Aku yang lega karena lepas dari ruangan itu dan miasma yang pekat, harus berkutat dengan rasa mual yang baru saat kandang tempatku berada, diguncang hebat.

"Makan malam! Makan malam enak! Kira-kira menu apa yang akan aku buat malam ini ya?" Rumya bergumam di sela nyanyiannya. Tidak jauh berbeda dari Manusia saat kegirangan.

Eh? Tidak, tunggu, apa yang aku pikirkan?! Kenapa aku menyamakan makhluk ini dengan Manusia?!

Sosok Purusha kembali melintas di benakkud an seketika aku menyalahkannya. Pasti karena aku bertemu dengan sosok yang menyerupai Manusia itu, makanya otakku jadi kacau.

Tapi memang, baru kali ini aku melihat sosok yang menyerupai Manusia di kota Yaksha. Dan makhluk-makhluk ini menghormatinya. Siapa sebenarnya Purusha itu? Jelas dia bukan manusia. Tangan dan kemampuannya ... itu sama sekali bukan milik manusia.

Selain itu, kenapa dia membebaskanku? Menjadikanku makanan untuk Raksasa ini secara gratis? Tanpa dijadikan barang lelang? Tanpa dijual kembali?

"Aku tidak butuh objek yang tidak berguna."

Jantungku mencelus. Déjà vu menyerangku. Kata-kata yang tidak ingin aku ingat itu bergema, bangkit perlahan dari sudut tergelap hatiku. Sensasi apa ini? Kenapa ... rasanya aku pernah menghadapi ini?

Dadaku dibekap rasa sesak lagi. Aku menengok ke arah kamboja merah yang memerangkapku. Bunga itu tidak lagi begitu berpengaruh dengan adrenalin yang berpacu kencang dalam darahku.

Apa sebenarnya tujuan Purusha itu?

Apa sebenarnya dia?

Lengah akan pertanyaan-pertanyaan itu, Maladies dalam darahku bergemuruh.

Benar juga. Bbukan saatnya memikirkan itu. Ada hal lain yang harus aku pikirkan. Seperti bagaimana caranya kabur dari sini.

Aku melirik Bunga Kamboja merah di tangan kananku dan maladies yang sudah menyebar di seluruh lenganku.

Mungkin aku punya ide.

***

A/N:

Kalau dilihat emang banyak banget typo ya. Hahaha

Maap, saya lupa peringatkan, akan ada banyak typo dan salah ketik di karya ini karena karya ini adalah first draft dari apa yang saya kerjakan. Harap maklum dan terima kasih untuk pointernya bagi setiap kesalahan ketik dan autokorek dari Word yang kalian temukan. Saya sangat terbantu

Terima kasih.

See you next chap

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro