Janjiku Kini

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo, Mahesa. Apa kabar kamu sekarang? Ah, aku pikir aku tidak perlu menanyakannya lagi karena kamu pun sudah terlihat baik. Bahkan lebih baik dari terakhir kali kita bertemu.

Tidak banyak yang aku ingat malam itu. Atau barangkali aku yang enggan untuk mengingat setiap detiknya. Kendati tentu saja rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Cukup aku ingat garis besarnya saja, bahwa ternyata kamu memang tidak menginginkanku sebanyak aku menginginkanmu.

Kamu bilang bahwa kamu tidak sebaik itu, kamu bilang bahwa kamu tidak bisa memberikan apa yang aku mau yang mana itu adalah hubungan tentang dua pihak yang saling berjuang satu sama lain. Aku masih bisa menerimanya. Jika alasanmu hanya itu, aku bisa kembali membujukmu dan menyadarkanmu bahwa ada satu hati yang tulus mencintaimu di sini. Dan kita punya alasan untuk bersama.

Sungguh kamu tidak perlu hal-hal yang mahal untuk membuatku bahagia. Kamu tidak perlu menyewa pesawat pribadi ataupun memesan satu tempat duduk di sebuah restoran mahal untuk kita makan malam romantis. Mahesa, aku juga perempuan yang realistis. Aku tahu bahwa kita berdua hanyalah orang biasa yang tidak mampu melakukan hal-hal fantastis.

Kamu sering membawaku ke tempat-tempat yang sederhana. Hanya memutar-mutar Yogyakarta, duduk di Malioboro dengan makanan yang masing-masing kita beli dengan uang sendiri, katamu hanya ingin menyegarkan pikiran lantaran pusing dengan tumpukan angka di kampus, jangan juga lupakan perkara es krim yang sering kita nikmati bersama di depan minimarket. Setelah itu, malam berlalu begitu saja dengan semua obrolan yang jauh dari kata penting dan serius.

Tapi, sungguh. Hanya begitu saja aku bahagia.

Aku senang ketika kamu membawaku keliling kota. Tidak dengan mobil mewah, tapi dengan motor matic milikmu atau milikku. Menikmati bagaimana angin semilir menyinggahi kita dengan pemandangan gemerlapnya lampu dan suara dengungan motor yang menjadi pengantar untuk kita. Saat itu tidak lupa kamu atau aku akan menyenandungkan sebuah lagu yang sedang kita dengar akhir-akhir itu. Ataupun bagaimana kamu menceritakan tentang keluargamu di rumah, tentang adik-adikmu yang sangat kamu kasihi dan kamu banggakan.

Saat itu juga, kamu tidak luput menanyakan bagaimana kondisiku.

"Dingin, Ru?" begitu tanyamu dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Jika pun aku menggeleng, kamu tetap tidak peduli. Melepas jaket kelabu milikmu untuk dipakaikan pada tubuhku.

Tidak berhenti sampai sana. Saat aku sedang bercerita pun, kamu selalu memasang atensi penuh akan setiap kata yang aku ucapkan. Memberikan saran dan masukan jika itu dibutuhkan atau hanya menanggapi seperlunya. Membuatku merasa dihargai, dimengerti, dan dipahami.

"Paham, Ru." ― adalah satu kata khas yang kamu sampaikan setiap kali aku selesai bercerita. Saat itu aku tidak bisa untuk tidak merasa lega. Terutama saat sampai di beberapa waktu di mana aku tidak bisa menjelaskan dengan detail tentang apa yang aku rasakan. Kamu lekas berkata 'paham' membuatku spontan merasa lega lantaran ada yang memahami bagaimana perasaanku saat aku saja tidak tahu benar bagaimana cara menjelaskannya.

Sungguh itu benar-benar manis. Aku merasa senang sekaligus tersanjung di saat yang sama.

Belum selesai sampai di sana, kamu pun juga terkadang bercerita. Panjang lebar dengan ekspresi ragam yang kamu tampakkan. Terutama saat kamu sedang mencak-mencak kesal entah atas alasan apapun. Setelahnya, kamu akan langsung menuntut sesuatu dariku.

"Aruna paham, kan?"― yang mana di sini aku sudah merasa seperti murid yang dituntut menyimpulkan penjelasan yang baru saja di sampaikan oleh guru ketika sekolah dulu.

Namun, toh aku tetap menyahut, "Iya, Mahesa. Aku paham."

Sungguh aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalamu. Karena pada dasarnya aku memang sesederhana itu. Aku bahagia, Sa. Atas setiap detik yang telah kita lewati. Atas setiap cerita-cerita yang tersampaikan. Dan atas setiap rasa yang perlahan hadir di antara kita, kendati mirisnya barangkali hanya aku satu-satunya yang merasa. Namun―ya, semua itu memang sangat amat berkesan untukku. Karena sesungguhnya, kebahagiaan tidak selamanya tentang materi, bukan?

Klasik. Pembacaku mungkin akan merasa terkejut. Seperti, kenapa cerita ini tiba-tiba saja berakhir? Atau, aku dan kamu bahkan baru saja memulai. Aku baru saja mencintai, dan kamu baru saja mulai membuka diri. Namun, aku juga orang realistis yang masih tahu diri. Melanjutkan cerita ini sama saja dengan menciptakan perih di hati.

Manakala sebuah nama itu terucap dari belah bibirmu. Saat itu pula aku pada akhirnya mengerti bahwa kita sudah usai. Tidak ada yang perlu dilanjutkan kendati kita pun belum pernah memulai. Aku bisa saja keras kepala. Memaksamu dan meyakinkanmu bahwa ada satu hati yang tulus mencinta daripada kamu yang harus melabuhkan hati ke orang yang sudah dimiliki hatinya. Kamu berharga, Lestari pun demikian. Kalian sama-sama sahabatku. Seperti halnya kamu yang tidak mau kehilanganku, seperti itulah aku tidak mau kehilangan kalian berdua.

Tapi, Sa. Aku masih cinta dengan diriku sendiri. Terlalu mencintaimu juga bisa semakin menyakitiku. Karena jauh di sana, setelah lamanya waktu yang aku minta untuk kamu berikan. Setelah lamanya masa yang aku minta tidak kamu ganggu semestanya. Selama itu pula aku belajar bahwa memang, jauh di sana masih ada hal yang harus aku capai. Mengesampingkan sejenak kisah cinta kita yang usai. Aku sadar bahwa nyatanya ada yang jauh lebih penting daripada sekadar kisah cinta ini, masa depanku.

Realistis. Itulah jalan yang aku pilih. Jika pada dasarnya kamu memang tidak menginginkanku, maka apa aku harus memaksa? Apa aku harus menuntut? Tidak. Karena aku tahu bahwa perasaanmu itu di luar kuasaku. Karena aku pun tahu bahwa menjadi satu-satunya pihak yang berjuang itu tentu saja menyakitkan dan membutuhkan lebih banyak usaha untuk itu. Sedang di rumah, ada ibu dan ayahku yang juga tengah menanti hasil dari usaha serta kerja kerasku selama ini.

Dan aku pun mencoba menerima bahwa ada beberapa hal yang memang tidak bisa dipaksakan. Seperti halnya kamu dan aku yang ... tidak bisa dipaksakan untuk menjadi kita.

"Bukan pelit, aku cuma mau realistis saja. Kamu dijadikan tokoh tapi nggak bawa untung kan sama saja aku yang rugi. Sudah capek-capek nulis nggak dapat bayaran."

"Dapat, Ru."

"Apa?"

"Ketenangan jiwa."

Mengingat kembali perbincangan kita malam itu. Aku tersenyum simpul sembari bersyukur dalam hati. Terimakasih ya, Sa karena telah menyarankan hal tersebut. Karena kamu memang benar. Menuliskanmu itu, sekalipun tidak mendapatkan biaya mahal setidaknya aku bisa mencurahkan perasaanku di sini. Memberitahukan rasa-rasa yang barangkali saja tidak tersampaikan baik dari kode-kode tersirat yang seringkali aku berikan.

Berhenti akan memperjuangkanmu, bukan berarti aku pun berhenti mencintai. Sekalipun aku berharap bahwa lebih baik begitu saja karena itu akan lebih mudah. Sungguh. Karena kamu tahu? Di beberapa waktu, ada saat-saat di mana perasaan ini tidak terkontrol dengan baik. Perasaan ini goyah di luar kuasaku. Sedang aku tidak memiliki pilihan lain, selain pergi dan menghindarimu yang merupakan opsi terbaik yang aku miliki.

"Aku hanya nggak mau kehilangan kamu, Aruna."

Maaf. Maaf beribu maaf karena aku tidak bisa dengan baik mengabulkan inginmu―tapi aku tetap berusaha, kok. Maaf karena aku yang terus menghilangkan presensi diri di hadapanmu. Maaf akan setiap tanggapan singkat atas pembicaraan hangat yang susah payah kamu bangun suasananya menjadi lebih baik. Maaf atas segala kecanggungan yang pada akhirnya terjadi di antara kita.

"Aruna?"

Aku tersentak saat sebuah panggilan dari tak asing tersebut menyapa. Suara berat dari pemuda yang seringkali aku rindukan. Seseorang yang ingin aku hilangkan presensinya dalam ingatan. Menyadarkan lamunanku yang sepertinya sudah berjalan cukup lama, bahkan mengabaikan roti serta cokelat panas yang tengah aku konsumsi sebagai sarapan pagi ini. Suara roda kereta api yang saling bersahutan saat bergesekan dengan rel panjang di sana. Serta panggilan yang menggema untuk beberapa penumpang, yang diakhiri dengan bunyi dari roda koper serta langkah kaki yang saling berlomba mencapai rungu.

Presensimu yang tengah ada dalam pikirku menjadi nyata. Bayangan yang mengambil fokusku beberapa bulan terakhir ini kini menjadi sebuah manifestasi daksa yang tengah mengambil tempat di sisiku. Menyapa dengan sorot sehangat mentari pagi ini dengan seulas senyum kotak yang aku rindukan.

"Mau pulang juga?" tanyamu.

Aku mengangguk pelan, "Ada acara keluarga. Mumpung libur," jawabku sekenanya. Namun, merasa tidak enak hati atas jawaban singkat itu, aku lantas balik bertanya, "Kamu sendiri ada urusan apa pulang?"

"Sama sepertimu," kamu tersenyum, menyandarkan badan di kursi tunggu dengan kaki yang diluruskan, "tapi hal yang paling tepat adalah aku mau liburan. Rindu sama adik-adik di rumah."

"Ku dengar Keenan sudah masuk kuliah, ya?"

Kamu mengangguk. Tersenyum dengan sebersit rasa bangga yang tersirat dari sorot matamu, "Dia masih menjadi adik yang nggak pernah mengecewakan kakaknya, Ru. Anak itu kuliah di sini juga. Katanya supaya menghemat biaya hidup. Mengingat keuangan keluarga kami baru saja membaik. Kemudian Leony―" ucapanmu terhenti tiba-tiba. Sedikit tercekat dan kamu terlihat salah tingkah. Tertawa canggung dengan tengkuk yang kamu usap, lantas kamu berujar, "Maaf, kenapa pembicaraannya jadi melenceng begini?"

Aku tertawa ringan. Mengibaskan tangan seolah itu bukan masalah besar. Tolong kesampingkan dulu bagaimana dadaku kembali berdebar dan aku yang tengah berusaha menahannya, "Nggak masalah. Sudah lama kita nggak bicara begini."

"Rasanya aneh, Ru," ucapmu, melirikku sejenak sebelum melanjut, "rasanya aneh karena kita tiba-tiba asing begini."

Aku memilih diam. Memalingkan wajah dengan jemari yang bergerak gusar. Detik setelahnya, kamu kembali melempar tanya, "Nyaris enam bulan, Ru. Sudah selama itu, apa kamu masih butuh waktu lebih lama lagi?"

Ya, berapapun lama waktunya sepertinya itu tidak akan pernah cukup.

Jawaban itu aku simpan dalam hati. Memilih mengulum bibir dan mematri senyum. Aku menatapmu, "Susah, ya? Sama. Aku juga di sini susah. Nyoba buat kembali lagi kayak dulu jatuhnya malah canggung. Jadi, aku juga bingung harus gimana."

"Aku juga ngerasanya gitu, kok," kamu mengangguk paham, "tapi nggak apa-apa. Kita bisa mulai lagi pelan-pelan. Kamu nggak perlu maksain diri. Ingat kan yang sudah kita bicarakan dulu-dulu?"

Aku mengangguk, "Nggak akan libatin perasaan apapun dalam pertemanan ini," ulangku akan percakapan beberapa bulan lalu. Pembicaraan serius dengan isi kepala yang sudah lebih baik dan bisa berpikir jernih.

Kamu mengangguk dengan satu tangan yang berada di puncak kepalaku, memberi tepukan lembut di sana, "Pintar. Kamu perempuan baik. Masih ada banyak yang harus kamu perjuangkan di luar sana," jeda sesaat dengan kamu yang menatap penuh arti, kamu melanjut, "banyak hal yang posisinya lebih penting dari pada kamu memperjuangkan aku, Aruna."

Aku mengangguk juga. Lantas, saat sebuah panggilan akan kereta yang akan aku tumpangi berkumandang. Setelah memastikannya untuk terakhir kali di tiket yang aku jejalkan dalam saku celana, aku bangkit. Membawa tas jinjing berisi beberapa potong baju dan buah tangan untuk orang di rumah. Pun setelahnya aku menggendong tas yang awalnya berada di pangkuan.

"Keretaku datang. Aku duluan, ya."

Kamu pun turut bangkit, maju satu langkah dan menarikku. Membawaku ke dalam rengkuhanmu dan memberi usapan lembut pada belakang kepalaku untuk beberapa detik. Lantas setelahnya melepasku dengan senyum yang tidak menghilang di sana.

"Hati-hati, ya. Aruna sahabatnya Mahesa."

Aku tertawa kecil, "Sampai jumpa, ya. Mahesa sahabatnya Aruna."

Pada akhirnya, setelah lambaian tangan dan pelukan yang mengakhiri perjumpaan kita. Aku berhasil masuk ke dalam salah satu gerbong dan mengambil tempat duduk sesuai dengan tiket yang ku pegang. Mengangkat sekuat tenaga tas jinjing bawaanku di bagasi atas. Setelahnya, aku mengambil tempat duduk samping jendela. Mengeluarkan ponsel dan menyumpal telingaku dengan earphone yang memutar lagu-lagu di salah satu playlist yang sudah lama tidak aku dengar sejak enam bulan yang lalu.

"My location unknown. Tryna find a way back home. To you again. I gotta get back to you. Gotta, gotta get back to you. My location unknown. Tryna find a way back home. To you again. I gotta get back to you. Gotta, gotta get back to you."

Aku melirik sekali lagi playlist yang sudah lama tak kusentuh. Menopang dagu dengan telapak tangan seraya memandang pemandangan yang berubah seiring dengan lajunya kereta. Lagu tersebut kembali berputar. Membawa setiap rasa di dalamnya bersama dengan fregmen-fregmen sisa ingatan malam itu.

Sialnya, aku kembali menangis.

Mataku menangkap sosokmu yang terlihat kecil melalui kaca bening kereta api ini. Sebelum berubah semakin kecil dan hilang dari jangkauan mata. Lagi-lagi, helaan napas berat itu terdengar. Kendati sudah melatih hati dan perasaan ini selama nyaris enam bulan lamanya, tapi memang kalau sudah susah ya susah. Menyerah itu memang bukan perkara yang mudah. Melepaskan pun tidak kalah sulitnya. Namun merelakan adalah tahap akhir dengan kadar kesulitan yang paling tinggi di sana.

Ya, kali ini aku sedang berusaha merelakanmu. Dengan mengakhiri sebuah kisah tentang kita―ralat, tentangmu. Menulis di lembar terakhir ini sebagai bentukku untuk menyembuhkan diri serta janji terakhirku padamu. Melepas kerinduan yang menggebu dan ingin dicurahkan dalam bentuk nyata. Melepas segala rasa sakit yang ingin dianggap kehadirannya. Serta menyalurkan afeksi yang dulu hanya aku sampaikan melalui kode-kode rahasia sederhana yang tidak kamu sadari. Dan buku ini adalah wujud dari itu semua.

Mahesa Renaldy. Lelaki yang masih menjadi pengisi hati Aruna Lilian bahkan hingga detik ini. Lelaki pemilik senyum kotak yang masih menjadi senyum favorit Aruna. Pemuda yang presensinya selalu dirindukan Aruna. Lelaki yang menciptakan kisah tentang malam-malam bermakna yang telah lalu.

Hari ini, aku berjanji. Bahwa ini adalah wujud terakhir kerinduanku padamu. Bahwa setelah ini, aku akan belajar untuk benar-benar melepasmu. Tidak akan kembali mengungkit tentangmu, karena hidupku pun harus berjalan. Seperti yang kamu bilang bahwa kita memiliki semesta milik kita masing-masing. Dan aku harus kembali menerima sebuah fakta pahit bahwa aku bukanlah semestamu.

Terimakasih, Mahesa. Atas semua yang terjadi di antara kita, dan aku pada akhirnya bisa menjadi sosok yang lebih dewasa. Serta untuk kisah cinta kita yang sama-sama tidak berakhir baik. Semoga kelak kita menemukan akhir yang bahagia untuk itu di semesta milik kita.

Kamu dengan semestamu.

Dan aku dengan semesta milikku.

Sesederhana itu.

Semoga kita selalu bahagia dengan akhir kita masing-masing.

Jadi, ini adalah janjiku kini, untuk tidak merindu lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro