8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia. 


 

Pencipta Wulan Benitobonita


Langit di luar lubang jelek bernama jendela tampak biru tanpa noda. Kicauan burung masuk ke pendengaran bocah cilik yang kini sedang duduk di kursi dalam sebuah ruangan penuh ornamen emas dan merah dan mendengarkan celotehan penuh informasi dari seorang wanita kpyang berdiri di hadapannya.

Seribu ruangan dan setiap kegunaannya merupakan informasi yang terlalu banyak dicerna oleh Malizande. Bocah perempuan itu bahkan hampir jatuh tertidur saat Mrs Peach, kepala pelayan, menceritakan kondisi kamar ke dua puluh empat yang terletak di lantai dasar.

"... kita menggunakannya untuk menimbun bahan makanan, Princessa."

Mata biru pelayan berusia 20 tahun itu tampak cerah. Darah campuran dari dua bangsa tercitra pada rambut kuning kemerahan yang terkonde rapi ataupun aksen yang mengingatkan Malizande akan negaranya sendiri.

"Saya rasa Princessa tidak tertarik mendengar jumlah tikus di kastel ini." 

Sindiran dari Madamme Lucie yang sengaja diucapkan memakai bahasa negara asalnya sukses membuat mata berair Malizande kembali fokus. Bocah itu melihat tatapan menghina pengasuh pribadinya ke arah kepala pelayan sebelum diam-diam menghela napas.

Lagi-lagi ….

Akan tetapi, sepertinya Madamme Lucie kali ini salah mencari lawan bertengkar. Mrs Peach yang juga fasih memakai bahasa ibu sang calon ratu, langsung menoleh ke arah rekan kerjanya dan memberikan tatapan tajam.

"Saya rasa Raja John saat menjadi tahanan di tempat ini tidak pernah keberatan mencicipi masakan dengan bahan-bahan makanan dari gudang itu."

Rahang Madamme Lucie sontak mengeras saat harus mengingat salah satu peristiwa sejarah yang mengisahkan mengenai kekalahan mereka. Dua ribu tentara habis dibantai dengan sang raja ditawan dan dijadikan sebagai bahan tebusan. 

"Mrs Peach, apakah ada perpustakaan?"

Syukurnya, pertanyaan Malizande berhasil mencairkan aura tidak nyaman yang semakin meningkat. Perhatian sang kepala pelayan beralih kepada bocah itu sebelum tersenyum lebar.

"His Majesty senang mengoleksi buku, Princessa. Beliau bahkan mengkhususkan tiga buah ruangan di sayap barat sebagai perpustakaan."

Gurat jenuh pada wajah belia Malizande berubah menjadi rasa tertarik. Bocah itu bangkit berdiri dan berkata, "Tunjukkan tempatnya."

Mrs. Peach menekuk lutut. Dia berjalan mundur untuk memberikan jarak agar Malizande dapat melangkah tanpa halangan.

"Baik, Princessa. Silakan berjalan lebih dulu. Saya akan memberitahukan lokasinya."

Malizande tidak berkomentar lagi. Kepala bocah itu mendongak. Dia kemudian melangkah secara hati-hati menuju salah satu tempat yang menarik hatinya.

*****

"Princessa."

Tiga orang pelayan laki-laki membungkuk dengan lengan kanan ditekuk di perut dan tangan kiri ditekuk pada punggung saat Malizande melangkahkan kaki ke dalam perpustakaan. Bibir Malizande tanpa sadar melengkung manis saat menghirup aroma kulit binatang, kulit kayu, batang gandum, dan kain yang merupakan bahan-bahan perkamen tercium di udara. Dia sangat suka membaca, bahkan dirinya menguasai secara pasif beberapa bahasa asing akibat kegemarannya ini. 

Seorang pelayan laki-laki yang berusia sekitar dua puluh tahun dan sepertinya merupakan kepala perpustakaan ikut mengekor di belakang sang calon ratu, sehingga kini jumlah rombongan bertambah satu. 

Kepala Malizande mendongak berulang kali saat dia melewati rak-rak kayu yang penuh dengan gulungan dari manca negara. Mata bocah itu bahkan berbinar senang saat menemukan setiap gulungan yang ada terawat dengan baik.

Lilin yang akan digunakan saat langit menggelap diletakkan pada titik-titik yang tepat, termasuk pada dinding dengan jarak teratur. Lubang jendela dijeruji sedemikian rupa hingga binatang perusak tidak dapat masuk dengan mudah. 

Tidak terlalu buruk untuk bangsa barbar.

Langkah Malizande terhenti di area ruang baca. Tiga buah meja kayu, kursi-kursi, berikut sofa tersusun rapi di dekat jendela, sehingga orang yang berada di sana dapat merasakan embusan angin dan sesekali menikmati pemandangan halaman belakang kastel dari lantai dua. 

Seorang pria berpakaian merah gelap yang duduk pada salah satu kursi pun bangkit berdiri saat melihat kehadiran rombongan kecil itu. Dia membungkuk sopan dan berkata dengan bahasa ibu Malizande secara fasih. "Bonjour, Princessa."

Malizande menilik bahan tunik selutut dan rimpel lebar yang melingkari leher pria itu dan membuat kesimpulan sementara. Pasti bukan pelayan. 

"Dengan siapa saya bicara, Monsiour?"

"Saya, Ode. His Majesty menugaskan saya untuk menjadi teman berdiskusi Princessa mengenai sejarah dan bahasa ...."

Seorang guru untukku?

"... saya berencana memperkenalkan diri esok hari, tetapi ternyata sebuah anugerah bahwa calon ratu negara ini memang memiliki rasa haus terhadap ilmu pengetahuan."

Rasa bangga membuat pipi Malizande terasa hangat. Bocah itu pun tanpa malu mengungkapkan didikan dari ibunya.

"Mere mewajibkan kami membaca sekurang-kurangnya satu perkarmen sehari."

"Dan, itu adalah kebiasaan yang sangat bagus, Princessa." Pujian lain dengan mudah meluncur dari bibir pria berusia 25 tahun itu. "Apa ada topik tertentu yang ingin Princessa ketahui?"

Malizande menimbang-nimbang. Kisah para malaikat selalu memiliki tempat tersendiri dalam hati gadis mungil itu. Namun, ada satu hal lain yang membuat dirinya penasaran hingga terbawa mimpi.

"Monsiour, saya tertarik mengetahui mengenai sejarah pembangunan jembatan."

"Jembatan, Princessa?" Kerut heran sontak tercipta pada kening Mister Ode. 

"His Majesty sempat menceritakan kepada saya mengenai asal usul pembangunan jembatan terpanjang di negara ini, tetapi saya heran …."

Ekspresi keraguan tercitra jelas pada wajah Malizande ketika bocah itu melanjutkan, "... bagaimana bisa sebutir telur dapat merekatkan seluruh batu yang digunakan untuk membangun jembatan?"

"Sebutir … te …." Mulut Mister Ode ternganga lebar. Dia terdiam selama beberapa detik, seakan mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya sebelum dengkus tawa meluncur dari bibirnya.

Pria itu berdeham untuk membersihkan tenggorokan, kemudian memasang tampang sekalem mungkin. "Memang banyak versi mengenai asal usul jembatan itu, Princessa, terlebih His Majesty sudah menguasai hampir seluruh pengetahuan di ruangan ini ketika berusia sebelas tahun ...."

Ah, ya. Dia diangkat menjadi raja saat baru sebelas tahun, sama seperti pere. Sepenggal informasi mengenai suaminya melintas dalam benak Malizande. 

"... Bagaimanapun saya lebih memahami versi sejarah yang tertulis pada salah satu perkarmen di sini. Apa Princessa ingin membacanya?"

"Ya, boleh." Malizande menoleh ke rombongan yang menemaninya dan berkata, "Tinggalkan kami."

Selain Madamme Lucie, peserta rombongan lainnya pun membungkuk hormat. Mereka berjalan mundur hingga hilang dari pandangan.

Bibir Mister Ode melengkung puas. Pria itu mundur tiga langkah sebelum berucap, "Silakan duduk, Princessa. Saya akan mencari perkamen-perkamen yang berhubungan dengan jembatan yang dimaksud."

"Merci, Monsieur." Malizande mengangguk kecil. Dia kemudian melangkah menuju kursi terdekat dari jendela dan menunggu pelajaran pertamanya.

24 Juli 2022

Wulan Benitobonita
 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro