Reason To Rebel: Anxiety

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua minggu lalu, akhirnya setelah puluhan tahun lulus aku kembali ke gedung sekolah ini. Aku jadi teringat waktu dulu SMP.

"Nggak jajan, teh?"

"Duluan aja," ujarku ramah pada temanku waktu itu.

Entah namanya siapa. Kuteruskan membaca ensiklopedia di depanku.

Sudah, sepertinya hanya itu yang kuingat. Masa SMP dan SMAku adalah masa terbaik dalam bidang akademik.

Seperti anakku, kebanyakan hal yang kulakukan di sekolah adalah belajar dan membaca buku. Duduk di pojok depan kelas dekat meja guru membuatku tidak perlu berinteraksi dengan banyak orang, hanya dengan guru. Untuk tugas kelompok, sering aku memberi kontribusi tetapi sayang sering tertutup gosip-gosip yang bersahutan dari sana-sini.

Dulu, obsesiku hanya satu.

Menjadi seorang pemimpin wanita seperti idolaku, R.A. Kartini. Bekerja keras sejak dini, meraih loncatan-loncatan prestasi.

Namun, sesuatu membangunkanku baru-baru ini. Tepatnya, setahun lalu.

"Sri Wulandari? Maaf tante, tidak terdaftar di data base alumni," ujar seorang anak SMP yang menjadi panitia reuni akbar sekolahku.

Mendengar hal itu, yang bisa kulakukan hanya tersenyum getir,"Oh, gitu ya?"

"Iya, tante."

"Jadi gimana?" tanyaku.

"Hmm, mohon maaf ya tante. Porsi paket makanan dan semuanya sudah pas dengan jumlah peserta reuni akbar. Oleh karena itu, kami belum bisa memberi akses masuk."

Dengan langkah berat dan senyum getir aku meninggalkan meja pendaftaran reuni. Almamater yang dulu mengagungkan dan menyebut namaku di setiap lomba dan pembagian raport kini melupakanku saat reuni. Harga diriku rasanya tercoreng. Baru kini aku tersadar, kertas penghargaan, medali, dan nilai cantik tidak ada apa-apanya. Aku tidak ingin Nara menjadi sepertiku. Karena aku tidak punya apa-apa.

....

Mengakui kesalahan adalah hal yang sulit bagiku, utamanya ketika ada di posisi seorang ibu. Banyak tuntutan moral yang ada utamanya dalam mengurusi anak, semua harus tampak sempurna, kadang untuk menyampaikan sesuatu kepada anak harus menempuh jalan lain misalnya dengan sarkasme. Akan tetapi, jalan yang kutempuh saat ini sepertinya salah.

"Nara, gimana sekolahnya hari ini?" sapaku kepada anak semata wayang yang baru pulang dari sekolahnya.

"Biasa," jawabnya datar sambil berlalu menuju ke kamarnya.

Baru kusadari ternyata ada jarak yang cukup jauh di antara aku dan anakku.

....

Sesampainya di kamar, Nara langsung meringkuk di kasurnya sambil menatap langit-langit kamarnya. Pemuda itu lelah dengan rutinitas yang menyita waktu juga tenaganya. Mulai dari subuh ia harus siap-siap sekolah dan beraktivitas hingga sore menjelang, disambung dengan berbagai kegiatan les yang harus disambanginya setiap hari. Kata mama sih banyak les baik untuk mempersiapkan masa depannya yang akan meneruskan usaha papa. Akan tetapi, semua itu tidak boleh memengaruhi akademiknya yang sempurna karena hidup lebih baik seperti angka satu yang terus lurus hidupnya. 

Kadang pemuda itu berpikir sebenarnya ia lahir dari rahim mama atau dicetak oleh pabrik, sih? Lebih baik Nara jadi manusia robot seperti di terminator kalau ia harus bisa memenuhi semua tuntutan mama dengan sempurna, tanpa protes, dan tidak membutuhkan afeksi.

"Nara," panggil mama sambil mengetuk pintu kamarnya.

Pemuda itu buru-buru melompat dari kasurnya dan membuka buku pelajaran, berusaha untuk belajar dan memusatkan diri dalam pembelajaran. Tak lama, mama membuka pintu kamar Nara dan berdiam sesaat. Sejak tragedi ketidakbanggaan mama di sekolah, pemuda itu menjadi was-was setiap saat utamanya ketika di rumah. Bangunan ini lebih cocok disebut istana rapunzel dibanding rumah rasanya, karena ia merasa kesepian dan memilih mendekam di kamar di rumah sebesar ini walaupun ramai dengan asisten rumah tangga serta entah kenapa ia selalu merasa gelisah terlebih ketika papa tidak ada di rumah. Kalau boleh pemuda itu memberikan kesan, papa adalah seorang laki-laki yang ia aspirasi dan cita-citakan. Beliau amat jarang marah atau menuntut Nara, misalnya ketika pemuda itu dipergoki papanya berusaha menyembunyikan nilai matematikanya yang hanya mendapatkan nilai 80 karena sehari sebelumnya ia kelelahan sehabis olimpiade bahasa asing, papanya hanya tertawa melihat perilaku anaknya dan berujar, "Udahlah, nak. Nilai itu cuma di atas kertas, papa percaya kok kemampuan kamu bernilai seratus tapi kita semua punya hari-hari yang buruk kan? Kesempurnaan hanya milik Tuhan, tanpa restunya kita bukan apa-apa, santai aja, bro."

Ketika Nara bertanya, "Papa, nggak akan marah?"

"Nggak ah, males. Kalo suka marah-marah nanti papa nggak ganteng lagi, cepet keriputan," jawab papanya sambil tertawa.

Sayangnya Papa hanya pulang setahun sekali karena berbisnis di Negeri Sakura sambil merawat obaa-sannya. Kalau berkontak biasanya pemuda itu menelepon via satu-satunya akun sosial media yang dimilikinya dan digunakan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu pada umumnya. Akan tetapi, pemuda itu juga tidak pernah menceritakan masalahnya karena sebelum ini Nara merasa hanya kelelahan biasa saja setiap ada tuntutan dari mama.

"Nara, makan nak," titah mama dari pintu kamar pemuda itu.

"Iya, sebentar ma."

"Udah jam sembilan."

"Nara makan sekarang," balas Nara sambil buru-buru membereskan bukunya dan mengikuti langkah mama turun ke lantai satu.

....

Di meja makan, mama dan Nara duduk bersebrangan. Hanya terdengar dentingan alat makan dan suara TV dari ruang keluarga yang belum dimatikan. Tidak ada interaksi antara ibu dan anak tersebut. Hawa canggung menggantung bahkan ibaratnya para asisten rumah tangga tidak berani mendekat saking pekatnya hawa tersebut seperti racun. Akan tetapi, keduanya seperti ingin mengucapkan sesuatu, hanya saja tercekat di tenggorokan dan kembali tertelan bersama makanan.

Keduanya dalam diam merasakan satu hal yang sama.

Anxiety




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro