Reason To Stay: Behind The Curtain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seminggu setelah Javin dilarang bersekolah.

"Javin!" seruku sambil menggedor-gedor pintu kamarnya.

Sekarang sudah pukul delapan dan anak itu terlihat belum bangun padahal hari ini banyak pesanan kue untuk di antar. Akhirnya kubuka pintu kamarnya dengan kunci cadangan yang kumiliki dan dia tidak ada di sana. Selimutnya sudah tersibak dan jendela kamarnya terbuka.

Ah, pasti dia ke sekolah dan mencari teman-temannya yang berandal itu.

.....

"Capek, gue bos seminggu ini kerjaan gue jadi kuli," ujar Javin sambil menghisap selinting kertas putih di tangan kanannya.

"Emang, lo ngapain sih?" tanya teman di depannya yang menghisap lintingan seperti milik Javin.

Ia mengembuskan asap putih dan menggaruk kepalanya frustrasi. Sudah seminggu kerjaannya hanya memotong sayur atau kadang-kadang mengaduk adonan bolu. Ditambah ia tidak diperbolehkan bersekolah.

Padahal, bersekolah membuatnya memiliki teman dan bisa belajar banyak hal baru. Membuka hal-hal yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Toh, nilainya tak pernah turun dan selalu terjaga di ranking menengah ke atas.

Apakah ini hukuman dari mama?

"Bro, jawab dong."

"Gue juga nggak ngerti kenapa bro, padahal semuanya fine-fine aja."

Ya, semuanya terlihat baik saja selama itu tersembunyi di balik tirai warung Bu Oom.

.....

"Bu, apakah Javin akan bersekolah dalam waktu dekat?" tanya wali kelas Javin.

Kebetulan pesanan kue hari ini salah satunya menuju ke sekolah Javin untuk konsumsi rapat guru. Mendengar pertanyaan itu, mama Javin hanya tersenyum simpul dan menjawab, "Keputusannya masih tiga minggu lagi."

Segera mama Javin meninggalkan ruang guru dan iseng melewati kelas Javin. Ternyata kelasnya kosong. Seperti sebuah lagu klasik, hal ini sepertinya umum terjadi saat rapat guru.

"Cari Javin, bu?" tanya seorang guru lain yang tidak mama Javin kenal.

Beliau hanya tersenyum mengiyakan. Kemudian guru itu berujar, "Paling kabur, bu. Biasa, anak IPA 6 mah suka begitu. Kalau anak cowok paling ke Warung Bu Oom."

"Oh, begitu, terima kasih ya bu."

Mama Javin jadi bingung, kalau memang ada kebiasaan yang salah mengapa dibiasakan? Dijadikan sesuatu yang umum. Aneh.

.....

"Mama, kok di sini?" bisik Javin seperti maling yang kedoknya terbuka saat melihat mamanya yang masuk ke Warung Bu Oom sambil membawa keranjang kuenya.

Buru-buru Javin matikan rokoknya padahal mamanya tidak memarahinya, tidak juga menegurnya walaupun sudah melihat satu sama lain. Kemudian beliau keluar seperti tidak ada apa-apa.

"Mama!" buru-buru Javin keluar dari tenda sambil menyapa mamanya.

"Eh, anakku tiba-tiba ada di sini!" balas mama dengan nada riang.

"Tadi pasti habis jalan pagi ya, nak?"  tanya mama.

Sementara Javin tidak bisa menjawab. "Ma, maaf," ujar Javin.

"Maaf, kenapa?" balas mama.

"Tadi mama lihat sendiri, kan?"

"Hmm, mama nggak minta kamu berhenti apalagi minta maaf. Kamu sudah 18 tahun, kan? Kalau kamu nggak berhenti juga nggak apa-apa bisa mengurangi populasi anak nakal di bumi. Mama bilang juga apa, mending kamu nggak usah sekolah biar nggak nakal."

"Ma," rajuk Javin.

"Udah ah, jangan manja. Ayo, bantuin nganter kue masih banyak." Mama menarik tangan Javin ke mobil, berusaha mengalihkan topik.

Javin kira mamanya tidak tahu. Ternyata Tuhan menunjukkan jalan agar mamanya tahu dan menyaksikan. Entah sekarang apa yang akan ia lakukan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro