ma.ni.pu.la.si: 06

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⭐Now playing: Sakha — Rendahkan Hati⭐

Saling mengenal dan selalu dibersamakan dalam organisasi yang sama selama dua tahun ini, tidak lantas membuat Zafira mengetahui semua tentang Hilwa seutuhnya. Pengamatan Zafira pun dibatasi oleh kenyataan bahwa mereka tinggal di kobong berbeda. Hilwa di Kobong Syam, Zafira di Madinah.

Frekuensi interaksi keduanya di kelas dan di Rohis pun tidak begitu sering. Kebanyakan hanya didasari adanya tugas kelompok atau program kerja yang melibatkan Hilwa dan Zafira. Cukup sampai di sana. Selebihnya, Hilwa sibuk dengan dirinya sendiri, dan Zafira tidak memiliki alasan untuk bercengkerama dengan teman sekelasnya itu.

Oh, baiklah. Zafira memang tidak memiliki teman yang benar-benar dekat, mengingat kepribadiannya yang hanya bertingkah seperlunya saja. Akan tetapi, tidak dengan anak Kobong Madinah lainnya. Rosi, Yasna, dan Nazifa. Ketiganya selalu merecoki Zafira, entah dengan menjahilinya, atau ogah-ogahan mengikuti jadwal kegiatan pesantren, yang otomatis membuat Zafira naik pitam dan lebih banyak angkat suara, meski hanya untuk mengomeli mereka.

Namun, semua itu tidak berlaku bagi Hilwa yang terbilang cukup pendiam. Hilwa adalah tipikal teman yang tenang dan tidak suka mencari masalah. Dia ramah pada semua orang, hingga tidak memiliki sahabat dekat, karena bagi Hilwa, semua yang dikenal adalah temannya. Benar. Semuanya teman. Tidak ada yang 'lebih' untuk dilabeli sebagai sahabat. Mungkin karena itulah Zafira seringkali melihatnya bagai orang kesepian.

Akan tetapi, dari berbagai fakta soal dinding transparan yang terbangun dalam diri Hilwa tersebut, baru sekarang Zafira melihat sisi Hilwa yang ini. Kedua alis tebalnya mengerut, membingkai kening yang mengernyit dalam. Manik cokelat madu itu menyorotkan kemarahan yang tidak bisa terungkap jelas. Sayu sekaligus membara. Sendu sekaligus tak terima. Tanpa sadar, Hilwa terus menggigiti bibirnya yang bergetar samar.

Iya. Hilwa memang pendiam sejak awal, tetapi aura yang dikeluarkannya kali ini tampak begitu berbeda. Zafira terdiam sejenak di posisinya, tepat di samping bangku Hilwa. Sudut mata Zafira melirik tangan Hilwa yang terkepal erat di atas paha. Rok abunya bahkan tampak diremas kuat, jadi kusut. Tatapan Hilwa terkunci pada permukaan meja, tetapi tidak menyadari Zafira yang terus mengamatinya dan memutuskan mendekat.

"Hil ... ada apa?"

Anak perempuan itu tersentak. Patah-patah, kepalanya menoleh untuk melihat Zafira. Seutas senyuman di bibir pucat itu terkembang lebar. Hilwa menggeleng-geleng. "Enggak. Enggak apa-apa, kok. Kenapa, Zaf?"

Balik bertanya ... itu adalah salah satu mekanisme pertahanan diri untuk tidak ditanyai, 'kan? Suatu trik yang sering Zafira jumpai. Jika tidak mau ditanyai lebih lanjut, pastikan kamu yang harus bertanya lebih dulu. Terkesan sangat tergesa dan ... seolah menyatakan bahwa dirinya memang terancam jika terus dilayangkan suatu pertanyaan oleh seseorang. Zafira berdeham, menarik kesimpulan. Ada sesuatu yang Hilwa sembunyikan.

Zafira bukanlah Nazifa yang bisa berbasa-basi hanya untuk membuat suasana sekitar lebih nyaman dan mencair. Tidak. Salah sekali jika mengharapkan hal semacam itu pada perempuan tanpa perasaan seperti Zafira. Setelah menyadari bahwa Hilwa tidak akan mau angkat bicara lebih lanjut lagi, Zafira pun menjawab singkat, "Tidak ada. Lupakan."

Di meja guru, Ustaz Zaki sudah berdeham lebih dari satu kali, mengisyaratkan sebuah teguran bahwa ini waktunya menghafal, bukan asyik berbincang. Zafira pun melanjutkan langkahnya ke bangku di baris kedua yang bersisian dengan dinding. Mari hilangkan berbagai pemikiran yang tidak bisa diusir belakangan ini dari benaknya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tak lama, Zafira sudah tenggelam dalam ayat-ayat cinta-Nya. Murajaah, lalu mengingat kembali yang sudah dihafalnya sejak pekan lalu untuk disetorkan pada Ustaz Zaki.

[ma.ni.pu.la.si]

Hari Senin yang cukup melelahkan. Sertijab, jabatan baru, program yang harus diurus, rapat yang terlalu lama, omelan Ustaz Zaki, memikirkan hal tidak penting seperti Hilwa yang tampak berbeda sewaktu kembali ke kelas ....

Duh. Energi Zafira terkuras habis, rasanya. Karena itulah, ia tertidur cepat malam ini, telanjur lelah dengan bising kepalanya yang tiada akhir. Siapa tahu ada secuil ketenangan yang bisa direngkuhnya, meski hanya di alam mimpi sekalipun. Sehabis salat isya, belajar, dan murajaah hafalan, Zafira langsung terlelap. Ponsel yang seharusnya diserahkan pada Ukhti sebelum jam sepuluh malam saja dititipkan pada Nazifa.

Pukul sebelas malam. Lampu di setiap kobong sudah dimatikan. Manik-manik kehidupan mulai terpejam. Begitu pula di Kobong Madinah. Yang terdengar hanyalah deru napas teratur. Senyap. Semua anak sudah menjelajahi alam mimpinya masing-masing. Akan tetapi, tidak dengan Nazifa. Kantuk sudah menyerangnya, mata cokelat terang itu ia tutup erat-erat, tetapi rasa mulas dari perut malah mencegahnya untuk terlelap.

Sudah menjelang tengah malam! Nazifa tidak bisa tidur kalau tidak segera melakukan pengeluaran. Duh. Kenapa pula alat pencernaannya malah bekerja pada larut malam begini? Biasanya juga pagi atau sore hari sebelum mengaji. Tak tahan lagi, mata Nazifa terbuka dalam gelap. Nazifa melongokkan kepala untuk mengintip Zafira yang tertidur nyenyak di kasur bawah. Pesantren ini memang menggunakan kasur tingkat.

"Pssst, Zaf!"

Tidak ada reaksi. Zafira mendengkur halus tanpa bergerak semili pun.

Sudah di ujung! Apa boleh buat. Nazifa langsung turun ke bawah, lalu mengguncangkan pundak saudara kembarnya. Tidak mau tahu, Zafira harus bangun! Terdengar erangan yang lolos dari bibir Zafira, sarat akan rasa terganggu. Mendapati kesadaran Zafira mulai berhasil dipaksa muncul, Nazifa pun berbisik, "Zafi, pengin eek! Antar, yuuuk! Aku takut."

Tanpa membuka mata, Zafira berusaha menjauhkan tangan Nazifa yang mencengkeram bahu. "Enggak. Sendiri aja. Yang penting, jangan lupa nyalain lampu kamar mandinya. Bawa senter, deh, buat nyari saklar. Sana."

"Ih, Zafi!" Tak terima begitu Zafira malah memunggunginya, Nazifa pun menabok-nabok punggung Zafira tiada henti. "Bentar doang! Enggak lama. Lima menit! Kalau lebih, Zafi pulang duluan. Antar ke kamar mandinya ajaaa!"

Kepala Zafira berdenyut sebal. Kalau hidup di dunia kartun, perempatan merah pasti timbul di keningnya saat ini. Merepotkan saja! Zafira pun mengalah, bangkit dari kasurnya yang nyaman. Dengan manik hitam legam yang tinggal dua watt, Zafira menggapai mukena yang memang disimpan di jangkauannya.

Kamar mandi khusus anak mes memang terpencil, karena itulah Nazifa tidak berani. Letaknya di kawasan perempuan, tidak akan ada laki-laki yang melintas, tetapi Zafira berjaga-jaga dengan mengenakan bagian atas mukena. Zafira berjalan di depan ketika melewati koridor yang lampunya menyala. Sesampainya di area kamar mandi perempuan, Zafira menggapai-gapai saklar lampu yang memang terletak di dalam bilik toiletnya.

Salah satu bilik itu menyala, mengusir gulita. Nazifa bersorak kecil, lalu masuk ke dalamnya dan mengunci pintu. "Zaf, tungguin, ya!" Tak lama, suara deras air keran pun terdengar. Tidak terlalu keras, tetapi cukup menenangkan.

Zafira diam saja, lantas menguap lebar. Matanya terasa lengket sekali. Demi mengalihkan rasa kantuk untuk tidak tidur dalam posisi berdiri seperti ini, Zafira pun mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebenarnya, hal yang membuat toilet perempuan jadi terpencil adalah letaknya di paling sudut kawasan pesantren, sekaligus adanya pagar besi yang menjadi sekat pemisah antara toilet dengan kawasan umum ikhwan-akhwat dan koridor penghubung menuju kobong putri.

Ah ... cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut juga mempengaruhi sebagian besar anak ketika ingin memenuhi panggilan alam di tengah malam. Ada-ada saja. Zafira tidak pernah tertarik dengan hal-hal semacam itu. Persis ketika Zafira sedang mengamati pagar besi tanpa berkedip, tiba-tiba terdengar kasak-kusuk tidak jelas dari luar.

Sebentar. Tidak mungkin ada hantu yang sedang gabut dan ingin mengajak Zafira bermain, 'kan? Zafira mengantuk! Lagi pula, kisah hidupnya, kan, bukan genre horor. Tidak asyik sekali.

Meski begitu, Zafira berusaha untuk menajamkan indra pendengaran. Oh, bukan. Bukan makhluk halus atau penampakan. Itu lebih terdengar seperti percakapan dua orang. Hei, siapa yang malah seru berbincang di tengah malam begini? Tidak takut dihukum Ukhti, memangnya?

Demi memuaskan rasa penasaran, Zafira menghampiri pagar besi, lantas membukanya sedikit untuk mengintip siapa yang sedang bercakap-cakap di luar sana. Oh, ternyata perbincangan itu terjadi di kawasan umum ikhwan-akhwat, bukan dari koridor penghubung menuju kobong akhwat. Di sana ....

Tunggu. Hilwa? Kepala tertunduk yang dibalut jilbab abu-abu itu dapat diidentifikasikan dengan cepat oleh Zafira. Iya, itu Hilwa! Sedang bersisian dengan seorang lelaki yang memunggunginya saat ini. Laki-laki! Berdua-duaan dengan yang bukan mahram, selarut ini, di luar kawasan putri ... cari mati apa bagaimana, ya? Kalau dihitung-hitung, hukumannya bisa setara dengan ....

Zafira melotot tak percaya begitu lelaki itu menoleh ke arah Hilwa. Tidak. Bukan karena tampangnya memukau atau menakutkan, melainkan karena itu adalah Pak Adnan.

Tidak mungkin. Zafira mengucek mata, barangkali kotoran mata sekaligus rasa kantuknya malah menciptakan ilusi yang tidak-tidak. Akan tetapi, mau diusap berapa kali pun oleh mukena sewarna cokelat susu miliknya, netra Zafira tidak menangkap bayangan yang lain. Semuanya masih sama. Hilwa dan Pak Adnan yang tengah asyik bercengkerama di sana.

Ada apa? Sepenting apa pembicaraan mereka, sampai harus dilakukan pada larut malam begini? Berduaan pula. Bukankah itu terdengar begitu menyimpang? Ada hubungan apa di antara keduanya? Setahu Zafira, Pak Adnan hanyalah guru tafsir sains sekaligus pembina Rohis. Jika memang ada urusan Rohis, bukankah seharusnya Pak Adnan memanggil Haitsam saja, selaku ketuanya?

Kalaupun Pak Adnan sedang ada perlu dengan Hilwa yang tak lain adalah bendahara di Rohis ... bukankah seharusnya Pak Adnan memanggil Zafira? Zafira Bendahara I-nya. Bukan Hilwa. Apa mungkin mereka tak sengaja berpapasan?

Selain itu, kehadiran Pak Adnan di pesantren pada larut malam begini saja sudah ganjil. Pak Adnan tidak termasuk ke dalam pengurus Pesantren Ruwada. Tidak ada alasan baginya untuk berkeliaran di sekitar sini pada pukul sebelas malam.

Berbagai analisis Zafira terjeda sejenak ketika percakapan terhenti dan Pak Adnan berlalu begitu saja, hilang dari jarak pandang. Di sana, Hilwa masih menunduk dengan sorot mata tak terdefinisikan, lantas segera masuk ke koridor penghubung menuju kobong putri dan menutup pintunya. Zafira masih bergeming. Tidak ada hal lain yang terjadi.

"Zaf, udah. Yuk!" Nazifa membenarkan posisi jilbabnya. "Aku kira kamu ninggalin duluan, tahunya malah ngintip enggak jelas, di sini. Lihat apa, sih? Serem, tahu!"

Zafira terperanjat, berhenti mengernyitkan kening. Dengan anggukan singkat, Zafira pun kembali untuk mematikan lampu karena Nazifa tidak berani melakukannya, lantas berjalan di depan untuk kembali ke Kobong Madinah. Nazifa menguap lebar, akhirnya bisa tidur dengan lelap sehabis ini.

Akan tetapi, tidak dengan Zafira. Kantuk itu telanjur tergantikan oleh tanda tanya yang menghantui benak. Tidak. Semua ini terasa begitu salah.

[ma.ni.pu.la.si]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro