ma.ni.pu.la.si: 09

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⭐Now playing: Love Who You are — Harris J⭐

"Zif, kamu punya file struktur organisasi Rohis, enggak?"

Pertanyaan yang mendadak diajukan Zafira di antara langkah kaki yang berjalan seiringan menuju Kobong Madinah, sukses membuat Nazifa bergumam heran. Beberapa saat lamanya anak perempuan itu membiarkan sunyi yang mengisi. Lantas, bibir tipis Nazifa menyuarakan jawabannya. "Ada. Aku pegang file-nya, dikasih Kak Mila pas habis sertijab. Kenapa?"

"Mau lihat," sambar Zafira. Tanpa merasa perlu menunggu persetujuan dari adik kembarnya, Zafira langsung meraih tas cokelat Nazifa dan membuka ritsleting dari bagian yang biasa digunakan Nazifa untuk menyimpan ponselnya.

Akan tetapi, sebelum tangan Zafira sempurna menggenggam benda persegi tersebut, Nazifa malah berontak dan berbalik badan. "Mau apa?"

Mendapati aksi dadakan yang di luar perkiraannya, Zafira pun mengernyitkan kening.

Tumben sekali. Biasanya, mereka berbagi ponsel berminggu-minggu saja bukan masalah. Zafira, kan, hanya mau mengecek file struktur organisasi. Kenapa Nazifa sampai serempong itu, sih?

Zafira mendengkus. Daripada mengulur waktu dengan menanyai ini-itu, langsung saja Zafira menyahuti pertanyaan Nazifa yang terdengar seperti tengah menginterogasinya saat ini. "Mau cek sesuatu."

"Bentar. Zafi enggak akan tahu lokasi file-nya di mana, kan ...." Nazifa mengambil ponselnya sendiri dari tas, membuka layar kunci, lantas menggulirkan jarinya di atas permukaan gawai. "Jadi biar aku yang carikan."

Kedua bola mata hitam legam Zafira berotasi malas. Terserah sajalah. Ujung sepatunya mengetuk-ngetuk permukaan tanah. Beberapa anak laki-laki yang melintasi keduanya dalam frekuensi cukup kerap, mengingat satu-dua organisasi baru menyelesaikan rapatnya saat ini, membuat Zafira risih untuk berdiam diri di sini lama-lama. Ini memang masih di kawasan umum ikhwan dan akhwat. Tempat yang sama dengan lokasi pembicaraan Hilwa dan Pak Adnan tadi malam ....

Duh, kenapa ke sana lagi, sih? Zafira memijit pelipisnya yang terasa berdenyut sekilas. Menurut kesaksian Hilwa sendiri, pembicaraan mereka tak lebih untuk menginformasikan pelaksanaan rapat. Banyak sekali hal yang janggal, memang. Akan tetapi, apakah itu pantas dijadikan pembenaran Zafira untuk berburuk sangka pada Hilwa, saudara seimannya sendiri?

Oh, sebentar. Lagi-lagi, Zafira malah tenggelam dalam kebisingan dunianya. Meski begitu, kali ini, Nazifa belum menegurnya sama sekali. Suatu peningkatan. Zafira bisa tersadar dari lamunannya lebih dulu. Dilayangkannya tatapan dengan alis mengerut pada Nazifa yang masih asyik mengutak-atik ponselnya. Tak mau membuang waktu lebih lama lagi, Zafira pun mendorong punggung Nazifa pelan-pelan.

Sudahlah. Lebih baik Zafira menunggu Nazifa mencarikan file-nya sambil berjalan ke kobong. Efektivitas waktu. Lagi pula, dia belum mandi sore. Zafira tidak seperti Rosi yang biasa mandi sehari sekali. Zafira mengedepankan kebersihan. Apalagi sudah mau pukul setengah lima sore, jadwal anak mes untuk mengaji.

Zafira dan Nazifa memang sudah salat Ashar di masjid Ruwada, sebelum pulang ke kobong. Biar lebih leluasa. Tidak menunda shalat, dan tidak dimarahi Ukhti. Sekarang adalah jadwal santai anak mes. Karena itulah, Zafira ingin memanfaatkannya untuk membersihkan diri.

Seharusnya, pengajian rutin pun diadakan setiap habis salat Asar. Akan tetapi, mengingat kesibukan organisator yang selalu rapat hingga sore, pengurus pesantren akhirnya menggeser jadwal mengaji ke pukul setengah lima, sebelum azan magrib berkumandang.

Tibalah mereka di hadapan bingkai pintu kayu yang dihiasi banyak tempelan. Mulai dari label besar bertuliskan Madinah dengan kaligrafi buatan Zafira yang didekorasi oleh tiga orang lainnya, stiker Winnie The Pooh kesukaan Rosi, sampai sticky notes biru yang dibubuhi nama akun Instagram Yasna. Abstrak, memang. Tidak berkonsep.

Begitu Zafira membuka pintu, yang menyambut indra penglihatan adalah pemandangan Rosi dan Yasna yang sedang asyik rebahan di lantai. Tangan kanan kedua anak itu bergantian meraih sekeping keripik singkong dengan konstan, sedangkan mata Rosi dan Yasna tidak beralih sedikit pun dari animasi Red Shoes and The Seven Dwarfs yang sedang ditonton dari laptop Rosi.

"Huaaa, Merlin! Iya, iya. Ayooo, balik! Cari Mbak Merah!" Seruan Rosi yang tidak jelas itu lekas saja menarik perhatian Nazifa yang masih asyik dengan ponselnya. Meski begitu, sepersekian detik kemudian, Nazifa kembali menunduk, seolah pemandangan di hadapannya sudah menjadi hal biasa.

Namun, kata 'terbiasa' itu tidak akan pernah ada dalam kamus kehidupan saudara kembarnya. Itu sama saja dengan menormalisasi hal kurang baik, baginya. Karena itulah, kini Zafira sudah bersiap menarik mukena yang tergantung di sela-sela pinggiran ranjang atas, lalu menyabetkannya pada punggung Rosi dan Yasna. Kedua anak yang bergeletakan di atas lantai itu seketika mengaduh berbarengan.

Rosi bangkit dari tengkurapnya terlebih dahulu. Setelah menjejalkan tiga keping keripik singkong ke dalam mulutnya sekaligus, ia langsung angkat bicara, protes keberatan. "Apa, sih, Zaf? Emosi mulu, heran. Kita diam aja di-KDRT! Laporin, nih. Biar disidang Haitsam!"

"Lho, sejak kapan Haitsam kerja di pengadilan?" celetuk Yasna dengan kedua alis mengerut, sembari mengeduk keripik singkongnya yang nyaris habis.

Sejenak, bola mata Rosi melirik ke samping. Oh iya, ya. Yang mengurusi kekerasan dalam rumah tangga itu pengadilan. Kenapa dia malah membayangkan pengadilan KDRT sebagai sidang atau laporan pertanggungjawaban Rohis? Demi menjaga harga diri, Rosi pun menjawab asal, "Ya ... kapan-kapan."

"Yakfi¹, yakfi. Sudah mau jam setengah lima. Bereskan semua ini, mandi, ambil wudu, pakai mukena, bawa kitab, ke masjid! Hayya bi sur'ah²!" Zafira mengempaskan berbagai obrolan tak berguna tersebut.

Di hadapannya, Yasna dan Rosi bergumam panjang, mengeluh tanpa bahasa. Meski menggerutu seraya bergerak ogah-ogahan, keduanya pun beranjak membereskan jejak-jejak kehidupan mereka sendiri. Yasna mengurusi sampah camilan, sementara Rosi mematikan laptop. Baru saja berniat kembali merebahkan badan di kasur masing-masing, kedua anak tersebut kembali terperanjat karena diteriaki Zafira.

"Sapukan! Ini banyak remahan. Mau dipakai shalat berjamaah, nanti." Zafira meletakkan ransel hitamnya di dalam lemari, lantas menyiapkan berbagai macam perlengkapan untuk mandi. Sebuah handuk biru tersampir di bahu kirinya. Tanpa merasa perlu memperhatikan kinerja Rosi dan Yasna yang tengah tergopoh-gopoh menyapu, Zafira menatap Nazifa yang masih sibuk dengan ponselnya. Sampai selama itu? Embusan napas keluar dari mulut Zafira. "File-nya kirim ke WhatsApp-ku aja, oke? Aku mau mandi."

Acungan jempol beserta cengiran lebar menjadi tanggapan yang Nazifa berikan. Setelah Zafira berlalu ke kamar mandi, ketiga anak yang tersisa di Kobong Madinah itu pun serempak merebahkan badan di atas kasur. Rosi merentangkan tangannya ke atas, menggeliat malas. Sebagaimana godaan sehabis asar, kantuk yang hinggap membuat Rosi tak bisa menahan diri untuk tidak menguap. "Ih, Zafi galak banget, deh. Kayak bundaku aja."

Yasna turut menguap. "Apalagi kalau kamu jadi anaknya. Bisa-bisa peralatan tempur kita, kayak kasur, laptop, sama camilan, udah dilakban semua dari awal."

[ma.ni.pu.la.si]

"In fis-shifaati wal maakhoorijit-tafaaq, harfaani fal-mitslaani fiihimaa ahaq. Lamun sami sifatna sareng makhraj-na, dua huruf idgham mitslén katelahna. Wa iyakuuna makhroojan taqorrobaa, wa fis-shifaatikh-talafaa yulaqobaa. Lamun huruf nu dua deket makhroj-na, béda sifat mutaaqooribain ngaranna."³

https://youtu.be/jPTLpruBZoU

Nadhom tersebut mengudara di langit-langit masjid Ruwada lantai dua. Para santri semangat sekali mengeraskan suara, berharap usahanya dapat mengalihkan kantuk yang hinggap setiap kali menginjakkan kaki di rumah Allah ini. Setengah jam berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih seperempat. Mentari sudah berancang-ancang untuk meninggalkan horizon di ufuk barat.

Saatnya kembali ke kobong. Sehabis ini, persisnya setelah salat Magrib berjemaah, mereka masih harus bersiap untuk halaqah⁴ dan setoran hafalan bersama Ustazah. Para santri sudah berhamburan keluar masjid, sibuk mencari sandalnya di antara timbunan sandal teman. Beberapa berlarian agar segera rebahan walau sejenak di kobong masing-masing. Akan tetapi, tidak pada Zafira.

Tenggelam dalam keramaian siswa yang mulai memencar, lisan Zafira tak henti dibasahi penggalan zikir. Beberapa saat lalu, Nazifa menegurnya untuk segera kembali ke kobong. Akan tetapi, Zafira memintanya untuk pergi duluan saja. Lagipula ... sejak kapan Nazifa jadi suka cepat-cepat beranjak dari masjid begini, deh? Biasanya, dia akan menemani Zafira di sini, walau hanya untuk menggemakan ayat-ayat kekuasaan-Nya dalam senyap.

Manusia yang tersisa di dalam masjid hanyalah beberapa. Tanpa melepas mukenanya, Zafira melangkah keluar. Dikenakannya sandal capit berwarna hitam polos itu. Zafira menunduk, mengamati pijakannya.

Ini, ya, jalan yang Allah guratkan untuknya ....

Sesudah mengecek kembali struktur Organisasi Rohis Ruwada dari file yang dikirimkan Nazifa, Zafira pun makin yakin. Bendahara I-nya memang Zafira, kok. Namun, kenapa Zafira merasa kalau Pak Adnan jauh lebih mengandalkan Hilwa, daripada dirinya? Ataukah hanya perasaan Zafira saja? Akan tetapi ... itu mengganggu pikirannya!

Apakah Pak Adnan tidak mempercayai Zafira? Apa kinerja Zafira memang tidak sebaik Hilwa?

Aih ... kalau tahu akan merasa tak berguna begini, mungkin sebaiknya Zafira jadi anggota Depretemen Diklat saja, seperti biasa.

Perjalanannya ini ... apa memang sudah seharusnya begini? Bagaimana dengan ....

"Zafi?"

Suara rendah yang memanggilnya begitu membuat Zafira tersentak kaget. Zafira mengangkat kepala, lantas buru-buru mengalihkan pandangan ketika mengetahui yang berada di hadapannya adalah Haitsam Ibrahim, Ketua Rohis Ruwada. Iya ... figur yang katanya menyabet label sempurna itu.

Dengan peci dan sarung hitam yang masih terpasang rapi untuk melengkapi koko abunya, Haitsam membenarkan posisi kitab-kitab yang berada di dekapan. Kedua alis tebalnya terangkat. "Ada apa, Zaf?"

"Oh, enggak," sambar Zafira dengan cepat. Kepalanya menunduk sebelum tatapan manik hitam Haitsam menabrakkan pandangan dengan Zafira. Helaan napas berat terdengar dari hidung anak perempuan tersebut. "Cuma ... kepikiran sesuatu."

Tidak ada lagi suara rendah Haitsam yang menanggapi. Dalam satuan detik yang tidak sedikit, keheningan pun mengisi dan menguasai.

Demi menghilangkan situasi canggung yang ada, Zafira pun angkat suara, tak begitu mengindahkan sepasang netra legam yang berkilat kala itu. "Tsam, kamu enggak curiga sesuatu sama Pak Adnan? Hilwa juga ...."

[ma.ni.pu.la.si]

¹Yakfi (Arab): cukup
²Hayya bi sur'ah! (Arab): ayo, cepat!
³[Nadhom tajwid kitab Tuhfatul Athfal]

—"Lamun sami sifatna sareng makhraj-na, dua huruf idgham mitslén katelahna." (Sunda): "Kalau sama sifatnya dengan makhraj-nya, dua huruf idgham mitslén termasuknya."

—"Lamun huruf nu dua deket makhroj-na, béda sifat mutaaqooribain ngaranna." (Sunda): "Kalau huruf yang dua dekat makhraj-nya, beda sifat mutaaqooribain namanya."

⁴Halaqah: halakah (KBBI)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro