ma.ni.pu.la.si: 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⭐Now playing: Menuju Surga-Mu - El-Banat⭐

"Zifa! Tahu, enggak? Masa, ya ... pas aku jajan cakwe Mang Odang di depan gerbang, Ocad tuh ngajak ngomong!" Baru saja melahap habis gigitan terakhir dari stik es krimnya, Rosi langsung memulai sesi curhatnya itu. Kepalanya menatap Haula dan Nazifa bergantian. Tak tanggung-tanggung, Rosi bahkan menggoyang-goyangkan bahu Zifa, pertanda bahwa dia sedang mengekspresikan perasaannya yang sama-sama tengah berguncang.

Di hadapannya, Nazifa hanya mengangguk-angguk pasrah, berharap Rosi dapat sedikit lebih tenang. Akan tetapi, sampai kapan pun, Rosi adalah Rosi. Sejak dulu, dia memang selalu menceritakan banyak hal pada Haula dan Nazifa.

Oh, ya. Zafira adalah pengecualian. Bagi Rosi, Zafira itu bagaikan ibu tiri yang tidak berbelas kasihan. Galak! Bukannya mendapat solusi atau memperbaiki suasana hati, bisa-bisa Rosi malah dongkol diceramahi kalimat pedas nan sarkas kalau curhat pada Zafira. Malah makin kena mental, nanti! Karena itu, Zafira seolah tak lebih dari hantu penunggu Kantin Ruwada yang tidak punya pekerjaan selain mendengarkan sambil bergabut ria di sini. Gaib!

Ya sudahlah ... siapa peduli juga? Zafira tidak memiliki urusan apa pun, sebenarnya. Akan tetapi, anak perempuan itu telah berperan sebagai timer alami sejak awal. Kedua netra hitam legam itu melirik gerak jarum jam analog di pergelangan tangannya dengan konsisten. Terus saja mengiringi waktu. Lihat saja. Kalau sudah pukul setengah enam, Zafira tidak akan segan menjungkirkan meja kantin untuk mengusir teman-temannya dan bersiap salat Magrib.

Meski minim peka dan simpati, Zafira tidak akan menghentikan curahan hati Rosi tanpa alasan. Karena itulah bibir Rosi masih bergerak bebas saat ini. Sebelum sisa waktu dihabiskan Rosi untuk mendramatisasi suasana hatinya, Nazifa lekas-lekas menanggapi, "Jadi, gimana? Oci mau balik lagi ke Oci yang dulu aja?"

"Eng ... enggak, sih." Lama, Rosi seperti menimang-nimang sesuatu. Tampang nelangsanya berubah sejenak jadi raut cemberut tak terima. "Iya, enggak ... alhamdulillaah Oci ada di jalan ini, sekarang. Allah udah tuntun Oci pulang. Tapi, ya ... rasa ingin mengulang semua kisah yang telah lama usai itu kayak ... berat. Berat aja rasanya."

Seulas senyuman manis merekah lebar di kedua sudut bibir Nazifa. Semua yang ingin diungkapkan Rosi pun tersampaikan seluruhnya. Rosi sudah jauh lebih terkendali. Inilah saat-saat terbaik bagi Nazifa memasuki kepala dingin Rosi dan menyetirnya untuk kembali ke koridor seharusnya. "Pasti. Penerimaan itu butuh banyak waktu untuk hadir. Suka ngaret, emang. Tapi enggak apa-apa, lho! Aku senang Oci tidak menyesali keputusan Oci untuk memilih jalan-Nya."

Senyap. Seluruh kalimat yang mengendap di mulut Rosi seketika terasa mulai pudar berakhir lenyap. Hal ini yang paling Rosi suka setiap kali curhat pada Haula maupun Nazifa. Tidak ada penghakiman. Tidak ada kata-kata memojokkan. Rosi hanya merasakan hatinya direngkuh erat. Ia tidak sendirian di jalan ini.

"Ingat janji itu, Ci?" Haula mengusap buntalan tebal pipi bulat Rosi. "Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Taulah, ya, 'terbaik' versinya Allah itu yang kayak apa. Enggak selalu sama dengan 'terbaik' versi kita. Tapi Allah udah bilang, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Enggak apa-apa. Allah Mahatahu, Allah lebih tahu segala tentang hamba-Nya."

Kesiur angin petang membisiki langit-langit Ruwada yang menggantungkan arakan pasukan jingga. Kala itu, gemeresik rimbun dedaunan mengiringi terangkatnya beban-beban transparan di pundak Rosi. Kedua netra cokelat terangnya mulai berhias manik-manik kaca yang langsung terjun bebas, meluncur di pipi bulatnya, persis ketika Rosi mengedipkan mata. Sepersekian detik kemudian, Rosi memilih beranjak dari duduknya, lantas merangkul bahu Haula dan Nazifa.

Aksi tersebut sangat mendadak sekaligus terkesan memaksakan kehendak. Haula dan Nazifa sampai terseret-seret, nyaris terjungkal dari bangku kantin akibat dorongan tubuh mini Rosi. Meski begitu, senyuman keduanya terkembang lebar, menormalisasi tindakan Rosi yang memang selalu saja seenaknya.

"Ya Allah, Ci. Enggak usah nangis juga." Susah payah, Nazifa mempertahankan posisi ciput beserta kerudungnya yang mulai tertarik-tarik ke belakang dan menyembulkan beberapa helai rambut. Aih, yang benar saja! Ini masih di Kantin Om Juy, kawasan umum ikhwan-akhwat, tahu! Merasa kesulitan, Zifa pun menggunakan punggung tangannya untuk menutupi aurat yang dikhawatirkan tampak.

Di sebelahnya, Haula terkikik pelan. Nasib baik, kerudung instannya bertopi lebar dan lebih mudah ditarik, dibandingkan jilbab Nazifa yang bermodel bergo sehingga beberapa helai rambut juga mulai bermunculan di sudut pipi, dekat tali kerudung. Karena mengasihani Nazifa yang kepayahan, Haula pun menepuk-nepuk kepala Rosi untuk menenangkannya. "Udah, Ci. Kita di sini, kok. Kita akan terus menemani Oci di jalan ini ... ya, kan, Zif?"

"Iya. Oci enggak akan sendiri. KIta yang bakalan terus mengiringi langkah Oci biar terus di jalan ini, biar enggak belok dan tersesat. Kita ...." Kalimat Nazifa terjeda sejenak oleh helaan napas lega karena Rosi yang akhirnya mengendurkan rangkulannya. Cepat-cepat, Zifa memperbaiki kerudungnya. "Kita harus sama-sama terus. Melangkah beriringan menuju-Nya ... iya, 'kan? Mau, enggak, nih?"

Karena tersendat-sendat oleh ingusnya yang meleleh dari lubang hidung, Rosi tak kuasa angkat bicara. Kepalanya mengangguk berkali-kali, sudah seperti mau lepas dari pangkal leher. Rasa sesak yang mengimpit dadanya itu tak lagi ada. Akan tetapi, tangisannya malah tambah deras. Rosi sudah bergerak maju untuk kembali merekatkan pelukan, tetapi Nazifa langsung menahan tubuh mini Rosi agar tidak mendekat. Oh, ayolah. Muka Rosi sudah banjir sekali. Zifa malas mengganti lagi kerudungnya untuk halaqah.

Paham dengan situasi yang teramat sangat drama, Yasna yang baru saja selesai dengan es krimnya pun angkat suara. "Sebelum itu, revisi dulu panggilannya. Ocad, Ocad ... gimana mau move on?"

"Oh, iya. Lupa!" Berhasil. Kini, Rosi teralihkan dari aksi peluk-pelukan ala sinetron India, lantas lebih memilih untuk menghadap Yasna. "Maksudku Rosyad ... idih. Nyebelin banget. Kenapa namaku bisa matching gitu, sih, sama dia? Heran. Bunda janjian apa gimana, ya ... sama mamanya Ocad, eh, Rosyad. Jadinya, kan, kepeleset mulu nyebut Oci-Ocad."

Tak peduli dengan berbagai ocehan Rosi yang tidak penting itu, Yasna sudah memutuskan kembali ke kobong lebih dulu. Bukan apa-apa. Di sudut bangku kantin, Zafira sudah semangat sekali menengok jam tangan hitam di pergelangan tangannya. Lewat satu detik saja, mereka pasti sudah dibubarkan bagai pedagang kaki lima yang digerebek Satpol PP.

Sudah cukup Yasna diamuk ibu tiri itu hari ini. Lagi pula, Yasna tidak punya urusan lain di sini, setelah menghabiskan es krim yang didonasikan Nazifa beberapa menit lalu. Keputusan terbaik adalah lekas-lekas kembali ke kobong untuk rebahan berkedok 'mempersiapkan hafalan buat halaqah', dan merentang jarak dengan Zafira ... minimal dalam radius sepuluh meter.

Iya! Mode predator Zafi sudah menyala sejak tadi. Baru beberapa langkah meninggalkan Kantin Om Juy, indra pendengaran Yasna sudah menangkap perintah tegas dari Baginda Zafi. Dahsyat. Titahan itu sukses memporak-porandakan kerumunan Rosi, Haula dan Nazifa yang masih asyik-asyik bercengkerama di bangku kantin, kini langsung tergopoh-gopoh membersihkan bungkus es krim sisa mereka.

"Magrib tinggal sepuluh menit lagi! Ambil wudu, alat salat, masuk halaqah!"

[ma.ni.pu.la.si]

Detik demi detik ditempuh. Satuan waktu perlahan menjauh. Tak terasa, Rabu pun sudah kembali berlabuh.

Tidak ada yang spesial dari hari Rabu, selain berupa hari lahir Kembar Humaira, atau yang kerapkali dipanggil Zaf-Zif Twins. Bukan. Bukan ulang tahunnya, hanya hari lahirnya saja. Orang Sunda biasa menyebutnya dengan istilah wedal. Tidak ada rapat maupun kegiatan lainnya hari ini. Seharusnya, anak Rohis Ruwada bisa langsung pulang ke rumah atau pesantren.

Akan tetapi, tidak berlaku pada Nazifa, Zafira, dan Shahira. Ketiganya kebagian jadwal piket masjid setiap hari Rabu. Sejak bel pulang berbunyi nyaring memenuhi langit-langit Ruwada, Nazifa dan Zafira sudah memelesat lebih dulu ke masjid lantai dua, persis di sebelah kelas XI MIPA-1. Nazifa melangkah riang menuju rak di pojokan masjid, lantas mulai mengeluarkan alat salat untuk dirapikan.

Baru menyadari saudara kembarnya tidak ikut masuk, Nazifa pun menolehkan kepala, lalu mendapati Zafira tengah mengedarkan pandangan ke sekililing masjid. Posisinya masih di bingkai pintu masuk. Nazifa mengeluh tertahan. Jangan dulu kumat, deh. Kebiasaan. Zifa ingin menyelesaikan ini dengan cepat, biar lekas-lekas kembali ke kobong dan beristirahat. Kenapa Zafira selalu saja menghambat? "Kenapa lagi?"

"Shahira belum datang. Anak itu sering kelupaan setiap kali ditanya alasan ketidakhadirannya dalam piket masjid. Susah, apalagi bukan anak mes. Biar aku panggil dulu ke kelasnya. Kamu, mulai piket dari sekarang. Rapikan rak, kitab, Al-Qur'an dan alat salat. Nanti aku nyusul buat lap kaca, sapu-sapu dan sisanya." Tanpa merasa perlu menunggu pendapat maupun tanggapan persetujuan dari adik kembarnya, Zafira sudah menghilang dari pandangan.

Mulai, deh. Tidak mengherankan lagi.

Zafira menghilang cukup lama. Lebih dari lima belas menit. Kalau saja Zafira bukan kakak kembarnya yang sudah ia kenali luar-dalam, mungkin Zifa sudah berburuk sangka dengan mengira bahwa Zafira kabur dari tanggung jawabnya. Akan tetapi, jelas saja! Itu sangatlah bukan Zafira. Apa mungkin anak perempuan itu menceramahi Shahira lebih dulu? Terutama soal tanggung jawab dan perilaku kurang baiknya di status WhatsApp yang sempat memecah belah umat Rohis Ruwada, kemarin, ketika dilaporkan Maudy?

Namun, pemikiran Zifa tidak ada benarnya. Zafira kembali, dengan keringat deras membanjiri pelipis dan punggungnya, juga sirkulasi napas yang tambah berantakan, tidak beraturan, apalagi masjid ini memang berada di lantai dua. Belum sempat energinya terisi ulang, Zafira telanjur kaget begitu mendapati Nazifa sedang berbincang dengan Alzam di dalam masjid. Duduk di dekat rak, saling berhadapan.

"Sedang apa?"

Kalimat singkat Zafira yang masih ngos-ngosan itu menarik atensi keduanya. Nazifa langsung meraih mukena yang sudah terlipat rapi di hadapan, lantas meletakkannya ke dalam lemari. Alzam pun berbalik badan. "Oh! Hai, Zaf!"

"Setahuku, jadwal piket laki-laki itu setiap Kamis. Apa ada yang dipindah jadwal?"

Dibandingkan pertanyaan sarkas itu, Nazifa lebih tertarik untuk mempertanyakan kondisi Zafira yang tampak kepayahan. "Kenapa, Zaf? Lari-lari? Shahira-nya mana?"

"Kabur. Aku kejar sampai ke Citapen."

Kedua manik cokelat terang Nazifa membulat. Jauh sekali! Citapen itu tempat anak sekolahan menunggui angkot. Di sana sangat ramai, apalagi pada jam pulang begini. Mungkin alasan itu pulalah yang membuat Zafira kehilangan jejak Shahira dan memutuskan kembali ke Ruwada.

"Jadi, bagaimana piket masjid ini? Ada yang berbaik hati menawarkan bantuan, karena aku keluar sebentar?"

Sebelum Zafira menyemprotnya dengan ceramahan panjang, lekas saja Alzam angkat suara lebih dulu. "Eeeh, kalem dulu, Bos. Aku mau mengajukan saran, tapi enggak enak kalau via chat, nunggu rapat rutin hari Jumat pun kelamaan. Umur enggak ada yang tahu, 'kan? Jadinya aku ke sini, mau bilang ke yang piket hari ini aja dulu. Tapi cuma ada Ayang Zifa."

"Jadi?"

Mendapati muka masam Zafira yang sebal karena ia malah menjelaskan dengan berbelit-belit, Alzam pun terkekeh puas. "Persiapan buat PHBI nanti, Zaf, aku ngajuin dokumentasinya buat dipajang di ruangan organisasi."

Ruangan ....

Sesaat, Zafira tenggelam dalam benaknya. Ada ide lain yang hinggap di pikiran. "Ruang organisasi itu terlalu publik. Dipakai OSIS, MPK, sama Pramuka juga. Ingat, ada berapa pajangan foto dari setiap organisasinya, di sana? Hanya satu per organisasi. Itu pun hanya foto bersama sebelum melepas jabatan. Kita tidak akan cukup leluasa."

Zafira membelakangi Alzam dan Nazifa. Kedua netra hitam legamnya menjelajahi bingkai pintu yang letaknya lebih tinggi dari lantai masjid, seperti menaiki satu anak tangga baru. Pintu yang belum pernah Zafira ketahui isinya, bahkan mungkin oleh nyaris seluruh siswa, termasuk seniornya di Rohis yang sedang duduk di kelas dua belas tahun ini. Di saat Alzam dan Nazifa masih terdiam mengamati Zafira yang mematung, anak perempuan itu bersuara.

"Gimana kalau kita bikin ruangan sendiri? Khusus Rohis?"

[ma.ni.pu.la.si]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro