ma.ni.pu.la.si: 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⭐Now playing: Suci Sekeping Hati - Saujana (sangat direkomendasikan)⭐

"Zaf, jangan terlalu keras sama diri sendiri ...."

Hanya satu kalimat itu yang mampu Nazifa lontarkan ketika mengikuti langkah Zafi memasuki Kobong Madinah. Keduanya berpisah dengan Hilwa yang masih harus berjalan lurus di koridor untuk mencapai kobongnya sendiri.

Di dalam ruangan kamar mereka, sudah ada Rosi dan Yasna yang asyik berceloteh ria. Zafira tidak memedulikannya. Di balik punggung anak perempuan itu, Nazifa tak berani mengangkat kepala. Kakak kembarnya memang tidak pernah marah hingga membentak-bentak dengan oktaf tinggi. Zafi cenderung diam seribu bahasa ketika mencapai titik kecewa. Dan itu adalah mimpi buruk bagi Nazifa.

"Zafi ...." Kedua manik cokelat terang yang digelayuti rasa bersalah itu menatap punggung Zafira lamat-lamat. "Maafin aku. Ya, ya?"

"Besok lagi, komunikasikan ke aku kalau ada apa-apa. Jangan menyembunyikan sesuatu dari aku, apalagi menyangkut keuangan Rohis yang jelas-jelas sudah menjadi tanggung jawabku."

Menyembunyikan sesuatu, ya ... di bawah sana, tangan Nazifa memilin gamisnya sendiri. Uang tablig akbar itu sudah Zafi ketahui, tetapi bukan hanya itu yang menyesaki pikiran Nazifa seorang diri. Sesungguhnya, sejak perbincangan keduanya tentang Ummi-Abi beberapa waktu lalu, Nazifa sudah tak kuat untuk mengatakan segalanya. Namun, kalau sampai tahu, Zafira akan marah besar kepadanya. Jauh lebih marah dari ini ....

"Haula?"

Demi mendengar gumaman Zafira yang tiba-tiba saja menyebutkan nama Haula tanpa alasan, Nazifa pun penasaran dan melirik Zafi yang ternyata tengah memandangi layar ponselnya dengan kening mengerut dalam. Belum berani angkat suara kembali, Nazifa pun berusaha mengintip isi chat yang tengah dibaca Zafira dengan serius, seraya menunggu saudara kembarnya untuk menjelaskan lebih lanjut.

hilwafazza

Zafi, gawat! Haula afiliasi lainnya, Zafi. Sebelum ke kobong, aku dengar dia mengabari Haitsam soal AKSI dan hal-hal yang kita lakukan selama investigasi ini! Dia juga menyebut-nyebut uang infak beberapa kali. Sekarang aku tahu motif dan latar belakangnya sampai bisa berafiliasi dengan Pak Adnan ....

Tak mampu menahan segala keterkejutannya, lekas saja Zafi menekan ikon panggilan di pojok kanan atas layar ponselnya. Ini berita yang terlalu mendadak dan tergolong krusial sekali. Afiliasi lainnya? Lebih-lebih lagi, merupakan salah satu agen AKSI? Ya ampun! Zafira tak bisa menunggu waktu untuk mengetik pesan balasan. Zafira harus mendengar penjelasannya secara langsung dari bibir Hilwa.

Akan tetapi, tak sampai dua detik, panggilan itu langsung ditolak. Napas Zafi sedikit memburu karena frekuensi detak jantungnya yang meningkat drastis. Lipatan di dahinya bertahan lama ketika mendapati pesan berikutnya dari Hilwa.

Ya ampun, Zaf, kamu hampir bikin aku ketahuan menguping! Jangan dulu telepon.

Setelah bergeming sejenak, jemari Zafi pun lincah sekali menari-nari di atas keyboard, mengirimkan pesan balasan dengan gusar dan tidak sabar.

Apa motifnya?
Kenapa dia mau bantu back-up Pak Adnan?

Pernah lihat rapor semester, khususnya nilai PAI Haula, enggak, Zaf?
Nilainya besar. Dan lagi, kamu ingat Haula kelas apa?

XI MIPA-2.

Kamu ingat wali kelasnya siapa?

Detik-detik seakan berhenti menyusuri waktu kehidupan. Semesta Zafi terasa terjeda begitu saja. Ada apa ini? Semua koneksi ini ... Zafira membulatkan mata, lantas kembali mengetikkan pesan balasan.

Pak Adnan. Pak Adnan wali kelas XI MIPA-2.

Gotcha.

Tak kalah kagetnya, Nazifa yang mengintip dan baru menyadari tamparan kenyataan tersebut pun langsung terkesiap dan menutup mulutnya rapat-rapat. Tidak mungkin. Seorang Haula? Haula itu Koordinator Departemen Keputrian yang sangat pendiam dan tidak pernah mencari masalah. Semua tentang Haula selalu saja maa syaa Allah. Manis, hangat, sabar, penyayang, dan tidak pernah menyakiti sesamanya. Haula adalah definisi dari 'ukhti' yang sebenarnya.

Tidak ada yang begitu pantas menyandang label perempuan taat selain dirinya di setiap penjuru Ruwada, bahkan dibandingkan Nazifa dan Zafira yang hafalannya sudah di atas teman-teman lainnya sekalipun. Zafira masih punya sikap galaknya, dan Nazifa masih sering labil sekaligus mempertanyakan langkah kakinya sendiri. Sementara Haula tidak sama sekali. Tidak ada celah sedikit pun dalam ketaatannya pada agama.

Haula melindungi tindakan korupsi Pak Adnan dengan mendapatkan nilai memuaskan di rapor semester sebagai gantinya. Tidak ada yang bisa membayangkan kenyataan itu. Sesungguhnya, jika dibandingkan dengan Haula, Zafira masih lebih curiga pada Rosi maupun Maudy. Bagaimanalah seorang Haula 'membeli' nilai, terutama di pelajaran agama, yang notabenenya memang sangat ia kuasai selama ini?

Nilai, ya ... benar. Kenapa Zafira tak kunjung sampai pada kesimpulan ini? Padahal bagi anak sekolah, terutama di jenjang SMA, nilai adalah segalanya. Penentu utama jalanan yang ia pijak untuk menuju masa depannya. Sudah seperti fondasi yang menopang keberlangsungan dunia kuliah impiannya.

Meski begitu, masih banyak sekali hal mengganjal yang Zafi pertanyakan dari kesaksian Hilwa. Zafira melirik jam dari layar ponselnya. Sebelum pukul sepuluh malam, waktu santai mereka masih tersisa satu setengah jam lagi. Setelah merapikan kitab-kitabnya selintas, Zafira mendengkus. "Aku mau ketemu Hilwa."

Tanpa merasa perlu untuk menunggu persetujuan, spontan saja Nazifa mengikuti Zafira yang bergerak keluar kobong. Kehebohan obrolan Rosi dan Yasna yang berlangsung begitu seru membuat keduanya tak peduli ketika saudara kembar itu pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pamit. Siapa peduli? Bincang soal anak kobong sebelah yang mengamuk ketika ibunya berkunjung kemarin, jauh lebih menarik untuk dikupas tuntas!

Dengan langkah mantap yang cukup terburu-buru, Zafira berbelok di koridor, menuju Kobong Syam yang terletak paling ujung. Zafira mengetuk-ngetuk pintu kayunya—yang didominasi kaligrafi berbunyi assalamualaikum buatan Haula, persis terletak di bagian atas pintu—dengan tidak santai. "Sebentar!"

Beberapa detik kemudian, sebuah kepala berbalut mukena hitam menyembul dari balik pintu. Zafira sedikit gugup begitu mendapati riak wajah yang tenang di hadapannya. Itu Haula, dengan kedua sudut bibir yang terangkat ramah.

"Oh, Zafi, Zifa. Ada apa?"

Demi menenangkan debar jantung yang memompa darah dengan cepat, Zafira menghela napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Zafira menatap Haula tanpa segan. "Ada Hilwa?"

"Lho? Hilwa belum ke sini sejak aku beres-beres pulang dari gazebo, Zaf." Haula malah memasang tampang kebingungan. "Kenapa, ya? Ada titipan? Barangkali ada yang bisa aku bantu sampaikan ke Hilwa-nya."

Oh, ya ampun. Setelah menguping tadi, apakah Hilwa langsung pergi, bukannya masuk dan berpura-pura tak mendengar sama sekali? Ke mana anak itu pergi? Apakah menyusul ke Kobong Madinah, untuk memberitakan kesaksian secara langsung pada Zafira? Akan tetapi, kalau begitu, seharusnya mereka berpapasan di koridor tadi. Zafira berpikir cepat. "Oke, enggak apa-apa. Nanti lagi aja. Duluan, ya, Haula. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh."

Bukannya mendapat jawaban dari segala keresahan, Zafira malah tambah gusar karena tak kunjung sampai pada titik terang kehidupan. Jalanan ini masih saja diliput kelam. Tiada berkesudahan.

Persis ketika Zafira dan Nazifa hendak masuk kembali ke kobongnya, pintu penghubung koridor kobong dengan kawasan bebas ikhwan-akhwat terbuka, menampilkan sosok yang keduanya cari-cari sedari tadi. Zafira tertegun di posisinya. "Hilwa!"

Anak perempuan yang masih mendekap kitab itu memiringkan kepala, keheranan dengan seruan Zafi-Zifa yang kompak sekali, seakan tengah berpapasan dengan penampakan menyeramkan. "Hai. Kenapa?"

"Soal Haula itu gimana?"

"Hah?" Serta-merta kening itu mengernyit dalam. "Haula apa?"

Tunggu sebentar. Zafira menjilati bibir bawahnya. Dari tadi, atmosfer di sekitarnya masih saja terasa tegang. Zafira belum merasa aman. Ada sesuatu yang belum juga ia singkap. Satu-dua tetes keringat meluncur deras dari pelipis Zafira di antara kungkungan dinginnya malam yang kian matang. "Kamu ... dari mana, Hil?"

"Pas pulang setoran terus mau masuk kobong tadi, aku dipanggil Ukhti ke Ruang Sekretariat, Zaf. Kenapa emang?"

Oh, tidak. Semua ini benar-benar keliru. Persis seperti bola salju yang malah bergulir ke jalanan buntu.

Keheningan yang merebak malah menumbuhkan bibit-bibit keresahan dalam benak Hilwa. Sebentar ... apa sebenarnya maksud kalimat Zafira? Ada apa dengan Haula? Memangnya, apa yang hendak mereka bicarakan? Dan lagi, kenapa setiap gestur tubuh Zafi jadi berubah drastis ketika mendengar jawaban Hilwa yang balik bertanya karena tidak mengerti apa-apa?

Ini ... sepertinya gara-gara lelaki itu. Bibir tipis Hilwa berangsur pucat. Darahnya seakan-akan tersirap hingga habis. Tidak ... tidak mungkin. Apakah benteng pertahanannya telah berhasil diobrak-abrik?

"Oh, bentar. Aku pergi dulu, Zaf, Zif."

Tak peduli dengan Zafira dan Nazifa yang masih memproses segalanya, anak perempuan itu buru-buru sekali berlarian kembali ke kawasan bebas ikhwan-akhwat. Diedarkannya pandangan ke sekeliling, menganalisis setiap penjuru Ruwada dengan sebaik mungkin. Tidak ... di mana anak itu?

Hilwa berjalan cepat ke sana kemari dengan napas terengah-engah. Ke dekat toilet putra, Kantin Om Juy yang ramai, dekat tempat laundry, halaman belakang yang biasa digunakan menjemur pakaian ... tidak ada. Nyaris saja Hilwa menyerah dan membiarkan usahanya berakhir sia-sia malam ini.

Akan tetapi, sudut matanya telanjur menangkap figur lelaki berbaju koko di balik pohon kersen dekat gazebo yang sedikit tertutupi tanaman liar. Sosoknya disiram cahaya rembulan yang mengintip lewat awan kelam, menciptakan bayangan panjang yang menawarkan berjuta pertanyaan.

Dengan napas yang masih susah payah ia kendalikan, Hilwa berhenti tepat di belakang pohon kersen. "Ulah apa lagi yang kau perbuat, Haitsam?"

[ma.ni.pu.la.si]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro