ma.ni.pu.la.si: 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⭐Now playing: Pengabdi Ilahi - Nasyid Gontor (sangat direkomendasikan)⭐

Berdasarkan chat Hilwa yang dibajak Haitsam, afiliasi lainnya, yang katanya adalah Haula, melindungi tindakan korupsi Pak Adnan karena anak perempuan itu membeli nilai rapor dari Pak Adnan sebagai wali kelasnya. Jika kesaksian Hilwa memang benar mengenai tuduhan Haitsam yang hanya mengekspos dirinya sendiri itu ... berarti Haitsam-lah yang membeli nilai. Toh, Haitsam dan Haula memang satu kelas di XII MIPA-2, sama-sama diwalikelasi oleh Pak Adnan.

Semuanya jadi terasa masuk akal. Inilah hal yang dijanjikan Pak Adnan untuk membayar jasa Haitsam sebagai back up pribadinya. Oh ... Pak Adnan bahkan sampai mengangkat Haitsam sebagai Ketua Rohis. Bukankah taktik tersebut memang sangat menguntungkan bagi Pak Adnan? Tanpa adanya jabatan yang lebih tinggi dari Haitsam di Rohis, anak laki-laki itu jadi jauh lebih leluasa untuk mengendalikan banyak hal. Menutupi jejak korupsi Pak Adnan, jadi sumber informasi yang tepat, sekaligus mengontrol anak Rohis agar tidak mengusik segalanya.

Zafira menyelami netra hazel Hilwa yang masih berdiri di hadapannya dengan lekat. Masih ada kepingan yang belum lengkap di kepalanya. Tanda tanya itu masih berkeliaran dengan bebas di benak Zafi. Tentang Hilwa ... bagaimanalah peran Hilwa di sini? Di antara Haitsam dan Pak Adnan ... apa yang mereka butuhkan dari Hilwa? Lantas ... kenapa Hilwa memutuskan bergabung ke dalam kesalahan itu?

Menyadari tatapan yang masih meminta penjelasan lebih lanjut tersebut, Hilwa pun menggigit bibir bawahnya. Ini ... saatnya untuk mengakui segalanya, ya? Hilwa mengusap hidungnya yang begitu merah karena habis menangis. "Dan aku ... aku diberikan fasilitas boarding school gratis dengan nilai seadanya oleh Pak Adnan. Itu karena aku bersedia memenangkan banyak olimpiade atas nama Haitsam."

Memenangkan olimpiade ... atas nama Haitsam? Tunggu. Zafira membulatkan manik cokelat terangnya. "Jadi segala kilau prestasi dan kesempurnaan dia di berbagai bidang juga tak lebih dari kepalsuan? Haitsam tak pernah benar-benar menang olimpiade?"

Anggukan Hilwa sukses menyempurnakan potongan puzzle di kepala Zafira yang tak kunjung terpecahkan sejak dulu. Hilwa menipiskan bibir, berusaha mengikis rasa penyesalan yang menyeruak dan seolah hendak menenggelamkannya. "Iya, Zafi. Aku yang mengerjakan semua olimpiade itu. Aku! Pacaran ini cuma kedok Haitsam buat merasa berkuasa atas diriku. Biar dia bisa mengklaim haknya untuk mengendalikan aku seenaknya ...."

Sungguh demi apa pun, Zafira bisa melihat kekesalan sekaligus rasa muak yang sudah mencapai puncaknya di raut muka Hilwa. Zafira mengepalkan tangan. Ia turut merasakan semua itu. Zafira juga bisa merasakannya.

"Ingat pas Zafi tanya aku kenapa, habis ada kejuaraan olimpiade yang diumumkan sama Bu Yanti, di hari Senin, pas kita baru aja Sertijab?" Hilwa mencengkeram bahu tegak Zafira. "Itu karena aku sebal, Zafi. Aku yang susah payah, anak itu yang dapat hasilnya. Aku enggak suka! Aku susah payah cuma buat kemenangan orang lain. Tapi ... yang lebih aku benci adalah kenyataan kalau aku emang enggak bisa apa-apa selain ikuti alur yang udah ditentukan Haitsam sama Pak Adnan."

Perasaan tak berdaya itu ... benar sekali. Ini kedua kalinya Zafi mendapati Hilwa yang sehancur ini. Sehabis pengumuman itu ... iya, ya. Hilwa kelihatan tidak suka sewaktu mendengar nama Haitsam yang dipanggil ke depan untuk mendapat medali emas di FUSO, Future Science Olympiad. Hilwa pasti jengkel sekali saat itu. Tak heran ketika pelajaran Bu Yanti berlangsung, Hilwa mendadak lebih aktif dari biasanya. Aksi kecil yang kerap luput di mata orang-orang tersebut justru merupakan pelampiasan Hilwa untuk memperlihatkan bahwa dirinyalah yang berperan di balik perolehan medali emas olimpiade fisika.

Iya. Kehidupan Hilwa memang selalu dihadapkan dengan ketidakberdayaan. Dan semua ini berawal ketika kondisi ekonomi keluarga Hilwa terbatas, tetapi Hilwa malah egois untuk tak menyerah pada mimpinya begitu saja, memaksakan diri untuk mendaftar ke Ruwada. Ketika Hilwa ketar-ketir mendapati biaya tagihan spp yang begitu besar bagi keluarganya, Pak Adnan mengulurkan tangan dan menawarkan bantuan. Hilwa menyetujui berbagai kesepakatan yang diajukan Pak Adnan, lantas membohongi keluarganya dengan mengatakan bahwa biaya sekolah di sini sudah ditanggung beasiswa seratus persen.

Penyesalan itu memang selalu datang di akhir kisah. Kini, Hilwa mulai mempertanyakan langkah kakinya sendiri. Tidakkah jalan yang diambilnya itu merupakan kekeliruan yang nyata? Dan selayaknya sebuah kesalahan, bukankah ia memang tidak seharusnya di sana? Kesalahan adalah kesalahan. Di Ruwada, Hilwa memang mendapat fasilitas dan kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan. Akan tetapi, apakah Allah rida? Apakah ilmunya akan berkah, jika ia tempuh dengan jalan yang tidak seharusnya?

Anak perempuan itu terpekur lama. Apakah Hilwa mau terus mempertahankan egoismenya meski berjalan di atas ketidakridaan Allah? Lantas, apalah yang ia cari di antara ilmu-ilmu Allah ... jika ia jelas-jelas telah menentang rida dari Sang Maha Pemilik Ilmu?

Sebelum masuk waktu salat magrib dan menyetorkan hafalan di gazebo, lekas-lekas Zafira menarik pergelangan tangan Hilwa, mengarahkannya untuk keluar dari masjid, melewati kawasan pesantren yang sangat ramai, lantas memasuki Kobong Syam. Mendapati hanya ada Haula di sana, Hilwa pun menundukkan kepala dalam-dalam, merasa bersalah. Pada saat yang sama, Zafira mengetikkan sesuatu di grup AKSI.

Semua akhwat AKSI, ke Kobong Syam. Sekarang.

Baru menyadari adanya satu anak perempuan yang merupakan anak full-day school di grup AKSI, Zafira pun lekas-lekas menambahkan.

Oh, maksudnya buat yang mes. Kalau Maudy enggak apa-apa, nanti kita voice note, sekalian biar yang ikhwan juga bisa dengar.

Tak sampai lima menit, Rosi mengetuk pintu Kobong Syam. Sementara itu, Nazifa mengabarkan di grup bahwa dirinya masih di perjalanan, sebentar lagi sampai. Oh, Zafira lupa bahwa akhwat Rohis kelas sebelas memanglah hanya terdiri atas enam orang. Maudy di rumah, Nazifa di luar, hanya empat orang di sini. Tak mau membuang lebih banyak waktu, Zafira pun memutuskan untuk memulai pembicaraan ini dengan mempersilakan Hilwa menjelaskan segalanya.

Tak lama, cerita yang sudah didengar Zafira sewaktu di masjid tadi, kini kembali mengudara di langit-langit Kobong Syam. Kali ini, Hilwa bisa mengendalikan suara dan pola kalimatnya dengan lebih baik. Tidak menggebu-gebu. Emosinya sudah cukup tersalurkan ketika berterus terang pada Zafira, tadi. Semua itu direkam Zafi dan dikirimkan ke grup AKSI. Demi mendengar pernyataan Hilwa, dua anak lain di Kobong Syam itu hanya bisa menutup mulut, luar biasa terkejut.

"Aku sudah melakukan banyak hal untuk bisa ada di sini. Membohongi Ibu-Bapak, membantu Haitsam memanipulasi nilai, sampai menjadi bendahara zalim karena turut berperan dalam tindakan Pak Adnan yang mengorupsi uang infak. Aku sekarang sadar, meski impianku sekolah di Ruwada berhasil tergapai, aku meraihnya dengan cara yang salah. Aku tidak menjadi orang yang lebih baik. Dan jika semua ini tidak berujung pada kebaikan, lebih baik aku mundur dari sekarang."

Persis ketika setetes air mata kembali menitik di pelupuk manik hazel itu, pintu Kobong Syam terbuka. Nazifa yang tadinya terpaku di bingkai pintu karena tertegun menguping pembicaraan, kini masuk dan duduk di sebelah Haula dengan sekeresek bahan untuk praktikum kimia besok. Ia tak berani bertanya mengingat situasi yang tampak begitu serius.

Hilwa mengangguk mantap. "Jika semua ini tidak mengantarkanku menuju-Nya, lebih baik aku sudahi saja. Tujuanku untuk mencari rida Allah. Kalau jalan yang kugunakan saja tidak mendapat rida-Nya, maka tidak ada alasan lagi untuk aku bertahan di sini. Aku akan mengundurkan diri pada pihak sekolah dan mencari SMA negeri yang tidak dikenakan biaya. Dengan begitu, aku harap bisa menuntut ilmu yang lebih berkah."

"Hilwa?" Sontak saja Rosi dan Haula berseru histeris. Hilwa? Pindah sekolah? Hilwa tak akan lagi di sini, sebagai anak Kobong Syam sekaligus Bendahara II Rohis? Sungguhan? "Hil, kita, kan, bentar lagi kelas dua belas ... tinggal satu tahun lagi sekolah di sini."

Kalimat Rosi yang tampak ingin mempengaruhi Hilwa agar mau mengubah pikirannya lekas saja ditolak Hilwa mentah-mentah. Kepalanya menggeleng tanpa keraguan. Hilwa mengelap derai air mata yang membanjiri pipi, lantas memasang tampang serius. "Kalau semua ini memang aku niatkan untuk Allah, aku enggak akan ragu mengorbankan mimpiku, Oci. Aku cuma mau terbebas dari belenggu yang hanya bikin aku melangkah di jalan yang salah."

[ma.ni.pu.la.si]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro