Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Aku sudah bersiap tidur saat pintuku diketuk. Yudistira berdiri di depanku ketika daun pintu terkuak. Aku pikir dia sudah ke Makassar. Dia memang akan pulang ke Jakarta malam ini.

"Ada apa?" Aku merapatkan jaket yang kupakai. Udara di luar sangat dingin. Butuh waktu cukup lama waktu pertama datang ke sini untuk beradaptasi dengan cuaca dinginnya yang lumayan ekstrem.

"Aku akan ke Makassar."

"Aku pikir kamu malah sudah berangkat."

"Aku nggak mungkin pergi sebelum pamitan." Yudistira menunjuk ke dalam. "Aku bisa masuk sebentar? Di luar dingin sekali."

Aku memiringkan tubuh, memberinya jalan masuk. "Kamu nggak perlu pamitan. Aku sudah tahu kamu akan berangkat. Umar sudah ada?" aku menanyakan sopir yang akan mengantarnya ke bandara.

"Sudah. Aku suruh tunggu di tempat parkir." Yudistira mengulurkan kantung kertas yang dipegangnya. "Aku mau mengembalikan ini."

Aku tidak langsung mengambilnya. "Apa itu?" Aku tidak akan menerima apa pun dari Yudistira sekarang.

"Barang kamu yang ketinggalan di rumah. Baru sempat aku kembalikan karena kita memang baru ketemu." Dia meletakkan kantung kertas itu di atas meja

Aku tidak merasa meninggalkan apa pun di rumah Yudistira. Saat pergi, aku membersihkan jejakku di sana. Aku membawa semua barang yang ikut masuk bersamaku ke rumahnya setelah menikah. Tidak ada yang tersisa yang bisa membuat dia teringat kepadaku, meskipun aku yakin melupakanku pasti semudah menjentikkan jari. Mungkin saja dia malah merayakan kebebasannya selama 7 hari 7 malam dengan para sahabatnya.

"Apa itu?" ulangku.

"Nanti kamu lihat sendiri. Aku harus ke bandara sekarang. Risiko naik pesawat komersial kayak gini, harus buru-buru," Yudistira menjelaskan seolah penting untukku tahu kendaraan yang dia gunakan untuk bepergian kemana-mana. "Aku pergi ya. Sampai nanti." Dia berbalik dan akhirnya menghilang setelah menutup pintu dari luar.

Aku kemudian duduk dan meraih kantung itu. Kira-kira barang apa yang lupa kuambil dari rumah Yudistira? Kantung itu berisi sebuah kotak yang cukup besar. Aku merobek kertas pembungkusnya dan langsung terpaku saat mengenalinya.

Aku tidak melupakan benda itu. Aku memang sengaja meninggalkannya karena membawanya akan terus mengingatkanku kepada Yudistira. Sama seperti aku tidak meninggalkan jejak saat meninggalkan rumahnya, aku juga tidak mau membawa benda apa pun yang diberikannya. Termasuk perhiasan-perhiasan yang berada di dalam kotak ini.

Itu adalah perhiasan yang termasuk dalam hantaran saat kami menikah. Dan ada juga yang diberikan Yudistira setelah kami menikah. Dia lumayan royal memberi hadiah. Seandainya dia tahu kalau aku lebih suka dia memberi hatinya kepadaku ketimbang benda-benda yang dibeli dengan uang. Tapi dia mungkin memang sengaja memberi hadiah karena tahu hatinya terlalu berharga untuk diberikan kepadaku.

Aku membuka tutup kotak itu. Di bagian atas ada cincin kawinku. Aku mengeluarkan dan mengamatinya. Benda ini harganya sangat mahal. Aku tahu karena karena Yudistira mengajakku saat membelinya. Katanya supaya bisa dicoba langsung di jariku. Sebenarnya aku memilih cincin yang jauh lebih sederhana, tetapi dia menolak pilihanku dan menunjuk cincin ini.

Ada keinginan aneh yang tidak bisa kutahan. Apakah cincin ini masih muat di jariku? Aku kemudian memasangnya di jari manis, tempatnya dulu melingkar. Pas. Ukuran jariku rupanya tidak berbeda sejak melepasnya. Aku lalu mengangkatnya ke arah lampu. Berliannya yang besar tampak berkilau. Indah. Sayangnya, keindahannya tidak menulari pernikahanku.

Perlahan, aku melepas dan mengembalikannya ke dalam kotak. Cincin ini adalah bukti kebohongan Yudistira. Bodohnya aku karena harus mendengar dia mengakuinya dengan bibirnya sendiri, padahal ada banyak momen yang seharusnya membuatku curiga. Namun tidak, aku memilih percaya kepadanya. Mungkin karena aku ingin meyakinkan diri sendiri bahwa dia juga sudah mencintaiku setelah kami jalan bersama begitu sepakat untuk memulai penjajakan sebelum menikah.

Setelah aku ingat-ingat kembali setelah perpisahan kami, aku begitu mudah menemukan bukti kalau Yudistira memang tidak bermaksud menjadikan aku permanen dalam hidupnya. Contoh paling gamblang yang sebenarnya mengganjal di hatiku sejak dulu –hanya aku tolak untuk kuakui— adalah dia selalu menggunakan pengaman setiap kali kami bercinta.

"Kok kondomnya bisa habis sih, Kay?" Dia terpaku di depan laci nakas yang terbuka setelah kami menyelesaikan sesi foreplay. "Perasaan aku beli banyak deh."

Tentu saja cepat habis karena kami sering menggunakannya, tetapi aku tidak mengatakannya seperti itu. Aku hanya bilang, "Mungkin kita nggak usah pakai pengaman saja, Dis. Aku sudah siap jadi ibu kok."

Yudistira menatapku lama sebelum mengatakan, "Punya anak itu keputusan besar, Kay. Aku harus menyiapkan diri dulu. Aku nggak yakin bisa jadi ayah yang baik sekarang. Kamu tahu kan aku kadang-kadang masih egois. Bawaan jadi anak tunggal yang dimanjain banget sama Ibu. Aku juga masih mau berdua saja dengan kamu. Kita kan pacarannya nggak lama. Puas-puasin dulu berdua, baru kita pikirin punya anak." Dia lantas kembali ke tempat tidur dan menciumku. "Aku keluarin di luar saja ya."

Seharusnya waktu itu aku bisa membaca gelagatnya. Usia kami saat menikah sudah matang. Mengapa dia harus menunda keputusan memiliki anak kalau pernikahan kami bukan hanya sekadar permainan untuknya? Tololnya, waktu itu aku pikir bahwa ide berdua dan pacaran dulu setelah menikah seperti yang dikatakannya malah romantis.

Bercinta dengan pengaman dan menjauhkanku dari sahabat-sahabatnya seharusnya sudah cukup untuk mengendus modus Yudistira seandainya aku mau menganalisis dengan logika dan tidak menggunakan perasaan saat menghadapi laki-laki itu.

**

"Nggak usah dibalikin," kata Anira. Dia menyodorkan cangkir teh hijau di depanku. "Simpan saja. Nanti mungkin saja berguna kalau kamu mau bikin usaha. Lagian, barang-barang itu juga nggak mungkin Yudis pakai sendiri, kan?"

Aku sekarang berada di rumah Anira. Aku meminta pendapatnya tentang perhiasan yang diberikan Yudistira kepadaku. "Tapi lihat barang-barang itu bikin aku malah jadi lebih sering ingat dia. Aku nggak suka itu."

"Tanpa benda itu juga kamu masih ingat dia."

Aku mendesah. "Kalau ada kontes perempuan paling tolol sedunia, kayaknya aku harus ikut. Kemungkinan besar aku pasti menang."

"Kamu mencintai dia, bukan tolol."

"Kalau pintar, aku sudah melupakan dia. Kami sudah berpisah cukup lama."

"Mungkin kamu sendiri belum ikhlas menerima perpisahan itu. Itu wajar sih. Yudis laki-laki pertama untuk kamu. Orangtuanya sudah menganggap kamu seperti anak mereka sendiri. Itu ikatan emosional yang nggak gampang dilepas."

"Tetap saja menyebalkan!" Aku menatap Anira frustrasi. "Mungkin aku memang nggak tetap tinggal di Malino. Itu buruk untukku."

"Kamu sudah memikirkan untung-ruginya sebelum mengambil keputusan untuk tinggal, Na. Kadang-kadang kita memang labil kalau berhadapan dengan kenangan. Tapi kamu pasti bisa mengatasinya."

Aku sama sekali tidak yakin. "Aku nggak suka perasaanku sekarang."

Anira menepuk lenganku, menenangkan. "Oh ya, kamu mau nginap di sini?" Dia mengalihkan percakapan.

"Aku pulang ke Malino." Aku sudah terbiasa tinggal di sana. Bangun pagi dan berkeliling perkebunan menjadi rutinitas yang sangat aku nikmati. Salah satu alasan mengapa aku memilih bertahan.

"Mau ketemu Adam sebelum pulang?" Anira mengingatkanku pada Adam, satu-satunya teman yang dekat selain Anira dan Dean di Makassar.

Aku menggeleng lesu. Menghubungi Adam hanya akan menumbuhkan harapannya. Apa yang bisa kutawarkan kalau perasaanku masih galau seperti sekarang? Menyakiti hati orang lain untuk mencoba mengobati luka hatiku sama sekali tidak adil. "Aku nggak yakin lagi soal Adam. Setidaknya sekarang. Mungkin nanti kalau aku beneran sudah move on, dan dia belum keburu ketemu perempuan lain. Orang kayak dia nggak kekurangan pengagum."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro