Life After Marriage

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

                                                                                  Life After Marriage



Kaus kuning madu dan celana pendek menjadi pilihan Seanna setelah mandi. Ada beberapa alternatif pakaian yang bisa dipakai untuk pagi pertamanya sebagai nyonya Arland. Kaos gombrang dan celana piyama yang segera disingkirkannya karena terlalu boyish. Daster batik tanpa lengan, yang juga diurungkan untuk dipakai karena tidak sreg dengan motifnya. Atau, lingerie putih berlabel Victoria's Secret yang langsung disurukkannya ke dasar walk in closet karena dia tidak sedang ingin merayu Arland dan mungkin membuatnya horny pagi-pagi, padahal semalam mereka langsung tertidur pulas karena kelelahan menerima tamu. Jadi, ketimbang pusing hanya karena perkara baju, akhirnya Seanna memakai pakaian yang menurutnya netral. Bahan kausnya tidak transparan dan dingin di kulit, celana pendeknya juga masih dalam batas wajar.

Seanna belum sempat menyiapkan pakaian untuk Arland karena Arland sendiri yang mengatakan akan menyiapkan sendiri. Pagi itu, Arland mengenakan kaus putih dan celana piyama berwarna abu-abu. Terlihat seperti Mr. Grey?

Seanna tergelak dalam hati.

"Jahat. Makan duluan," kata Seanna setelah menuruni tangga.

Arland mengangkat mangkuk berisi sereal cokelat dan susu. "Buat kamu juga ada." Arland mengangkat mangkuk yang satunya lagi. Isinya sama.

"Isteri macam apa yang disiapin sarapan sama suami sendiri di hari pertama setelah nikah?" Seanna mengejek dirinya sendiri. "Makasih ya, Ar."

Arland hanya tersenyum di balik mangkuknya. "Harusnya makasih ya, Sayang?"

"Geli." Seanna menarik kursi di depan Arland dan duduk dengan sendok di tangan yang sudah siap mencaplok sereal. "Kamu aja."

"Makan yang banyak ya, Sayang?" kata Arland yang disambut pelototan Seanna tapi Seanna malah tertawa juga.

"Iya, Sayang. Pasti." Seanna kembali menunduk dan fokus menatap isi mangkuk. Rasanya masih aneh, tapi dia berusaha mengenyahkan perasaan itu.

"Hari ini agendanya apa?" tanya Arland untuk memecah kesunyian. Entah mengapa, Seanna selalu terdiam setiap berbicara dengannya usai beberapa kalimat.

"Di rumah aja kan?"

"Biar terkesan capek banget ya semalam?" Arland menatap Seanna dan tersenyum.

Seanna hanya melebarkan mata kemudian kembali menyantap sereal. Mereka duduk berhadapan, dengan menu sarapan yang sama, namun dengan sikap yang berbeda. Jika Arland tampak begitu nyaman dengan keadaan mereka sekarang, sebaliknya Seanna masih sedikit takut. Ya, ide pernikahan ini adalah 99 % ide brilian Arland, jika bisa dikatakan brilian. Arland mengemukakan alasan rasional. Pertama, mereka sama-sama sudah cukup umur untuk menikah. Arland 28 tahun, Seanna 27 tahun. Sebaya. Kedua, mereka tidak punya alasan untuk saling menolak satu sama lain. Ketiga, Seanna butuh perlindungan, dan menurutnya Arland menyediakan "fasilitas" tersebut. Arland laki-laki yang baik, dan tidak pernah melakukan tindakan kurang ajar padanya. Dan keempat. Bisa dibilang faktor ini adalah faktor pamungkas dari semuanya. Arland butuh pernikahan untuk melenggangkan langkahnya menjadi direktur perusahaan keluarga, yaitu Ardiara Jewelry.

Bukankah ini kerjasama yang saling menguntungkan?

Tapi, pernikahan mereka bukan pernikahan kontrak, karena memang tidak ada aturan tertulis hitam di atas putih. Lagipula, Seanna masih cukup waras untuk memberikan tandatangan di atas secarik kertas yang melegalkan nikah kontrak. Sekalipun mereka menyebut-nyebut kemungkinan usia pernikahan selama satu tahun, tapi tidak ada batasan. Mereka hanya sedang melalui proses penjajakan. Jika orang lain melaluinya dengan masa pacaran, mereka melaluinya dengan pernikahan. Tamengnya, Arland memang sudah pernah menyentuh Seanna melampaui batas yang seharusnya. Seanna tidak sedang mengandung, tapi tetap saja faktor grepe-grepe itu telah membawa mereka kepada status mereka sekarang

"Jadi, seharian ini nggak ada yang bakal ke sini ngunjungin kita?" tanya Seanna. Dia tidak masalah kalau ada anggota keluarga Arland yang datang ke sana. Justru bagus karena dia punya teman mengobrol selain Arland, yang masih saja membuatnya canggung.

"Sepertinya begitu. Mama sama papa juga udah bilang kan nggak bakal ke sini?" Arland menyuapkan lagi sereal ke dalam mulutnya. "Kalo kamu mau nonton DVD, sudah tersedia di ruang TV. Bisa juga kalo kamu mau nonton di kamar."

"Kamu mau ikutan nonton?"

"Boleh. Asal pilihan filmnya yang horor."

"Nggak ah. Aku maunya nonton film drama."

"Udah ketebak."

Arland memang sengaja memilihkan beberapa judul film kesukaan Seanna. Seanna sudah pernah mengatakan judul-judul film favoritnya. Arland sendiri bukan penggemar film. Untuk membunuh waktu, dia bisa menonton TV. Atau bermain PS. Atau jalan-jalan. Tapi opsi yang terakhir akan ditundanya sampai besok. Nggak lucu kan, pengantin baru kedapatan berkeliaran di luar rumah di hari pertama pasca menikah?

"Kamu ikutan nonton aja, daripada bengong sendiri," usul Seanna. Hanya sekedar menawarkan, kalau-kalau Arland mau.

"Aku mau tidur aja," jawab Arland. "Jadi, kamu mau nonton di mana? Kalau nggak di kamar, kamarnya aku pake buat tidur."

"Aku di ruang TV aja. DVDnya udah ada di situ kan?" tanya Seanna sekedar memastikan lagi.

"Iya. Ada di rak penyimpanan DVD." Arland menandaskan sarapan sereal, dan beralih ke jus jeruk kemasan. "Selamat menonton."

"Selamat tidur."

***

Seanna menumpukan perhatiannya ke layar TV. Pilihannya memutar film The Longest Ride malah membuatnya menguap. Mungkin bukan karena pilihan filmnya, tapi karena pada dasarnya dia memang masih mengantuk. AC yang bertiup sepoi juga sangat mendukung suasana.

Saat itu pikirannya masih melayang-layang.

Semalam, dia dan Arland berada di kamar yang sama. Arland tidur satu ranjang dengannya. Tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja, sesekali dia harus terbangun karena bagian tubuh Arland seperti tangan, siku, sampai kaki tidak sengaja menyentuhnya. Seanna tidak bisa tidur jika ada yang menyentuh.

Malam nanti adalah malam kedua mereka tidur bersama. Mungkin karena semalam dia merasa kelelahan, dia tidak terlalu memikirkan kenyataan tidur seranjang. Tapi hari ini kesadarannya pulih, dan meskipun sekarang masih pagi menjelang siang, perasaan canggung itu mulai datang.

Scott Eastwood lumayan juga. batinnya.

Britt Robertson cantik juga, sih.

Seanna kembali menggeleng-gelengkan kepala.

Kenapa hanya menonton TV harus ekstra konsentrasi?

Apa karena distraksi pikirannya terhadap Arland?

Aduh, jangan sampai deh.

***

Ketika masuk ke dalam kamar, Arland masih tertidur pulas. Jam di nakas sudah nyaris menunjukkan pukul 12 siang. Arland tidurnya kebo banget sih?

Seanna hanya mengintip sebentar, sebelum turun kembali, terus berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan siang.

Di dalam kulkas sudah dipenuhi beraneka ragam isi, mulai dari aneka buah-buahan di bagian bawah, sayur-sayuran, makanan kaleng, dan aneka ikan, daging dan seafood. Seanna melihat dulu seluruh isi kulkas sebelum mulai memikirkan masakan apa yang akan dimasak.

Untuk urusan masak, kemampuannya lumayan. Tidak pintar-pintar amat, tapi juga bukan kategori perempuan yang untuk urusan memegang pisau dapur saya, payah. Bukan sekedar bisa masak air, masak mie, atau ceplok telur.

Dua jenis masakan. Ya, dua saja sudah cukup. Selain nasi putih, Seanna berencana akan memasak oseng-oseng dan ayam kecap.

Tangannya mulai bergerak menyiapkan bahan-bahan, ketika suara Arland terdengar. Seperti sedang menerima telepon.

"Iya, Ma. Ini baru bangun. Oh, lagi di dapur."

Seanna berbalik sebentar dan menemukan Arland memasuki dapur. Dia berhenti di pintu, masih dengan wajah kasur.

"Mama kamu mau ke sini?"

"Nggak. Cuma nanya aja, kamu lagi ngapain."

"Oo."

Seanna kembali menekuni pekerjaannya. Arland hanya sebentar saja di sana, mungkin sekedar memastikan kalau dia tidak salah memberi info.

"Sebentar malam, jalan yuk?"

Seanna kembali berbalik. "Ke mana?"

"Kita makan malam di luar saja."

"Oke."

***

"Dessertnya enak." Seanna mengangkat sendok kecil berisi potongan puding mangga sebelum disuapkan ke mulutnya. Tekstur puding yang begitu lembut tidak perlu dikunyah langsung lolos ke kerongkongan. "Semuanya enak. Appetizernya sama main coursenya, apalagi. Selera kamu boleh juga."

Arland merasa tersanjung. Pilihannya untuk datang ke restoran fusion tersebut tidak salah. Restoran tersebut menyajikan masakan luar negeri yang sudah dimodifikasi.

"Mungkin sesekali kita bisa makan malam di sini."

"Booleh."

Arland ikut menyantap puding mangga. Diperhatikannya gerak-gerik Seanna. Di awal makan malam, Seanna terlihat gugup, tapi setelah makan, dia malah terlihat menikmati makan malam tersebut. Dan lagi, malam itu Seanna lebih cantik dari biasanya. Rambut sebahunya dibuat berombak, dan wajahnya dihiasi make-up tipis sehingga terlihat lebih segar. Dress hitam yang dipilihnya juga sangat mendukung penampilannya.

"Mm, Seanna."

"Ya?"

Arland meneguk air putih. Dipandanginya wajah Seanna yang sedari tadi terlalu melekat pada piringnya. Puding mangga itu memang benar-benar lezat, namun wajah perempuan itu sudah semakin dekat dengan piring.

"Abis makan, kita muter-muter sebentar."

Seanna berpikir sejenak, tapi karena memang tidak ada masalah, dia mengangguk.

"Booleh."

***

Bunyi hak sepatu high heels yang dikenakan Seanna terdengar seiring setiap kakinya melangkah. Malam itu, dia dan Arland berjalan-jalan menyusuri jalan di sekitar taman kompleks. Ternyata maksud Arland muter-muter di tempat itu.

"Aku nggak punya referensi tempat lain. Tadinya mau ngajak kamu jalan-jalan di taman kota, tapi sepertinya kurang cocok dipakai jalan malam-malam."

Seanna hanya tersenyum.

"Di sini juga seru kok."

Arland mengiyakan dalam hati. Dia berjalan di sisi Seanna yang sejak tadi berjalan santai.

"Beberapa hari lagi ada rapat direksi."

"Oh, ya?"

"Dan kemungkinan nggak lama lagi aku naik posisi jadi direktur."

Seanna hanya mengangguk kecil. Dia menarik ujung kakinya ketika nyaris menginjak ranting pohon. Arland pernah menyinggung soal jabatan itu sebelum mereka menikah. Dan dia tidak perlu heran dengan hal itu. Dia hanya berharap semoga karir Arland semakin bagus.

Mereka berjalan kembali ke mobil yang terparkir di dekat lapangan basket. Hari pertama pernikahan, ternyata lumayan juga.

***

Seminggu kemudian...

Suara alarm yang berbunyi semakin nyaring terdengar semakin memekakkan telinga.

Arland membuka kedua mata. Pelan-pelan sampai benar-benar jelas pandangannya ke langit-langit putih di atas. Dia menoleh ke sebelah kiri. Ternyata Seanna sudah lebih dulu bangun.

Kini dilihatnya, Seanna tergopoh-gopoh menghampiri ponsel di nakas dan mematikannya.

"Udah kumatikan tadi, tapi ternyata masih bunyi."

Arland menyibak selimut.

"Jam berapa sekarang?"

"Jam 7."

"Apa???" Arland berteriak tanpa sadar.

"Aku udah bangunin dari tadi, tapi kamu nggak mau bangun." Seanna tersenyum-senyum. Dia sengaja mengerjai Arland, padahal ini baru jam enam pagi. Dia sengaja duduk manis di tepi tempat tidur, mengamati pergerakan Arland masuk ke kamar mandi.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Arland sudah selesai mandi dan tergesa-gesa masuk ke dalam walk in closet.

"Pakaian kamu udah aku siapin!!" teriak Seanna lalu kembali tertawa-tawa.

Arland yang sudah keluar dari closet dengan memakai handuk dan kaus putih hanya bisa mempercepat kegiatan berpakaian tanpa sekalipun melirik jam dinding.

"Aku tunggu di meja makan." Seanna menyembulkan kepala di balik pintu sebelum bergegas turun ke ruang makan.

Kalau Arland tahu, entah apa reaksinya.

"Kamu bilang tadi jam tujuh? Kenapa sekarang belum setengah tujuuuhh???"

Seanna kembali tertawa.

Dan kini Arland sudah turun untuk sarapan.

"Bener-bener kamu ini."

"Kamu juga sih, maunya aja dikerjain. Makanya jangan kebo tidurnya. Kan udah jadi direktur, jadi harus on time."

Arland menarik kursi lalu memperbaiki letak dasinya. Dia menggeleng-geleng, tidak lama dia ikut tertawa.

Seanna mengambil teko berisi kopi dan menuangkan isinya ke dalam cangkir kosong di sisi kanan tangan Arland di atas meja.

"Thanks buat kopinya. Dan thanks buat keusilan kamu pagi ini."

"You're welcome." Seanna kemudian duduk di kursi di sisi kiri. Dia memilih jus jeruk sebagai pendamping roti bakar yang menjadi menu sarapan kali ini.

Sejenak, Arland menghirup kopi. Berhari-hari, kopi buatan Seanna diakrabinya setiap pagi dan sore hari. Ternyata Seanna cukup mahir meracik kopi. Sejauh ini, perempuan itu selalu mampu menyenangkan hatinya.

"Hari ini kamu nggak berangkat kerja?" tanya Arland karena dilihatnya Seanna masih setia memakai piyama pink favoritnya.

"Nggak. Kan aku bilang semalam sebelum tidur. Lupa?"

Arland jelas tidak memperhatikan sewaktu Seanna mengatakan hal tersebut, karena dia memang tidak bisa mengingat kapan Seanna bilang.

"Aku lupa."

Seanna memandangi kuku-kukunya. "Adit dateng lagi kemarin ke kantorku."

Rahang Arland mengeras. "Ngapain lagi dia?"

"Mana aku tau?"

Arland mengiris lagi roti dalam potongan pas masuk ke mulutnya. "Kamu resign aja kalo gitu. Nanti aku carikan lowongan di kantor."

"Tapi, aku senang kerja di sana."

"Situasinya sedang nggak aman buat kamu." Arland menjawab dengan cepat. Baginya, tidak ada lagi jalan lain selain menyuruh Seanna berhenti kerja di Kirei.

"Tapi..."

Arland mengunyah sebelum meneguk kopinya dalam tegukan panjang. "Untuk sementara, kamu jangan ke mana-mana dulu." Tapi Arland langsung meralat. "Gini aja. Kamu mandi, ganti pakaian, aku anter ke rumah mama."

"Hah?"

"Semua kemungkinan bisa terjadi kan? Misalnya kalau dia datang ke sini."

"Tapi dia nggak tau alamat rumah ini. Aman kok."

"Nggak. Aku nggak tenang. Abis ini aku kasih tau mama buat nyari asisten rumahtangga buat rumah ini."

Seanna mengerut-ngerutkan kening.

"Iya deh. Terserah kamu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro