Responsibility

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



     Responsibility




Biasanya sih pake cium

"Mana ada taruhan model begitu?" protes Seanna.

Namun hal itu tidak menghentikan Arland. Kini Arland sudah kembali dari tempat penyimpanan peralatan memanah. Sebuah busur, beberapa anak panah, sarung tangan, dan beberapa printilan lain yang tidak dimengerti. Arland tidak menjelaskan masing-masing peralatan satu persatu, Seanna pun enggan bertanya. Dia lebih terfokus pada gerak-gerik Arland dengan busur dan panahnya.

"Cium kan nggak pake modal?" kata Arland ketika memakai sarung tangan. "Waktu kamu satu menit buat mikir."

"Kenapa harus pake taruhan? Manah aja udah. Kenapa harus ribet?" Seanna mengikuti ke mana tatapan Arland berakhir. Bukan kepadanya, tapi ke papan target yang berjarak puluhan meter di depan mereka.

"Cari tempat yang aman."

Seanna berjalan mundur sebelum Arland mengangkat busur. Anak panah sudah terpasang terarah ke depan. Dia belum tahu Arland itu payah atau benar-benar jago untuk olahraga yang satu itu.

Arland berkonsentrasi penuh dengan targetnya. Dia tidak mungkin mempermalukan dirinya di depan Seanna.

Dan...

"Sedikit meleset."

Seanna menutup mulutnya yang sempat menganga. Di depan sana, tepat di tengah-tengah papan target, anak panah yang tadi dilesakkan Arland menancap sempurna.

"Meleset apanya?" Seanna kembali ternganga sambil bertepuk tangan. "Great. Aku nggak punya alasan buat ngeledek kamu."

Arland menurunkan busur di tangannya dan meletakkan di atas meja gazebo yang kosong.

"Sejak kapan kamu suka memanah?" Seanna menanyai Arland ketika mereka berjalan untuk mengambil panah yang tertancap tadi.

"Sejak SMP. Kakek yang ngajarin. He's a good archer."

Seanna mengangguk. Angin di lapangan itu lumayan kencang, dia sampai harus memegangi ujung dressnya kuat-kuat sebelum terangkat karena tiupan angin.

"Kayaknya berat ya busurnya?"

"Lumayan." Arland menunduk dan setengah menahan langkah Seanna sebelum ke dua kaki gadis itu terperosok lubang. "Hati-hati."

Seanna ikut menunduk. Sebuah lubang memanjang nyaris jadi jebakan maut baginya. "Thanks."

Mereka kembali berjalan tanpa bersuara. Seanna tidak pernah mengunjungi tempat seperti ini. Lapangan di halaman belakang yang luas, area panahan, dan Arland yang begitu baik dan ramah.

"So how bout the kiss?"

"Kita nggak lagi taruhan kan?"

"Anggap aja reward." Arland, entahlah apakah dia serius atau tidak.

"You're kidding." Seanna tertawa pelan.

"Sekali lagi, dan kalau tepat sasaran..."

Seanna menggeleng. "Menurutku, ini trik yang biasa kamu pake untuk menggoda cewek. Iya kan?"

"Kadang-kadang," kata Arland.

"Aku anggap aja aku nggak pernah dengar." Seanna masih tersenyum ramah.

"Jadi aku gagal?"

"Sudah pasti."

***

Seanna mungkin sedang marah atau tersinggung dengan joke di lapangan tadi. Seanna jelas bukan tipe perempuan yang sukarela menerima umpan seperti itu.

"Maaf soal yang di lapangan tadi."

"It's ok." Seanna berucap pelan.

"Ok."

"Aku memang pernah nyium kamu, tapi bukan berarti aku akan mengulangi kebodohan aku di Bali. Aku mabuk waktu itu, ingat kan?" Seanna kembali menolehkan kepalanya ke jendela.

"Still remember that?"

"Sedikit."

"Kita berkenalan dengan cara yang salah ya?" Arland mengucapkannya dengan tidak yakin.

Seanna bersedekap, mendadak disergap kecemasan. "Serius, sebenarnya kita sampai di mana? Maksudku, aku nggak bisa ingat apa saja yang terjadi waktu itu. Aku hanya ingin tahu detailnya, dengan lebih jelas. Nggak ada yang ditutup-tutupi."

"Kupikir aku udah bilang nggak terjadi apa-apa."

"Aku nggak bisa gitu aja percaya, Arland. Lama-lama aku bisa gila mikirin hal ini."

Arland memelankan mobil memberi lampu sen kiri sebelum meminggir.

"Kamu ingin tahu pasti detailnya?"

"Ya." Seanna menelan ludah di kerongkongan yang terasa kering.

Arland memutar kunci dan mesin mobil pun mati.

"We were kissing." Arland menatap mobil yang melintas di sisi seberang jalan. "Cuma itu."

"But I was naked." Seanna mengeraskan suaranya. "Just tell me, we were not having sex."

"No. Aku masih cukup waras untuk nggak manfaatin kamu waktu itu."

"Tapi bukannya kamu bisa saja tergoda atau gimana?"

Arland menghela napas. "Are you afraid?"

"Sangat. Sejak kejadian itu, aku ngerasa nggak bisa tenang. Aku nggak tau harus gimana."

"Jadi anggap saja aku udah ngapa-ngapain kamu." Arland mengatupkan rahang. "So marry me."

***

Arland mungkin berpikir tawarannya waktu itu akan meringankan beban pikiran Seanna. Tapi berhari-hari sejak kunjungan ke Lembang itu, Seanna merasakan guncangan emosional.

Bagaimana mungkin Arland dengan enteng mengatakan kalimat itu?

Anggap saja aku udah ngapa-ngapain kamu. So marry me.

Bisakah dia mengucapkan kalimat yang jauh lebih menyakitkan?

Secara mental dia memang merasa sudah "rusak". Apalagi? Apakah menikah dengan Arland mampu membuat keadaan jadi lebih baik?

Arland sudah mengirimkan SMS permohonan maaf dan berondongan panggilan yang tidak pernah sekalipun dijawab Seanna.

Dia sudah memutuskan. Akan lebih baik bila mereka tidak punya hubungan apa-apa. Dia tidak sanggup berada di dekat Arland, berbicara dengannya seperti teman, tanpa pikiran penuh tanya yang selalu mengusik ketenangan hidup.

Seanna bahkan sudah tidak peduli lagi dengan Adit yang akan kembali meneror hidupnya. Dia akan berusaha sendiri menjauhi Adit tanpa bantuan orang lain.

Lagipula untuk apa mengandalkan Arland, sedangkan laki-laki itu baru saja melukai perasaannya?

Hipotesisnya memang benar dari dulu. Dia tidak akan pernah bertemu laki-laki yang bisa membuatnya bahagia.

***

"Pagi, Cha." Seanna menyapa Alyssa yang sudah lebih dulu datang. Setelah meletakkan tas selempang kecilnya di atas meja, Seanna mulai menyalakan ponsel androidnya.

Aku di depan Kirei.

Seanna membuang napas berat.

"Arland, tuh." Alyssa rupanya juga mengetahui keberadaan Arland di depan kantor mereka.

Jelas sekali sih, karena Audi milik Arland terparkir manis di halaman.

Entah apa yang akan dikatakannya kepada Arland jika dia meladeni kedatangan Arland di kantornya.

"Na." Alyssa memanggilnya ketika Seanna tidak juga beranjak dari kursi.

Akhirnya, ketika Arland masuk ke dalam kantor, Seanna memilih menyibukkan diri dengan laptop di depannya.

"Aku harus bicara sama kamu."

Seanna masih mengetik di laptop. Jujur, melihat Arland di hadapannya, Seanna mulai merasakan panas di kedua matanya.

"I'm so sorry."

"Bukan salah kamu."

Airmata sudah menggenang di kelopak mata Seanna.

"Tapi aku serius soal itu."

Seanna mengambil tissue untuk mengelap matanya yang basah.

"Kamu nggak perlu nikahin aku karena alasan itu," jawab Seanna dengan suara datar. "We are done, Arland."

"Kasih aku kesempatan, Seanna."

"You don't have to do this, Arland."

Arland masih menatapnya tanpa berkedip. "I'm serious."

Seanna tidak lagi menjawab.

***

"Dia bilang gitu? Wow."

"Itu kayak jawaban atas sikapku yang masih nggak bisa menerima penjelasan dia soal...Bali."

Seanna lalu mengubur wajahnya di bantal. Mengapa sulit sekali menerima kejujuran Arland?

Yaa, kalau Arland memang benar-benar jujur. Dan...ajakan nikah waktu itu pasti hanya bercanda saja. Arland menawari pernikahan seperti menawarkan permen. Menganggap insiden waktu itu hanya menunggu diselesaikan dengan kata "marry me".

Dua kata itu adalah hal yang serius.

Tapi sewaktu di Kirei, Arland mengatakan bahwa dia serius.

"Dia memang nggak punya pilihan lain, An. Kamu nggak percaya pengakuannya. Dia juga nggak bisa ninggalin kamu gitu aja. Jadi, dia nawarin buat nikah sama kamu. Justru bagus kan? Dia mau tanggungjawab?" kata Erika panjang lebar.

Seanna terdiam. Erika menyimpulkan dengan sangat tepat.

Tapi, masalahnya, mereka tidak punya ikatan apa-apa. Kalaupun Arland berniat menikahinya, mereka harus saling mengenal satu sama lain. Mereka bukan pasangan hasil pertunangan, mereka tidak pernah pacaran, sahabat tidak, kenalnya pun belum genap dua bulan.

Itulah mengapa dia berulangkali menekankan betapa hubungan mereka sangat aneh.

"Jadi gimana?"

"Aku nggak bilang apa-apa. Aku cuma nyuruh dia pergi." Seanna menutup mata. Membalikkan badan hingga langit-langit tepat di ujung pandangannya.

"Dicoba aja dulu, An. Kalian penjajakan aja dulu. Kalau Arland memang serius, dia pasti nikahin kamu."

Seanna menggeleng.

"Gimana kalo dia punya pacar? Atau ada perempuan yang dia suka. Tapi karena tanggungjawab, dia malah terpaksa nikahin aku." Seanna memijit-mijit kepalanya yang terus berdenyut-denyut karena terlalu banyak berpikir.

"Lho? Kan dia ngajak kamu nikah? Masak sih dia ngajak nikah kalo dia punya pacar?"

Seanna menarik-narik ujung bedcover. "Ya, siapa tau?"

"Kamu sih, pikirannya ribet mulu. Coba deh cara mikir kamu dibuat simpel. Kamu mungkin udah sering gagal sama hubungan sebelumnya. Siapa yang tau dengan Arland ini adalah yang terakhir? Gimana kalo dia adalah laki-laki yang kamu cari selama ini? Yang tulus sayang sama kamu? Yang namanya jodoh, kita nggak tau cara Tuhan mempertemukan manusia dengan belahan jiwanya. Siapa yang tau Arland itu 'the one' yang selama ini nggak pernah kamu percaya ada? Ya kan?"

"Aku udah terlanjur pesimis soal jodoh, Er," keluh Seanna.

Erika hanya menggeleng-geleng. "Move on dong. Nggak boleh pesimis. Kak Ervan udah sama Dinda. Soal Adit bakal reda dengan sendirinya kalo kamu udah nikah."

***

Seanna mencoba mencerna nasihat Erika kemarin. Harus diakuinya terkadang ucapan Erika itu ada benarnya. Mungkin selama ini dia terlalu terkungkung dalam pemikiran negatif tentang jodoh.

Tapi dia sudah menolak Arland.

Dia tidak mungkin menarik ucapannya lagi.

***

T����i~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro