What If We Hate Each Other?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haiiii balik lagiii...

Happy reading :))


______________________________________________________________________________

Definisi suka versi Seanna adalah dia mengagumi Ervan sejak dari dulu. Dia pernah bercita-cita hanya ingin menikah dengan Ervan. Lalu, ketika Ervan menikah dengan Dinda, dia menjadi patah hati. Sekarang, mengetahui Dinda tengah hamil, ada setitik rasa kecewa yang menurutnya wajar-wajar saja. Namanya juga dia masih suka sama Ervan.

"Bukan begitu," jawab Seanna.

Nah, kalau begini malah dia berbohong sama Arland.

"Lalu?"

Arland bukannya masuk kamar mandi untuk bersih-bersih, malah makin gencar bertanya.

"Iya, nggak kenapa-napa. Anggap saja sekilas info. Gitu." Seanna buru-buru berbalik, tapi Arland memegangi pundaknya, memaksanya berbalik.

"Kalo lagi sama aku, jangan nyebut nama cowok lain." Suara Arland penuh keseriusan juga ketegasan.

Seanna baru akan menjawab, tapi Arland sudah lebih dulu meninggalkannya. Bersama tanda tanya, sekaligus rasa bersalah.

***

Cemburu tandanya cinta.

Apakah tadi dia cemburu?

Kalau iya, kenapa dia tidak mengatakannya kepada Seanna?

Tapi kalau Seanna cukup peka, tanpa dia ngomong, Seanna pasti akan mengerti.

Tapi Seanna kan bukan cewek peka? Kode-kode yang sudah terang benderang saja, dia suka tidak paham. Apalagi kalau sekedar kalimat tanpa penegasan dan tanpa kata cemburu di dalamnya.

Arland keluar dari kamar mandi dalam suasana hati yang lebih baik. Mungkin karena efek bersih-bersih sebelum tidur. Dilihatnya Seanna sudah berbaring tapi matanya belum terpejam. Setelah diperhatikan dengan seksama, dia rupanya sedang memegang ponsel.

Menyibukkan diri lagi?

Saat tubuhnya sudah mendekati tempat tidur, Seanna sempat melirik sebelum melanjutkan lagi sentuhan jemarinya di monitor ponsel.

"Aku tidur duluan."

Arland pamit, setelah mendekap guling dan memunggungi Seanna.

Na, aku harus gimana lagi supaya kamu lebih mengerti dan memahami aku?

***

Fix. Arland marah nih. Mau nanya, tapi nggak berani.

Kelopak mata Seanna masih belum tersentuh efek kantuk. Dari tadi kuapannya terus menerus dalam interval waktu pendek antara satu kuapan dengan kuapan lain. Mengucek mata juga berulang-ulang sampai dia sadar tidak ada gunanya, karena yang ada malah matanya perih. Tapi kantuk yang ditunggu tidak datang-datang juga. Dan dia yakin kalau begini terus dia tidak akan kunjung tertidur.

Posisi tidur Arland juga masih sama sejak dia pamit tidur empat jam lalu. Memeluk guling dan memberi punggung yang meskipun enak banget untuk dipeluk, tapi si pemilik punggung belum tentu mau. Jangan-jangan malah merasa terganggu.

Ar, aku salah ngomong ya? Kalo gitu maafin aku dooong? Jangan ngasih punggung aja. Aku pengen lihat kamu buka mata. Tersenyum, tertawa. Kita ngobrol macam-macam sampai pagi. Ngobrol soal apapun, tanpa ada beban. Tanpa canggung. Tanpa mikir yang berat-berat. Tanpa mikir bakal jadi apa hubungan kita nanti.

Ar, ngomong dong.

Aku nggak bisa diginiin.

Lama-lama aku kan jadi sedih...

***

"Den, saya buatin minuman dingin. Den Arland mau minuman apa? Sirup jeruk, es jeruk, atau air jeruk?"

Seanna mendengar Surti menanyai Arland. Surti memberikan pilihan minuman dengan lagak persis waitress restoran. Cuma kenapa pilihannya serba jeruk semua? Surti abis panen jeruk?

"Beda es jeruk sama air jeruk apa?"

"Kalo es jeruk, dibanyakin air sama es batunya, Den. Kalau air jeruk, cuma jeruk peras dikasih sedikit es batu."

"Yang praktis aja, Ti. Sirup jeruk."

Ar, aku mau kok disusahin sama kamu buatin minuman. Tapi kenapa malah Surti yang diberi kuasa? Biasanya juga aku yang buatin sirup jeruk buat kamu. Marah sih marah, Ar. Tapi nggak usah sampe ke perkara bikin minuman jugaa...

Masih mendongkol dalam hati, Surti juga menawarinya minuman dingin.

"Non, saya buatin sirup jeruk juga ya? Biar disamain sama minumannya Den Arland," tanya Surti dengan sangat ramah.

Surti ini baru sehari kerja tapi sudah pelukable sebagai asisten rumahtangga. Ramah dan baik hati. Senyumnya juga profesional, tidak kalah dengan senyuman SPG maupun resepsionis.

"Ng...gimana kalo aku aja yang buat sirupnya?" tanya Seanna.

"Eh, nggak boleh. Pokoknya selama Surti kerja di sini, Non nggak boleh kerja. Biar Surti yang kerjain semuanya. Oke?"

Ih, kok gitu, Ti? Gimana kalo ntar Arland naksir masakan kamu dan endingnya naksir sama kamu, gimana? Pokoknya nggak boleh. Nggaaak booleeeeh...

Suara hati Seanna berteriak posesif.

"Nggak pa-pa kok, Ti. Biasanya juga aku yang buatin sirup untuk Arland. Nggak pa-pa kok."

"Jangan dong, Non. Job desc saya kan udah jelas dari awal. Nanti kalo saya gabut, kan dosa."

Aduh, Surti tau juga ya istilah job desc sama gabut? Jangan-jangan Surti punya instagram sama saluran youtube juga?

"Santai aja, Ti. Biar aku aja yang bikin. Surti nyapu-nyapu lagi aja dulu."

"Tapi, Non. Udah bersih semua kok, rumahnya. Udah tiga kali saya vacuum."

Seanna menghela napas panjang. Ya ampuun, mau buat minuman dingin aja susah gini ya?

"Surti. Biar isteri saya yang buatin sirup jeruknya."

Suara Arland menginterupsi perdebatan kecil Seanna dan Surti. Tidak hanya suara, senyum jail Arland juga tidak ketinggalan.

Seanna mengaduh dalam hati.

Arland kenapa nongol lagi sih?

"Iya deh. Non aja yang bikin sirupnya. " Surti akhirnya mengalah setelah Arland turun tangan. "Tapi, Surti yang siapin gelas, air, sirup sama es batunya."

Trus apa bedanya dengan dia yang buat sendiri?

"Gini. Surti kebagian bersih-bersih sama nyuci aja dulu. Untuk urusan kayak ginian, nanti biar isteri saya yang ngerjain. Soal masak-masak, nanti Surti bisa ikutan bantu. Nanti detail kerjanya Surti kita bicarakan lagi, Oke?" Arland menjelaskan panjang lebar, sekedar menghindari perdebatan tidak penting.

Maksud Surti jelas baik. Cuma mungkin caranya saja yang perlu diluruskan.

"Oke kalo gitu, Den. Jadi sekarang saya ngapain?"

Arland menatap Seanna yang sejak tadi diam saja.

"Surti istirahat aja. Nanti sekitar jam 5, balik lagi ke dapur, bantu-bantu masak."

Surti melihat jam dinding di dapur. "Sekarang baru jam 2. Nanti jam 4 saja saya mulai kerja, Den. Bersih-bersih dulu."

"Boleh. Terserah Surti aja, baiknya yang mana." Arland mengangguk.

"Ya udah, kalo gitu, saya permisi dulu, Den. Non."

Seanna menatap kepergian Surti sebagai satu-satunya pengalihan dari tatapan Arland yang terus terarah kepadanya. Dalam hal berkomunikasi, jelas Arland jagonya. Lihat saja Surti, yang segera melunak setelah Arland muncul dan memberi pengertian. Menggunakan pilihan kata-kata tepat, dan intonasi suara yang tepat pula. Kalau tidak, mungkin perdebatan kecil itu tidak akan selesai sampai Subuh.

"Es batunya." Arland meletakkan box berisi es batu kotak yang sudah dilepaskan dari cetakan.

"Taruh aja di situ."

Seanna juga sudah mengambil botol sirup dan botol air minum, sementara Arland mengambilkan dua gelas dan meletakkannya di atas nampan kecil.

"Aku tersanjung," kata Arland.

Seanna menunduk untuk menuangkan esens sirup ke dalam masing-masing gelas.

"Kamu mau repot-repot debat sama Surti soal ini."

Seanna merasakan jantungnya sudah mulai bertindak abnormal dengan berdenyut lebih cepat.

"Nggak. Tadi, aku nggak ada kerjaan aja." Seanna berusaha membantah tapi sepertinya tidak ada gunanya.

"Gitu ya?" Arland tersenyum.

Seanna menuangkan air dingin ke dalam gelas sampai volume cairan melewati takaran ¾ gelas. Es batu diambilnya menggunakan penjepit kayu ke masing-masing gelas. Kemudian disambung dengan mengaduk campuran air dan esens sirup hingga menyatu.

"Ar, soal yang semalam itu...." Seanna menggantung kalimatnya. Dia ingin tahu reaksi Arland terlebih dulu. Apakah ingin membicarakannya atau tidak.

"Soal yang kamu nyebut nama cowok lain?" Arland mengambil satu gelas dan meneguknya pelan sebelum memegang gelasnya dan bersandar pada dinding.

"Aku minta maaf." Seanna belum hendak mengambil satu gelas sirup yang tersisa. Kerongkongannya memang terasa haus, tapi tubuhnya menolak untuk minum.

"Tapi kamu nggak jawab jujur soal apa kamu masih suka sama Ervan atau tidak."

Seanna menggigit bibir. "Aku...aku udah nggak suka lagi sama dia."

"Kok ragu jawabnya?" Arland meneguk lagi sirupnya, kali ini lebih banyak. Menyisakan setengah gelas cairan oranye dalam gelas yang mulai mengembun.

"Ya, karena..."Seanna lagi-lagi memutus ucapan. "Karena..."

"Karena kamu masih suka sama dia, Na." Arland menyambung kalimat Seanna dengan kalimat versinya sendiri.

Duh, kenapa Arland malah jadi ketus begini?

"Ar, bukan begitu..." Seanna sudah mulai kehabisan kata.

"Aku nggak masalah kalo kamu masih nggak bisa nerima aku sepenuhnya dalam hati kamu. Tapi jadi nggak adil, kamu masih suka sama Ervan, sementara dia udah bahagia sama Dinda."

"Ar, please..." Seanna menunduk dalam. Airmata mulai menggenangi kelopak matanya.

Arland terdiam, sadar kalau kalimat sebelumnya terlalu panjang sekaligus membuat Seanna sedih.

"Maaf, Na. Salahin aku yang selama ini terlalu berharap sama kamu."

Arland meletakkan gelas berisi sirup yang ternyata belum tandas. Satu-satunya suara yang terdengar hanya isak tangis Seanna. Akhirnya dia memilih memacu langkahnya meninggalkan dapur.

Meninggalkan Seanna dalam tangis.

***

Seanna tidak punya tempat lain lagi untuk mengadu. Kepada orangtuanya tentu saja tidak mungkin. Apa nanti kata mereka jika dia bicara tentang curhatan perasaannya kepada Arland? Mereka tidak akan mengerti, seperti pengertian Erika.

"Duh, Na. Kamu kenapa lagi?"

Erika terkejut dengan kedatangan Seanna sore itu. Matanya sembab, dan ketika membuka pintu Seanna langsung memeluknya erat-erat.

"Arland marah sama aku, Er."

"Kok bisa?"

Seanna tidak langsung menjawab karena selebihnya dia hanya terus menangis.

Saat Seanna menceritakan kronologis kejadian kemarin malam dan siang itu, Erika tidak perlu berpikir lama untuk memahami pokok permasalahannya.

"Ya ampun, Na. Gara-gara Kak Ervan ya?"

"Aku keceplosan ngomong soal kehamilan Kak Dinda. Trus, aku nyebut nama Kak Ervan. Arland marah."

"Dia cemburu, Na. Lagian kamu siiih. Ngapain ngomongin suami orang di depan suami sendiri?" Erika tidak bermaksud menghakimi, namun terkadang Seanna terlalu polos untuk memilah-milah ucapan apa yang tidak boleh didengar Arland.

"Kalo dia cemburu kenapa dia nggak ngomong?"

"Duh, tanpa ngomong pun mestinya kamu paham dong, Na."

Seanna menyesap airmatanya. "Aku udah banyak salah sama Arland, Er. Dia udah baik banget sama aku selama ini. Akunya aja yang bodoh banget."

"Ya udah. Tenangin aja diri kamu dulu. Biarin Arland juga tenangin dirinya. Kalian nggak bakal bisa ngomong kalo keadaannya nggak kondusif."

"Tapi, kamu yakin dia bakal maafin aku?"

"Yakin. Udah, nggak usah nangis lagi."

***

Arland memacu mobilnya dengan perasaan tidak menentu. Dalam hati, dia merasa menyesal. Perkataannya telah membuat Seanna bersedih dan menangis. Tapi dia tidak bisa menahan gejolak oleh perasaan cemburu yang semakin besar.

Siang itu diputuskannya untuk menuju Lembang. Memenuhi permintaan Kyra yang sudah lebih dulu menginap di sana. Nenek Kassandra dan tante Indah sudah menganggap Kyra sebagai keluarga, jadi kapanpun Kyra ingin ke sana, pintu rumah akan selalu terbuka untuknya.

"Udah lama, Ra?"

Kalimat itu memecah kesunyian ketika Arland baru tiba di sana. Kyra ternyata menunggu di halaman belakang. Duduk di atas hamparan rumput, membiarkan rambut panjangnya berkibar tertiup angin.

"Lumayan. Aku kira kamu nggak bakal datang."

Kyra yang menunggu Arland sejak kemarin tersenyum senang saat Arland datang.

"Seanna mana?" Kyra merasa perlu menanyakan di mana isteri Arland.

"Lagi di rumah."

"Aku kira kamu ajak juga ke sini." Kyra cukup senang mengetahui Seanna memang tidak ikut ke sana. "Dia tau kamu mau ke sini?"

Arland ikut duduk di hamparan rumput halaman belakang rumah. Luasnya warna hijau sepanjang mata memandang dan angin sepoi adalah perpaduan sempurna.

"Kalo soal itu, aku memilih nggak menjawab." Arland selalu memilih tidak menjawab sebuah pertanyaan jika dia tahu persis pertanyaan itu bisa berkembang menjadi pertanyaan lain, dan malah melebar menjadi sebuah topik pembicaraan hangat.

"Segitunyaa." Kyra tertawa. "Udah mirip jawaban artis kalo dikejar-kejar wartawan."

Arland hanya tersenyum tipis. "Jadi ada apa?"

"Nggak ada. Cuma pengen ngajak kamu kangen-kangenan sama tempat ini."

"Kapan kamu balik?"

"Lusa. Kenapa nanya? Takut bakal kangen?"

Arland hanya tertawa datar menanggapi Kyra. Dia sudah melupakan arti kata kangen, rindu, cinta, dan sejenisnya sejak hatinya patah beberapa hari belakangan ini.

"Apa sih artinya kangen? Sayang? Cinta?" Arland mencibir pada dirinya sendiri. "Sementara yang dikangenin, yang disayangi, yang dicintai, nggak bisa balik kangen, sayang, dan cinta sama kita?"

Arland kembali tertawa. Tawa yang dimaksudkan sebagai penghiburan.

Apalagi sekarang? Apa yang diinginkan?

Tidak ada lagi.

"Ya, ada-lah. Kita dulunya kan gitu?" Kyra merangkul bahu Arland dengan sebelah tangan.

"Dulu ya dulu aja. Nggak bisa kembali."

"Kamu baik-baik aja kan sama Seanna?"

Arland tidak menjawab, tapi dari cara Arland menanggapi dengan diam, rasa-rasanya Kyra telah mengetahui jawabannya.

***

Aku lagi di Lembang. Maaf nggak sempat pamit.

Saat tengah menunggu Arland datang menjemput di Kirei, Seanna menerima SMS dari Arland.

Padahal dia sudah menunggu begitu lama sejak jam setengah empat tadi. Dan sekarang sudah jam lima sore. Alyssa juga sudah pulang duluan.

Terpaksa naik taksi.

Setelah menelepon taksi, Seanna terpikir untuk menghubungi Arland. Dia tidak tahu apakah Arland akan menginap. Ingin sekedar mengirimkan SMS, rasanya kurang pas. Dia ingin menelepon Arland, sekedar mendengar suaranya. Arland masih marah pun, tidak masalah baginya.

"Halo, Ar." Saat panggilan diangkat, Seanna menahan napas dan mengucapkan sapaan seperti biasa.

Tapi ternyata yang terdengar malah suara perempuan.

"Ini dengan siapa?"

"Kyra. Nggak usah telepon Arland lagi. Dia lagi sama gue."

"Tapi..."

Sambungan telepon pun terputus. Tapi sekalipun sudah terputus, Seanna belum menurunkan ponsel dari telinga. Cengkeramannya menguat, menahan ponsel tersebut sebelum jatuh.

Inikah balasan Arland untuknya?

______________________________________________________________________________

Ini judulnya udah bener nggak sih grammarnya? Sekalian tanggapannya juga yaaa...chapter ini gimana :) Makasih udah ngikutin terus. Makasih tetap ngasih komen2 unyu dan supportif :)





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro