(13) Escape

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ify menatap kosong ke arah pancake di hadapannya. Bentuknya sudah tidak bulat bertumpuk dengan madu yang mengalir dari puncak kuenya. Melainkan sudah terpotong kecil-kecil siap makan.

"Kamu nggak suka pancake, Fy?" tanya Dara menyadari bahwa gadis di depannya itu hanya duduk dan memperhatikan sarapannya. "Aku bisa suruh pelayan buatkan yang lain."

"Bukan begitu, Kak, tapi... kenapa pancakeku sudah begini sebelum kusentuh?" tanya Ify heran. "Makanannya udah nggak perawan," lanjutnya asal.

Harry terkekeh, Dara melotot dan Trio menolehkan kepalanya dengan mata menyipit.

"Kamu harusnya berterimakasih karena nggak perlu repot memotongnya, tanganmu kan sakit," gerutu Trio, membuat Ify menatapnya nyalang.

"Jadi kamu yang buat pancakeku begini?" kata Ify nyaris berseru.

"Kamu nggak bisa bilang terimakasih aja gitu?" sahut Trio tak terima, gadis ini tidak tahu apa itu kata perhatian ya?

"Kamu melakukan hal yang nggak aku suruh, jadi aku nggak perlu bilang terimakasih," sahut Ify sengit.

Astaga, Trio membatin heran. "Aku melakukannya sebagai ucapan terimakasih karena kamu sudah merawatku kemarin," kata Trio tak rela. Diliriknya dua makhluk lain di ruang makan sekarang. Benar kan, Dara sudah memerhatikannya dengan senyum mengejek seperti biasa. Harusnya aku nggak mengatakan maksudku sejelas itu.

Ify mendengkus."Jangan lakukan lagi," kata Ify datar, dia merasa pipinya mulai menghangat. "Dan, jangan dibahas lagi." Tepat setelah mengatakannya, adegan pelukan itu kembali terlintas di pikiran Ify dan dia beristighfar berulang kali dalam hati. Bisa-bisanya lelaki aneh ini membahas kejadian semalam.

Dara sontak memonyongkan bibirnya, kecewa perdebatan itu berakhir. Awalnya Dara muak dengan perkelahian dua makhluk ini, sampai kemarin malam Dara melihat adiknya memeluk posesif Ify. Kalau mereka terus bertengkar, siapa tahu akan terjadi sesuatu yang lebih dari sekedar pelukan, kan?

"Ify nikmati saja, adikku itu sedang mencoba untuk menunjukan perasaannya padamu," kata Dara yang memancing pelototan Trio. Berharap ada lagi pertengkaran penuh cinta jiwa muda mereka, sebab Dara mulai menyukai hal itu.

"Apa sih!" elak lelaki yang kembali memakan pancakenya dengan kasar. Tanpa dia sadari, kakak dan kakak iparnya tersenyum geli saat melihat ada kemerahan yang muncul pada wajah kedua orang yang duduk bersebelahan di depan pasutri itu.

Ah, sudah lama aku nggak melihat adikku malu begini, batin Dara puas dengan perubahan sikap Trio semenjak ada Ify di rumah keluarga Shuwan.

***

Ify menjedot-jedotkan kepalanya ke jendela mobil. Duduk di samping lelaki yang membuatnya malu setengah mati kemarin malam bukan hal yang dia harapkan. Masih ada satu kursi kosong di sebelah sopir, namun Trio tidak mendudukinya, bahkan melarang Ify juga untuk duduk di sana.

Dasar aneh! Kenapa juga aku nggak boleh duduk di depan? Apa faedahnya aku duduk di sebelahnya begini? gerutu Ify dalam hati.

"Kamu nggak akan kerja terlalu berat nanti, jangan sampai tanganmu terbentur lagi," ucap Trio memecah keheningan mobil, membuat Ify menghentikan aktivitas merusak tengkoraknya. Pak Ujang yang hari ini kebagian mengantar Trio melirik sekilas dari spion tengah, terkejut karena untuk pertama kalinya mendengarkan suara Trio yang penuh perhatian tanpa kesan bossy.

"Kalau kamu khawatir aku terbentur, kenapa menyuruhku kerja? Aku juga punya sesuatu yang ingin kulakukan hari ini," sahut Ify kesal.

"Menguntit Dimas?" tanya Trio sarkastis.

Menolehkan kepalanya, Ify hanya bisa mendesis saja karena ada betulnya juga yang dikatakan Trio. Menguntit Dimas memang menjadi hal yang paling bisa dilakukan saat tangannya cedera begitu. Walau pun, Ify menyelipkan rencana untuk bertemu Alvin juga hari ini.

"Lebih baik kamu duduk di kantor dan memerhatikan semua orang bekerja daripada menguntit Dimas." Ify mendecak kesal, lalu bibirnya tersenyum kecil diam-diam saat mendapati sebuah ide untuk terlepas dari Bosnya itu.

"Pak Ujang," panggil Ify setelah kekosongan suara yang cukup lama. "Ify mau ke minimarket depan dulu ya, mau ke toilet."

"Kenapa nggak kamu tahan aja sampai kantor?" kata Trio sambil melirik arloji mahalnya di pergelangan kiri. "Aku ada rapat pagi ini."

"Aku bukan orang yang hobi nabung penyakit dengan nahan pipis," sahut Ify ketus.

Pak Ujang menepikan mobilnya di depan minimarket berdominasi merah dan kuning. Terdapat tanda ATM dan Toilet di plangnya.

"Aku titip minum. Air mineral aja," kata Trio mendadak ketika Ify membuka pintu mobil.

"Nggak ada air mineral di toilet, Pak Langit," sahut Ify sekenanya.

Ify berjalan pelan memasuki area parkir minimarket, tidak seperti seseorang yang sudah kebelet buang air. Ada yang nggak beres, pikir Trio memperhatikan gerak-gerik gadis itu hingga sosoknya menghilang di balik pintu.

"Pak Ujang, belikan air. Sekalian temani Ify, Pak Ujang ke mobil kalau Ifynya juga akan ke mobil."

Mendengar Trio berkata dengan gaya bossynya, Pak Ujang tidak memiliki keberanian secuil pun untuk bertanya kenapa manusia sebesar Ify harus ditemani hanya untuk ke toilet? Mata Trio masih menatap lekat pintu minimarket.

Lelaki itu mulai gelisah ketika Ify dan Pak Ujang tidak kunjung keluar meski waktu sudah berlalu lima menit. Parkir minimarket terlihat sepi dari kendaraan, jadi tidak mungkin Ify perlu mengantre untuk ke toilet. Sampai ada sebuah motor yang berhenti di depan mobilnya dengan pengemudi yang mengenakan seragam ojek online. Trio menegakkan tubuhnya yang bersandar, mengamati gerak-gerik pengendara motor itu, jangan-jangan...

Mata Trio terbelalak ketika melihat gadis berperban di lengan kiri keluar dari minimarket dengan berlari kencang. Lalu segera naik ke atas motor dan membuat ojek itu langsung menancap gas.

Shit! Benar dugaan Trio. Ify memang sudah gila!

Pak Ujang tergopoh masuk ke mobil dan menatap penuh permohonan ampun pada Trio. "Maaf, Tuan."

Trio menghela napas, tidak ada waktu untuknya menggeret paksa anak liar yang gila seperti Ify karena pagi ini dia harus rapat dengan divisi keuangan. "Kita ke kantor aja, dia akan ke kantor bagaimanapun caranya."

Pak Ujang menelan ludah ngeri mendengar nada suara Tuannya. Trio terlihat sangat kesal karena gadis itu dengan mudah mengelabuinya. Pak Ujang menggeleng tak percaya dengan kelakuan Ify. Hanya demi meloloskan diri dari Trio, gadis itu tega membohongi Pak Ujang dengan meminta bantuannya untuk mengambilkan susu satu liter yang terletak di rak paling atas bagian minuman.

Baru pertama kali Pak Ujang lihat ada perempuan yang enggan diantar dengan mobil mewah plus sopir beserta lelaki konglomerat yang duduk di sebelahnya dan orang itu adalah Ify Axelle.

***

Alvin tersenyum ramah pada beberapa staf yang menyapanya saat berjalan melewati meja resepsionis. Dengan mudah Alvin menemukan Ify di lobi hotel karena gadis itu duduk di sofa dengan menghadap ke luar kaca. Memperhatikan pesawat di langit yang terbang rendah.

"Kamu masih suka lihat pesawat terbang," kata Alvin membuat gadis itu langsung menoleh, senyumnya berubah menjadi kekehan yang menampakan deretan gigi atasnya.

"Aku baru sadar kalau hotel ini dekat bandara, apa aku boleh sering kesini?" tanya Ify antusias.

Alvin terlihat berpikir. "Boleh tapi kamu harus bayar setidaknya biaya inap satu malam per kunjungan."

Bibir Ify mengerucut. "Aku punya kamu di sini, apa nggak ada semacam annual pass untukku?"

Alvin tertawa. "Jangan ngawur, ini hotel bukan Dufan."

Ify ikut tertawa, rindu sekali rasanya melihat tawa Alvin seperti sekarang. Itu sebabnya, momen ini tak dia lewatkan begitu saja.

"Kenapa melihatku begitu?" tanya Alvin merinding, Ify tidak berkedip menatapnya.

"Sedang merekam," aku Ify. "Kita udah lama nggak ketemu, ada banyak kenangan masa kecil kita yang pelan-pelan tertumpuk sama kenangan menyebalkan."

Tangan Alvin terulur dan menyentuh puncak kepala Ify. Mengelusnya pelan, meski kemudian mengacak tatanan rambut Ify yang membuat bibir gadis itu monyong.

"Keluargamu bagaimana? Baik?"

Ify mengangguk pelan. "Mereka baik dan menetap di Bandung," kata Ify, teringat bahwa sudah beberapa hari terakhir ini tidak menelepon Mamanya. "Keluargamu bagaimana? Kamu tinggal di mana sekarang?"

"Keluargaku..." Alvin mengambangkan ucapannya, "mereka baik."

"Beneran?"

Alvin mengangguk mantap. "Nggak mungkin aku jadi manajer hotel ini kalau mereka nggak baik, kan?"

"Tunggu... jangan-jangan." Ify menggantungkan ucapannya sok menyelidik. "Kamu anak pemilik hotel ini, ya?!"

Alvin memprotes nada suara Ify yang terlalu tinggi. "Ya, nggaklah! Kalau aku anak, seharusnya aku jadi direktur, kan?"

Ify bergumam, benar juga.

"Kamu sendiri, pekerjaanmu lancar di perusahaan Shuwan itu?"

Ify bergidik ngeri. "Tolong jangan dibahas, aku rasa aku bisa jadi gila kalau setiap detik harus mengungkit pekerjaanku."

"Kenapa?"

"Bosku aneh! Sangat-sangat aneh," kata Ify kesal.

"Jangan begitu, kamu bilang aneh sekarang, besok mungkin kamu justru menyukai keanehannya."

Ify mendesis kesal. Lalu, teringat dengan perkataan Sivia padanya. "...Coba lo buat pertemuan, trus bahas soal masa kecil kalian yang−menurut versi lo itu−unforgettable. Siapa tahu, itu bisa buat Alvin jadi seperti yang dulu..."

"Vin, kamu ingat nggak? Dulu kita sering ke daerah terlarang untuk melihat pesawat yang mau landing dari dekat."

Alvin mengernyit, heran kenapa Ify tiba-tiba mengubah topik pembicaraan begitu drastis. "Iya, kamu bilang setiap kali kamu melihat pesawat, kamu merasa−" Dering telepon Alvin memotong ucapannya. Dijawabnya telepon itu dengan menjauh dari Ify yang menghela napas kesal. Tak lama, dia pun berbalik dan menatap Ify penuh penyesalan.

"Fy, aku harus ke atas sekarang, karena ada yang perlu aku kerjakan. Kamu mau stay di sini atau pulang?"

"Kalau aku stay, nanti bayar biaya menginap semalam. Aku pulang aja," sahut Ify yang diakhiri dengan kekehan paksa.

"Ok, hati-hati, ya," jawab Alvin dan lelaki itu langsung pergi tanpa mendengar salam perpisahan dari Ify. Tanpa sadar, Ify mengejarnya dan menggamit lengan kiri Alvin. "Kenapa, Fy?"

"Kapan-kapan..." Ify nampak ragu, tapi tatapan menuntut dari Alvin membuatnya meyakinkan diri bahwa dia harus mengutarakannya. "Kita bisa nggak, lihat pesawat yang mau landing dari dekat lagi?" tanya Ify ragu, karena wajah Alvin seketika kaku mendengar ucapannya barusan.

"Aku rasa, aku nggak bisa jadi seperti yang dulu lagi buat kamu, Fy."

Hati Ify langsung terasa nyeri ketika mendengar jawaban Alvin yang menurutnya melenceng dari pertanyaan. Menyadari bahwa lelaki itu masih dalam wilayah dan jam kerjanya, Ify lepaskan gamitannya pada lengan Alvin dan membiarkannya pergi.

***

"Aku pikir, melihat orang yang kita sayang bersedih itu udah yang terburuk. Ternyata, melihat orang yang kita sayang berubah, itu lebih buruk lagi." Ify menempelkan keningnya ke atas meja. Membuat Sivia menatapnya prihatin.

"Jadi lo jauh-jauh ke sini cuma untuk konsultasi mengenai satu kalimat Alvin yang bikin lo begini?" Ify mengangguk mendengar ucapan sahabatnya.

"Lo kan guru, jadi bisa keluar meninggalkan murid dengan memberi mereka tugas," kata Ify dengan wajah tak bersalahnya. Sivia menghela napas kesal. Kalau sudah urusan cinta, Ify memang bisa jadi bodoh luar biasa.

"Ify, gue ini guru bukan dosen," kata Sivia tegas. Mengingat bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan antara dua istilah pengajar di atas. "Ok, gini deh, satu hal dari gue. Nggak bisa dan nggak mau itu berbeda. Nggak bisa karena keadaan, sementara nggak mau karena keinginan."

Ify mengangguk-angguk seolah mengerti dengan perkataan Sivia, tapi kemudian... "Trus hubungannya sama Alvin dan gue?"

Sivia menepuk keningnya gemas. "Pasti ada alasan kenapa Alvin nggak bisa ngeladenin hobi aneh lo itu!" seru Sivia. "Mungkin sebenarnya dia mau aja, tapi dia nggak bisa karena sesuatu. Dan lo harus cari tahu sesuatu itu apa, paham?" kata Sivia panjang lebar dengan gaya mengajarnya.

"Ahh..." gumam Ify. Dia acungkan kedua ibu jari tangannya pada Sivia. "You're the best one!"

"Satu lagi," lanjut Sivia membuat Ify menatap gadis dengan seragam PNS itu lekat. "Jangan sembarangan cerita masalah hidup lo ke orang lain. Sekali pun orang itu tanya, karena nggak semua yang mau tahu pengen membantu. Kadang, keingintahuannya bukan karena peduli. Tapi, nggak lebih dari sekedar basa-basi."

"Siap!" sahut Ify senang, "kalau gitu, aku boleh dong mampir ke sini lagi ya buat konsultasi?"

Sivia mengangguk. "Jangan sering-sering tapi," lanjutnya sambil terkekeh melihat Ify merentangkan kedua tangan untuk memeluk Sivia. Sivia dan Ify sudah bukan orang asing. Tidak perlu pikir dua kali untuk mengutarakan apa pun isi hati keduanya. Hanya perlu menyesuaikan waktu yang tepat saja. Karena membolos di tengah mengajar bukanlah hal yang bisa Sivia lakukan sembarangan.

Berbeda dengan Ify yang anak kesayangan Bos karenakeluarga konglomerat itu utang dua nyawa pada Ify. Ibu dan bayinya. Setidaknya,mereka akan berpikir dua kali jika ingin memecat Ify atas dasar balas budi. 


BERSAMBUNG

Hobinya Ify itu, sebenernya hobiku. Aneh gak sih? Hehe...

Terimakasih udah baca ya, ditunggu tanda bintang dan komentarnya. Ajak juga dong teman-temannya yang lain buat baca MMIYD, biar makin rame ^^

Salam,

Nnisalida

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro