(14) Scout

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diprivate gapapa ya? Happy reading ^_^

Part 14 – Mata-mata

Mengetahui bahwa dia menjadi satu-satunya makhluk asing di sekolah tempat Sivia mengajar, Ify memutuskan untuk keluar gerbang institusi itu dan mencari ojek menuju rumah kosnya. Hampir seminggu tidak pulang dan mengabari Mamanya di Bandung dengan telepon dari rumah ibu kos. Pasti orangtuanya mengira Ify sudah tergeletak di rumah sakit atau sesuatu yang buruk lainnya telah terjadi. Walau sedikit banyak hal itu benar, lihat saja lengan kirinya yang diperban. Terlalu senang mendengar persetujuan Dimas untuk pendekatan dengan Sivia membuat ingatan Ify bahwa dirinya berbeda seolah lenyap.

Darah AB negatif yang mengaliri tubuh Ify membuat keluarganya menjadi sangat protektif. Dan karena faktor itulah, Ify sengaja tidak memberi tahu nomor ponselnya di Jakarta, Mamanya bisa memborbardir Ify dengan telepon lebih dari lima kali sehari. Sebagai gantinya, Ify berjanji akan menelepon mereka minimal satu hari sekali. Bisa dibayangkan, betapa histerisnya wanita itu nanti di sambungan komunikasi saat tahu bahwa putri sulungnya masih hidup dan tidak mengabari mereka nyaris sepekan.

Ify memberikan helm dan sejumlah uang kepada ojek online langganannya ketika motor yang ditumpangi berhenti di depan pagar hitam dengan papan putih bertulis SEDIA KAMAR KOS KHUSUS PUTRI. Tersenyum kecil saat mengingat betapa jahatnya dia tadi pada Pak Ujang demi membebaskan diri. Tapi biarlah, yang penting dia bisa bebas satu hari dari keanehan Bos yang merangkap menjadi musuhnya saat ini.

Suara berisik tercipta ketika pagar hitam itu didorong Ify, berulang kali gadis berperban di lengan kiri itu meminta ibu kos untuk memberikan oli secara rutin agar roda pagar berjalan tanpa menimbulkan suara tidak manusiawi, yang dibalas puluhan kali dengan alasan mencegah maling karena bunyinya yang lebih nyaring daripada bel rumah pada umumnya.

"IFY AXELLE!" seru wanita empat puluh tahunan keluar dari pintu di ujung kanan dengan rol rambut yang berdiri tegak di atas kepalanya. "Masih ingat kosan, hah!?" lanjutnya lagi dengan tangan bertolak pinggang.

Ify hanya berusaha melemparkan senyum termanis semampunya, menahan tawa melihat ada punuk unta yang pindah ke atas kepala ibu kosnya itu. "Maklum atuh, Bu. Ify kan baru diterima kerja," katanya−dengan sedikit logat Jawa Barat−berusaha membela diri, diam-diam Ify menyembunyikan lengan kirinya ke balik punggung.

"Sana telepon Mamamu dulu, berulang kali dia bilang akan mencekikku kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu. Heran, anak udah dua puluh tahun lebih masih dijaga segitu ketatnya," ujar ibu kos tadi sambil menuntun Ify masuk ke rumahnya.

Ify mengucapkan terimakasih sebelum wanita tadi kembali mengomel sepanjang tiga alinea dan segera meraih gagang telepon. Jika tidak, benar kata ibu kosnya, mungkin Mamanya akan datang dari Bandung dan mencekik wanita itu karena luka di lengan kiri Ify.

Suara melengking langsung menyambut salam Ify yang refleks menjauhkan benda di telinganya, lebih baik dimarahi lewat telepon daripada Mamanya yang buta peta nekat datang sendirian ke Jakarta dan mengetahui bahwa Ify tengah terikat dengan keluarga unik bernama Shuwan.

***

"Kenapa dengan tanganmu?"

Ify membalikkan tubuhnya segera, setelah menaruh gagang telepon di tempatnya dan mendapati wanita empat puluh tahunan berrol rambut tadi telah berdiri satu meter di depannya dengan pandangan lurus ke lengan yang diperban. Ify susah payah menahan cegukannya agar tidak ketahuan bahwa dia sedang menutupi sesuatu dari mata-mata tidak resmi Mamanya ini.

"Ify teh lagi ikutan tren di kantor, Bu." Gagal. Ify cegukan dan ibu kosnya berjalan mendekat.

"Kamu selalu cegukan kalau bohong."

Ify menggeleng. "Ify teh lagi akting, ngikutin Park Shin Hye di Pinocchio, Ibu kan nonton juga bareng Ify waktu itu−"

"Ify," sela ibu kos tadi dengan matanya yang menatap tajam. "Ibu memang cuma pemilik kos, tapi Mamamu menitipkanmu pada Ibu, dan... kamu yang lebih dulu cegukan saat bohong daripada Choi In Ha."

Lah? Alis Ify menyatu, bisa-bisanya ibu kos ingat nama peran di Drama Korea. Eh, tunggu, bukan itu yang penting Ify bloon! rutuknya dalam hati.

"Katakan yang jujur, atau Ibu telepon Mamamu sekarang."

Ify menghela napas. Tidak ingin keluarganya terlibat dalam hal ini, gadis dua puluh tiga tahun itu pun menceritakan semuanya. Sebenarnya, tidak semua. Karena Trio dan Alvin tidak ikut Ify ceritakan. Mendengar dua nama lelaki sekaligus akan membuat Ibu kos ini berpidato sehari semalam dan Ify masih sangat waras untuk tidak menjadikannya nyata.

"Kamu, jomblo, sok-sokan mau menjodohkan orang," kata ibu kos di akhir kisah panjang yang Ify utarakan. "Urus percintaanmu sendiri dulu, baru orang lain," sahutnya sambil menepuk bahu kanan Ify kemudian kembali pergi ke dapur.

Mulut Ify terbuka tidak percaya, bisa-bisanya wanita yang masih sendiri itu mengatainya, apa ibu kos tidak punya cermin di rumah? Jomblo haram mencaci sesama jomblo lainnya, tahu!

Tiba-tiba saja, ponsel Ify berdering, sebuah panggilan dari nomor yang... disembunyikan? Benda itu nyaris terlepas dari genggamannya, jika tidak sadar bahwa betapa perih usahanya untuk mendapatkan ponsel mahalnya dulu. Tapi, siapa yang meneleponnya dengan cara tidak sopan begini?

Hanya ada dua kemungkinan, orang yang tidak ingin ditemuinya lagi atau orang aneh yang berhasil membuat emosinya naik turun beberapa hari terakhir. Ify menggigit bibir bagian bawah, bimbang, sebelum ibu kos muncul dari gordyn pintu penghubung ruang keluarga dengan dapur.

"Ify! Jawab dong itu teleponnya, ya ampun! Apa mau ikutan disop? Sini HPnya, ibu cemplungin sekarang biar diam!" omel wanita itu sambil menunjuk-nunjuk Ify dengan centong sayur.

Ify memandang datar ibu kosnya dan memilih beranjak dari sofa hitam yang sejak tadi dia duduki, berjalan keluar dan menutup pintu rumah bercat putih tanpa suara. Kakinya melangkah ke pintu kamar kosnya sendiri sambil sesekali memandangi ponsel yang masih terus menjerit di genggamannya.

Takut. Ify sangat takut. Dia tidak pernah yakin bahwa urusannya dengan orang-orang di masa lalu itu benar-benar selesai jika mendadak ada hal seperti ini pada hidupnya yang sudah tenang. Ify bahkan tidak memiliki keberanian untuk sekedar menolak panggilan.

Panggilan itu berhenti, Ify menghela napas lega. Dia pun membuka pintu kamar kosnya, menutupnya kembali dan langsung menghempaskan dirinya di kasur yang lebih kecil dan sederhana daripada ranjang king size di paviliun rumah keluarga Shuwan.

"Begini lebih baik, aku lebih suka tidur di ranjang sempit daripada besar tapi merasa kesepian," gumamnya sambil menatap langit-langit kamar yang tergantung beberapa miniatur pesawat, hadiah dari Sivia saat mereka masih kuliah. "Dan selalu ada pesawat terbang yang membawa harapan di kamar ini," lanjutnya sambil tersenyum.

Ify kecil memandangi pesawat yang seolah dapat digapai dengan tangan mungilnya, pesawat itu bersiap untuk mendarat di bandara terdekat. Tidak mengindahkan peringatan orang dewasa untuk berhenti bermain di kawasan steril, kedua bocah itu masih rutin bolak-balik ke sana dengan berbagai tipu muslihat.

"Fy, ayo pulang, sudah mau gelap. Nanti kita diculik gimana?" Tangan seorang anak lelaki sebayanya menarik jaket Ify yang masih asyik berpegangan pada pagar besi pembatas.

"Tunggu Alvin, pesawatnya jadi makin bagus kalau malam," sahut Ify tak acuh dengan mata yang menengadah ke langit jauh di sebelah kanannya.

"Tapi Ify, di sini banyak nyamuk," balas lelaki muda itu sambil sibuk menepuki nyamuk nakal yang hinggap dan mencicip darah dari kulit putihnya. "Kalau darahmu habis disedot nyamuk, aku kan nggak bisa kasih darahku. Darah kita beda."

"Ih, Alvin!" balas Ify dengan bibir mengerucut. "Kamu bahas darah mulu! Ify kan nggak suka sama darah Ify yang beda!"

"Kenapa?" tanya Alvin begitu saja. "Kan Ify spesial, karena cuma Ify yang beda."

"Beda itu aneh! Aneh itu nggak spesial!" Ify kecil yang kesal pun berlari di antara rumput yang tingginya hampir menyamai tinggi badan bocah itu, lalu tak lama kemudian kakinya terantuk batu, membuat lututnya mendarat lebih dulu di atas kerikil-kerikil berpasir yang membuat kulitnya mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Ify yang terkejut dan takut pun menangis kencang.

"Ify, ayo pulang! Kita harus obati, kalau nggak nanti darahmu habis, kalau habis nanti kamu mati. Ayo, sini naik ke punggungku sekarang!" kata Alvin cepat, kemudian berjongkok tepat di depan Ify yang menangis dan membiarkan perempuan muda itu menempelkan tubuh kurusnya ke punggung lelaki yang tidak terlalu gemuk untuk anak seusianya.

"Uh, Ify berat kayak babi," ejek Alvin membuat tangis Ify berhenti seketika ketika tubuh kurusnya bangkit dan mulai berjalan dengan beban di punggungnya.

"Alvin jahat! Alvin juga jelek kayak monyet," balas Ify tak mau kalah, perdebatan yang selalu diakhiri dengan nama binatang itu sukses melupakan Ify akan rasa perih di lututnya yang terluka.

Lamunan Ify mengenai masa kecilnya yang tak pernah terlupa itu menguap ketika lagi-lagi ponselnya berdering di atas meja tidak jauh dari kasurnya. Alis Ify menyatu ketika mendapati nomor cantik yang muncul di layar ponsel. Tanpa ragu, ditekan icon berwarna hijau di layarnya.

"Halo?" Ify bersuara lebih dulu, penasaran siapa pemilik nomor yang tidak dikenalnya ini.

"Ke kantor dalam waktu setengah jam, atau Shilla saya pecat."

Sambungan langsung terputus setelahnya dan Ify mendengkus sebal, dasar orang aneh bossy! Nggak bisa membawaku ke kantor, sekarang mengancamku, menyebalkan! pikirnya kesal saat tahu suara siapa yang tadi meneleponnya dengan tidak sopan.

Eh, tunggu. Ify menyadari sesuatu yang aneh. Cara bicaranya... mirip... Ify terbangun dari tidurnya setelah tersadar, dia bersikap seperti kakaknya lagi!? Ya Tuhan!

***

Ify melangkah ragu ke dalam area SKO Office. Hampir seminggu menghilang dari kantor dan tidak mengabari Sri di bagian HRD, jika bukan karena darah AB negatifnya, Ify pasti sudah lama ditendang dari kantor Event Organizer terbesar seJakarta ini. Mata seluruh karyawan SKO yang berlalu lalang di lobi jelas menatapnya.

Gadis berpakaian kemeja biru langit dengan A-line skirt selutut berwarna hitam itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Dia paham mengapa semua orang memperhatikannya dengan pandangan curiga. Selain karena lengan kirinya yang terluka, dia juga tidak menggunakan tanda pengenal khusus karyawan.

Meski begitu, bagian keamanan di gerbang kantor tetap mengizinkannya masuk bahkan menyapanya persis seperti yang selalu Pak Ben lakukan pada Ify. Ramah namun dengan kepatuhan tingkat tinggi.

"Ify." Panggilan yang tak asing membuat Ify mendongakkan kepalanya dan mendapati seorang perempuan dengan kemeja putih berlengan sesiku dipadu draped skirt toscha tengah berlari kecil ke arahnya. Gadis berwajah putih merona dengan pulasan make up tipis itu langsung memeluknya seperti saudara. Ify terkekeh dibuatnya.

"Kamu, bisa-bisanya ke kantor tanpa ID Card begini," protes Ila sambil mengulurkan sesuatu.

"Eh, ini..." kata Ify terpaku melihat sebuah kartu dengan tali panjang yang terdapat foto dirinya. Ify menerima kartu itu sambil tersenyum, "bukannya ini kartu pengenal karyawan tetap?" tanya Ify antusias.

"Kamu bohong," sahut Ila tidak acuh dengan pertanyaan Ify. "Namamu bukan cuma Ify, tapi Ify Axelle." Dan aku tahu hal itu justru dari Bos, imbuhnya dalam hati.

Bibir Ify melengkung, tersenyum malu. "Maaf, ada alasan kenapa aku lebih senang dikenal sebagai Ify saja, gimana kamu bisa dapat ini?" Ify mengalungkan kartu pengenalnya dengan bangga ke balik kerah kemejanya.

Ila mengangkat bahu tak acuh, kemudian menggamit lengan kiri Ify. "Tanganmu?" tanya Ila pura-pura terkejut. "Kenapa dengan tanganmu?"

"Panjang ceritanya. Kamu juga harus cerita banyak hal selama aku nggak ada di sini," ujar Ify riang. Mereka pun berjalan bersama seperti seorang kekasih menuju lantai ruang kerja Show Director. Tanpa Ify sadari, bahwa perempuan yang bergelayut manja di lengannya sekarang juga seorang mata-mata.

***

Tiga puluh menit sebelumnya.

Ila menatap lurus kartu pengenal Ify Axelle di tangannya, masih terpaku di depan Big Boss yang menatapnya heran di balik meja kerja. Sebenarnya, ada tanda tanya besar di kepala Ila mengenai utang darah keluarga Shuwan yang bisa membuat hidup Ify bak ratu kerajaan.

Padahal, dari kabar yang beredar, bukan kali ini saja Shuwan harus berurusan dengan pemilik AB negatif lain di Jakarta karena Dara membutuhkan darah. Biasanya, keluarga konglomerat itu akan menyelesaikan utang nyawa mereka dengan selembar cek yang isinya bisa disesuaikan dengan keinginan si pendonor langsung. Tapi, Ify berbeda. Gadis itu seolah ditahan di sekitar keluarga mereka dengan niatan tertentu.

"Shilla," panggil Trio menyadari bahwa karyawan yang merangkap teman Ify ini masih diam. Takut gadis itu lupa bernapas, Trio memutuskan untuk memanggilnya lagi untuk kedua kali.

"Eh, oh, ya, Pak?" sahut Ila kikuk. "Sa-saya keluar sekarang," lanjutnya sadar bahwa dia berdiri di depan Presiden Direktur yang lebih senang dengan sebutan Big Boss itu terlalu lama.

"Jangan beritahu Ify darimana kamu dapat kartu itu, katakan saja, dia yang harus mencari tahu sendiri," ucap Trio membayangkan bahwa akan ada pertengkaran sengit lagi antara dirinya dan Ify dalam waktu dekat. Dan dia menyukainya.

Ila yang baru saja membungkuk hormat kembali bertanya-tanya. Sepertinya, semua ini terjadi bukan karena utang darah, tapi lebih dari itu, pikirnya sambil berjalan perlahan keluar ruangan pimpinan perusahaan.



BERSAMBUNG

Pembaca yang baik hati akan meninggalkan jejak, ^_^

See you next part!

NB: Maafkan kepolosan dua manusia yang saling mengatai satu sama lain, maklum, masih bocah, hehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro