Last Part

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

This is it... Enjoy the last part and... Leave some comment please ^‿^
.
.
.

Last Part

Mata Ify mengerjap sekali sebelum dapat melihat dengan jelas seluruh putih yang berada di sekitarnya. Ify merasakan kehangatan mendekap tubuhnya, dia pun menegakkan tubuhnya yang sempat tertidur dibalik sebuah selimut berwarna putih itu.

Sekali lagi, Ify mengedarkan pandangnya pada seluruh sudut ruangan. Putih. Kosong. Hampa. Hanya ada sebuah kaca jendela besar tembus pandang, berjarak beberapa langkah dari ranjang putih yang sedang Ify duduki saat ini.

Kaca itu menampilkan pemandangan kota. Dengan gedung tingginya. Dengan hijaunya pepohonan. Dengan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Semuanya, di bawah naungan langit biru dengan taburan awan putih yang bergerak perlahan. Ify membatin pilu, yah... itulah kehidupan.

Ify mengingat kejadian sebelumnya. Ify berdiri di pinggir jembatan. Menerima kenyataan yang selama ini tidak pernah Ify dapatkan. Ify tidak mengerti ke mana akal sehatnya, tapi mobil itu menerjang tubuhnya dan Ify merasakan bahwa tubuhnya benar-benar remuk! Rasanya, mati lebih baik daripada Ify harus menahan seluruh rasa sakit itu.

Mungkin aku sudah mati. Tapi, kenapa aku di sini? Apa aku sedang di ruang tunggu atau semacamnya? Ify menghela napas, kemudian menyingkap selimut itu dan mulai berjalan ke arah kaca jendela.

Aku terlalu banyak menonton drama, seharusnya hidupku bisa lebih bermanfaat lagi. Tapi, ya sudahlah, takdirku memang begini. Dilahirkan, dibuang, diadopsi, terobsesi dan akhirnya terluka lagi. Saat aku bertemu Tuhan, apa yang harus aku katakan? Sejak lahir, aku bahkan sudah berlumur dosa, tapi hidup tidak aku perbaiki dengan beribadah dan bersikap selayaknya manusia penuh dosa. Bodoh kamu, Ify. Di saat seperti ini otakmu baru berpikir? Terlambat, kamu sudah mati!

"Ify?"

Kamu bahkan terus berhalusinasi mendengar suara Papa!? Ify sadarlah! Kamu itu sudah mati, berhenti meratap sampai membayangkan hal yang mustahil -

"Ify, Sayang?"

Ify merinding. Bagaimanapun juga, suara itu terdengar sangat nyata! Penasaran, dia pun membalikkan tubuhnya dengan wajah ngeri ke arah kanan, perlahan-lahan. Hingga akhirnya, dia menemukan sosok Papa mengenakan celana dan kemeja putih tengah berdiri sambil tersenyum ke arahnya.

"Pa...pa?" bisik Ify tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ify menggelengkan kepalanya, mencoba berpikir jernih. "Terakhir aku lihat Papa di jembatan, aku justru tertabrak−"

"Kamu nggak merindukan Papa?"

Ify menggigit bibir, persetan dengan halusinasi atau apa pun itu. Ify berlari menuju tubuh Papanya dan memeluk lelaki itu erat, sangat amat erat hingga mungkin Papanya akan kesulitan bernapas.

"Bagaimana kabarmu, Sayang?"

Ify menelan ludah sebelum menjawab. "Baik, Pa. Ify selalu baik kalau di dekat Papa."

"Kalau Ify baik, Ify nggak mungkin berada di sini."

Alis Ify menyatu. Dia pun melonggarkan pelukannya untuk melihat wajah sang ayah. "Memangnya, ini di mana, Pa?"

Bibir Papanya hanya terkulum. "Papa nggak pernah mengajari Ify untuk menjadi gadis lemah dan mudah putus asa," kata Papanya sambil membelai lembut rambut Ify yang terurai.

"Ify nggak putus asa, Pa. Ify hanya..." Ify tidak pernah bisa berbohong di dekat Papanya, entah mengapa. "Ify lelah sama semua ini. Ify udah berusaha semaksimal mungkin, sekuat mungkin. Tapi Ify nggak setegar itu, Pa... Ify nggak sehebat yang Papa kira...."

"Ify, dengar Papa baik-baik."

Ify melepaskan pelukannya, membiarkan lelaki itu memegang kedua bahunya erat, menatap matanya tajam. Persis seperti ketika Papanya melepas Ify untuk pergi merantau ke Jakarta, mengejar impiannya, mencari harapannya yang hilang, dan bertarung dengan kerasnya ibu kota.

"Ada sangat banyak, manusia yang sudah mati, berharap untuk dihidupkan kembali. Untuk apa? Untuk melakukan apa yang nggak mereka lakukan di dunia, untuk beribadah, menyembah Tuhan. Tapi kamu... kamu malah mau menyerah sama keadaan dan memilih mati? Ify, Papa akan sangat malu ketika mempertanggungjawabkan kamu di hadapan Tuhan kelak, karena membiarkan putri sulung Papa menyerah karena seorang laki-laki."

"Bukan gitu, Pa..." elak Ify membuat cengkeraman tangan Papanya di bahu Ify terasa semakin mengeras.

"Dengar, Ify. Lihat Papa!"

Ify menatap kedua bola mata Papanya. Tiba-tiba saja, apa yang dilihat Ify perlahan berubah. Menjadi seseorang yang Ify kenali wajahnya. Wajah itu bersimpah darah, dengan mulut yang tertutup masker oksigen, di atas sebuah brankar dengan beberapa orang di sekitarnya. Bunyi tak beraturan dari mesin penunjuk detak jantung di sebelah kanan brankar membuat kedua mata Ify tak berkedip.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Mengapa dia bisa berada pada dua tempat yang berbeda seperti ini?

Dengan kondisi tubuh yang sangat berbeda pula?

Ify menahan napasnya lagi ketika yang dia lihat kembali berubah, kini yang berada di depannya adalah sosok sang ayah. "Ta-tadi itu... apa... Pa?"

"Sekarang, semua pilihannya ada padamu, Ify."

Ify menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia pun memejamkan matanya. Ini pasti mimpi buruk! Ini pasti mimpi yang teramat buruk sampai semuanya terasa begitu nyata!

"Ify... hiduplah dengan bahagia. Berhenti menyalahkan dirimu atas takdir yang terjadi. Kamu bukan seperti yang kamu pikirkan. Tidak ada anak haram di dunia ini, terlepas kesalahan besar yang diperbuat kedua orang tuanya. Hiduplah Ify, dan selalu ingat bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hamba-nya. Papa tahu, Ify adalah gadis yang kuat. Itu sebabnya, Tuhan memilih Ify untuk melalui semua ini."

"Nggak! Ify nggak mau, Pa!! Ify nggak mau hidup begini!!!" seru Ify sambil menutup kedua telinganya. Ify merasa mimpinya benar-benar buruk, bagaimana bisa mimpinya terasa begitu nyata dan mengerikan? Siapa pun di luar sana, tolong bangunkan aku, aku mohon!

Mata Ify lantas terbuka begitu dia merasakan belaian pada rambutnya terasa berbeda. Papanya tidak pernah mengelus rambutnya dengan cara seperti ini. Kedua tangan Ify pun tidak lagi menutup kedua telinganya, ketika mendapati Papa sudah tidak berada di hadapannya.

"Papa?" Ify membalikkan tubuhnya dan berjalan mundur satu langkah karena terkejut. Sosok wanita yang berdiri di belakangnya benar-benar asing di mata Ify, namun entah mengapa hatinya tidak mengatakan demikian.

Ify menatap sosok itu cukup lama, hingga wanita itu melengkungkan bibirnya, tersenyum. Bahkan Ify merasa, matanya juga melakukan hal yang sama karena nampak berbinar.

Senyumnya... indah sekali. Dia... kenapa... aku merasa dia...

"Mommy senang Ify mengenali Mommy."

"Apa?" tanya Ify refleks. "Siapa?" gumam Ify nyaris berbisik.

"Ify Axelle. Saya Fifyana. Wanita yang diberkahi Tuhan untuk mengandungmu selama sembilan bulan. Wanita yang diberi kekuatan Tuhan untuk melahirkanmu meski sendirian. Wanita yang berharap bisa menjemputmu dari Rumah Cinta ketika kamu berusia sepuluh tahun dan cukup mampu untuk saya tinggalkan saat saya bekerja."

"Tu-tu-tunggu, a-aku, nggak paham. Ta-tadi apa?" Ify berusaha semaksimal mungkin untuk mencerna semua ucapan wanita itu, Fifyana, Mommy-nya?

"Mommy minta maaf Ify, Mommy nggak pernah bermaksud untuk buang kamu. Mommy hanya nggak bisa merawat kamu di saat kamu masih kecil, Mommy harus bekerja, Mommy harus punya banyak uang kalau mau Ify tumbuh sehat dan cerdas...."

"Bohong," ucap Ify langsung, "Ify nggak percaya."

"Daddymu nggak menceritakannya karena dia juga nggak tahu. Dia hanya tahu bahwa kami memiliki anak dan Mommy menitipkanmu di Rumah Cinta. Mommy berjanji pada pengurus panti untuk ambil kamu ketika kamu sepuluh tahun, karena Mommy pikir, saat itu, kamu pasti sudah bisa mandiri untuk Mommy tinggal bekerja.

"Mommy sedih sekali, saat tahu masa hidup Mommy habis bahkan saat kamu belum genap tujuh tahun."

Ify memandangi Fifyana dalam diam. Wanita itu sepertinya orang yang banyak bicara... mirip dengannya.

"Kamu berpikir bahwa Mommy menyedihkan, Nak? Bukan begitu, Mommy hanya nggak mau kamu berpikir kamu nggak punya ayah. Itu sebabnya, Mommy selalu memberi kabar Daddymu soal perkembangan kamu sejak kamu masih ada di sini." Fifyana mengelus perutnya yang terlihat rata. Tubuhnya nampak seperti bidadari dengan balutan terusan berwarna putih, persis dengan yang menempel di tubuh Ify saat ini.

"Saat Mommy mengandungmu, dan saat Mommy pergi dari dunia. Mommy berdoa supaya kamu nggak mengalami hal yang serupa. Mommy sangat bersyukur, Tuhan mengabulkan permintaan Mommy meski kamu harus melewati banyak hal yang menyedihkan."

Ify masih bergeming di tempatnya. Tidak bersuara. Tidak berekspresi.

Fifyana nampak menganggukkan kepalanya sambil tersenyum pilu. "Mommy tahu, kamu marah sama Mommy, kamu membenci Mommy−"

"Diam bukan berarti benci... Mom-my..."

Kali ini, mata Fifyana mulai kemerahan, selapis demi selapis kaca bening itu pun tercipta. Dia membiarkannya hingga lapisan itu pecah menjadi sebuah aliran sungai yang keluar dari kelopak matanya.

"Mommy merasa menang dari Daddymu karena mendapatkan panggilan itu lebih dulu, Sayang."

Ify menelan ludahnya, sejak kapan tangisan itu bisa menular? pikir Ify merasa lucu. Dia pun ikut menangis bersama ibu kandungnya. "Mom... my... nggak... mau peluk?" tanya Ify sesenggukan dengan kedua tangan yang terbuka.

Melihat tingkah putrinya, Fifyana tersenyum kecil hingga gigi atasnya terlihat. Dia menghampiri Ify dan memeluknya seerat yang dia bisa. "Tuhan Maha Baik, Ify. Kita bahkan diizinkan bertemu seperti ini."

Ify hanya menganggukkan kepalanya di antara leher dan bahu Mommynya.

"Mommy senang Ify pintar menjaga diri. Dua puluh tiga tahun dan Ify hanya pernah berpegangan tangan dan berpelukan dengan seorang lelaki."

"Mommy..." rengek Ify sambil melepaskan peluknya. "Mommy tahu semuanya?"

Fifyana hanya mengulum bibir. "Dengar.... Bukan salahmu, ini salah Mommy. Biarkan Mommy yang menebus dosa yang telah Mommy lakukan hingga kamu terlahir ke dunia, tapi.... Kamu bukan sebuah dosa, Ify. Bagi Mommy, bagi Papa, bagi Mama, bagi adikmu, dan mungkin juga bagi Daddymu. Kamu jauuuuuuh... lebih berharga dari apa pun di dunia ini. Mommy juga merasa yakin, kamu amat berharga buat tunanganmu itu."

"Mom?!" Ify sungguh kehilangan kata-katanya sekarang.

"Kalian diciptakan untuk bersama Ify. Kamu hadir di dalam hidupnya untuk membuang ketakutan lelaki itu, dan lelaki itu hadir ke hidupmu... untuk melengkapi kamu yang selalu merasa kamu nggak berharga.

"Hiduplah, dengan sangat bahagia, anggap kamu mewakili Mommy yang nggak bisa sebahagia kamu, Sayang. Oke?"

Ify menggigit bibirnya. Dia hanya menatap dalam mata Fifyana.

"Mommy... mencintai Daddy?" Entah mengapa, justru pertanyaan itu yang keluar dari mulut Ify.

"Mommy lebih mencintai kamu, Ify Shuwan."

***

Trio menggenggam jemari kanan Ify yang terasa dingin. Hari kedua dan tidak ada perubahan dari kondisi gadis itu. Alat penunjuk detak jantung yang berada di sebelah kanan brankar masih mengeluarkan bunyi yang sama, setidaknya Trio harus bersyukur. Ify-nya masih berada di dunia meski dengan mata terpejam, kepala dibebat, leher digips dan wajah penuh luka goresan.

Senin kemarin merupakan Senin terburuk setelah empat belas tahun silam, ketika kecelakaan hebat itu menimpa keluarga Shuwan dan merenggut nyawa Mama dan Kak Langit. Juga menjadi hari terburuk lain dalam hidup Trio, mengingat belum setengah tahun dia kehilangan Papanya yang diam-diam melawan sakit keras di luar negeri.

Trio, untuk pertama kalinya setelah sangat lama, kembali berdoa pada Tuhan, bersujud pada-Nya, memanjatkan doa untuk tidak lagi mengambil orang yang penting dalam hidupnya. Tidak lagi atau mungkin Trio benar-benar tidak bisa bertahan kali ini.

Mata Trio memandang kosong wajah Ify yang pucat dalam tidurnya. Jika saja kepalanya tidak dibebat, jika saja wajahnya tidak penuh luka goresan. Ify pasti sangat cantik, persis seperti seorang putri tidur dalam dongeng.

"Aku nggak pernah menyangka, kamu berhasil nutupin semua itu dari aku, Fy. Aku juga nggak menyangka kalau kamu... Sivia... kalian berhasil nutupin itu dari aku, dan teman-teman sisaan-mu yang lain."

Tangan kiri Trio mengelus lembut pipi Ify yang tidak terhalang masker oksigen.

"Aku pernah bilang, kan? Sekalipun kamu anak pelacur, kamu bukan pelacur. Kamu adalah kamu. Ify. Gadis cerewet, nyebelin, yang sukanya teriak-teriak nggak jelas.... Tapi, aku justru kangen kalau nggak denger kamu teriak-teriak. Aneh, ya?

"Fy, aku nggak tahu seberapa berat beban yang kamu pikul selama ini. Tapi, please... stay here.... Don't leave me...."

Trio tertawa miris melihat tak ada respon dari Ify ketika dirinya memohon.

"Aku baru tahu, kalau melihat kamu begini, bikin aku bukan cuma nyaris gila. Tapi hampir mati karena tahu aku nggak bisa berbuat apa-apa. Fy, darahku nggak sama dengan darahmu, aku cuma bisa berharap, Tuhan mau berbaik hati sama aku walaupun selama ini aku nggak pernah berdoa. Tapi, sekalinya aku berdoa, aku bukannya minta ampun, justru minta Tuhan buat jangan ambil kamu dari aku.

"Kamu tahu? Aku bener-bener nyaris mati kemarin waktu denger kamu kecelakaan. Untung Kak Dara bawa borgol dan mengikat borgol dia di tanganku sama tangan dia. Lucu, ya? Coba aja kamu lihat, kamu pasti ketawa ngakak banget deh."

Bangun Ify, please, bangun....

"Kak Rio," bisik seorang gadis di belakang Rio. "Daddynya kak Ify mau bicara. Dan sekarang giliran Ifa yang ngobrol sama Kakak."

Trio bangkit dari duduknya, membungkukan tubuhnya ke arah wajah Ify. Mencium kening Ify yang terlapis perban selama tiga detik.

"Jangan coba-coba buat tinggalin kami, Ify. Atau aku akan nyusul kamu ke sana dan buat kamu menyesal karena udah menyerah. Ingat itu baik-baik."

***

"Kamu sudah buat keputusan?" tanya Leroy tepat ketika Trio menutup pintu ruang rawat Ify. Selama kondisi Ify belum stabil, dokter tidak memperbolehkan lebih dari satu orang berada di dalamnya.

"Sudah," kata Trio mantap, menatap lurus mata Leroy Axelle yang nampak sayu. "Saya akan tetap tinggal di sisi Ify. Saya akan buat Ify menjadi gadis paling bahagia, seumur hidupnya. Dan saya akan mencintai Ify, seumur hidup saya."

"Akan?" tanya Leroy tegas.

"Om bisa pegang kata-kata saya, begitu juga dengan Tante Iren." Mata Trio beralih menatap Iren yang duduk berselang dua bangku dari Leroy di lorong rumah sakit, depan kamar rawat Ify.

"Dengan atau tanpa persetujuan Ify, saya akan buat Ify melupakan Alvin, saya juga akan buat Ify melupakan fakta kalau dia. " Trio menatap takut-takut ke arah Leroy yang masih memandanginya. " anak di luar nikah," kata Trio memelankan suaranya.

Leroy tampak menganggukan kepalanya sekali. Setidaknya saat putri tidurnya itu terbangun, dia sudah memiliki pangeran yang akan menjaganya dengan sepenuh hati.

"Saya tidak ingin, Ify bernasib sama seperti Audrey." Leroy mendongak dan menatap wajah Trio yang terlihat sama letihnya dengan Leroy. "Anak saya dari Adrienne. Dia dihamili pacarnya, dan pria brengsek itu melarikan diri, persis seperti apa yang saya lakukan pada Fifyana dulu."

"Itu tidak akan terjadi pada Ify, Om. Om bisa bunuh saya langsung kalau saya−" "Saya percaya kamu, Rio Shuwan."

***

"Kakak! Kak Rio, kakak. "

Trio menegakkan tubuhnya yang sempat bersandar pada punggung sofa, dengan kepala menghadap langit-langit. Berulang kali Trio berusaha untuk mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur, tapi dia tak berhasil melakukannya. Hingga Ifa yang sedang duduk, mengajak Ify mengobrol seperti sepuluh hari terakhir berseru memanggil namanya.

"Kenapa, Fa?" Trio bertanya dengan suara pelan, sebisa mungkin tidak menunjukkan rasa khawatirnya karena sedang bicara dengan anak tiga belas tahun.

Ifa menatapnya dengan pandangan berharap. "Tangan Kakak bergerak! Jari Kak Ify tadi gerak!"


***

Pintu kamar VIP tempat Ify terbaring lemah terbuka, muncul dokter serta seorang perawat dengan wajah tersenyum kecil. Trio, Iren, Leroy dan Ifa berdiri dari duduknya dan menunggu Dokter itu bersuara.

"Ini sebuah keajaiban, Tuan, Nyonya. Putri Anda menunjukkan pada kami, bahwa Tuhan Maha Segalanya. Dia mematahkan semua yang saya pernah katakan sebelumnya. Kerusakan di bagian otak, patah di lehernya, serta luka-luka lainnya membaik lebih cepat daripada yang diperkirakan."

Iren lantas memeluk Ifa sambil terus mengucapkan syukur dari bibirnya, Ifa juga melakukan hal yang sama.

"Putri saya sudah sadar, Dokter?" tanya Leroy dengan mata berbinar. "Ya, dia bahkan bertanya pada saya, berapa lama dia tertidur."

Kaki Trio melemas, membuat tubuhnya meluruh ke lantai dengan mata basah.

Terimakasih, Tuhan... terimakasih.

"Anda semua boleh masuk ke dalam, tapi tolong jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Ify tetap memerlukan istirahat yang cukup untuk pemulihannya."

***

"Ma..." parau Ify melihat Mamanya yang tidak berhenti menangis di depannya. "Ify... jadi nyesel... bangun−"

"Ify!" protes Mamanya, "jangan ngomong sembarangan!"

Ify mencoba untuk tersenyum. "Mama... nangis terus... Ify jadi nyesel... lihatnya."

"Mama, Kakak itu nggak mau lihat kita nangis, Mama nggak peka," kata Ifa buru-buru menghapus jejak air mata ibunya. "Kita nggak nangis, Kak, kita cuma kelilipan. Iya kan, Kak Rio?"

Mata Ify mengikuti arah pandang Ifa ke sebelah kiri Ify berbaring. Tempat lelaki berwajah lelah dengan rambut berantakan itu berdiri dengan bibir tersenyum ke arahnya.

"Hai," sapa Ify dengan suara berat.

Trio tersenyum mendengar Ifa yang berbohong agar Ify tak khawatir, serta mendapatkan sapaan yang sangat Trio damba selama sepuluh hari terakhir.

"Selamat datang kembali, Ify," ucap Trio dengan sangat lembut. Seolah gadis di depannya ini bisa saja mati jika Trio tidak menyapanya hati-hati.

"Ify?" Bukannya kamu selalu memanggilku Ify Axelle?

"Aku tahu... kenapa kamu nggak suka nama belakangmu itu."

Ify termenung ngeri membayangkan hal apa saja yang telah terjadi selama dia tidak membuka mata.

"Kamu... tahu?"

Trio mengangguk mantap, tangannya menyentuh pipi kiri Ify, mengelusnya untuk memastikan bahwa apa yang terjadi sekarang bukanlah mimpi.

"Kamu... nggak jijik... denganku?"

Trio menatap mata Iren dan Ifa sekilas, melihat kedua orang terdekat Ify itu menganggukkan kepala, merestui. Trio memberanikan diri untuk mengucapkannya, mengingat betapa mengerikannya bayangan Ify pergi meninggalkan Trio selamanya beberapa hari terakhir.

"Aku mencintaimu, Ify. Dan kamu tahu itu."

***

Ifa dengan setia mengupaskan apel dan menyuapkannya ke bibir Ify. Setiap hari, setelah Ify tersadar, anak kelas satu SMP itu selalu mampir ke rumah sakit untuk menemani kakaknya. Selagi Mamanya pulang ke rumah dan Trio ke Jakarta untuk menghadiri belasan rapat yang sudah dia tinggalkan.

"Kak Rio hari ini datang kan, Kak?"

Ify menatap Ifa heran. "Kamu nggak salah tanya? Kakak bukan sekretaris dia, Kakak nggak tahu."

Bahu Ifa terlihat naik. "Kupikir, Kak Rio akan selalu ngabarin Kakak. Dia sepuluh hari di sini, menunggu Kakak siuman. Tapi, hari kedua Kakak sadar, dia pergi." Kini, bibir remaja itu mengerucut.

"Ifa, dia punya tanggung jawab besar atas perusahaannya. Jangan begitu..."

"Kamu ngomongin aku dengan adikmu?" Suara maskulin yang menjengkelkan itu terdengar. "Aku nggak menyangka, kamu sangat merindukanku meski baru kutinggal sehari setelah sepuluh hari lamanya aku temani."

"Aku bahkan nggak tahu kamu di sini selama itu," bisik Ify diam-diam.

"Kakak bilang, kakak nggak tahu kalau Kak Rio selama itu di sini buat nemenin Kakak."

Ify mendelik ke arah Ifa. "Ifa, kamu berpihak sama siapa sih?!"

Trio terkekeh kecil. "Fa, bisa kamu keluar sebentar? Ada yang mau bicara sama Kakak kamu." Setelahnya, masuk seorang wanita dengan perut buncit bersetelah dress panjang berwarna abu-abu.

Ifa menurut begitu saja dengan ucapan Trio dan meninggalkan kursi tanpa suara, saat remaja itu telah menutup pintu. Trio terlihat menuntun wanita itu untuk duduk di kursi yang Ifa gunakan tadi.

"Audrey, mau apa?"

Wanita yang dipanggil Ify nampak terkejut melihat subyek di hadapannya yang terpasang inpus dengan kepala terbebat perban putih menyebutkan namanya dengan benar.

"Daddy sudah menceritakannya padamu?"

"Aku bahkan nggak mau menyebutnya dengan panggilan itu, kenapa juga aku harus mendengar ceritanya?" ketus Ify, dalam hati bertanya-tanya, mengapa bahasa Indonesia Audrey bisa sefasih Leroy?

"Daddy memaksa aku untuk bisa berbahasa Indonesia sejak berumur delapan tahun, Daddy bilang, suatu saat nanti, aku harus bertemu saudaraku di Indonesia. Aku nggak menyangka aku akan bertemu denganmu dalam keadaan seperti ini." Tangan Audrey telihat mengelus lembut perutnya yang cukup besar.

"Apa aku harusnya terkejut dan terharu sekarang?"

Ify. Gadis yang mengalami kecelakaan parah, koma selama sepuluh hari dan baru tersadar selama tiga hari itu rupanya masih menyimpan seluruh sakitnya dalam bentuk kemarahan, Trio membatin tak percaya. Sebesar itu kebencian Ify pada masa lalunya.

Audrey terlihat menggeleng lemah dengan kedua ujung bibir yang melengkung kecil. "Daddy melakukan dosa besar, dan aku tengah menebusnya sekarang. "Lagi, tangan

Audrey mengelus perutnya. "Aku hamil, Ify. Dan ayah bayi ini pergi."

Ify tak bersuara. Tatapannya pada Audrey tidak setajam beberapa detik lalu, Trio yakin betul bahwa gadis itu mulai luluh sekarang.

"Langsung saja, Audrey." Suara Ify terdengar lebih bersahabat dari sebelumnya, membuat aura intimidasi itu memudar dan Audrey bisa tersenyum sedikit lebih lebar.

"Aku nggak bisa memutarbalikkan waktu, di mana kita seharusnya tumbuh bersama selayaknya saudara−meski kita terlahir dari rahim yang berbeda, tapi kita satu ayah. Aku juga AB negatif kalau kamu ingin tahu, sayangnya aku sedang hamil, jadi hanya Daddy yang bisa mendonorkan darahnya untukmu."

Ify menatap ngeri ke arah Trio yang berdiri tak jauh dari tempat Audrey duduk. Ada darahnya mengalir di dalam tubuhku? Orang itu, orang yang membuangku yang malah menyelamatkanku?

Entah apa yang gadis itu pikirkan, Trio masih menatapnya lekat-lekat dengan kepala mengangguk sedikit.

"Aku ingin minta maaf, atas nama keluarga besar Axelle. Mereka tahu tentang kamu, tapi mereka nggak bisa berbuat banyak selain mengizinkan aku dan Daddy untuk datang ke sini."

Ify kembali menatap Audrey. Membuat gadis yang terdiam itu bersuara lagi.

"Apa kamu mau... mengulang semuanya bersama kami Ify, maksudku, aku dan Daddy?"

"Aku tidak tertarik, Audrey." Ify menjeda kalimatnya dengan mata yang tertuju pada Trio kali ini, "lagipula aku akan mengubah nama belakangku dalam waktu dekat."

"Apa maksudmu?"

"Lelaki itu... dia sudah mengajakku menikah satu kali." Audrey membalikkan tubuhnya, memperhatikan Trio yang terlihat menegang di tempatnya berdiri. "Aku tidak menolaknya, tapi juga tidak menerimanya. Dan saat aku tersadar, aku tahu kalau sangat menyedihkan jika pengorbanan sia-sia. Jadi kurasa, aku akan menikah dengannya setelah aku pulih."

***

Ify memperhatikan Trio yang duduk di kursi samping brankar Ify, sejak Audrey pergi hingga detik ini. Pandangan lelaki itu terus saja tertancap pada wajah Ify.

"Kamu salah makan?" tanya Ify yang jengah terus diperhatikan.

"Kamu nggak salah omong dengan Audrey tadi?"

Kedua bahu Ify terangkat. "Dokter bilang, aku bisa berhalusinasi karena benturan di kepalaku saat kecelakaan. Tapi aku masih bisa berpikir cukup baik sebelum bicara."

Trio memilih untuk tidak merespon, yang Ify utarakan barusan belum cukup menjelaskan maksud gadis itu beberapa menit lalu.

Ify menghela napasnya, dia bahkan membuat duduknya sedikit menyerong ke kanan, agar tubuhnya bisa menghadap Trio lurus dan lelaki itu dapat melihat seluruh bahasa tubuhnya. "Ada ketakutan yang belum bisa kutaklukkan hingga sekarang. Tapi, semenjak bertemu kamu. Aku jadi tahu bahwa ketakutan itu aku sendiri yang menciptakannya."

"Maksudmu?" Refleks, Trio bertanya dengan kening berkerut.

"Aku yakin, kamu udah tahu semuanya. Semua yang aku tutupi. Termasuk ketakutanku untuk kembali ditinggalkan, ketakutanku untuk dibuang, ketakutanku untuk menikah dengan orang lain, selain Alvin, tapi. " Ify menarik napas dalam.

"Trio Langit Shuwan, melihatmu berkepribadian ganda, melihatmu yang begitu takut ditinggalkan sampai kamu berubah menjadi mengerikan. Aku jadi sadar, kalau kita sebenarnya sama. Kita... aku dan kamu. hanya berbeda dalam menanggapi ketakutan kita itu.

"Kamu memilih untuk menghidupkan sosok kakakmu dalam diri kamu. Sementara aku memilih untuk tetap fokus sama harapan yang aku bangun untuk seorang Alvin. Tapi sekarang aku sadar, ketakutan-ketakutanku yang mencekik itu, selama ini muncul karena pemikiranku sendiri, asumsiku sendiri."

"Jadi. ?" tanya Trio mulai pusing, ke mana arah ucapan Ify ini sebenarnya?

Ify memasang senyuman yang begitu manis, senyum yang tanpa sadar membuat deru napas dan degup jatung Trio mulai berantakan.

"Aku mau menikah, bukan untuk pelarian. Aku memilihmu bukan karena keterpaksaan. Tapi aku sadar, selama sepuluh hari aku nggak melihat indahnya dunia. Selama aku terus tertidur dan mendengar suara kalian yang berharap aku bangun. Selain Mama dan Ifa, kamu juga termasuk ke dalam daftar orang yang aku harapkan bisa aku lihat pertama kali, saat aku membuka mata."

Trio menelan ludahnya. Dia menggenggam erat jemari kanan Ify, meminta gadis itu mengulang ucapannya sekali lagi. "Ulangi. yang kamu bilang tadi."

"I'm so grateful, given God the man who doesn't hate me, after know who I am actually, but..."

"But?" Trio menahan napasnya.

"Apa keluargamu mau menerima anak haram sepertiku?"

Trio mendesah lega. "Dara... pasti senang punya kamu sebagai adik iparnya."

***

"Apa aku salah?" Ify memecahkan keheningan setelah Mama dan Ifa keluar dari ruang rawatnya lebih dulu. Hari ini hari ke-21 Ify di rumah sakit dan tim dokter sudah mengizinkannya untuk pulang ke rumah.

"Kenapa?" Trio membantu Ify untuk berdiri dan berjalan perlahan ke arah pintu. Gadis itu memilih bergelayut di lengan kiri Trio, alih-alih kursi roda untuk membantunya.

"Aku... mengusir ayahku sendiri?" tanya Ify ragu sambil menatap bagian samping wajah Trio.

"Kamu sudah memaafkannya, memanggilnya Daddy dan meminta dia untuk hidup bahagia." Trio menolehkan kepalanya untuk menatap mata Ify. "Itu keputusan yang baik."

Ify berpikir sambil membuang mukanya ke arah depan. Membayangkan kembali percakapannya dengan Leroy kemarin sebelum dokter mengizinkannya pulang hari ini.

"Aku bertemu Mommy." 

Benarkah?"

"Aku juga bertemu Papa."

"Daddy senang mendengarnya."

"Mommy dan Papa ingin aku hidup bahagia. Aku juga ingin Anda hidup bahagia. Jadi, kita akhiri saja semua ini."

"Apa maksudmu, Ify?"

"Pulanglah ke Perancis. Hiduplah dengan Adrienne dan Audrey. Lupakan aku dan aku juga akan melakukan hal yang sama."

"Daddy nggak mungkin bisa melakukannya Ify."

"Anda bercanda?! Jika bukan karena Mommy berhenti mengirim surat karena meninggal. Anda tak akan pernah kembali ke Bandung. Jadi, hentikan saja semua ini. Dan jangan muncul lagi di depanku, Tuan Leroy Axelle "

"Ify... "

"Daddy... "

...

"Baiklah, setidaknya Daddy sudah melakukan satu hal sebagai seorang ayah untukmu.

Dan sekarang,Daddy merasatenang karena sudah ada Rio disampingmu, Anakku."

.
..
...

TAMAT

Mei hingga Desemberku terasa LUAR BIASA! 7 Bulanku menjadi lebih berwarna, terimakasih sekali untuk 5k dukungan kalian (T▽T)
Its feel so amazing!!!!!!

Setelah ini, aku akan lanjutkan TWENTY COUPLE: SECRET WEDDING sambil skripsian. Semoga kalian suka TCSW lebih dari MMIYD yaa ( ^∇^)

And don't miss to leave some comment for me, Guys!

I love you!!!!

With heart,
Annisa N. Alida

201217

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Pada 3 Juni 2020 aku publish cerita ini di Dreame dan meng-cut sebagian kontennya di Wattpad. Tapi karena kontrak dengan Dreame usai, aku memutuskan untuk re-publish Marry Me if You Dare di Wattpad pada hari ini 20 Maret 2024Selamat baca ulang untuk followers lamaku, dan halo salam kenal untuk followers baru(^_^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro