BAB 1. Wow

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Banyak sekali kardus yang harus di bongkar. Pindahan hari ini sangat menguras tenaga. Dibantu sopir mobil box yang ia pesan melalui aplikasi, akhirnya semua kardus telah masuk ke dalam apartemennya, setelah kurang lebih satu jam. Untung saja unitnya berada di lantai tiga. Meski harus naik turun menggunakan elevator, tidak terlalu memakan waktu.

Setelah memberi tip dan berterima kasih pada sopir tersebut, ia merebahkan tubuhnya di atas sofa yang masih terbungkus plastik. Menikmati kelelahan pada sendi-sendinya.

“Coba punya pacar. Kan nggak harus ikut angkatin barang naik turun, Key,” seloroh seseorang yang sejak tadi duduk di sofa single di seberang meja kaca. Orang yang dari awal hanya menonton bak mandor kuli bangunan.

Keyra menoleh, lalu memutar bola mata jengah. “Bumil diem aja.” Bangkit dari posisi. Melihat sekeliling ruangan. Tumpukan kardus masih berserakan, membuatnya mengembuskan napas lelah. Mengingat ia masih harus menata ruangan dan merapikan barang. Menyesal tidak mengikuti saran Bian. Laki-laki itu meminta Keyra menunggunya pulang.

“Bian kapan sih balik? Betah banget sampe mau sebulan di Amrik.” Via memainkan rubik milik Keyra. Menyandarkan punggung pada bantalan sofa.

“Masih minggu depan katanya. Tadi pagi video call sambil ngomel-ngomel,” terang Keyra sembari membuka kardus yang paling dekat dengan kakinya. Ia menyobek selotip asal, lalu menyibak dua sisi yang menutup kardus. Menampakkan beberapa vas putih berukuran kecil dan tanaman sintetis di sebelahnya.

Via tertawa mendengar celoteh sahabatnya. Ia letakkan kembali rubik yang hampir menemukan kelompok warnanya itu di atas meja. “Kalian kenapa nggak jadian aja sih? Apa coba kurangnya Bian? Kaya, ganteng, romantis. Selama satu geng sama dia kayaknya belum nemu tuh kurangnya.”

Keyra mengerucutkan bibir, menautkan kedua alis. Ia sadar, bahwa satu-satunya laki-laki dalam pertemanannya itu memang nyaris sempurna. Kendati demikian, hatinya tidak menempatkan Bian pada posisi untuk lebih dari sahabat. Terlanjur nyaman dengan perlakuan istimewa yang diberikan Bian untuknya. Keyra merasa tidak ingin mengusik hubungan yang telah terjalin sekian lama.

“Justeru itu, Vi. Hubungan kita tuh udah lengket banget kayak kembar beda darah. Aku khawatir, kalau aku sama Bian terlibat perasaan lain, persahabatan kita jadi nggak baik. Belum lagi kalau sampai putus.”

Via menggeleng tidak habis pikir. Belum juga memulai, tapi sudah berpikir soal putus. Perempuan yang perutnya sudah terlihat sedikit maju itu berdiri menghampiri Keyra. Memperhatikan kegiatan Keyra yang tengah mengeluarkan satu persatu vas dari dalam kardus.

“Key. Mending beresin yang gede-gede dulu itu. Meja sama TV tuh beresin duluan. Kulkas kapan nyampe? Lama bener.” Kemarin ia menemani Keyra membeli kulkas. Janji dikirim pagi ke apartemen. Tapi sudah hampir tengah hari belum juga sampai.

“Bentar lagi paling. Tadi udah aku telepon. Santai dikit dong, Bumil.”

Keyra beralih pada kardus di sebelahnya. Menimang lagi. Berpikir bahwa saran Via benar. Lebih baik merapikan barang yang besar dulu. Gegas ia berdiri, masuk ke dalam kamar. Mulai dengan dipan yang belum dirakit. Satu persatu papan terpasang setelah beberapa menit. Keyra termasuk cekatan dalam hal merapikan. Hanya saja terkadang sedikit tidak rapi dan serampangan.

Membuka kardus tinggi berisi kasur yang ia beli lewat aplikasi online. Mengeluarkan satu persatu benda dari dalamnya. Dua bantal yang divakum hingga tipis, dan kasur dengan lipatan super tipis. Membentangkan benda itu di atas dipan sebelum membuka wrap yang melapisi kasur. Setelah memastikannya rapi, baru ia menyobek plastik pembungkus kasur dengan gunting kecil. Seketika kasur mengembang sedemikian rupa.

Via melongok di ambang pintu. Tangan kanannya memegang ponsel. Baru saja selesai berbicara dengan seseorang melalui benda pipih itu.

“Key!”

“Hmmm.”

“Minggu besok bisa ketemu sepupu jauhku?”

“Untuk?”

“Blind date.”

Sontak Keyra menghentikan aktivitasnya. Menoleh ke arah Via dengan kedua alis bertaut. Tapi berubah sejurus kemudian. Kedua sudut bibirnya naik, hingga menampakkan deretan gigi putih rapi miliknya. Ia menyukai hal-hal yang tidak terduga saat melakukan blind date. Meski selama ini belum pernah bertemu dengan orang yang sesuai kriterianya. Di tengah kesibukannya sebagai seorang manajer di restoran milik Bian, Keyra memang butuh sedikit kegiatan yang menghibur.

“Deal. Kasih tahu aku, dia mau ketemuan di mana?”

***

Setelah genap dua hari tiga malam, akhirnya Keyra bisa tidur nyenyak dalam kamar apartemen dengan kondisi ruangan rapi seluruhnya. Bingung sendiri mengapa bajunya saja sangat banyak sampai memenuhi lemari tiga pintu dengan kaca besar pada pintu paling kiri. Alhasil merapikan baju saja memakan waktu sangat lama dan melelahkan. Apalagi ia melakukannya sepulang dari restoran.

Tubuh langsing semampai miliknya rebah dalam pelukan selimut tebal warna biru muda. Merasa tulang-tulangnya remuk. Kepalanya sedikit pening. Ia memang manajer, tapi tanggung jawabnya seperti pemilik restoran. Bian menyerahkan wewenang padanya selama berada di luar negeri.

Mata Keyra hampir terpejam, namun kembali terbuka lebar saat mengingat kencan yang beberapa hari lagi akan ia hadiri. Ia sangat bersemangat, juga penasaran dengan rupa Biru yang kata Via adalah seorang penulis super dingin. Satu hal lagi yang membuat Keyra tidak sabar bertemu dengan sepupu jauh sahabatnya itu. Seksi. Ya, menurut keterangan dari Via, Biru tidak hanya tampan, tapi juga seksi.

Membayangkannya saja, Keyra sampai menggigit bibir tanpa sadar.

Pergilah wahai pikiran kotor. Tidur, Key. Besok kerja.

Menarik selimut hingga menutup sebagian wajah. Keyra tersenyum geli sendiri sebelum benar-benar memejamkan mata, terlelap. Membawanya hanyut dalam mimpi aneh yang menggairahkan. Dalam mimpi, ia bersenggama dengan laki-laki yang entah siapa. Wajah yang sama sekali tidak Keyra kenali. Namun, alam bawah sadarnya tidak dapat ia ambil kendali.

***

Jalan raya Bogor memang tidak pernah lengang meski tengah malam. Akses jalan tol yang beberapa waktu lalu dibuka, menambah sibuk jalan utama. Tinggal di daerah Kali sari, Jakarta Timur membuatnya paham jam macet jalanan di depan apartemen yang sekarang. Keyra tak henti merutuk setiap kali mendengar klakson dari belakang mobilnya.

Sudah jelas jalanan macet. Emang sinting orang-orang ini.

Janji temu dengan Biru memang masih sekitar dua jam lagi. Cari aman, Keyra berangkat lebih awal. Paham benar bagaimana macetnya jalanan di sore hari. Dari pada kesan pertama rusak karena terlambat, maka ia memutuskan untuk sampai lebih dulu.

Lampu merah dekat mall Cijantung terasa sangat lama. Apalagi di depan sana ada titik macet super. Tepatnya di Pasar Rebo. Jalan simpang entah berapa yang berada di bawah fly over membuat siapa saja jengah. Setelah lampu merah berubah hijau, Keyra menginjak perlahan pedal gas, beberapa kali masih mendecap kesal karena bunyi klakson saling bersahutan. Bising yang sangat ia benci. Setelah melewati titik macet di Pasar Rebo, ia membelokkan mobilnya ke arah kiri. Menuju Condet. Salah satu kafe yang mengusung tema semi perpustakaan ada di sana.

Keyra tidak masalah dengan tempat yang dipilih Biru untuk kencan butanya. Mengingat laki-laki itu adalah seorang penulis, ia sangat maklum. Jarak antara apartemen dan kafe tempat janjian sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi karena macet di beberapa titik, membuat perjalanan yang bisa ditempuh tidak lebih dari tiga puluh menit jika tidak macet, menjadi jauh lebih lama.

Sesampainya di kafe dengan papan nama cantik bertuliskan Imagine Cafe, Keyra memarkirkan mobilnya. Kafe yang berada di daerah Balekambang itu memiliki area parkir yang lumayan luas. Gegas ia membawa langkahnya masuk ke dalam bangunan yang sebagian besar materialnya kayu itu. Dengan jendela-jendela aesthetic. Kali pertama Keyra masuk ke tempat ini meski setiap hari melewatinya.

“Selamat sore, Kak? Sudah reservasi?” tanya seorang pelayan perempuan mengenakan seragam hitam putih dengan senyum ramah.

“Atas nama Biru? Ada kah?”

“Oh iya, mari ikuti saya.” Perempuan yang Keyra taksir berusia awal dua puluhan itu membimbingnya ke sebuah ruangan yang sepertinya khusus di pesan Biru. Bukan ruangan, lebih tepatnya satu set meja kafe dengan dua bangku santai yang terbuat dari rotan yang diletakkan sedemikian rupa di antara rak penuh buku. Hingga membuatnya tampak seperti ruangan.

Pelayan pun berpamitan setelah Keyra mengucapkan terima kasih. Tidak langsung duduk, mata Keyra dimanjakan dengan susunan buku yang super rapi. Semua buku tampak memiliki ukuran tinggi dan tebal yang sama. Meski banyak sekali buku, tidak ada debu meski sebutir. Bersih sekali.

“Permisi?” Suara bariton membuat Keyra sedikit berjingkat kaget. Sontak ia menoleh ke arah sumber suara.

Matanya terpaku pada sosok yang berdiri sekitar dua meter darinya itu. Laki-laki dengan tinggi proporsional, wajah tegas yang amat sangat tampan. Kemeja putih yang dibiarkan tidak dikancing, sehingga menampakkan kaos abu-abu terang di dalamnya. Mata Keyra tidak berhenti di sana. Celana hitam dengan potongan di atas mata kaki sangat cocok dengan kaki jenjang pemiliknya. Kulit putih bersih tanpa bulu membuat mata Keyra takjub.

“Wow!” seru Keyra membuat laki-laki itu menautkan alis bingung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro