007

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ishana: Lo nggak pulang ke Jakarta? 

Bola mata El bergerak mengikuti tiap-tiap kata yang berbaris di layar ponselnya, kemudian berdesah berat. Sudah dua hari ini El membisukan notifikasi masuk dari Shana. Kini, namanya bahkan masuk ke daftar diarsipkan. Terhitung sudah satu pekan berlalu sejak hari pertama Ben meninggalkannya di Bandung. Selama itu pula, El hampir tidak pernah merespons pesan dari Shana. El benar-benar belum siap jika Shana harus bertanya kenapa El mendadak pergi.

Atau, mungkin memang tidak perlu ada yang dijelaskan. Cukup El sendiri yang tahu, bahwa kini, ia sudah memutuskan untuk menjaga jarak dari Shana. Nanti kalau sudah siap, baru akan El jelaskan kepada Shana tentang bagaimana perasaannya.

“Kang, mau pesen.”

Lekas, fokus El pada layar ponselnya teralihkan. Laki-laki dengan celemek cokelat itu gegas meletakkan ponselnya secara asal, lalu menyambut pelanggan barunya dengan senyum yang melebar, “Silakan, Kak. Mau pesen apa?”

Iced Coffee-nya dua, tapi yang satu nanti aja boleh, Kang? Satu jam lagi, kira-kira,” tutur perempuan di hadapan El.

El mengangguk, “Iya, Boleh Kak. Duduknya di sebelah mana, biar nanti saya antar.”

“Di pojok sana, Kang,” jawabnya sambil menunjuk meja kosong di pojok ruangan, dekat jendela L besar yang memberi pemandangan ke lahan parkir dan Jalan Braga yang dipadati kendaraan lalu lalang.

Sekali lagi, El mengangguk, kemudian segera menerima uang dari perempuan yang sepertinya akan kerja di kafenya itu. Begitu perempuan itu pergi, gegas El meraih mesin kopi yang ada di balik counter. Isi pikirannya yang semula penuh dengan nama Shana, lambat laun beralih haluan, berhubung semakin sore menjelang, kafenya pun semakin ramai.

Kini di Bandung, tidak ada yang membuat El harus pulang hingga larut pagi. Begitu jadwal kafe tutup pukul sepuluh, maka El akan pulang pukul sepuluh. Ia juga tidak memegang kunci. Jadi, El biasanya pulang paling awal, bergegas menuju kontrakannya yang tidak jauh dari kafe, menghabiskan sisa malam sambil menonton film di Netflix dan menikmati kopi hitamnya.

Keseharian tersebut berulang-ulang setiap hari, dengan jadwal yang sama, dengan orang-orang yang sama, dan lokasi yang sama pula. Sejauh ini El belum bosan, mungkin bulan depan baru akan bosan dan memutuskan untuk pulang. Atau, mungkin takkan pernah bosan.

+ + +

Setiap kali memergoki El aktif di WhatsApp tanpa membalas pesannya, Shana selalu mengirimkan pesan baru untuk berakhir tidak dibalas lagi. Begitu saja kini hubungannya yang kian renggang entah karena apa. Sepertinya, sudah dua minggu Shana tidak berkomunikasi sama sekali dengan El.

“Eh, kok lo udah masuk, Lin? Jam berapa sekarang?” tanya Shana kepada Alin, rekan kerjanya yang akan sif sore hingga malam hari ini. Serempak, keduanya menoleh pada jam digital kecil yang ada di meja resepsionis. Pukul 14.55, dan itu artinya sif Shana akan berakhir lima menit lagi. “Oh….”

“Habisnya lo tumben banget nggak nge-chat, Shan. Biasanya lima belas menit sebelum gantian udah koar-koar di grup,” ujar Alin. Shana hanya menampakkan cengir lebar. “Lagi kenapa?”

“Hah? Nggak, nggak ada apa-apa, cuma capek aja,” kilahnya seraya buru-buru mengambil heels-nya yang sedang ia lepas dan letakkan di kolong meja resepsionis. “Gue duluan ya, Lin. Habis ini ada janji, soalnya.”

Memilih untuk tidak memperdebatkan privasi Shana, Alin mempersilakan Shana untuk segera pergi. Begitu pula dengan Shana, yang pergi tanpa repot-repot menunggu respons Alin. Sore ini Shana betulan ada janji dengan Ares. Mungkin tidak akan lama-lama, karena mobil Shana masuk bengkel lagi setelah sudah beberapa hari ini ia pakai lagi sepulang dari bengkel beberapa waktu lalu.

Tiba di Koi Café, Shana bisa langsung mengenali Ares yang entah sudah menunggu berapa lama. Laki-laki itu duduk di kursi mereka terakhir kali bertemu di tempat yang sama. “Mas, udah nunggu lama?”

Sepersekian detik, bola matanya melirik kepada Shana, sebelum kembali ke layar ponselnya yang menampakkan tulisan Victory. “Nggak, kok. Baru main satu game, belum lama.”

Shana hanya mengangguk-angguk. Sejujurnya tidak mengerti, durasi satu game berlangsung itu seberapa lama. Tetapi Shana tidak peduli. Yang penting Ares tidak protes karena laki-laki itu datang lebih dulu. Segera, Shana meletakkan gelas Matcha Latte-nya yang masih penuh, kemudian duduk tepat di sebelah Ares.

Ares menilik tiap gerakan Shana, pun memperhatikan wajahnya. Kusut. “Kamu nggak apa-apa?”

“Maksudnya?”

“Keliatan nggak se-happy biasanya.”

Shana terkekeh pelan. “Dua kali Mas bilang begitu ke saya,” katanya.

Ares mengedikkan bahu sambil menyesap Milk Tea miliknya. “Ya, habisnya ini kedua kalinya saya lihat kamu nggak se-happy biasanya,” balasnya. “Gara-gara kejadian tempo hari di toko?”

“Serupa tapi tak sama,” jawab Shana. “Kehilangan dua orang berbeda dalam waktu dekat. Padahal, saya nggak tau apa salah saya sama mereka, Mas.”

Ares mengangguk paham. “Terus, terus?”

Shana sempat diam sesaat. Sebetulnya, ia ragu untuk bercerita kepada Ares tentang perasaannya akhir-akhir ini. Namun, melihat wajah Ares yang tampak begitu tenang, berhasil membuat Shana ikut tenang dan mulai menancapkan rasa percaya pada Ares. Cerita Shana sore ini akan ditampung oleh Ares.

Dalam satu jam ke depan, cerita Shana Ares dengarkan. Perempuan itu bercerita secara garis besar mengenai perasaannya yang belum lama ini ditinggalkan oleh Kaisar—laki-laki yang sudah Ares temui pula tempo hari—dan tentang El, yang entah pergi ke mana.

“Kamu sayang sama mereka, Shana?”

“Ya, gimana Mas, saya pacaran sama Kaisar tiga tahun. Ketika putus, dia langsung punya pacar baru lagi dalam waktu kurang dari satu bulan, sementara saya, belum sepenuhnya move on dari dia,” terang Shana. “Terus, kalau El … rasanya aneh, Mas, kalau saya sampai lost contact begini sama sahabat terdekat saya. Dua puluh empat tahun saya selalu sama dia. Terus, mendadak renggang. Rasanya kayak putus, padahal nggak pernah pacaran.”

Ares menghela napas. Senyumnya mengembang tipis. “Coba ya, kalau cara pikirmu tuh begini: kalau dia pergi dan udah jadi milik orang lain, anggap aja kamu memberikan dia kepada yang lebih membutuhkan, dan itu bukan kamu. Ketika kamu memberi untuk orang lain, pasti udah ikhlas. Lagi pula, emangnya nggak malu, merebut lagi harta yang udah kamu sedekahin?”

Shana tak berkutik. Ia terbengong mendengar nasihat dari Ares.

“Kita nggak pernah bisa maksain perasaan seseorang. Kita cuma bisa kendaliin diri kita sendiri. Makanya, daripada sibuk bikin orang-orang suka balik sama kita, mending kita yang coba untuk berhenti suka sama mereka. Anggap aja semuanya datar, nggak ada apa-apa,” kata Ares.

“Kan susah, Mas. Perasaan kita juga bisa di luar kendali kita.”

“Susah bukan artinya nggak bisa, kan?”

Shana diam sesaat. “Iya sih, Mas,” katanya lesu. “Tapi, kayak masih nggak percaya aja. Pacaran sama Kaisar tiga tahun. Saya senyaman itu, saya selalu maafin semua kesalahannya demi hubungan ini. Saya selalu terima kekurangannya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar kan, Mas? Tapi, ketika pada akhirnya kita putus, dia langsung punya yang baru. Padahal, saya masih belum sepenuhnya nerima kenyataan kalau hubungan saya tuh, gagal lagi untuk yang kesekian kalinya.”

“Bisa, Shan,” ujar Ares. “Mau baru tiga bulan, tiga tahun, tiga puluh tahun, semua orang bisa berhenti mencintai orang lain. Hidup ini kan nggak statis. Kamu nggak mungkin selamanya diam di tempat, begitu-begitu aja. Ada masalah berdatangan, ada sedih dan senang, begitu pula orang-orang yang ada di hidup kamu. Bisa jadi, nggak itu-itu aja. Perasaanmu juga, nggak akan gitu-gitu aja selamanya.”

Shana takjub. Ia pikir, Ares adalah tipe cowok yang banyak bercanda dan selalu lucu. Perkenalan pertama mereka sudah menanamkan kesan tersebut pada benak Shana. Hari ini, sisi lain dari Ares bisa Shana lihat.

Ares segera meraih waist bag miliknya di atas meja. “Hari ini kamu bawa mobil, nggak?” tanyanya. Shana menggeleng. “Nah, berarti Tuhan udah menakdirkan kita pulang bareng hari ini. Ikut saya jalan-jalan, yuk?”

Seharusnya sih, Shana menolak ajakan tersebut. Selain karena tidak enak harus merepotkan Ares, juga karena jauh di dalam hatinya, Shana merasa tidak tenang. Entah kenapa, Shana merasa seolah sedang berkhianat pada El. Memang aneh rasanya. Bahkan Shana tidak mengerti kenapa harus merasa seperti ini. Padahal, El sendiri belum tentu peduli hari ini Shana jalan dengan siapa.

Setelah pertimbangan panjang, Shana memutuskan untuk menerima ajakan Ares. Lagi pula, sepertinya tidak ada salahnya kalau Shana menerima kehadiran Ares. Kenapa juga Shana harus memikirkan perasaan El ketika laki-laki itu tidak memikirkan perasaannya. Iya, kan?

Untuk kali pertama, Shana berboncengan dengan Ares. Belum pernah Shana melihat Bundaran HI dari dekat tanpa terhalang kaca mobilnya. Belum pernah juga Shana melihat bus-bus TransJakarta sedekat hari ini.

Perjalanan mereka diisi kelanjutan cerita, tapi kali ini, tentang Ares. Laki-laki itu yang meramaikan perjalanan dengan kisah asmaranya yang telah usang. Singkatnya, Ares pernah menjalin kisah dengan teman semasa sekolahnya, selama tujuh tahun, sebelum akhirnya kandas karena tidak mendapatkan restu.

“Kejadiannya udah empat tahun lalu, Shan. Ketika saya sama dia mutusin untuk nikah, ternyata orang tuanya nggak setuju. Katanya dia udah dijodohin sama anak temen bapaknya. Ya, maklum, sih, lebih kaya soalnya. Jadi, di usia dua puluh lima itu, saya putusin buat merantau ke Jakarta. Saya tinggal sama Paklik saya di sini. Saya kerja. Udah nggak tau gimana kabarnya, tapi terakhir denger sih, dia nggak jadi nikah sama orang itu. Mungkin, memang belum jodohnya juga.”

Shana mengangguk-angguk sambil tetap setia mendengarkan cerita panjang Ares. Cukup lama, mereka bahkan menghabiskan waktu hingga langit menggelap. Ares kemudian mengantar Shana pulang sebelum pukul tujuh.

“Makasih ya, Mas, udah diantar pulang. Udah ditemenin cerita juga,” tutur Shana sambil melepaskan helm yang melindungi kepalanya.

Ares mengangguk. “Iya, nggak apa-apa. Saya juga makasih, udah ditemenin cerita sama kamu,” katanya. “Kalau gitu, saya pamit ya.”

Begitu mendapatkan izin, Ares segera meninggalkan Jalan Metro Pondok Indah, bersama rasa tidak percaya diri yang mendadak melingkupi hatinya. Sepertinya, Shana terlalu high-class untuk bersanding di sebelah Ares.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro