011

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah berhari-hari tidak menemukan kecocokan jadwal untuk bertemu, pada akhirnya Ares menemui perempuan yang ditunggu-tunggunya secara tidak sengaja, satu jam lalu. Shana mampir ke H&M untuk membeli sepatu yang entah sudah berapa lama jadi incarannya, lalu dengan cekatan, tentu saja Ares memanfaatkan kesempatan.

Shana setuju untuk menunggunya selesai bekerja meski harus duduk sendirian di Koi Café selama satu jam lamanya. Maka, begitu sifnya selesai, Ares gegas menyusul Shana menuju Koi Café. Mudah untuk menemukan perempuan itu. Rambut pendek yang sebagian kecilnya diwarnai ash grey sudah Ares hafal di luar kepala. Pun, matanya yang sipit dan tajam, sudah memikat perhatiannya sejak detik pertama Ares masuk ke gerai Koi Cafe.

"Maaf ya saya lama," tutur Ares begitu ia meletakkan segelas Milk Tea pesanannya, lalu duduk di sebelah kanan Shana. Perempuan itu kelihatannya sedang sibuk, membuat catatan di buku kecil yang dibawanya.

Senyum Shana menyambut kedatangan Ares. "Iya, nggak apa-apa, Mas. Saya juga sambil ngerjain sesuatu kok," responsnya seraya menyudahi kegiatannya.

"Apa itu?"

"Catatan pengeluaran bulanan."

Ares mengangguk-angguk paham. "Kamu anaknya well-planned banget, ya."

Shana tidak memberikan respons apapun selain senyum tipis. Bukunya sudah ia tutup rapat, bolpoinnya pun sudah lepas dari tangan kanannya. Kini, perhatian Shana sepenuhnya tertuju pada Ares. "Emangnya enak ya, Mas?" tanyanya sambil menunjuk gelas minuman Ares dengan dagunya.

Kontan pandangan Ares mengikuti gerak dagu Shana, menuju gelas yang masih penuh dengan Milk Tea di mejanya. "Buat saya enak."

"Terlalu manis."

Ares mengangguk, agak menyetujui opini Shana. "Justru karena manis. Seger, lagi. Hilang capeknya kalau habis kerja. Dan, kalau lagi suntuk, menurut saya ini pas untuk bikin semua—pikiran kita, seenggaknya—yang pahit sirna. Berganti sama manis. Meskipun mungkin sementara, ya, tapi itu cukup membantu."

Shana mengangguk-angguk paham. Ia kemudian menyesap minumannya sendiri. Menu yang takkan pernah ganti dari daftar favoritnya nomor satu hingga terakhir, Matcha Latte.

"Matcha rasanya aneh," cerca Ares. Seketika, Shana berhenti menikmati minumannya. Gadis itu memandang Ares dalam diam. Ditunggu kelanjutan kalimatnya, penjelasan atas cemoohannya yang bagi Shana justru aneh. "Manis, tapi campur pahit, terus bikin seret. Padahal, minum kan supaya nggak seret."

Sebelah alis Shana terangkat. Segera, ia meletakkan minumannya ke atas meja. "Gambaran hidup." Senyumnya mengembang ketika dua kata itu meluncur dari mulutnya. "Manis dan pahit dalam waktu yang bersamaan."

Ares tertawa. "Kenapa minum aja harus pakai filosofi segala?"

"Kenapa harus nggak boleh?" Shana bertanya balik, samar-samar menertawakan tanggapan Ares. "Semua hal kan terjadi dan dibuat atas kehendak, Mas. Ada alasan di baliknya juga, termasuk minuman saya. Kenapa, coba, minuman ini dibuat?"

"Ya karena kamu pesan."

Itu bukan tipe jawaban yang Shana harapkan, tapi melihat Ares tertawa atas jawabannya sendiri membuat Shana lebih memilih untuk menganggap percakapan ini hanya lelucon. Perempuan 24 tahun itu ikut tertawa sambil mengangguk-angguk, seolah ia setuju dengan jawaban Ares barusan.

Masih dengan sisa-sisa tawanya, Ares meraih minumannya sendiri untuk segera ia tancapkan sedotan, dan mulai dinikmati. "Tapi, saya setuju sih. Manis dan pahit, gambaran hidup. Atau, sebenarnya, itu adalah gambaran segala hal yang terjadi di dunia ini?"

"Contohnya?"

"Banyak. Soal keluarga, ada manis dan pahitnya. Soal pendidikan, ada manis dan pahitnya. Soal pertemanan, ada manis dan pahitnya. Bahkan jatuh cinta pun, ada manis dan pahitnya, kan?" Ares mendikte sambil kembali meletakkan minuman yang baru saja dinikmatinya dua teguk.

Bahkan jatuh cinta pun, ada manis dan pahitnya, kan?

Shana mengangguk. Untuk ucapan Ares, dan untuk suara Ares yang baru saja kembali berputar di benaknya. Perempuan itu diam. Ares masih bicara, tapi Shana tidak fokus sepenuhnya. Laki-laki itu mendadak membahas tentang menu minuman lain yang sering dibelinya selain Milk Tea. Tapi Shana tetap diam, menyaksikan Ares dengan tatapan kosong.

"Shana?" Ares sampai harus melambaikan tangannya di depan wajah Shana untuk mengembalikan kesadaran perempuan itu. "Nggak dengerin, ya?"

"Eh, gimana, Mas?" Shana gelagapan. "Maaf, Mas. Saya malah mikirin yang lain."

"Lagi kenapa?"

Shana tersenyum kaku. Lebih seperti sedang merasa bersalah dicampur menyembunyikan sesuatu, sih. Mendukung senyumnya, ia menggeleng. "Nggak kok, Mas. Nggak apa-apa."

Ketimbang harus menggali lebih dalam, Ares lebih memilih untuk mengalah dan menghargai privasi Shana. Laki-laki itu pun memilih untuk beralih topik. "Mau jalan-jalan, nggak?"

"Ke mana?"

"Jalan di sini aja. Siapa tau kamu mau jalan-jalan atau cari sesuatu," kata Ares. "Atau, kalau misalnya mau ke luar pun, nggak apa-apa."

Hanya satu hal yang ada di dalam pikiran Shana. Kahwa Café. Entah kenapa, pikiran Shana hanya tertuju ke sana. Shana mendadak merindukan El. Laki-laki itu pasti ada di sana. Dan menurutnya, mengajak Ares pergi ke sana bukanlah ide yang buruk. El harus kenal dengan Ares sesegera mungkin, supaya laki-laki itu tidak berprasangka buruk terhadap hubungan Shana dengannya.

"Mas, kalau saya ajak ke kafe temen saya, mau, nggak?"

"Di mana tuh?"

"Di Antasari. Tempatnya enak kok, Mas. Saya biasa nongkrong di sana kalau nggak ke sini," jawab Shana cepat. Penuh antusias. Ares bahkan bisa lihat matanya mendadak berbinar.

Senyum Ares terkembang. Laki-laki itu mengangguk, yang kemudian disambut dengan antusias lainnya oleh Shana. Tergesa-gesa, Shana merapikan seluruh barang bawaannya ke dalam clutch hitam kecilnya. Ares memperhatikan sambil menikmati minumannya yang masih cukup banyak. Perhatiannya terpusat pada logo Chanel yang terdiri atas gabungan dua C yang saling bertolak belakang dengan warna keemasan. Seumur-umur, Ares belum pernah melihatnya sedekat ini.

"Yuk, mas!" ajak Shana, masih sama antusiasnya. "Mas bawa motor atau nggak?"

Ares menggeleng. "Saya nggak bawa motor, gimana?"

"Ya udah, santai aja lagi." Shana memainkan kunci mobil di tangannya sambil melebarkan senyum. Seiringan, keduanya jalan keluar dari gerai Koi Cafe, menuju parkiran.

+ + +

Shana senang ia tidak perlu membuang banyak waktu untuk tiba di Kahwa Café karena jalanan yang lumayan kosong. Shana juga senang akhirnya bisa membawa Ares untuk segera berkenalan dengan El. Langkahnya sejak keluar dari mobil begitu semangat. Senyum merekah tak luntur-luntur dari wajahnya. Sementara Ares mengikutinya dalam diam.

Kafe cukup ramai. Ada beberapa mobil dan motor yang terparkir. Lega sekali rasanya melihat ada mobil El terparkir. Itu artinya El ada di kafe. Shana membuka pintu kaca, menghirup udara sejuk di dalam ruangan yang bercampur dengan aroma kopi.

"Eh, Shan. Nggak kerja?" El melangkah tergesa-gesa sambil menyampirkan waist bag di sebelah bahunya.

Selain mengadang jalan El di ambang pintu, Shana menggeleng. "Gue tadi sif pagi. Lo mau ke mana?"

"Mau ke Bogor sama Ben. Janjian sama vendor buat ngecek lokasi," jawab El cepat. Sejenak, perhatiannya beralih pada laki-laki yang berdiri di balik tubuh Shana. Melihat laki-laki itu geming dan tidak memilih untuk mendahului Shana, El jadi yakin laki-laki ini dibawa Shana ke sini. Mungkin temannya. Atau mungkin, gebetan barunya? Senyum tipis langsung terbit di wajahnya. "Nggak lama kok. Gue cuma ngecek lokasi, habis itu langsung pulang. Sebelum jam sepuluh juga udah sampai sini lagi."

Jiwa kompetitifnya bangkit, dan Shana tidak menyadari hal tersebut. Yang Shana tahu, El hanya bersikap hangat seperti El yang dulu. Namun, bibir Shana mengerucut. Ia agak kecewa karena El harus pergi. Padahal, hari ini Shana mengajak Ares untuk ia kenalkan pada El.

"Hati-hati, El." Shana melambai samar-samar. El balik melambai, lalu melenggang pergi. "Mas, ayo!"

Sadar Shana memanggilnya, Ares segera mempercepat langkah. Keduanya berakhir di depan meja kasir, membuat pesanan, lalu memilih satu meja kosong di pojok ruangan, tepat di hadapan jendela L besar yang memperlihatkan pemandangan ke luar.

"Itu tadi temen kamu?" Ares menyaksikan mobil El yang masih berusaha keluar dari lahan parkir dengan bantuan Kang Didin, tukang parkir tetap di sini. Shana mengangguk. "Yang punya kafe, ya?"

Shana mengangguk sekali lagi.

"Keren, ya." Ares memalingkan pandangannya begitu mobil El melesat pergi dari kawasan kafe. "Saya sering lewat sini, sebenernya. Tapi belum pernah ke sini, sih. Kamu sering, ya, nongkrong di sini?"

"Lumayan. Kalau pulang kerja saya sering ke sini. Buat sekadar ngobrol aja sama El," jawab Shana cepat. Penjelasannya sejenak terjeda oleh seorang barista yang mengantarkan pesanan. Singkat, Shana berterima kasih sebelum melanjutkan kalimatnya, "Atau kadang ya minum sendirian sebelum saya pulang ke rumah."

Ares mengangguk-angguk. "Sedeket itu, ya."

"El sama saya temenan sejak saya baru lahir, Mas. Dulu, dia sahabat abang saya, sebelum orang tua saya pisah dan abang pindah sama ayah saya." Shana meraih gelas Matcha Latte miliknya, menyesapnya langsung dari bibir gelas sedikit demi sedikit.

Senyum Ares mengembang tipis. Pandangannya kembali ke luar ruangan, melihat Kang Didin meniupkan peluitnya sambil mengarahkan mobil yang baru mau masuk ke parkiran. "Makin insecure deh saya kalau deket sama kamu," akunya. "Lagi pula, nggak akan ada ruang juga, mungkin, ya, buat saya?"

Kening Shana mengernyit. "Maksudnya, Mas?"

"Saya kayaknya suka sama kamu, deh, Shana." Sambil bertopang dagu, Ares masih menyaksikan Kang Didin yang kini mengambil sebatang rokok di daun telinganya. Shana diam, tapi Ares tahu perempuan itu memandanginya dalam diam dengan alis mengernyit. Sedetik kemudian, pandangan Ares kembali ke arah Shana. "Ini kayaknya loh, ya."

"Kok kayaknya, sih, Mas?"

Ares mengangguk pelan. "Saya jiper duluan. Seharusnya saya nggak perlu deketin kamu, sih, waktu itu. Padahal, dari awal saya tau, loh, kamu adalah tipe orang yang high-class, rapi, teratur, dan pastinya, superjauh dari saya yang nggak punya apa-apa ini. Secara materi, kita terlalu jomplang. Saya nggak akan bisa memenuhi kebutuhan kamu."

Diam, Shana memperhatikan arah tatapan Ares yang beralih ke clutch hitamnya. Tanpa perlu penegasan, Shana sudah paham maksud tujuan ucapan Ares barusan. Perempuan itu berdengkus, menegapkan badannya dan menatap Ares dalam.

"Mas, saya ini orang yang mandiri. Saya selalu memenuhi kebutuhan tersier pakai uang saya sendiri. Saya nggak pernah minta apapun sama laki-laki, makanya saya memilih buat nggak menuntut laki-laki saya jadi orang yang mewah. Asal kebutuhan primer saya tercukupi, saya pun cukup." Shana bicara dengan nada serius. Ares sampai balik menatapnya selama bicara.

Butuh waktu bagi Ares untuk meyakini dirinya bahwa semua kata-kata yang terangkai itu betul-betul keluar dari mulut Shana. Ares menutup diskusi singkat mereka dengan senyum tipis. "Kamu ternyata lebih dari yang saya kira, Shan."

+

an: halo! jadi, karena di hari kamis aku lupa update, dan ketika kemarin update ternyata ada yang harus kuedit lagi, jadi hari ini aku update ulang, dan double! hehe.

udah sih, gitu aja. selamat tahun baru ges :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro