🍁34🍁 Teman atau Uang?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hayo jalan!" seru Varas yang tiba-tiba duduk di jok belakang motor Reja. Reja sangat terkejut karena Varas berseru di dekat telinganya.

"Gue bisa budek, anjir!" teriak Reja kesal. Telinganya berdengung setelah mendengar suara Varas yang cukup keras.

Varas menyengir lalu memegang bahu Reja dan menepuk-nepuknya. "Ayo jalan, Bang!"

"Lo pikir gue tukang ojek?"

"Gue yakin duit lo tambah banyak kalau jadi tukang ojek, tapi gue enggak rela, pasti penumpangnya cewek-cewek centil semua," cerocos Varas.

"Turun!"

"Enggak mau. Gue maunya pulang sama lo."

"Lo sama temen lo sana. Kalian tadi naik apaan emang?" Reja melirik Liza yang masih duduk bersila sambil memainkan ponselnya di tempat yang teduh. Liza pun mendongak saat merasa diperhatikan.

"Dianter supirnya Liza."

"Ya udah, lo tunggu aja supirnya Liza jemput. Masa lo tega ninggalin temen lo?"

Liza segera menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak! Gue ada acara. Jadi, gue enggak bisa nganter Varas." Liza sangat peka ternyata. Ia bahkan membantu Varas dengan satu kebohongan kecil.

"Tuh denger, gue pulang sama lo ya?"

Reja pun memakai helmnya lalu menghidupkan mesin motornya. Varas segera berpegangan di baju Reja dan tersenyum lebar pada Liza. "Duluan, Liz!" kata Varas. Ia membuat gerakan bibir 'makasih' pada Liza yang langsung dibalas acungan jempol oleh Liza.

Reja langsung melajukan motornya tanpa berkata apa-apa lagi. Rupanya memakai seragam basket yang sama sambil naik motor bisa menarik perhatian orang-orang. Buktinya sekarang banyak yang menatap mereka, apalagi saat berhenti di lampu merah.

"Reja, jangan ngebut!" teriak Varas saat Reja semakin meningkatkan kecepatan laju motornya. Varas melirik paper bag yang menjadi pemisahnya dengan Reja. Ada untungnya juga paper bag itu karena ia bisa langsung melingkarkan tangannya diperut Reja dan meletakkan kepalanya di punggung Reja. Ia takut, tetapi rasa nyaman itu tetap ada saat Reja ada di dekatnya.

(Read : Kalian tau kenapa paper bag itu ada gunanya?🤣 Kalau cewek meluk cowok dari belakang itu mesti ada pembatasnya🤣 Kalau enggak, asetnya nyentuh punggung cowok dong.)

"Reja, pelanin," kata Varas lagi saat Reja tidak kunjung memelankan laju motornya. Ia paling takut saat Reja menyalip kendaraan yang besar seperti bus atau truk.

"Gue lagi stress!" teriak Reja setelah memelankan sedikit kecepatan motornya.

Varas pun mendongak dan menaikkan sedikit kepalanya untuk melihat Reja dari spion. Jarak wajahnya sangat dekat dengan leher Reja hingga tidak sengaja hidungnya menyentuh tengkuk leher Reja. Bagi Varas memang tidak masalah, yang masalah adalah bagi Reja.

"Kenapa? Lo tadi baik-baik aja padahal. Kenapa sekarang tiba-tiba stress?"

Bukannya menjawab, Reja malah menepikan motornya dan berhenti di pinggir jalan. Ia membuka helmnya dan menatap Varas dengan marah.

"Ke—kenapa?" tanya Varas bingung. Perlahan ia melepaskan tangannya yang melingkar di perut Reja. Sementara Reja turun dari motor dan membiarkan Varas sendiri duduk di motornya.

"Gue kasih tahu sama lo kalau …" Reja diam sejenak dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. "… kita hampir kecelakaan tadi."

Varas mengernyitkan dahinya. "Hah? Gara-gara lo ngebut, 'kan? Siapa suruh ngebut?"

"Bukan."

Varas semakin bingung. "Terus?"

Reja menelan ludahnya sendiri hingga jakunnya naik turun. Rasanya sangat sulit untuk mengungkapkan kata-kata itu. "Gara-gara lo."

"Apaan sih, Ja? Lo kok bertele-tele banget?"

Reja berdecak kesal lalu mencengkeram kedua pundak Varas dan menatap Varas lekat-lekat. "Lo inget omongan gue baik-baik …." Varas mengangguk. "Jangan pernah nyentuh atau napas di leher cowok kayak tadi, bahaya banget. Bisa kecelakaan lahir batin asal lo tahu," cerocos Reja.

Kini bergantian Varas yang menelan ludahnya sendiri. Ia mengerti kemana arah pembicaraan Reja. Ia lupa kalau tengkuk leher adalah bagian sensitif laki-laki.

"Ngerti?" tanya Reja yang terlihat masih marah. Varas langsung mengangguk dengan kikuk.

"Mending lo taruh kepala lo di punggung gue daripada kayak tadi, lebih aman," kata Reja lalu kembali naik ke motornya dan memakai helm.

Varas tersenyum senang karena artinya Reja mengizinkannya untuk memeluk cowok itu. Dengan senang hati Varas melingkarkan tangannya di perut Reja lagi dan memeluk cowok itu dengan erat. Biarlah bila ia dianggap centil ataupun terlalu agresif, yang penting ia happy.

🍁🍁🍁

"Sessy, lihat deh!" seru Yomi yang terlihat sangat terkejut dengan apa yang ia lihat di ponselnya. Ia bahkan tidak ingat dengan dimana dan dengan siapa saja ia sekarang. "Maaf, Tante," cicit Yomi pada Remia yang duduk di depannya.

Sekarang mereka sedang ada di salah satu kafe besar di kota itu. Awalnya Remia hanya mengajak Sessy untuk menemaninya jalan-jalan, tetapi karena kebetulan Yomi sedang bersama Sessy, Remia sekalian mengajak teman Sessy itu.

"Ada apaan?" tanya Sessy heran. Ia baru saja menghabiskan makanannya dan sekarang sedang meminum minumannya yang tinggal setengah.

"Kak Reja punya pacar."

Remia dan Sessy langsung terbatuk-batuk bersamaan setelah mendengar ucapan Yomi. "Hah? Siapa?" tanya Remia yang sangat terkejut.

Yomi meletakkan ponselnya di meja agar Remia dan Sessy bisa melihatnya. "Namanya Varas."

"Kak Varas?" lirih Sessy yang sedang menatap sendu ke arah ponsel Yomi yang menampilkan sebuah foto yang membuat hatinya sakit.

"Sessy, jangan cepat menyimpulkan," kata Remia sambil mengusap-usap bahu Sessy. Wanita paruh baya itu tahu kalau Sessy menaruh hati pada anaknya dan ia bisa merasakan raut kecewa dan sedih di wajah gadis cantik itu.

Sessy menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia berpura-pura baik-baik saja, tetapi matanya tidak bisa membohongi perasaannya. "Enggak papa kok, Tante. Apapun yang buat Kak Reja bahagia, aku terima," kata Sessy.

"Enggak bisa dibiarin. Tante bakal tanya langsung ke Reja. Tante enggak bisa terima kalau dia salah pilih cewek lagi," tegas Remia.

"Lagi?" tanya Sessy.

Remia mengangguk. "Dia pernah pacaran sekali sama cewek yang namanya Prinsha. Tante enggak suka sama dia."

"Kayaknya Kak Reja enggak bakalan pernah suka sama aku deh," lirih Sessy sambil menunduk dalam. Dadanya terasa sesak karena ia menahan tangisnya sejak tadi. Ia memang tidak pandai menyembunyikan emosinya.

"Sessy, jangan sedih. Nanti gue bantu biar kamu bisa makin deket sama Kak Reja," kata Yomi sambil tersenyum tipis.

Kata-kata Yomi bukannya membuat Sessy makin tenang, malahan Sessy mulai mengeluarkan air matanya dan menangis terisak-isak. Ia bukanlah gadis yang kuat. Ia adalah gadis cengeng yang mudah mengeluarkan air mata. Ia adalah makhluk rapuh  yang akan hancur bila disakiti.

"Kak Varas bukan saingan yang mudah. Dia cantik, terkenal, baik juga kayaknya. Dia tipe ideal para cowok. Sedangkan aku?"

Sessy masih menunduk dan menangis tersedu-sedu. Ia sudah lama menyukai Reja, sudah sejak mereka kecil. Namun, sayangnya mereka harus berpisah karena Sessy pindah ke luar kota bersama orang tuanya.

Yang paling membuat Sessy sakit hati adalah saat Reja tidak mengingatnya sama sekali. Bahkan cowok itu terkesan tidak peduli pada Sessy, padahal Sessy selalu merindukan Reja.

"Maafin Tante karena punya anak yang hobi nyakitin hati kamu," kata Remia yang masih mengusap-usap bahu Sessy.

Tangan Sessy bergerak untuk mengambil ponsel Yomi yang masih menampilkan foto Reja dan Varas yang berada di akun Instagram Varas. Ia membaca caption foto itu lalu membaca komentarnya.

Banyak yang berkomentar bahwa mereka terlihat sangat cocok menjadi pasangan. Ada juga yang mendoakan mereka agar langgeng sampai ke jenjang pernikahan. Memang terlalu jauh karena mereka baru SMA, tetapi komentar seperti itu cukup untuk meretakkan hati Sessy. Padahal foto itu tidak ada keterangan bahwa Reja dan Varas berstatus pacaran, tetapi orang-orang pada menyimpulkan seenak jidat.

"Mereka emang kelihatan cocok," lirih Sessy sambil tersenyum getir. Ia pun segera mematikan ponsel Yomi dan mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya.

🍁🍁🍁

Varas masuk ke rumahnya dengan senyum ceria. Hari ini adalah hari yang akan ia ingat sampai kapanpun karena ia berhasil selangkah lebih maju untuk mendekati Reja.

"Siapa cowok yang di Instagram itu?" tanya Vema. Baru saja Varas membuka pintu kamarnya dan langsung disambut dengan pertanyaan dari kakaknya.

"Temen, Kak. Dia yang ngajarin aku sama Liza basket. Kebetulan aku dapet endorse pakaian basket, jadi aku minta dia untuk foto bareng," jelas Varas dengan lancar. Ia sudah menyusun kalimat-kalimat itu agar tidak terlihat mencurigakan.

Vema mengangguk-angguk tanpa merasa curiga. "Temen lo baik ya. Tadi gue video call sama dia."

"Iya, namanya Liza."

"Kayaknya kaya deh. Mending lo manfaatin baik-baik," kata Vema sambil tersenyum miring.

"Kak, aku temenan bukan buat manfaatin orang."

"Varas … Varas … lo naif banget sih jadi orang. Coba deh gue kasih pilihan, uang atau teman?"

Varas terdiam sejenak. Ia mencoba merangkai kata-kata agar tidak menyinggung Vema. "Aku pilih teman. Mereka selalu ada kalau kita butuh. Mereka bisa kasih kita kebahagiaan saat kita sedih. Kebahagiaan enggak bisa dibeli dengan uang."

Vema malah tertawa terbahak-bahak mendengar pilihan Varas. Varas memang sangat naif. Vema tidak percaya bisa mempunyai adik seperti Varas, sama sekali tidak mirip dengannya. "Ya ampun, sakit perut gue," kata Vema sambil mengusap air matanya yang ada di sudut matanya. Saking lamanya ia tertawa sampai mengeluarkan air mata.

"Tapi itu juga menurut orang yang kita pilih sebagai teman. Kalau aku disuruh pilih teman sejati atau uang, aku bakal pilih teman sejati. Kalau aku disuruh pilih teman palsu atau uang, aku bakal pilih uang," tambah Varas.

"Lo salah besar, Varas. Jenis teman apapun itu, lo harus tetap milih uang. Teman bisa mengkhianati, termasuk teman sejati yang lo maksud, tapi uang nggak mungkin mengkhianati kita. Jadi, kesimpulannya itu enggak ada yang namanya teman sejati di dunia ini karena orang bisa berubah kapan aja. Emang sekarang dia baik, tapi siapa tahu kalau besok dia berubah pikiran. Jadi, mending lo manfaatin temen kaya raya lo itu sebelum dia khianatin lo."

"Aku nggak bisa manfaatin orang."

"Dan satu lagi, uang bisa membeli kebahagiaan. Buktinya sekarang lo pasti enggak bahagia, 'kan? Kita miskin sekarang. Coba lo inget waktu kita masih kaya, lo bahagia, 'kan? Uang enggak beli kebahagiaan cuma opini orang yang gak pernah hidup melarat."

"Bahagia? Kakak kira aku dulu bahagia? Enggak! Dulu kita kaya harta, emang! Tapi aku tetep ngerasa miskin! Tahu kenapa? Orang tua kita selalu pilih kasih dan enggak sayang sama aku! Dia cuma sayang sama Kakak! Mereka enggak pengin aku ada! Mereka cuma nganggep aku alat buat sembuhin Kakak! Mereka enggak pernah nganggep aku sebagai anak! Termasuk Kakak juga gak pernah nganggep aku adik!" Ingin rasanya Varas berteriak seperti itu, tetapi tidak bisa ia keluarkan unek-uneknya itu. Varas selalu terlihat baik-baik dan tidak pernah protes pada orang tuanya yang selalu pilih kasih.

Varas menghela napas berat. Andai saja ia bisa mengeluarkan semua kalimat-kalimat yang ia simpan di kepalanya. Nyatanya ia hanya bisa diam sambil menundukkan kepalanya. "Ternyata Kakak nganggep aku pernah bahagia," ucap Varas pelan.

"Apa lo bilang?" Vema melotot kesal karena Varas tidak menanggapi ucapannya dengan baik.

Varas menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Intinya aku enggak mau manfaatin temen aku. Dia baik," kata Varas lalu pergi dari kamar agar terhindar dari Vema yang pasti akan menceramahinya terus.

"Varas! Gue belum selesai ngomong! Woy! Sini lo, anjir! Malah kabur!"

GIMANA? KALIAN MENDUKUNG OPINI VARAS ATAU VEMA?

KALAU AKU SENDIRI AKU PILIH OPINI VEMA🤣 KARENA SEMUA KATA-KATA VEMA ITU SERING AKU UCAPIN KALAU NGOMONG SAMA ORANG

UANG BISA BELI KEBAHAGIAAN CUY!!!

TANPA UANG KITA MATI 🤣

TANPA TEMAN GAK BAKALAN MATI

TAPI GAK ENAK JUGA KALAU GAK PUNYA TEMEN🤣

Gimana kesan part ini? Seru gak?

Itu tadi si Remia, Sessy, sama Yomi heboh🤣 besoknya lagi satu sekolah heboh. Tapi kayaknya bukan part selanjutnya deh karena rencananya aku mau buat adegan di malam hari:v

Ditunggu ya part selanjutnya 🤩

1800an word, kepanjangan ya?

Saranghae 💜

Minggu, 11 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro