🍁57🍁Menginap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Varas tidak tahu lagi harus ke mana. Ia sama sekali tidak punya tujuan. Ia juga tidak membawa uang dan membuatnya harus berjalan kaki lagi. Dengan keadaan kacau Varas berjalan dengan tatapan kosong.

"Kenapa?" lirihnya. Air mata yang ada di wajahnya sudah mengering. Rasanya ia tidak bisa lagi menangis karena air matanya sudah terkuras sejak tadi.

"Aku ini anak kalian, 'kan?" tanya Varas lagi. Ia membayangkan dirinya bisa meluapkan semua unek-uneknya pada keluarganya. "Aku tahu kok kalian cuma pengin punya anak satu. Tapi, aku udah terlanjur ada, Ma, Pa. Gak bisa ya kalian nerima aku?"

"Aku juga anak kalian, bukan Kak Vema aja. Diri aku milik aku sendiri, bukan milik Kak Vema atau kalian."

Varas lelah, baik lahir maupun batin. Ia pun memutuskan untuk duduk di trotoar. Kakinya sudah sangat sakit akibat berjalan jauh. Biarlah orang-orang menatap Varas dengan heran. Varas hanya ingin beristirahat. Setidaknya lelah tubuhnya menghilang walaupun lelah batinnya tidak akan hilang jika ia beristirahat.

"Mama, Papa, kalau aku gak ada, kalian seneng gak sih? Pasti seneng, 'kan?" Varas terkekeh sendiri. Air matanya kembali mengalir di pipinya. Ia menepuk-nepuk dadanya yang terasa sangat sesak.

"Tapi, aku gak ada niatan buat pergi. Mama sama Papa menderita dikit, gak papa?"

Varas menghela napas berat sambil memijat kakinya yang terasa pegal. Beberapa saat ia lakukan itu hingga ia rasa pegalnya berkurang. Kemudian Varas bangkit lagi dan meneruskan perjalanan tanpa tujuannya.

"Andai Mama sama Papa denger semuanya." Varas tersenyum miris. Sampai kapanpun orang tuanya tidak akan tahu isi hatinya jika tidak Varas sendiri yang mengungkapkan.

Lama Varas berjalan hingga akhirnya ia berhenti di depan rumah yang sering ia amati tapi tidak pernah ia kunjungi. Entah apa yang membuat Varas memilih untuk berhenti di sana.

Gerbang tinggi menjulang itu tidak terkunci. Varas langsung masuk saja karena ia tahu sang pemilik rumah ada di dalam. Ia memencet bel sebanyak tiga kali dan berjongkok untuk menunggu pintu itu dibuka oleh pemiliknya.

"Varas?"

Varas mendongak saat namanya dipanggil. Kemudian ia tersenyum seperti biasanya. Walaupun sudah tersenyum seperti itu, Varas tidak bisa menyembunyikan guratan sedih di wajahnya. "Reja," lirih Varas sambil berdiri.

"Lo kenapa?" tanya Reja.

Varas langsung berkaca-kaca. Ia semakin sedih jika ada yang bertanya kenapa. Ia langsung memeluk Reja dan menangis terisak-isak. Biarlah Reja menganggapnya cengeng. Ia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi.

"Kita masuk, lo cerita di dalem," kata Reja lalu menggendong tubuh Varas ala koala. Varas masih dalam posisi memeluk Reja dan masih menangis. "Sekarang lo cerita," suruh Reja tanpa menurunkan Varas. Ia tidak tahu harus bagaimana menenangkan cewek yang menangis.

"Gue gak mau pulang," kata Varas menjauhkan kepalanya yang tadi menempel di dada Reja. Ia menatap Reja yang sangat dekat dengannya. "Gue gak mau pulang," ulang Varas yang masih sesenggukan.

"Iya, gue enggak nyuruh lo pulang. Sekarang lo turun terus cerita sama gue," suruh Reja sambil melepaskan tangannya yang memegang pinggang Varas. Varas pun akhirnya turun dan berdiri tegak. "Lo kenapa?" tanya Reja karena Varas tidak kunjung berbicara.

"Gak papa."

"Lo kenapa nangis?" tanya Reja lagi. Ia berusaha sabar karena Varas sepertinya sedang ada masalah. Ia mungkin ia memarahi cewek itu karena tidak mau bercerita.

"Karena …," Varas melirik Reja sekilas lalu duduk di sofa ruang tamu. Reja menanti-nanti jawaban Varas. "… air mata gue keluar."

Reja menganga lebar saat mendengar jawaban tidak masuk akal cewek itu. Ia hendak meneriaki Varas karena geram, tetapi ia tahan lagi. "Iya, air matanya keluar karena apa?" Sesekali Reja menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya agar ia bisa menahan emosinya.

"Karena gue pengin nangis," cicit Varas pelan. Ia ingin cerita, tetapi ia masih ragu.

"Varas!" hardik Reja kesal. Ia benar-benar tidak bisa lagi menahan emosinya. Ia sangat geram karena Varas tidak langsung berbicara intinya. "Kalau ditanya kenapa itu jawabnya yang bener." Reja kembali memenangkan dirinya agar tidak marah-marah pada Varas dan menambah beban cewek itu.

"Reja, lo kenapa marah?"

"Karena lo gak cerita inti masalah lo, Varas. Gue gregetan serius."

"Nah, itu lo tahu. Kalau ditanya kenapa itu jawabnya karena. Lah, salah gue apa? Lo tanya kenapa, gue udah jawab karena," cerocos Varas sambil menatap Reja kesal.

"Tapi jawaban lo enggak bener-bener jawaban, Varas," geram Reja. Ia mendekati Varas dan duduk di sampingnya. "Sekarang cerita kenapa lo nangis. Kenapa? Karena siapa?"

Varas menunduk lesu. Ia masih ragu akan bercerita atau tidak pada Reja. "Gue gak bisa cerita."

"Cerita atau …."

"Atau apa?" tanya Varas. "Gampar?"

"Di rumah gue cuma ada gue doang, Ras. Gue bisa ngapain aja," kata Reja sambil menarik salah satu sudut bibirnya. Seketika Varas langsung merinding melihat senyuman Reja. Segera ia menjauhkan dirinya dari Reja. "Gimana? Mau cerita?"

Akhirnya Varas mengangguk. Ia belum pernah cerita ke siapapun masalahnya ini. Mungkin ini kesempatannya untuk berbagi masalah. Sekali-kali masalah harus diceritakan agar sang pemilik masalah merasa lebih lega.

"Kakak gue butuh donor ginjal dan orang tua gue maunya gue yang donorin." Varas tidak mau menatap Reja. Ia takut jika melihat Reja, ia jadi ingin menangis lagi.

"Mereka jahat sama gue. Gue tahu gue itu anak yang gak mereka rencanakan, tapi bukannya gue tetep anak mereka? Gue lahir dari rahim Mama sama kayak kakak gue. Tapi, perlakuan mereka ke gue dan ke kakak gue itu beda banget."

Sebisa mungkin Varas tidak meneteskan air mata lagi. Ia muak dengan air mata kesedihan ini. Rasanya setiap tetes air mata yang keluar adalah darah dari luka batinnya.

"Gue emang bodoh, beda sama kakak gue yang pinter. Tapi, walaupun gue bodoh, gue tetep manusia, 'kan? Orang bodoh tetep berhak hidup, 'kan?"

Reja menatap Varas dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah kenapa ia ikut merasakan sakit yang Varas rasakan. Melihat Varas menangis karena keluarganya membuat Reja merasa marah.

"Kakak gue sempurna di mata mereka, sedangkan gue enggak. Tapi, pantes gak sih gue nerima perlakuan kayak gitu? Gue lahir ke dunia itu bukan gue yang mau."

Reja menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Varas. Ia memperhatikan setiap inci wajah Varas yang menampilkan ekspresi tidak baik-baik saja. "Nangis, Ras, kalau itu yang buat lo lega. Jangan senyum kayak gitu. Soalnya …."

Senyum Varas luntur seketika. Percuma ia tersenyum untuk terlihat baik-baik saja padahal Reja sudah menyadarinya. "Soalnya?" Ia merasa penasaran karena Reja tidak melanjutkan kalimatnya.

"Soalnya lo kalau senyum paksa kayak gitu jadi jelek. Gak suka gue lihatnya. Mending lo nangis aja biar jeleknya enggak tanggung-tanggung."

Varas melotot kesal. Ia langsung memukul lengan Reja dengan keras sehingga Reja meringis kesakitan. "Katanya gak suka lihat gue nangis, tapi malah nyuruh gue nangis. Pake ngatain gue jelek lagi. Emang lo mau pacaran sama cewek jelek? Enggak, 'kan?" omel Varas.

Reja menatap Varas lekat-lekat lalu menunjukkan ekspresi konyolnya. Ini pertama kalinya Reja memperlihatkan ekspresi seperti itu hanya karena ingin menghibur seorang cewek. Tak lama kemudian Varas tertawa melihat Reja yang terlihat sangat konyol. Ia tidak menyangka Reja yang gengsinya tinggi rela menghiburnya dengan cara itu "Kalau ketawa gini baru cantik."

Varas tersenyum lega. Ternyata bercerita dengan Reja membuat kesedihannya sedikit menguap. Reja mampu menghibur Varas dengan caranya sendiri. Varas sama sekali tidak menyesal telah bercerita pada Reja.

"Lo berhasil bikin gue terhibur," kata Varas pelan.

🍁🍁🍁

Malam ini Varas akan menginap di rumah Reja. Namun, ada satu hal yang Reja khawatirkan. Mereka hanya berdua di rumah itu, bisa saja mereka digerebek tetangga karena ketahuan berduaan di rumah. Walaupun mereka tidak berniat apa-apa, pikiran orang bisa saja berlebihan, 'kan?

Akhirnya Reja memutuskan untuk menelepon Prinsha. Hanya Prinsha satu-satunya cewek yang bisa ia ajak menginap di rumahnya. Tidak mungkin ia mengajak Sessy atau mamanya.

"Jangan ganggu Prinsha dulu."

Hanya satu kalimat yang Prinsy ucapkan membuat Reja langsung mematikan ponselnya. Ia tahu Prinsha tidak bisa menginap malam ini.  Ia juga tidak mungkin mengajak Prinsy karena cewek itu … berbahaya.

"Suruh temen-temen lo nginep, Ras," kata Reja sambil menyerahkan ponselnya. Ia tahu kalau Varas tidak membawa apapun tadi. Pasti ponsel Varas tertinggal di rumah.

"Satu atau dua?" tanya Varas. Ia menerima ponsel Reja dan mulai mencari kontak Nitya.

"Lebih banyak lebih baik."

Varas tersenyum senang. Ia akan mengajak Nitya dan juga Liza sekalian. Setelah menghubungi dua temannya dan mereka setuju, Varas dan Reja menunggu mereka. Hanya keheningan yang menemani mereka dalam beberapa saat.

"Masalah Zakka udah terungkap. Sekarang tinggal penyelesaian," kata Reja memecahkan keheningan.

"Untung Liza ngirim video itu ke lo sebelum HP-nya dirusakin."

"Lo kaget gak sih sama orang yang Zakka suka?"

Varas mengangguk. Ia terkejut, sangat terkejut. "Gue kaget. Tapi, bukannya itu hak dia ya buat suka sama orang? Gue masih heran aja gitu sama mereka yang buli Zakka gara-gara Zakka suka sama dia."

Reja menatap Varas lekat-lekat. Ia kira Varas itu sama saja seperti cewek lain di luar sana. Namun, semakin Reja mengenalnya, semakin ia yakin Varas sangat berbeda. Varas bukan orang yang munafik, tetapi ia memang benar-benar memiliki hati yang tulus.

"Kenapa?" tanya Varas karena Reja menatapnya seperti itu.

"Walaupun udah tahu, ternyata lo tetep bela Zakka ya?"

"Reja, semua manusia berhak hidup dengan pilihan masing-masing. Orang lain gak boleh terlalu ikut campur. Walaupun Zakka enggak kayak cowok pada umumnya, tapi dia juga berhak punya temen, bukannya dijauhin apalagi dibuli."

Makin lama Reja semakin takjub dengan Varas. Varas yang tulus, baik hati, punya prinsip, dan tidak membeda-bedakan orang. Ia yakin Varas adalah cewek yang sempurna untuk dijadikan pendamping hidup.

"Anjir," umpat Reja sambil menepuk-nepuk pipinya pelan. Segera ia menepis pikiran-pikiran yang terlalu jauh itu. Ia masih sekolah dan malah memikirkan Varas menjadi pendamping hidupnya.

"Kenapa?" tanya Varas heran.

"Ah, enggak."

Bel rumah berbunyi tanda ada tamu di luar. Varas yakin kalau Liza dan Nitya sudah sampai. Segera ia berlari kecil untuk membukakan mereka pintu.

"Oh My God!" jerit Liza histeris saat melihat Varas. Varas mengernyitkan dahinya heran karena tiba-tiba Liza menjerit sambil menatapnya dari atas sampai bawah. "Hubungan lo sama Reja udah sejauh ini? Terus kenapa lo malah ngundang gue sama Nitya?" cecar Liza.

Varas langsung menatap Liza dengan kesal. Temannya itu pasti berpikiran yang tidak-tidak karena ia menggunakan pakaian milik Reja. "Gue gak bawa baju," kata Varas sebelum Liza berpikir lebih jauh.

Liza membulatkan mulutnya lalu menyengir lebar. Pikirannya memang perlu difilter agar tidak banyak debu.

"Gak diajak masuk nih?" tanya Nitya karena mereka masih berdiri di ambang pintu. Varas pun langsung menyuruh mereka masuk.

Varas bersama Liza dan Nitya menuju ruang tamu. Di sana ada Reja yang duduk tanpa melakukan apapun, hanya diam saja sambil menatap lurus ke depan.

"Reja, mereka udah dateng," kata Varas.

Reja menoleh dan tidak sengaja matanya bertubrukan dengan mata Liza. Seketika Liza menegang saat teringat dengan video yang ia kirim ke Reja. Ia lupa kalau cowok itu pasti sudah menonton videonya.

"Reja, lo udah nonton videonya?" tanya Liza takut-takut. Reja pasti membencinya setelah melihat video itu.

"Udah."

"Lo pasti benci sama gue."

Reja menghela napas berat. Bohong jika ia bilang tidak membenci Liza setelah apa yang cewek itu lakukan pada Zakka. Namun, Liza sudah menyesali perbuatannya, berbeda dengan Nasha dan yang lainnya. "Gue udah maafin lo. Tapi, gue harap lo tetep ngerasa bersalah sama dia."

Keadaan menjadi canggung setelah itu. Varas tidak tahan dengan suasana seperti itu. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Liza dan Nitya ke kamar yang Reja sediakan untuknya.

"Cuma gue nih yang gak tahu apa-apa tentang tadi di sekolah," kata Nitya sambil memanyunkan bibirnya kesal. Kemudian ia meletakkan tas ranselnya di sofa yang ada di kamar itu.

"Siapa suruh enggak sekolah?" tanya Varas.

"Hujan ih, kemarin gue nonton drakor sampai malem, jadi bangun telat deh," kata Nitya sambil menyengir.

"Gue juga begadang baca wattpad, tapi gue bisa sekolah tuh," celetuk Liza. Ia memberikan Varas sebuah paper bag. Karena Liza punya banyak seragam sekolah, ia meminjamkannya pada Varas saat Varas meminta tadi.

"Makasih."

"Lo harus cerita kenapa lo bisa nginep di sini. Pokoknya harus, gue kepo," desak Nitya. Ia yakin kalau Varas pasti punya masalah karena menginap di rumah Reja tanpa membawa apapun.

Varas menatap kedua temannya bergantian. Kemudian ia menghela napas berat. Mungkin bukan hanya Reja yang akan tahu masalahnya. Liza dan Nitya sudah sangat dekat dengan Varas. Mestinya teman yang dekat itu saling bercerita masalah, 'kan?

Akhirnya malam itu Varas bercerita tentang masalah keluarganya pada Liza dan Nitya. Varas yakin mereka tidak akan menyebar masalahnya karena mereka tampak dapat dipercaya.

2000an lebih part ini 😂
Gak sadar deh
Part selanjutnya itu mereka bakal di sekolah terus nyelesain masalah Zakka yey😂

Selasa, 3 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro