🍁62🍁 Direktur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Eh, tunggu!"

Seketika Reja menegang karena Nia memanggilnya. Dengan perlahan Reja membalikkan badannya dan menatap Nia yang juga sedang memperhatikannya. Sementara Varas juga merasa sangat deg-degan karena takut Nia tahu bahwa dirinya ada di gendongan Reja.

"Kenapa, Tante?" tanya Reja. Sementara Varas berusaha keras untuk menyembunyikan wajahnya.

"Kamu … Reja?"

Reja terdiam. Ia mengambil ancang-ancang untuk berlari. Perasaannya tidak enak karena Nia mengetahui namanya.

"Iya, 'kan?" tanya Nia lagi. Ia memicingkan matanya dan mencoba melihat siapa yang ada di balik punggung Reja. "Itu Varas, 'kan?"

Reja langsung berlari menuruni tangga karena sudah ketahuan. Bagaimanapun caranya ia harus berhasil membawa Varas pergi.

"Heh! Berhenti kamu!" teriak Nia dan segera menyusul Reja dengan tergopoh-gopoh.

"Kita mau ke mana, Ja?" tanya Varas sambil menoleh ke belakang. Nia tertinggal jauh di belakang dan membuat Varas bernapas lega.

Reja tidak menyahut dan segera menuju gerbang belakang sekolah yang biasanya sering dilewati oleh murid-murid yang membolos. Reja membantu Varas untuk keluar dan akhirnya mereka berhasil keluar dari area sekolah tanpa hambatan apapun.

Mereka tidak langsung pulang karena Reja malah mengajak Varas makan di sebuah kafe. Bukan tanpa alasan Reja mengajak Varas ke kafe.

"Gue enggak laper, Ja," kata Varas sambil membolak-balikkan menu makanan yang tidak terlihat menarik sedikitpun. Ia benar-benar sudah kenyang dan tidak ingin makan lagi.

"Pesen aja. Kita gak ada tujuan," sahut Reja sambil menuliskan makanan yang ia pesan. Ia juga tidak lapar, tetapi ia tetap memesan makanan.

"Pulang aja, Ja. Ayo," ajak Varas.

Reja berhenti menulis dan menatap Varas lekat-lekat. "Lo mau berduaan sama gue di rumah? Yakin?" tanyanya.

Varas langsung menggeleng cepat dan mengambil alih kertas dan pulpen yang Reja pegang. Kemudian ia menulis nama makanan dan minuman dengan asal. Ia baru mengerti alasan Reja membawanya ke kafe alih-alih pulang ke rumah.

Kemudian Varas memanggil pelayan dan menyerahkan kertas yang sudah berisi daftar makanan yang mereka pesan.

"Ja, gak ada yang mau lo ceritain gitu?" tanya Varas sambil menopang dagunya menggunakan kedua tangannya.

Reja terdiam sejenak sambil menatap Varas. Tak lama kemudian cowok itu berdecak sambil menampilkan ekspresi kesalnya. "Gak usah kayak gitu, lo jelek." Reja menarik tangan Varas secara tiba-tiba sehingga dagu Varas hampir saja terantuk meja karena tidak siap.

"Apaan sih? Tinggal bilang gue imut apa susahnya sih?" Varas menatap Reja kesal lalu memalingkan wajahnya dan bersedekap dada.

"Dih, ngambekan. Dasar cewek!" cibir Reja.

"Dih, gak peka. Dasar cowok!" balas Varas dengan menirukan nada bicara Reja.

"Bodo amat. Gue manusia, wajar enggak peka. Lah, lo?"

"Gue kenapa?" tanya Varas sambil memasang wajah galak.

"Malaikat tapi ngambekan."

Varas membukanya matanya. Wajahnya sudah merah merona karena Reja menyebutnya malaikat. "Apaan sih? Norak lo!" Varas terlalu salah tingkah dan berujung ia mencubit tangan Reja hingga Reja meringis kesakitan.

"Salah mulu gue. Kurang tonjokan si playboy. Katanya cewek seneng kalau digombalin," gerutu Reja sambil mengusap-usap tangannya. Tadi sudah wajahnya yang ditampar oleh Varas dan sekarang tangannya dicubit Varas.

"Permisi, ini pesanan Anda. Selamat menikmati," kata seorang pelayan yang membawakan pesanan mereka.

"Terimakasih."

Pelayan itupun pergi dan menyisakan dua orang yang menatap makanan itu tanpa minat. "Gak laper gue. Lo aja abisin," kata Varas. Mulutnya saja yang berkata seperti itu, tetapi tangannya tetap mengambil minuman dan meminumnya.

"Lo mau gue cerita apa?" tanya Reja sambil mencicipi salah satu makanan yang ia pesan. Sengaja ia memesan banyak agar mereka bisa lama di kafe itu sembari menunggu jam pulang sekolah.

"Keluarga lo. Lo udah tahu tentang keluarga gue, masa gue gak tahu apa-apa."

"Ngebet banget lo nikah sama gue? Kita masih sekolah loh."

"Jangan ngadi-ngadi lo."

"Ya udah, gue bakalan cerita."

Varas diam sambil meminum minumannya dan menatap Reja. Ia tidak sabar mengetahui tentang keluarga Reja. Ia tidak mau kalah dengan Sessy yang serba tahu.

"Papa kandung gue meninggal udah lama. Terus mama gue nikah sama papanya Zakka. Karena Zakka udah meninggal, gue jadi anak tunggal sekarang."

"Udah? Itu aja?" tanya Varas.

"Iya."

"Sessy pasti tahu banyak tentang keluarga lo." Varas memasang ekspresi sedihnya. Ia yakin dengan cara ini Reja pasti mau bercerita lebih dalam.

"Ya udah, gue ceritain detailnya. Mama gue jenderal polisi dan papanya Zakka itu punya perusahaan. Papanya Zakka—"

"Tapi dia papa lo juga sekarang," potong Varas.

"Oke, dia papa gue. Papa selalu ngirim uang ke gue, tapi gak pernah gue pake. Gue gak enak aja gitu sama Zakka. Zakka yang anak kandungnya, tapi Zakka gak pernah disayangin."

"Terus lo dapet duit dari mana? Mama lo?"

Reja menggeleng pelan. Ia bingung harus jujur atau tidak pada Varas.

"Reja," panggil Varas karena Reja hanya diam.

"Uang gue uang menipis, ini semua lo yang bayar ya." Reja terkekeh pelan, berusaha mengalihkan pembicaraannya. Namun, Varas hanya terdiam sambil menatapnya lekat-lekat. Ternyata Varas tidak mudah dialihkan ke topik lain. "Gue becanda. Ya kali cewek yang bayar."

"Jangan ngalihin pembicaraan, Reja."

"Oke, gue jujur. Gue sering balapan dan menang taruhan."

Varas menghela napasnya dan meletakkannya minuman yang sedari tadi ia pegang di meja. Ia baru sadar jika kehidupan Reja tidak jauh dari balapan, tawuran, berantem, dan begitu-begitu saja.

Seketika Varas jadi teringat dengan kata-kata Vema yang menyuruhnya memutuskan Reja.

"Ya udah, kalau gitu lo harus putus sama pacar lo. Gue gak mau lo pacaran, apalagi sama cowok berandalan kayak dia. Gue denger dia ketua geng motor. Mending lo putusin daripada lo rugi nantinya."

Omongan Vema memang ada benarnya juga. Reja adalah ketua geng motor dan pasti memiliki banyak musuh yang berbahaya. Namun, memutuskan Reja rasanya sangat sulit. Varas tidak pernah merasa sebahagia ini selama hidup di dunia.

Selama enam belas tahun lebih Varas hidup, ia tidak pernah bisa memiliki apa yang ia inginkan. Orang tua contohnya, Varas tidak pernah memiliki mereka karena mereka hanya milik Vema.

Tidak semudah itu Varas melepas satu-satunya kebahagiaan yang ia punya hanya karena kebahagiaan itu beresiko memberikan bahaya.

"Regaros bahaya gak?" tanya Varas dengan nada pelan.

"Maksud lo?"

"Punya geng motor itu bahaya, 'kan? Regaros punya banyak musuh, 'kan?" Raut wajah Varas yang terlihat khawatir tertangkap jelas di indera penglihatan Reja.

"Lo gak usah khawatir, Ras. Gue bisa jaga diri. Lagian Regaros enggak pernah nyari gara-gara."

Varas menghela napasnya lagi. Ia tidak bisa apa-apa lagi karena sepertinya Reja tidak ada niatan sedikitpun untuk berhenti menjadi ketua geng. Lagi pula itu hak Reja untuk memilih jalan hidupnya.

"Gue cuma takut."

"Takut kenapa?"

"Takut lo kenapa-kenapa."

🍁🍁🍁

Setelah sepulang sekolah, hanya Liza yang bisa ke rumah Reja. Nitya tidak bisa karena orang tuanya melarang Nitya menginap lebih dari satu malam. Sementara Liza bebas karena kebetulan orang tuanya sedang di luar kota selama beberapa hari.

"Gue ada jadwal pemotretan hari ini, Liz. Lo mau ikutan gak?" Varas memilih baju-baju yang Liza bawakan untuknya. Liza memang sangat pengertian, buktinya cewek itu meminjamkan Varas baju padahal Varas tidak memintanya sama sekali.

"Ikut dong. Masa gue di sini. Lo mau gue berduaan sama Reja?"

"Ya enggaklah!"

Liza terkekeh geli melihat Varas yang tampak cemburu. Kemudian ia ikut bersiap-siap karena ia juga akan ikut dengan Varas ke tempat pemotretan.

Setelah meminta izin pada sang pemilik rumah, Varas dan Liza menuju tempat pemotretan menggunakan taksi. Tempat pemotretan itu tidak begitu jauh sehingga mereka cepat sampai.

"Varas, kok ke sini?" tanya salah satu staf di sana.

Varas mengernyitkan dahinya heran. Hari ini adalah jadwalnya pemotretan dan orang itu malah bertanya alasan Varas ke sana. "Aku 'kan jadwal pemotretan sekarang, Kak."

"Kamu enggak baca SMS ya? Kamu ada janji sama direktur Modelo Agency."

Varas melongo. Ia terkejut karena direktur perusahaan besar mempunyai janji dengannya. Ia menerka-nerka apa yang akan dibicarakan oleh direktur itu. "Serius, Kak? Di mana?" Mengingat ponselnya ada di rumahnya, Varas jadi tidak tahu ada pemberitahuan bahwa ia memiliki janji dengan direktur perusahaan besar itu.

"Di restoran Elame. Sekarang, Ras. Kamu udah telat," kata staf itu.

Seketika Varas menjadi panik karena katanya ia sudah telat. Ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu direktur Modelo Agency.

"Lari, Liz!" seru Varas sambil menarik tangan Liza dan berlari menuju restoran Elame. Untunglah ia tahu restoran Elame karena letaknya berdekatan dengan Kafe Gurlahan, tempat ia bekerja dulu.

"Naik taksi aja, Ras. Gue cape," kata Liza yang ngos-ngosan karena berlari cukup jauh.

"Gak ada taksi lewat, Liz. Kalau gitu lo gak usah ikut. Lo tunggu di warung itu aja. Nanti gue samperin lo kalau udah kelar urusannya.

Varas pun langsung berlari setelah mendapat persetujuan dari Liza. Sekitar lima menit Varas berlari tanpa henti, akhirnya ia sampai di restoran Elame. Kemudian ia pun langsung masuk dengan tergesa-gesa.

Varas celingak-celinguk mencari direktur yang mempunyai janji dengannya. Ia hanya pernah melihat wajah direktur itu sekali, itupun di foto.

"Orangnya yang mana, astaga," lirih Varas pelan karena di restoran itu ada tiga orang bapak-bapak yang memakai jas kantor.

"Varas!" panggil seorang pria paruh baya yang duduk sendirian di dekat jendela. Varas bernapas lega. Pasti pria itu adalah direktur Modelo Agency. Varas pun tersenyum dan segera menghampiri pria itu.

"Pak Direktur? Sudah lama menunggu?" tanya Varas untuk sekadar basa-basi.

"Tidak, saya baru saja sampai." Pria itu berdiri dan menyerahkan kartu namanya pada Varas. Varas langsung menerimanya dan membaca kartu nama itu. Ia masih tidak menyangka bisa bertemu dengan direktur Modelo Agency. "Perkenalkan nama saya Zaga Deriga, direktur Modelo Agency." Pria itu mengulurkan tangannya bermaksud untuk bersalaman dengan Varas.

"Saya Varas Lavisha Yuran," kata Varas sambil menjabat tangan Zaga.

"Silakan duduk, Varas." Varas mengangguk pelan dan segera duduk di depan Zaga. "Mau pesan apa? Biar saya traktir tanda perkenalan kita."

"Minuman aja, Pak. Saya sudah makan tadi." Varas tidak berani menolak tawaran Zaga. Ia rasa tidak sopan jika menolaknya, makanya ia meminta minuman saja.

"Baiklah." Zaga pun memanggil pelayan dan segera memesan dua minuman untuknya dan untuk Varas.

"Kalau boleh tahu, ada apa ya Pak Direktur mau bertemu dengan saya?" tanya Varas. Ia sudah sangat penasaran dengan maksud Zaga mengajaknya bertemu.

"Jadi, begini …," kata Zaga sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tas kerjanya. "… saya ingin kamu menjadi model kontrak di perusahaan saya."

Varas terbengong sesaat. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Model kontrak?"

"Iya. Saya tahu kamu punya potensi menjadi model profesional. Saya tidak ingin bakat kamu sia-sia. Makanya saya ingin kamu jadi model kontrak di perusahaan saya. Kalau kamu berminat, kamu bisa baca persyaratan yang ada di kertas ini," jelas Zaga.

Varas langsung berkaca-kaca. Ia tidak menyangka impiannya bisa ia raih secepat ini. Ternyata Tuhan sangat adil padanya. Walaupun ia bodoh dalam hal pelajaran, tetapi setidaknya ia memiliki bakat menjadi model.

Varas menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia mengambil kertas yang berisi persyaratan yang harus ia penuhi. Semua persyaratan tampak mudah untuk Varas, kecuali persyaratan yang paling terakhir.

"Persetujuan orang tua?"

"Iya. Kalau kamu tidak punya orang tua, bisa diwakilkan oleh wali."

Varas terbengong seketika. Ia berusaha keras untuk memikirkan caranya mendapat persetujuan dari orang tuanya. Namun, ia rasa itu tidak mungkin.

"Saya tidak tahu orang tua saya setuju atau tidak, Pak."

"Waktu kamu banyak, Varas. Tidak perlu tergesa-gesa. Kamu bisa gunakan waktu yang banyak itu untuk mendapatkan persetujuan dari orang tua kamu."

Benar juga. Ia punya waktu untuk membujuk orang tuanya. Akhirnya wajah Varas yang tadinya muram langsung kembali cerah.

"Saya benar-benar berterima kasih karena sudah memberikan kesempatan pada saya untuk mewujudkan impian saya," kata Varas penuh haru. Mereka pun berbincang-bincang mengenai dunia permodelan.

VARAS BAKALAN BISA WUJUDKAN IMPIANNYA 😭

WALAUPUN DIA BODOH, DIA PUNYA BAKAT GAES😭

PERCUMA JUGA DIA BELAJAR KALAU EMANG OTAKNYA DANGKAL 😆

Btw gaada yang mau main Rp? Open RP di WhatsApp nih
Syaratnya cuma harus punya akun WhatsApp palsu kok
Hubungin no ini ya

087863075725

Minggu, 8 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro