🍁65🍁 Check In

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reja baru saja sampai di rumahnya dan sudah mendapat tatapan dari Remia. Padahal ia sangat tidak ingin bertemu dengan mamanya. Ekspresi wajah Remia terlihat sangat marah. Dengan baju seragam kepolisiannya, wanita itu berdiri dengan tegak sambil menatap Reja dengan nyalang.

"Ini bukan kantor polisi. Ngapain Mama pake seragam?" Reja duduk di sofa single dan menaikkan kakinya sambil bersandar di sofa. Ia menatap ke arah langit-langit lalu memejamkan matanya dan sesekali menghela napas berat.

"Reja! Kamu gak lihat kalau Mama lagi marah? Kamu malah santai benget kelihatan!" pekik Remia sambil membuka paksa mata Reja.

"Apaan sih?" Reja menepis tangan Remia dan menatap Remia kesal.

"Kamu sadar gak apa yang sudah kamu lakukan?" hardik Remia.

"Mama ngomong apaan? Gak usah bikin aku mikir," ketus Reja.

"Papa kamu tadi masuk kantor polisi gara-gara kamu! Masih gak ngerti juga? Kamu itu emang suka banget cari ulah!"

"Mama, bisa gak usah teriak-teriak gitu? Aku enggak budek." Reja berdiri dan menatap mamanya tajam. Tidak ada yang salah dengan semua tindakannya. Jadi, Reja tidak akan menyesal dengan apa yang telah ia perbuat. "Lagian Papa penjara? Enggak, 'kan?"

Remia mengepalkan tangannya kesal. Memang benar kalau Zaga tidak masuk penjara. Tentu saja ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dengan segala kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki, kecil kemungkinan Zaga bisa dipenjara hanya karena menyembunyikan penyebab kematian Zakka.

Reja tersenyum miring lalu melangkah melewati Remia untuk menuju kamarnya. Ia muak mendengar mamanya berbicara hal yang tidak penting.

"Kalau kamu berulah lagi, Mama bakal gelar acara tunangan kamu sama Sessy!" teriak Remia.

Reja berhenti di anak tangga dan menoleh ke belakang untuk melihat mamanya. "Jangan kira Mama bisa nentuin hidup aku! Ini hidup aku, bukan hidup Mama!"

🍁🍁🍁

Varas benar-benar akan menjalani tes kecocokan ginjal dengan Vema. Lama Varas menunggu dokter yang akan bertugas. Hingga akhirnya dengan perasaan takut, Varas memasuki ruangan dokter itu.

Varas ditanya-tanya tentang riwayat penyakit dan juga melakukan tes kesehatan. Kondisi Varas sehat, tidak ada penyakit yang Varas derita.

"Tolong tunjukkan KTP-nya," pinta dokter itu.

"Belum punya, Dok."

"Umur?"

"Enam belas tahun, Dok. Sebentar lagi tujuh belas tahun."

Dokter itu menghela napas berat. Harusnya ia menanyakan umur Varas sebelum mengetes kondisi kesehatan Varas. "Maaf, kamu tidak bisa melakukan donor ginjal. Umur pendonor minimal delapan belas tahun."

Ada perasaan senang dan juga perasaan sedih saat dokter mengatakan itu. Ia senang karena nantinya ginjalnya tetap utuh, tetapi ia juga sedih karena Vema tidak mendapat pendonor.

"Bener-bener gak boleh ya, Dok?"

"Pendonor lebih baik umurnya di atas delapan belas tahun."

"Tapi, saya donor darah sejak umur lima belas tahun itu boleh kok, harusnya kan donor darah itu untuk yang berumur tujuh belas tahun. Kenapa sekarang pas umur saya mendekati delapan belas tahun itu enggak boleh donor ginjal?"

Walaupun Varas mendonorkan darahnya setiap tiga bulan sekali atau empat bulan sekali, Varas tetap tidak apa-apa. Ia tidak terkena dampak negatif dari mendonor darah saat masih di bawah umur. Harusnya ia bisa mendonorkan ginjalnya karena umurnya mendekati delapan belas tahun.

"Mohon maaf."

Varas menghela napas panjang. Ia rasa dirinya tidak bisa mendonorkan ginjalnya pada Vema. Ia pun segera berpamitan pada dokter dan keluar dari ruangan itu. Satu-satunya hal yang Varas pikirkan adalah menyembunyikan fakta bahwa ia tidak diizinkan mendonor oleh dokter.  

Dulu, saat Varas berumur lima belas tahum, ia mendonorkan darahnya pada Vema karena terpaksa untuk meringankan beban keluarganya. Setiap dua kali seminggu keluarganya mengeluarkan uang untuk Vema cuci darah. Setidaknya dengan darah yang ia donorkan itu, pengeluaran keluarganya bisa berkurang. Namun, kali ini Varas tidak bisa lagi membantu keluarganya dengan mendonorkan ginjalnya.

"Maaf, Kak. Tunggu aku sukses, nanti aku bakal cari pendonor buat Kakak," batin Varas sambil berlari di koridor rumah sakit.

Varas berpikir untuk bersembunyi dari orang tuanya. Ia takut kalau nantinya orang tuanya tahu ia tidak jadi mendonor, orang tuanya malah tidak jadi setuju ia bergabung di Modelo Agency.

Varas segera pergi ke rumahnya. Di rumahnya sedang kosong karena semuanya sedang ada di rumah sakit. Varas mengambil beberapa barang yang benar-benar ia perlukan, seperti pakaian, ponsel, dan tabungannya.

Setelah itu, Varas pergi lagi dari rumah. Ia membulatkan tekadnya untuk minggat dari rumah dan mencari kos-kosan. Ia tidak mau memberatkan Reja dengan terus-menerus tinggal di sana.

🍁🍁🍁

Reja mendapat pesan dari Sessy. Katanya cewek itu ingin berbicara sesuatu dan sedang menunggu Reja di depan taman kota yang lokasinya dekat dengan rumah Reja. Padahal Reja malas keluar karena ia sudah terlanjur tiduran di kasur. Akan tetapi, karena Sessy bilang akan menunggu sampai kapanpun, Reja jadi tidak bisa diam begitu saja.

Akhirnya Reja memilih untuk keluar rumah dengan pakaian ala rumahan. Hari sudah mulai malam dan juga dingin. Reja menyesal karena hanya menggunakan hoodie dan celana pendek selutut.

"Sialan, gara-gara Sessy gue kedinginan. Mana sih tuh orang? Katanya udah nunggu, tapi gak nongol-nongol," gerutu Reja sambil bersedekap dada. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari Sessy. Sesekali ia menelepon cewek itu, tetapi tidak dijawab.

"Kak Reja," panggil Sessy sambil membawa minuman di tangannya.

"Dari mana lo? Gue berabad-abad nunggu lo," ketus Reja sambil menatap Sessy kesal.

Sessy menyesap minumannya dan menatap Reja dengan polos. Kemudian ia tersenyum tipis lalu berkata, "Maaf, Kak."

"Ngomong apaan? Buruan."

Sessy terdiam sambil menatap Reja dari atas sampai bawah. Reja memakai topi, hoodie, dan celana pendek serba hitam. Terlihat biasa, tetapi saat Sessy melihat Reja memakai kaus kaki dan juga sendal, cowok terlihat sangat aneh.

"Kak Reja gitu amat pakaiannya pas ketemu aku," cicit Sessy sambil memajukan bibir bawahnya.

"Ngapain gue mesti dandan buat ketemu sama lo? Beda lagi kalau ketemu Varas."

Sessy menghela napas berat. Apa yang Reja bicarakan tidak jauh-jauh dari Varas. Pasti sempat saja cowok itu menyinggung pacarnya.

"Aku mau kasih tahu sesuatu," kata Sessy. Walaupun ia sangat sakit setiap Reja menyebut nama Varas, tetapi Sessy tidak ingin menunjukkannya. Biarlah hanya ia sendiri yang tahu sakit yang ia rasakan.

"Apaan? Buruan, gue sibuk." Reja duduk di pembatas antara tanaman jalan dan trotoar. Ia lelah berdiri sejak tadi untuk menunggu Sessy. Apalagi tadi ia berjalan kaki dari rumahnya. Bukannya lemah atau bagaimana, rasa malas membuat Reja menjadi merasa lelah.

"Yomi yang sebarin gosip tentang Kak Varas."

Reja menoleh dan menatap Sessy lekat-lekat. Setahunya Sessy dan Yomi berteman baik. Ia jadi heran karena Sessy membuka kedok temannya sendiri. "Lo mau cari muka sama gue dengan jatuhin temen lo?" tanya Reja sambil tersenyum miring.

Sessy segera menggeleng karena bukan itu maksudnya memberi tahu Reja siapa yang menyebar gosip tentang Varas. "Yomi jahat. Dia mau lihat orang-orang yang bahagia itu hancur. Aku cuma mau ngasih tahu kalau Kak Varas bakal dibikin hancur sama Yomi," jelas Sessy. Walaupun ia tidak suka dengan Varas, ia tetap memberi tahu Reja hal ini karena tidak ingin Yomi berhasil menghancurkan hidup orang lain.

"Lo gak bohong?"

"Enggak. Aku jujur. Sumpah."

"Ya udah, lo boleh pergi."

Sessy membulatkan matanya saat Reja malah mengusirnya setelah mendapatkan informasi. Kemudian ia mendengus sebal karena Reja tidak ada niatan untuk menawarkan diri untuk mengantarnya.

"Aku pergi." Sessy berlalu dengan menghentak-hentakkan kakinya menuju sebuah mobil yang mengantarnya tadi. Walaupun ia diantar oleh supir tadi, ia tetap berharap Reja menawarkan diri untuk mengantarnya.

Reja menghela napasnya dan hendak berdiri. Namun, saat ia melihat seseorang yang sedang berjalan di depannya, Reja segera menunduk agar tidak dilihat.

"Reja."

"Sial," umpat Reja karena ternyata ia ketahuan. Perlahan ia mengangkat kepalanya dan menatap cewek cantik yang kini berada di depannya. 

"Lo ngapain di sini kayak gembel?"

"Tega banget lo ngatain pacar lo gembel, Ras." Reja mendengus sambil memasang ekspresi kesalnya karena dibilang gembel oleh pacarnya sendiri. Jika tahu akan bertemu Varas di sana, Reja tidak akan sengaja berpakaian aneh seperti itu. Semuanya karena usaha untuk membuat Sessy ilfeel, tetapi sepertinya Sessy tidak terlihat ilfeel sama sekali.

"Seriusan, lo di sini bukan mau ngemis, 'kan?" Varas terkekeh pelan lalu mengeluarkan ponselnya. Ia memotret Reja yang sedang menatap ke arah lain. Namun, saat tersadar Varas sedang memotretnya, Reja langsung menatap ke arah kamera dan mengedipkan sebelah matanya.

"Heran gue, maunya nyari aib, tapi kok …." Varas tidak melanjutkan kalimatnya karena takutnya Reja malah melayang tinggi. Bisa jadi tingkat kepercayaan diri Reja semakin tinggi jika ia memujinya.

"Heran banget ya punya pacar seganteng gue?"

"Lo ngapain di luar malem-malem? Sendirian lagi. Gimana kalau ada cabe-cabean godain lo?" tanya Varas mengalihkan pembicaraan.

"Lo kenapa enggak pulang?" tanya Reja yang juga mengalihkan pembicaraan. Tidak mungkin ia bilang bertemu Sessy. Takutnya Varas malah berfikir yang tidak-tidak.

"Gue udah pulang tadi ke rumah, ngambil barang-barang."

"Pulang ke rumah gue maksudnya. Rumah gue kenapa dilewatin?" tanya Reja bingung. Varas datang dari arah selatan dan rumahnya terlewati. Sepertinya Varas bukan menuju ke rumahnya. "Mau ke mana lo?"

"Gue mau cari kos-kosan. Gue gak enak terus-terusan tinggal di rumah lo. Apalagi sekarang Liza gak bisa nginep. Kita gak bisa cuma berdua di rumah lo," jelas Varas.

Sepertinya Reja tampak mengerti dengan penjelasan Varas. Cowok itu juga tidak akan memaksa Varas untuk tinggal di rumahnya. Namun, satu hal yang Reja tidak setujui, yaitu Varas akan tinggal di kos-kosan.

"Gue enggak setuju lo tinggal di kos-kosan. Itu bahaya, Ras."

"Terus gue tinggal di mana?" tanya Varas. Ia tidak bisa tinggal di rumahnya sendiri ataupun di rumahnya Reja. Ia juga tidak bisa menginap di rumah Liza ataupun Nitya karena pasti akan merepotkan keluarga teman-temannya itu.

"Itu." Reja menatap sebuah hotel mewah yang ada di depannya. Varas mengikuti arah pandang Reja dan melihat hotel itu. Hotel yang tampak sangat megah itu pasti harganya mahal. Varas mana mampu untuk membayarnya mengingat jumlah tabungannya yang tidak seberapa.

"Ogah!"

"Udah deh, lo harus tinggal di sana." Reja berdiri dan menarik tangan Varas agar ikut dengannya. Kemudian mereka menyeberang jalan hingga sampai di hotel yang sangat dekat dari tempat mereka tadi.

"Reja, gue enggak mau." Varas melepaskan tangan Reja dan segera hendak pergi. Namun, Reja malah menarik tasnya yang berat hingga Varas terjatuh dengan posisi terlentang. Banyak yang memperhatikan aksi memalukan itu hingga Varas menutup wajahnya sambil berusaha bangun.

Reja tidak ada niatan membantu Varas sedikitpun. Ia itu malah terkekeh kecil melihat Varas terjatuh. Memang menyebalkan cowok itu. "Makanya nurut," kata Reja sambil menepuk-nepuk kepala Varas yang kini memasang wajah cemberutnya.

"Gue sumpahin lo jatuh," geram Varas lalu mencubit pipi Reja hingga cowok itu meringis kesakitan.

"Cepetan check in. Gue yang bayar selama lo tinggal di sini."

"Ih, enggak mau. Emang lo suami gue apa?"

"Harus banget ya jadi suami dulu baru bayarin pacarnya?" tanya Reja sambil menatap Varas lekat-lekat. Varas menjadi salah tingkah sendiri. Harusnya tadi ia tidak mengatakan kata 'suami' pada Reja. "Kalau iya, gue nikahin lo sekarang."

Varas mendelik dan mencubit pipi Reja lagi. Reja tidak mau kalah dan mencubit pipi Varas juga. Semakin Varas mengeraskan cubitannya, Reja juga ikut mengeraskan cubitannya.

"Reja, lepasin. Malu dilihatin orang," bisik Varas sambil berusaha melepaskan tangan Reja dari pipinya. Namun, Reja tidak kunjung melepaskannya.

"Lo dulu lepasin," suruh Reja.

"Lo dulu."

"Lo dulu."

"Oke, barengan." Varas menghitung dengan jarinya dan segera melepaskan cubitannya setelah hitungan ketiga. Begitu juga dengan Reja. Mereka mengusap pipi masing-masing yang kini berwarna merah akibat bekas cubitan.

"Buruan check in. Gue bayar pakai uang Papa. Lo gak mau 'kan kalau uangnya gue kubur di tanah?" Reja mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. Jumlahnya sangat banyak karena ia tidak pernah memakainya sekalipun.

Varas membulatkan matanya. Tega sekali Reja berniat mengubur uang yang berharga itu. Harusnya cowok itu menyumbangkan uang itu ke orang yang membutuhkan, bukannya mengubur uang itu ke tanah dengan cuma-cuma.

"Uang ini harusnya milik Zakka, bukan gue," kata Reja seolah tahu apa yang Varas pikirkan. Kalau uang itu adalah miliknya, tentunya ia tidak akan menyia-nyiakan uang itu. "Gimana? Lo pakai atau gue kubur uangnya?"

Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau Varas langsung mengambil kartu itu karena uang sebanyak itu sangat berharga untuk orang miskin seperti Varas. Tidak ada yang menganggapnya matre, bukan? Ini bukan kemauannya karena niatnya adalah menyelamatkan uang yang hendak Reja buang ke tanah.


(Sayang, ada akhlaq?
Enggak sayang enggak😆)

VARAS GAK JADI DONOR😆

AKU BAIK KAN SAMA VARAS😆

YA DONG😆

MAAF KALAU PART INI GAJE😆

SEE YOU TOMORROW 😆

2000an word

11 November 2020

SELAMAT HARI JOMBLO SEDUNIA🎊🎉🎊🎉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro