☘13. Kejutan Ketiga☘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mata Hosea menyipit. Ia melihat gadis yang baru-baru ini telah mematahkan hatinya itu ada di sampingnya.

"Lyla? Ngapain ke sini?" tanya Hosea dengan kernyitan alis. Ia memandang berkeliling, untuk mengecek apakah lelaki yang dikenalkan sebagai tunangannya ada di situ.

Lyla menggigit bibir. Ia menunduk.

"Kamu sakit?" tanya Hosea dengan kedua alis terangkat.

Lyla menggeleng.

"Terus?"

Sambil menghirup napas panjang, Lyla mendongak. "A-a-aku mau periksa kehamilan."

"Siapa yang hamil?" Ia masih belum bisa mencerna situasi.

"A-a-aku."

Awalnya Hosea tak mempercayai pendengarannya. "Apa?" Kepalanya meneleng dengan kernyitan alis.

"A-aku hamil."

Seketika rahang Hosea tertarik gravitasi bumi. Ia hanya bisa menatap wajah buram Lyla dengan satu mata yang belum sembuh benar kondisinya.

Namun, belum sempat Hosea menimpali, terdengar suara lift berdenting. Pintu terbuka menguak bilik kosong. Mau tidak mau Hosea harus menahan bibirnya dan masuk bersama Lyla.

"Mau ke lantai berapa kamu?" tanya Hosea yang lebih dulu telah menekan tombol angka empat.

"Tiga," jawab Lyla singkat.

Pintu lift tertutup dan mulai bergerak. Hosea masih membisu beberapa saat. Keheningan di bilik kecil itu terasa menyesakkan. Hosea kemudian berdeham.

"Se-selama ini kamu selingkuh? Sejak kapan? Kenapa? Aku salah apa?" cecar Hosea tanpa henti.

"Hose, please ...."

Hosea mendengkus. "Sudah diputus ... ternyata sebelumnya diselingkuhi sampai hamil."

Kepala Hosea menghadap ke depan. Namun, ia bisa melihat reaksi wajah Lyla yang menguap ronanya melalui pintu dan dinding bilik yang dikepung cermin. Jari jemari lentik yang sering ia gandeng itu saling melilit. Sebuah tanda yang dihafal Hosea bila Lyla gugup.

"Maaf. A-aku ... sebenarnya nggak pengin kamu tahu. Aku malu."

Baru Hosea akan membuka mulut, pintu lift yang membawa mereka ke lantai tiga terbuka. Embusan halus tanda kelegaan terdengar dari bibir yang dahulu selalu ingin ia cecap. Lyla lalu buru-buru keluar. Hosea tak bisa mencegah, karena saat akan ikut keluar untuk meminta penjelasan, ia terhalang dengan beberapa orang yang hendak masuk bilik kecil itu.

Akhirnya, Hosea hanya bisa menggeser badan kekarnya menyamping, dengan pandangan termangu. Otaknya seketika konslet, tak menyangka Lyla mengkhianati kepercayaannya. Lelaki itu pun masih shock dengan apa yang dikatakan Lyla. Selama ini ia tak berani menjamah Lyla. Baginya, tubuh wanita itu adalah alam yang harus dipelihara keperawanannya. Hosea benar-benar menjaga dan menunggu saat yang tepat untuk mencangkul di lahan yang gembur.

Namun, ternyata ada orang lain yang telah menerobos batas kepemilikannya dengan diam-diam. Tak hanya mencangkul tetapi lelaki itu menabur benih yang membuat kehidupan baru bersemi.

Hati Hosea yang patah kini seketika remuk ... tak berbentuk. Tak tersisa lagi rasa sayang pada Lyla. Yang ada benci dan jijik karena telah bermain peran di depannya. Bagi Hosea, kesucian seorang gadis harus dijaga. Begitu pesan sang Mami sebelum berpulang. Saat Hosea melakukan wasiat Maminya, justru ia kehilangan Lyla.

Pantas saja setelah bertunangan, Lyla langsung memroses untuk pemberkatan. Apakah memang Lyla benar-benar dijodohkan? Hosea sudah tidak percaya dengan kata-kata perempuan itu.

Kejutan ketiga ini semakin menumbuk batin Hosea. Lelaki itu bahkan tak sadar sudah berada di lantai 8. Ia terpaksa ikut lift ke atas, untuk membawanya kembali ke lantai 4. Dengan lesu, ia keluar dari lift. Hosea pun mencari tempat yang longgar untuk duduk menunggu ia dilakukan pemeriksaan.

Walau ia sudah datang awal, ternyata sang dokter mata belum juga datang. Mungkin dia ada operasi lebih dahulu dan setelahnya baru melakukan pelayanan di poli. Padahal, saat ini sudah ada kira-kira sepuluh pasien yang ingin berkonsultasi atau kontrol dengan Nora, termasuk Hosea.

Hampir pukul 10.30, Hosea melihat samar Nora yang berjalan dengan langkah cepat. Dari jauh ia mengenali bentuk perempuan itu. Wajah chubby perempuan itu tak pernah lekang mengukir senyuman, setiap kali disapa oleh teman sejawat, paramedis, atau pasien yang mengenalnya. Nora sekarang berhenti sebentar untuk bercakap dengan seorang pasien yang sudah tua, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke ruang 14.

Hosea tersenyum tipis. Doctor scrub merah muda yang membalut tubuh mungil Nora itu justru membuat perempuan itu terlihat menggemaskan. Walau beberapa detik lalu ia terkejut dengan kabar kehamilan Lyla, entah kenapa hanya dengan melihat samar penampakan Nora, rasa sedihnya sedikit terobati. Setidaknya, ia tidak terlalu memikirkan patah hatinya, karena ia merasa seperti bertemu dengan sosok keibuan yang sangat ia rindukan.

Dari tempatnya duduk, Hosea bisa melihat Nora yang kini menempatkan diri di belakang meja, sebelum pintu ditutup untuk menjaga privasi pasien. Siapa yang mengira gadis yang waktu SMA itu ia katakan tambun, kini terlihat segar dan percaya diri dengan penampilannya. Walau tak selangsing Lyla, tapi Nora tampak sehat dan energik.

Di saat Hosea sedang sibuk menatap Nora yang hanya terbentuk samar di penglihatannya, kursi di sebelahnya berderak kasar. Pandangan Hosea terdistraksi. Ia menoleh dan seketika mengernyit. Satu matanya menyipit, memperjelas bayangan yang ditangkap netranya. Ia mengingat wajah blasteran yang gen Tionghoanya lebih dominan itu.

"Pisang Bollen?" sapa Hosea tidak yakin.

Yang dipanggil juga ikut menoleh. Adrien mendekatkan wajahnya mengamati lelaki yang sama jangkungnya dengan dirinya. Ia memastikan orang yang di sebelahnya betul-betul Hosea, karena hanya dia dan Nora yang memanggil "Pisang Bollen".

"Jangkrik umak. Elinge Pisang Bollen. Aku duwe jeneng, Cuk!" Logat Surabaya dan Malang bercampur jadi satu. Ia menyesal memilih duduk di tempat itu. Tapi mau bagaimana lagi, karena hanya tinggal kursi itu satu-satunya tempat yang kosong.

"La opo umak ke sini?" tanya Hosea.

Alis Adrien terangkat satu. Bagi Hosea, ekspresi itu terlihat menjengkelkan dari dulu.

"Nemuin pacarku. Ehm, Nora, dokter matamu." Dagu Adrien terangkat menunjukkan sikap pongah yang menggelikan.

Seketika telinga Hosea berdenging. Jakunnya naik turun sambil menoleh melihat wajah kabur Adrien yang kepalanya mendongak.

Adrien tersenyum miring. "Yo opo kabarmu, Dit?"

Seperti Hosea, Adrien pun punya panggilan khusus untuk lelaki itu. Panggilan "Medit" dari nama Meidiawan itu sengaja disematkan Adrien karena Hosea enggan memberinya contekan saat ulangan Fisika.

"Eh, kamu nggak cocok lagi pakai nama Medit. Sekarang sih cocoknya Momedi alias setan." Adrien tergelak puas melihat wajah kaku Hosea karena satu matanya yang masih terbungkus perban dan plester itu terasa nyeri saat digerakkan.

"Janc**! Tak uleni dadi bollen apa mollen kapok umak!" rutuk Hosea.

Walau Adrien terkekeh, namun hati kecilnya was-was. Hosea adalah cinta pertama Nora. Dari kelas satu SMA, Nora selalu menceritakan tentang pesona Hosea yang membuat Adrien eneg. Saking seringnya Nora bercerita, Adrien bahkan bisa mengulangi cerita itu dengan runtut.

Adrien mendengkus, sambil melirik sengit Hosea yang bermata satu itu. Sungguh, ia heran apa yang membuat Nora tergila-gila dan menangis-nangis saat ditolak oleh lelaki itu.

"Tuan Hosea Meidiawan." Panggilan seorang perawat perempuan memecah kebekuan. Hosea pun berdiri dan berbasa basi sejenak saat akan meninggalkan Adrien.

***

Hosea masuk ke dalam ruang pemeriksaan mata. Senyuman manis menyapanya begitu Nora berbalik dari mencuci tangan. "Hai, Hose. Gimana kabarnya? Om Jeri nggak ikut?"

Nora melongokkan kepala, mencari sosok Jericho di belakang Hosea.

Hosea menggeram, mendengar pertanyaan Nora. Sambil duduk, ia berkata, "Aku bukan anak kecil. Ngapain papiku ikut?"

Nora tersenyum lebar, hingga pipi merah itu menggelembung dan menyembunyikan matanya. Hosea meremas pahanya, untuk menahan diri agar tidak mencubit pipi Nora saking gemasnya.

Nora kemudian duduk di seberang meja. Ia meraih tetikus yang ada di atas permukaan kaca meja. Dengan mata menyipit, Nora membaca rekam medis elektronik di layar komputer. "Nama Bapak?"

"Ish, kok bapak sih? Sejak kapan aku jadi bapakmu. Lagian kamu kan sudah tahu namaku."

Nora melirik tajam Hosea. "Ini identifikasi ulang. Sebuah standard yang harus dilakukan, Bapak."

Hosea mengulum senyum. Seketika jantung Nora seolah berhenti berdetak selama sedetik. Senyuman itu masih sama dengan senyuman yang membuat ia merasakan cinta monyet untuk pertama kalinya.

Pipi Nora memerah. Gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan ke arah layar. "Oke, Tuan Hosea Meidiawan, alamat—"

"Jalan Menur 31, Malang. Tanggal lahir 5 Mei," potong Hosea.

Nora mengangguk berulang. "Ada keluhan nggak selama beberapa hari ini?" tanya Nora berusaha menguasai diri karena satu mata Hosea yang terbuka itu memandangnya dengan intens.

"Nggak ada sih. Cuma di sini berdebar." Hosea mengetuk dada kirinya yang membuat Nora mengangkat kedua alisnya.

"Kamu nggak ada penyakit penyerta kan? Seingetku kamu sehat-sehat aja."

Hosea terkekeh. "Iya, sehat. Cuma tiap lihat kamu senyum, rasanya deg-degan gitu."

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro