☘34. Pengakuan Nora☘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers, bisakah saya minta komen n  votenya? Seenggaknya bisa bikin hepi authornya. Itu pun kalau kalian berbesar hati memberikan komen😊. Sebelumnya, saya mau ngucapin makasih, karena kalian udah mampir baca cerita ini. Semoga ada manfaat yang diambil dari cerita ini.

💕Happy reading💕

Nora membuang muka, karena tidak ingin ketahuan apa yang ia rasakan. Sejujurnya memang Nora belum tahu apa yang ia rasakan. Berada di samping Hosea sekarang, justru membuat Nora galau.

Mendapati Nora yang hanya diam, Hosea akhirnya mendekat dan meraih pergelangan tangan perempuan itu.

"Kita makan yuk. Di Bon Appetit?" tanya Hosea tanpa meminta jawaban persetujuan Nora karena lelaki itu langsung menariknya begitu saja.

Tubuh mungil berisi Nora tertarik begitu saja. Ia pun berusaha melerai genggaman tangan Hosea.

"Hosea, jangan begini ah. Aku udah tunangan. Nggak enak sama temen-temen." Nora menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikannya dengan Hosea.

Hosea tersenyum tipis sambil mendesah. "Kalau begitu, ayo kita makan ke Bon Apatite. Daripada kita bercakap sambil berdiri seperti ini."

Nora menggigit bibirnya, sambil berpikir bagaimana baiknya. Ia tidak ingin kejadian mengamuknya Adrien terulang lagi.

"Ayo!" Hosea menggerakkan kepalanya dan akhirnya Nora pun mengikuti ajakan lelaki itu.

Mereka berjalan beriringan menuju kafe yang ada di depan rumah sakit. Nora tahu sangat riskan bercakap di tempat itu karena pemiliknya adalah teman baik Adrien yang bisa saja saat itu juga memberi tahu Adrien bahwa kekasihnya bertemu dengan laki-laki lain.

Tapi, tetap saja Nora mengikuti Hosea dan duduk di salah satu sudut kafe yang arsitekturnya sangat kental dengan nuansa kota Paris.

Setelah memesan croissant dan es machiato, Hosea dan Nora tidak langsung bercakap. Nora hanya duduk menunduk sementara Hosea menatap perempuan yang serba salah bersikap itu.

"Ra, biasa aja kali. Aku jadi nggak enak ati." Hosea akhirnya buka suara.

"Gimana aku bisa santai, Hosea. Aku nggak enak sama kamu. Seharusnya aku nggak terlalu bersemangat ikut ke pantai dulu hingga kamu …." Nora menghela napas panjang karena tidak bisa mengatakan kelanjutannya.

"Kalau pun kita nggak ke pantai, aku pasti bakal nyatain cinta kalau ada waktu, Ra," kata Hosea kemudian.

Nora kemudian menghela napas panjang. Sepertinya ia harus menyudahi apa yang terjadi antara dirinya dan Hosea.

"Hose, aku mau cerita." Suara Nora bergetar hebat. Peluh mulai merembes di dahinya.

"Ada apa?" Ekspresi Hosea masih tampak tenang. Kedua tangannya masih menumpu di atas permukaan meja dengan mata yang lurus menatap Nora.

"Ehm, sepertinya kamu terlalu berpikir lebih tentang aku," kata Nora kemudian. Nora masih menghindari tatapan Hosea dan mempermainkan jari-jari yang menumpu di atas meja.

Hosea menelengkan kepala dengan kernyitan dahi. "Maksudnya?"

"Jadi, begini …." Lidah Nora tiba-tiba terasa kelu. Jantungnya berdetak semakin kencang karena ia harus mengakui dosanya. Ia membasahi bibirnya dengan ujung lidah agar ucapannya lebih lancar. "Aku …."

Rasanya tenggorokan Nora tercekat. Suaranya tetap tidak bisa mulus keluar dari mulutnya. Sementara Hosea masih dengan sabar menanti ucapan perempuan itu.

"Kamu … kenapa?" tanya Hosea lagi dengan kedua alis tertarik ke atas.

Nora membuang napas kasar sebelum memulai pengakuannya. "Aku … sudah nggak perawan, Hosea."

.
.
.
.

Tak ada respon dari Hosea selama beberapa detik, hingga akhirnya lelaki itu mengerjapkan mata berulang saat otaknya bisa mencerna apa yang dikatakan Nora.

Dahinya kini berkerut meyakinkan apa yang ia dengar. "Nggak pe … ra ...wan?"

Nora mengangguk, masih dengan menunduk karena tidak nyaman dengan tatapan Hosea. "Aku dan Adrien udah berbuat hal yang  …."

Wajah Nora terasa panas saat mengakui hal yang sangat ingin ia pendam. Tetapi hari ini ia harus mengakuinya karena tidak ingin memberi harapan palsu pada Hosea.

"Kenapa cerita?" Suara Hosea akhirnya sama bergetar dengan Nora. Wajahnya pun sama pucat dengan perempuan itu.

"Aku … nggak bisa bikin kamu berharap, Hosea. Sementara aku udah nggak perawan," terang Nora dengan mata berkaca.

Rahang Hosea mengerat. Tangannya mengepal kuat saat mendengar hal yang tak dimungkiri telah memukulnya telak. Napas Hosea kembang kempis karena ucapan bertubi Nora.

"Jadi, kamu menerima lamaran Adrien karena sudah tidak perawan atau kamu mencintainya?" Hosea menyelisik kedalaman hati Nora, walau hatinya tercubit-cubit.

"Apa gunanya bertanya hal itu? Tetap saja aku tidak perawan dan tetap saja aku akan menerima Adrien sebagai suamiku kelak," jawab Nora.

"Itu bukan jawaban, Nora! Aku bertanya kamu menerima Adrien karena cinta atau karena sudah terlanjur nggak perawan?" Mata Hosea membulat. Bahkan lelaki itu menggebrak meja hingga beberapa orang menatap mereka.

Namun, pertanyaan Hosea itu membuat Nora bungkam dan hanya bisa menundukkan kepala saja sambil menatap cincin yang melingkar di jarinya.

"Ra, jawab!" sergah Hosea dengan pundak yang naik turun.

"Nggak ada bedanya. Cinta nggak cinta, tetap aja aku nggak perawan. Siapa yang mau dengan cewek nggak perawan?" kata Nora dengan sendu.

"Aku! Aku mau nerima kamu apa adanya!" ujar Hosea dengan mantap.

Perkataan Hosea itu membuat Nora mendongak dan melongo.

"Ojo sedheng, umak! Aku tahu kamu down parah sewaktu Lyla hamil dengan cowok lain," kata Nora berusaha menepis reaksi Hosea.

"Lyla hamil. Kamu nggak hamil!" tukas Hosea.

"Bukannya kesucian bagimu adalah segala hal Hosea? Kamu cerita kalau Hosea sewaktu masih berusia lima tahun diberi pesan sang mami agar menjaga kemurnian seorang gadis dan dalam perjalanan hidupmu juga, Om Jericho memberi wejangan bahwa kesucian adalah segalanya." Nora mengingatkan.

"Aku tahu. Bagiku kesucian perempuan segalanya karena begitulah mami dan papi menasihati. Mereka berkata begitu agar aku bisa menjaga keperawanan seorang gadis dan jangan sampai aku yang merenggut sebelum waktu diberkati Tuhan." Hosea berkata sendu.

"Dan, sekarang aku sudah tidak perawan," ucap Nora dengan nada penyesalan. "Kamu berhak mendapat yang lebih baik karena kamu bisa menjaga idealismemu, Hosea."

"Tapi, aku menyukaimu, Nora. Apapun yang terjadi sama kamu, aku mau menerima kamu apa adanya." Hosea menjawab mantap.

Nora tersenyum tipis dengan batin tercabik. "Itu bukan kamu, Hosea. Nasihat orang tua yang dicamkan bertahun-tahun tidak bisa luntur gitu aja kan?"

Hosea mendengkus pelan. "Kamu kira menerima sesuatu yang bertentangan dengan yang kita yakini gampang, Ra. Nggak! Jujur aku shock. Nggak nyangka, kamu kasih segalanya ke Adrien. Nggak nyangka, kamu yang kuanggap polos, ternyata udah ngasih segalanya buat Adrien."

Hosea mengeratkan kembali rahangnya. Desisan suaranya berusaha menekan rasa kecewanya. "Tapi aku inget sewaktu kita ketemu lagi pas aku kecelakaan itu, Ra. Suaramu entah kenapa menggetarkan hatiku. Kamu yang menemani aku sewaktu aku dalam kegelapan, hingga aku bisa melihat lebih jernih. Bukan dengan mata kepala, tetapi aku melihat kamu dari mata hatiku."

Nora mencibir perkataan Hosea yang ia anggap terlalu berlebihan. 

"Denger … selama ini aku suka sesuatu yang indah, cantik, yang bisa aku lihat dengan mataku. Cewek cantik itu ya dari mukanya. Tapi ketemu kamu, pikiranku berubah. Hanya dari suara aku jatuh cinta. Cinta nggak datang dari mata, tapi langsung turun ke hati, menguasai dan mematri di hati," kata Hosea panjang lebar.

Tawa Nora menguar, menepis rasa tak nyaman. Ia tidak ingin terlalu terbawa perasaan karena Nora sudah memutuskan untuk menerima lamaran Adrien.

"Hosea, kalau semua pasien geer seperti itu, bahaya nih yang jadi dokter." Kekehan Nora masih belum sirna. "Aku hanya melakukan yang sewajarnya dilakukan oleh seorang dokter."

Hosea mendesah panjang. "Aku tahu. Tapi karena kamu melakukan dengan ikhlas dan profesional justru hatiku tergerak. Ah, ke mana aja aku selama ini? Kenapa aku hanya melihat permukaan luar tanpa melihat hati."

"Hellloo, Hose. Aku udah nggak perawan. Aku udah nggak suci dan sebaiknya kamu cari cewek yang lebih baik!" Nora meremas kain celana doctor scrubnya. Tak dimungkiri hatinya berdesir kencang saat Hosea bertubi-tubi memberikan argumen yang mirip rayuan.

Ya, tetap saja Nora adalah wanita biasa yang mudah luluh dengan ucapan manis seorang lelaki yang rupawan. Siapa yang tidak akan tergila-gila dengan laki-laki bertubuh tinggi, kekar, dengan hidung mancung dan bibir merah. Bahkan luka parut di mata itu justru menambah macho penampilan Hosea.

"Aku tahu. Dan aku kesel Adrien mendapat yang terbaik!" Suara Hosea meninggi yang membuat Nora justru hanya menunduk saja.

"Jangan seperti ini, Hosea." Nora masih menyangkal Hosea, bertepatan dengan dering gawai Nora.

"Sorry, ini Adrien." Nora meraih ponsel di saku doctor scrubnya, lalu menggeser tanda menerima panggilan.

"Hallo, Darling," sapa Nora dengan sungkan karena mengangkat telepon Adrien di depan Hosea.

"Kamu di mana, Cherrie?" Suara Adrien terdengar renyah dari speaker gawai Nora.

"Aku di Bon Apetite sama Hosea." Nora menggigit bibirnya karena takut Adrien akan mengamuk.

"Ah." Ada desah kecewa yang menyusup di pendengaran Nora. "Aku ini otw ke Malang, sudah sampai di Singosari. Tunggu aku ya, Cherrie."

"Ok, aku tunggu."

💕Dee_ane💕

Bon Apetite itu ada di cerita tanechan01. Yuk, mampir di Love Sensorry

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro