☘40. Berikhtiar☘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers, puji Tuhan, hari ini aku udah masuk ke kantor. Rindu banget sama temen2 yang dukung aku baik materi dan spiritual. Jadinya, Nora datang agak telat. Pastiin udah tinggalkan jejak ya. Aku mau boksi canteek dulu buat persiapan ngajari anak sulung dan nulis part buat besok malam nanti. Selamat membaca

💕💕💕

Nora merasa bersalah pada Hosea yang kini masih berdiri dan menatap taksi online yang ditumpanginya menjauh hingga berbelok ke jalan kecil sebelum keluar ke jalan raya.

Wanita itu mendesah kencang seraya menyandarkan punggungnya dengan kasar ke sandaran jok. Ia merogoh gawai di sling bagnya dan mencoba mencari kontak Adrien yang berganti nama sejak putus yang kedua dan perempuan itu menerima Hosea sebagai pacar.

Begitu menemukan nama Adrien, Nora mengganti nama kontaknya menjadi My Darling.

Nora tersenyum miring. Hatinya ngilu saat ia telah mengganti nama kontak itu. Ia tahu mengubah nama kontak di ponsel, tidak akan mengubah keadaan. Nora kini jomlo dengan memendam cinta pada teman kecilnya. Sedang Adrien kini sudah bertunangan dengan cewek cantik yang kualitasnya tak diragukan.

Nora menggigit bibirnya sambil mengerutkan alis saat jari jempolnya ingin sekali menekan tanda panggilan. Sekuat tenaga ia menahan agar tidak menelepon Adrien hingga tangannya bergetar.

"Nora, jangan lakuin! Please!" 

Tapi, otaknya berkhianat karena memerintah otot dan tulangnya. Jempol gemuk itu pada akhirnya menekan tanda menghubungkan panggilan. Dan tak sampai dua kali nada hubung, panggilan itu diterima.

Jantung Nora berdetak kencang saat panggilannya terhubung. Napasnya kembali tersengal dan perlahan-lahan ia mengangkat lengannya untuk menempelkan speaker ke daun telinganya.

"Hallo!" 

Seketika jantung Nora berhenti berdetak kala mendengar suara perempuan. 

"Hallo, Kak Nora?"

Tenggorokan Nora seolah tercekik, saat mengenal suara yang baru ia kenal tadi siang.

Bora …

Ya, Nora yakin Adrien bersama Bora. Masih membisu, Nora mengerling ke arah jarum jam tangannya. 

21.25

Apa mereka sedang berkencan? Pikiran itu menyusup di benaknya hingga membuat desir menyakitkan di dada.

"Kak Nora, Kak Adrien lagi tidur, habis—"

Nora menyentuh tanda merah dan seketika tak ada lagi suara gadis cantik yang membuat darahnya mendidih.

Perempuan itu menggigit bibir sambil mengerutkan dahi saat berpikir kenapa Bora mengangkat panggilan Adrien. Sementara Adrien katanya tidur habis ….

Nora menggelengkan kepala berulang untuk menepis bayangannya. Biasanya bila Adrien pada jam segini tertidur dan ada perempuan di sampingnya, itu artinya Adrien sudah kelelahan mengaduk inti tubuh perempuan. Ya, itulah pengalamannya selama enam tahun menjadi pacar Adrien. 

Apakah Adrien ingin mengulanginya bersama Bora? Ah, menyimpulkan hal itu, hati Nora terasa panas dan ia hanya bisa mengeratkan rahangnya. Geraman lirih pun lolos dari mulutnya berupaya agar ia tidak menangis saat itu juga.

***

Hari demi hari Nora lewati dengan predikat baru yang tersemat dalam dirinya. 

Jomlo …
Tak perawan …

Tentu saja saja Nora mengabarkan putusnya dengan Hosea, Ambar sedikit marah. Apalagi Nora menceritakan bahwa Hosea melamarnya. Sang mama kesal dan selalu saja menyinggung ulah Nora, yang hanya direspon dengan dengkusan lirih wanita muda itu.

Mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa membiarkan menjalin hubungan dengan kepura-puraan setelah tahu perasaannya pada Hosea hanya sebatas rasa yang ingin ia cecap sewaktu SMA. Dan ia baru menyadari perasaan cintanya pada Adrien ternyata begitu besar. Baru kali ini Nora merasa bodoh dalam memilih. Ia merasa tolol karena tidak bisa membedakan kagum dan cinta. 

Sementara itu berita tentang pernikahan Adrien semakin santer terdengar. Di komputer ruangannya, bukannya memanggil pasien baru  melalui aplikasi rekam medis, jari Nora justru menari mengetikkan kata kunci. 

"Perjodohan Livian dan Universe."

Mata Nora membaca beberapa artikel yang terbuka. Dengan tangan kanan yang menggenggam tetikus, ia mengarahkan kursor ke berita paling atas.

"Adrien Bollen dan Debora Angelica dikabarkan akan menikah di Paris."

Jantung Nora seperti tertumbuk hingga ia merasakan napasnya tak bisa teratur. Namun, tetap saja matanya ingin membaca seluruh isi berita di internet itu.

"Adrien Bollen, putra pemilik Livian Group, sedianya akan menikah pada musim panas mendatang di Paris, kota asal Antoinne Bollen. Setelah melakukan tahapan persiapan pernikahan institusi Angkatan Udara dan gereja, akhirnya pihak wakil keluarga mengumumkan akan melangsungkan pernikahan bulan Agustus mendatang. Tentu saja kabar ini merupakan kabar gembira bagi dua keluarga karena akan membesarkan dua kerajaan perhotelan di Indonesia."

Baru membaca satu paragraf hati Nora sudah tersayat layaknya dicabik sembilu. Ia segera menekan tetikusnya untuk keluar dari jendela pencarian. Matanya terasa sangat panas sepanas hati yang bisa mendidihkan darahnya.

"Dokter, pasiennya nunggu. Udah pada gelisah itu di depan." Siska menyadarkan lamunan Nora yang melalang buana.

"Ah, iya, Mbak. Bentar." Tangan Nora bergetar membuka halaman e-rekam medis.

"Dokter kenapa? Saya perhatiin Dokter kaya nggak konsen gitu." Siska tampak khawatir dengan Nora yang sering banyak termenung.

Nora mendongak lalu memberikan cengiran untuk meyakinkan perawatnya bahwa ia baik-baik saja. Setelahnya wanita itu mengarahkan kursor ke bagian pemanggil pasien lalu menekan mouse hingga gema suara perempuan yang memanggil pasien terdengar di seluruh ruang tunggu lantai empat gedung D.

Beruntung Nora berotak cerdas dan gampang fokus sehingga ketujuh pasien telah ia periksa dengan saksama. Begitu selesai mengerjakan pasien, wanita itu langsung pulang karena sore nanti masih ada pekerjaan yang bisa mengalihkan perhatian dari rasa sakit hatinya.

Saat Nora masuk ke dalam rumah, Ambar ada di ruang makan sedang memotong buah untuk membuat rujak. Menghidui aroma segar buah-buahan yang terdiri dari mentimun, nanas, pepaya mengkal, mangga muda, kedondong, dan bengkuang, Nora langsung mencuci tangan di wastafel ruang makan. Ia lantas ikut duduk di sebelah Ambar yang hanya tersenyum melihat putrinya menanti dengan ekspresi tak sabar rujak buah yang sedang ia potong-potong.

Melihat ada satu potong mentimun, Nora langsung mengambil, dan mencolek sambal gula merah yang pedas. Suara renyah kunyahannya berlomba dengan dentang jarum jam yang berbunyu dua kali.

"Makan dulu, Ra. Kamu makin kurus tuh." Ambar melirik anaknya yang kini menikmati mangga muda.

"Entarlah, Ma. Belum laper." Bibir Nora beberapa kali mengerucut sambil meniup uap pedas.

"Kamu bisa sakit perut!" Ambar meletakkan pisau yang ia genggam di permukaan kaca meja.

Mata Nora yang memerah dan bulir bening yang meleleh di pipinya menjadi perhatian Ambar. Ia mencolek sambal buatannya sambil mengernyit saat berpikir sepedas apakah sambalnya sampai Nora menangis.

"Ra, kamu kenapa? Sambel Mama nggak pedes, tapi kamu kepedesannya kaya makan boncabe level 50." Wanita itu mendorong piring berisi buah ke tengah meja lalu memutar badannya sembilan puluh derajat untuk memindai Nora yang sudah  memasukkan kedondong di mulutnya.

Gigitan kedondong itu tertahan. Nora menurunkan kembali potongan buah berserabut itu dan memandang nanar ujung yang sudah berselimut krim sambal cokelat.

"Aku kangen Adrien, Ma. Gimana dong?" Nora menundukkan kepalanya seraya menggigit bibir. Bahunya sudah naik turun karena isakan yang tertahan.

Ambar mendekatkan kursinya lalu memeluk sang putri yang mulai menangis. "Ya ampun, Ngger. Lupakan Adrien. Dia udah mau nikah. Kamu yang cari masalah dengan hatimu. Ada Hosea yang menyayangimu tapi malah diputus."

"Apa aku harus membohongi hatiku, Ma? Membohongi orang lain itu mudah, tapi mendustai hati sendiri yang susah. Lagian aku nggak mau Hosea terluka karena aku setengah hati." Wajah Nora sudah bersimbah air mata saat Ambar mengurai pelukannya dan mengangkat kepala sang putri.

"Terus apa rencanamu? Mama sedih lihat kamu seperti ini." Ambar ikut menitikkan air mata.

"Aku juga nggak tahu, Ma. Seandainya manusia tahu jodohnya, pasti nggak akan ada hati yang terluka." Nora menarik tisu dari atas meja makan dan menyeka matanya perlahan.

"Kamu yakin Adrien jodohmu?" Tiba-tiba Ambar menatap serius wajah Nora. Ia bahkan memegang kedua lengan putrinya dengan erat.

"Aku nggak ngerti, Ma! Dia mau nikah, berarti dia jodoh cewek cantik itu!" Nora sedikit menaikkan volume suaranya saking frustasi.

Ambar tiba-tiba tersenyum miring. "Mama kemarin cerita tentang kamu ke Tante Livia. Tante Livia akhirnya cerita tentang kamu ke Adrien. Kamu tahu, Ra? Ternyata, Adrien dan Bora sepakat putus karena memang nggak saling suka."

"Tapi, di berita mereka mau menikah?"

"Iya. Tapi hati mereka berontak. Tante Livia sampai sakit saat melihat Adrien sepertinya susah bahagia." Ambar berdecak kala ikut merasakan kesedihan sahabatnya.

Mata Nora membulat saat asa terbuka. Namun, mengingat Bora berada di sisi Adrien saat tidur dan mengangkat panggilannya, harapannya kembali meredup.

"Kalau kamu yakin, susullah Adrien ke Yogya. Kalau kalian memang saling cinta, perjuangkan cinta kalian. Walau rezeki sudah ditakar dan jodoh tidak akan tertukar, tetapi kalian tetap harus berikhtiar. Cinta itu ibarat benih yang jatuh. Tanah adalah hati kita. Ketika benih itu jatuh, kalau kita tidak merawat akan mati terhempas angin. Tapi kalau saat awal benih itu tumbuh, kita rawat dengan baik, benih akan mengakar dengan kuat dan tumbuh ke permukaan tanah. Selanjutnya, apa kita biarkan saja benih yang sudah tumbuh itu? Nggak kan? Kita tetap merawatnya, menyiraminya, dan memberi pupuk agar bisa mekar dan berkembang lalu menghasilkan buah. Seperti itulah cinta. Benih yang jatuh itu seupama kita jatuh cinta. Di saat kita jatuh cinta, kadang cinta bisa hilang karena tidak dirawat. Namun, saat cinta sudah mengakar, dia akan tumbuh. Bila terus dirawat dan disirami dengan perhatian, niscaya cinta kalian akan semakin tumbuh dan berkembang dan pada akhirnya menghasil buah cinta."

Nora hanya termangu mendengar nasihat  mamanya. Ambar tetap tersenyum walau batinnya ikut sedih. "Ra, berjuanglah untuk cinta yang telah mengakar dan tumbuh di hati. Lindungilah cinta kalian yang sedang diombang ambingkan badai."

"Adrien … melepasku …."

"Cari jawabnya kenapa dia melepasmu! Bukan saatnya lagi wanita hanya menunggu. Antena laki-laki itu kadang susah nangkep sinyal karena tertutup kabut ketidak pekaan. Sudah saatnya wanita bergerak, memperjuangkan cintanya. Dengar, Ra, jodoh memang tidak akan ke mana, tapi kalau kalian bungkam, jodoh akan sirna. Berjuanglah sampai janur kuning melengkung, atau jodohmu akan ditikung!" tandas Ambar memberi dukungan.

Nora menghela napas panjang. "Berarti, aku boleh menyusul ke Yogya, Ma?"

Ambar mengangguk mantap.

***
Sore itu juga Nora berangkat ke Yogyakarta. Walau Yasa awalnya melarang, tetapi Ambar memberi pengertian pada suaminya. Dengan restu orangtuanya, akhirnya Nora berangkat dengan menyetir mobil sendiri dari Malang menuju Yogyakarta. Perjalanan panjang selama 6 jam lebih ditempuh oleh Nora dengan harapan bisa memperjuangkan cintanya. 

Begitu sampai di depan hotel, ia memberi tahu sang mama yang tidak bisa tidur karena menanti anaknya tiba di tujuan dengan selamat.

Berbekal nomor hotel 2020, Nora pun langsung masuk ke dalam hotel dan menuju lift. Dengan jantung yang berdebar kencang, wanita itu bergegas masuk ke dalam bilik kecil yang akan membawanya ke lantai dua puluh.

Begitu keluar dari lift, Nora berhenti sebentar untuk menentukan akan berbelok ke kanan atau ke kiri. Melihat kamar nomor dua puluh berada di lorong sebelah kanan, akhirnya dia melangkah ke kanan sambil membaca satu per satu nomor yang tertera di pintu kamar.

Nomor genap ada di sebelah kanannya dan nomor ganjil ada di sebelah kirinya. Tentu saja, Nora menoleh ke kanan dan mengurutkan nomor sampai tiba di pintu dengan nomor 2020.

Jantung Nora semakin berdentum layaknya genderang perang. Wanita itu kesusahan menelan ludahnya sendiri saat ia berdiri di depan pintu kamar nomor 2020. Wanita itu menggigit bibir sambil menatap nanar pintu kamar cokelat tua yang tertutup. Dengan menghela napas panjang, ia menekan bel kamar.

Dada Nora semakin kembang kempis kala menanti pintu terbuka. Jarinya bertaut gelisah dengan gerakan kepala memandang ke kanan dan ke kiri dengan tidak fokus. Ketika terdengar suara handel yang tertekan, daun pintu perlahan terbuka. Senyuman pun mengembang di wajah Nora dengan detak jantung yang semakin membuncah.

Namun, senyum itu pudar saat wajah itu menyembul dari balik pintu dan menyapanya.

💕Dee_ane💕

Siapa ya wajah di balik pintu itu?

Nora yang lagi patah hati.

Demi menata hati, Adrien pindah ke Yogya.

Promo lagi

Blurb:
Gandhes Dewayani sangat bahagia karena akhirnya ia bisa menikah dengan kekasih yang sangat ia sayangi. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama karena setelah usai mengucap janji nikah, di luar gereja seorang anak laki-laki datang dan memanggil suaminya 'Papa'.

Terang saja Gandhes terpukul. Kekasih yang dianggapnya setia itu ternyata mempunyai anak dari wanita lain. Parahnya ibu anak itu adalah sahabatnya yang lama tak muncul dan menjadi pasiennya sendiri.

Di saat pernikahannya di ujung tanduk, panggilan kemanusiaan menanti untuk menyembuhkan ibu dari anak suaminya. Pilihan sulit berada di hadapannya.  Mampukah ia bangkit dari krisis kepercayaan dan mengutamakan panggilan menjadi seorang dokter profesional? 

"Jadi, siapa yang menikung? Aku atau dia?" 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro