☘43. Pulang ke Surabaya☘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers, malam ini apdet lagi ya.  Semoga temen-temen readers selalu sehat dan bisa terhibur dengan cerita-cerita haluku, sehingga bisa nambah imun. Jangan lupa komen dan taburan bintangnya, ya. Happy reading😊

☘☘☘

Setelah sarapan di kamar, dengan menu telur dadar dan nasi goreng buatan chef resto hotel itu, Adrien mandi karena harus bergegas berangkat ke kantornya. Awalnya Nora melarang, karena lelaki itu masih butuh istirahat, tapi tetap saja, kekasih dokter mata itu kukuh dengan pendiriannya.

“Cherrie, aku harus mendelegasikan wewenang ke Pak Bambang selama aku pergi.” Adrien menyisir rambutnya dengan pomade sambil menatap bayangan dirinya di dalam cermin.

“Kamu sekarang taat aturan banget, Darling.” Nora mencebik. Bibirnya sudah mencep dengan mata yang terpesona dengan tampilan Adrien pagi ini. Baru kali ini, jantung Nora berdetak kencang saat menyadari pesona sang kekasih. Kemeja biru muda dengan dasi warna biru tua dan celana kain sewarna dengan dasinya, membuat Adrien serasa berada di awang-awang. Belum lagi wajah yang segar dan rambut lurus yang klimis, sungguh sangat indah dipandang.

Adrien melirik Nora sambil menyemprotkan parfum sehingga aroma black musk yang jantan menguar di seluruh ruangan. Lelaki itu terkekeh dan setelah meletakkan kembali parfumnya, ia berbalik lalu menyentil ujung hidung mancung Nora.

“Aku nggak bisa seenaknya, Cherrie. Aku di sini hanyalah karyawan. Papa bisa memotong gajiku. Dengan apa nanti aku menghidupimu? Mana bisa kita makan cinta.” Adrien menarik pipi Nora hingga wanita itu meringis.

“Ih, Darling! Sakit tahu!” Bibir Nora yang sudah maju beberapa senti ke depan itu mencap-mencep. Tangannya menepis cubitan gemas Adrien yang membuat pipinya memerah. 

Adrien semakin terkekeh. “Ada beberapa dokumen yang harus aku tanda tangani. Daripada kamu bosen nungguin, kamu bisa kok spa, nge-gym, atau mau berenang. Aku udah kasih pengumuman ke grup chat Hotel agar melayani kamu layaknya ratu.”

Mata Nora berkaca-kaca saat Adrien melancarkan rayuan gombalnya. Hatinya mencair tatkala melihat kehangatan cinta yang terpancar dari mata kekasihnya. Ia mendongak masih dengan tangan yang merapikan letak dasi Adrien. 

“Ah, bener-bener pengin halalin kamu biar ada yang masangin dasi,” seloroh Adrien yang justru disambut bahu bergetar Nora. “Lha kok malah nangis?”

Nora memukul dada bidang Adrien. “Kamu kan sebenarnya nggak mau menjadi pewaris Livian.”

“Demi kamu, aku rela, Darling!” Adrien tersenyum sangat manis.

Nora mendengkus lalu menarik dasi Adrien. Dengan berjinjit, wanita itu mendaratkan bibirnya di bibir merah Adrien. 

Mata Adrien  membulat, tapi ia tersenyum tipis di sela ciuman Nora. Ia melumat bibir mungil yang sangat dirindukannya dengan sesekali memainkan keahliannya beradu lidah. Sungguh, perang otot pencecap itu mampu mendidihkan darahnya.

Adrien menyudahi pagutan bibir mereka. Lelaki itu mendorong Nora, lantas menempelkan dahinya di kening Nora yang sama-sama terengahnya.

“Ah, penginnya peluk kamu terus.’ Kini ganti Adrien yang mencebik. Rasanya ia ingin melucuti pakaian yang dikenakan Nora saat itu juga. Tapi ia harus bertahan. 

Bukan karena janjinya pada Nora, tetapi dia sudah berjanji pada Tuhan tidak akan menjamah Nora melebihi dari ciuman. Mungkin sebaiknya, dia harus lekas ke kantor, supaya tidak tergoda dengan tubuh sintal Nora.

Sementara itu, mendengar lisan Adrien, pipi Nora bersemburat merah. Bibirnya mengerucutnya menyembunyikan senyum bahagia. “Sana, cepet berangkat, biar kita nggak kemalaman sampai Surabaya.” 

Nora mengambilkan jas biru tua dan memakaikannya pada Adrien. Setelah meyakinkan tampilan Adrien sempurna, Nora berkata, “Cakep, Darlingku!”

Kini, ganti pipi Adrien yang merona. Selama enam tahun berpacaran, ia tidak pernah mendengar pujian dari Nora. Dibanjiri dengan kata-kata manis dari sang kekasih, tentu saja membuat dada lelaki itu terasa sesak oleh kebahagiaan. Walaupun ia tahu, perjuangan mereka belum berakhir.

***
Karena banyak pekerjaan yang tertunda selama dua hari, Adrien masih tertahan di meeting room. Beberapa kali ia mendapat pesan dari Nora yang mengingatkannya agar tidak terlambat makan.  Tentu saja, lelaki itu tidak bisa menyembunyikan senyum ketika rapat kecil bersama anak buahnya.

“OK, meeting hari ini selesai. Saya akan pulang Minggu malam. Tolong, Pak Bambang handle bila ada sesuatu. Tapi, kalau memang tidak bisa diselesaikan, bisa menghubungi saya.” Adrien menegakkan dua bendel kertas bahan meeting dan mengetukkan ke permukaan meja kaca untuk merapikannya. 

Saat Adrien akan beranjak dari duduknya, gawai yang ada di atas meja bergetar. Ia menyunggingkan senyum kala membaca pop-up pesan masuk. Sambil berjalan keluar, ia membuka DM dari Nora.

[Nora]
Darling, udah selesaikah meetingnya? Jangan lupa makan.
Send : 13.04

Adrien melipat bibir merahnya. Ia sengaja tidak membalas pesan Nora karena berpikir sebentar lagi mereka akan bertemu.

[Nora]
Darling, kok nggak bales pesanku?😭
Send : 13.06

Adrien semakin mengerucut bibirnya. Wajahnya merona karena kebahagiaan yang membuncah. Kapan lagi diteror dokter mata kesayangannya? Kalau wanita itu sudah bekerja di rumah sakit, pasti tidak akan ada lagi pesan bertubi seperti hari ini.

[Nora]
Kamu nggak pingsan kan, Darling??
Send : 13.07

Adrien terkekeh ringan ketika membaca pesan-pesan itu. Dia tidak sabar bertemu Nora dan memeluknya.

Tepat pukul 16. 15, Adrien masuk ke dalam kamar dan mendapati Nora yang duduk dengan menyandarkan punggung di sandaran ranjang sambil menonton televisi. Wanita itu hanya menyipitkan mata, sementara wajahnya sudah sangat kusut.

"Ih, pesenku nggak dibales! Nyebelin banget sih?!" Wajah memberengut Nora terlihat menggemaskan bagi Adrien. 

Lelaki itu langsung melepas jas dan mengendurkan dasi serta kancing paling atas, lantas naik ke ranjang. Ia duduk di sebelah Nora dan menyelipkan tangannya di pinggang Nora kemudian menarik bahu kiri perempuan itu hingga wajah mereka berhadapan.

"Tahu nggak? Kamu kalau merengut gini, bikin gemes. Pengin nguyel-nguyel dan ngadonin." Adrien memasang wajah menggoda.

Nora membuang muka, dan mendorong wajah Adrien yang ingin mendaratkan bibirnya di lehernya. "Darling, emang bener kata Bora kamu pengin hamilin aku?"

Mendengarkan pertanyaan Nora, Adrien lalu menegakkan tubuh dengan kernyitan alis. "Iya. Kenapa?"

Nora menggeram. "Ish! Jahat banget sih! Pantes sukanya nggak pake pengaman!"

Cubitan Nora di perut kotak-kotak Adrien itu membuatnya memekik. "Arrgh, sakit, Cherrie! Aku dulu buntu banget gimana dapet restu Papa. Tahu sendiri kan, papaku kaya gimana?"

Nora hanya mendesah sambil menatap Adrien yang kini sudah menjadi General Manager d' Amore Hotel Yogyakarta, yang merupakan bagian dari Livian Group. 

"Kata Tante Livia, kamu bikin perjanjian supaya bisa dapat restu Om Antoinne?" Kedua alis Nora terangkat menuntut jawaban sebenarnya dari lelaki berdarah Perancis itu.

"Mama ember banget sih?" Adrien berdecak kencang dan ikut menyandarkan punggungnya. Tangannya bersedekap dengan raut kesal.

"Kenapa nggak bilang sih?" Nora menjadi merasa bersalah karena cerita mama Adrien itu benar adanya.

"Karena kamu pasti nggak bakal setuju. Trus merasa bersalah … ujung-ujungnya masang tampang jelek kayak gini." Adrien menyeka butiran bening di pipi Nora.

Nora semakin terisak. Memang benar tebakan lelaki itu. Bila ia tahu Adrien menyerah pada passionnya demi mendapatkan restu sang papa, Nora akan betul-betul merasa sangat bersalah.

Mendengar isakan kecil meluncur dari bibir Nora, Adrien tersenyum manis sambil mengecup lembut bibirnya. "Ayo, berangkat. Kalau nggak, aku yakin, aku bakal nguleni kamu dan kita nggak bakal gerak dari kasur."

Pipi Nora memerah. Adrien selalu bergurau mesum tapi entah kenapa Nora justru menyukainya. "Itu nafsu, Darling. Bukan cinta."

"Cinta dan nafsu batasnya tipis, Ma Cherrie. Tapi kamu bisa merasakan apa itu cinta atau hanya nafsu aja, dari tindakanku sehari-hari kan?" kilah Adrien.

"Iya, sih. Tapi apa yang pernah kita lakuin itu salah besar," jawab Nora lirih.

"Iya. Maaf ...." Adrien menggenggam tangan mungil Nora dan mengecupnya.

Kecupan Adrien itu seolah memberikan isyarat betapa Adrien sangat mencintainya hingga rela mengorbankan karirnya. Nora menggeleng. "Harusnya aku yang minta maaf. Nggak menghargai perasaanmu, padahal kamu udah berkorban buat aku."

Adrien meletakkan telunjuknya di bibir Nora, sambil berdesis. "Cherrie, asal kamu tahu, aku belum menyerah dengan karir patiseriku. Aku membuat brand 'Nolen', Nora Bollen, buat pisang bolen kesukaanmu. Seperti Papa yang udah membuat perusahaan Livian Group karena cintanya Papa sama Mama. Livia–Antoine."

Nora menangkup telunjuk Adrien dan menurunkannya. Matanya tetap memancarkan kesenduan. "Tapi, kamu malah jadi sakit. Pagi sampai sore kamu mengurusi Hotel. Trus sore kamu bikin bolen."

Adrien melengkungkan senyum manis hingga mata sipit yang diwariskan oleh darah Tionghoa sang mama tinggal segaris. "Aku membuat itu, karena rindu sama kamu, Cherrie. Aku berharap, semua orang bisa merasakan cinta saat memakan pastryku."

Air mata Nora yang sedari tadi menggenang di permukaan bola matanya akhirnya gugur saat mengerjap. "Apa aku pantes dapat cintamu yang besar itu, Darling?"

"Pantes banget, Cherrie. Karena kamu selalu menghiburku di saat aku terpuruk," jawab Adrien seraya menyeka pipi Nora dan memajukan wajahnya.

Lagi-lagi jantung Nora berdegup kencang. "Ayo, berangkat. Sudah siang."

Nora memutar badan untuk turun dari tempat tidur, tetapi Adrien menariknya hingga tubuh wanita itu terkungkung di bawah kekekaran tubuh kekasihnya.

Wajah mereka berhadapan. Pandangan mereka sama-sama mendamba. Adrien mengecup kening Nora yang menguarkan wangi bunga dari shampo yang ia kenakan pagi tadi. Lelaki itu memejamkan matanya sambil menghirup dalam-dalam aroma feminin yang selalu menyentil naluri purbanya.

"Ayo, berangkat." Suara Nora bergetar karena jantungnya berdentum seperti genderang perang. Nora yakin bila mereka tidak menyudahi skinship ini, janji yang mereka buat tinggallah isapan jempol saja. Dan, bila itu terjadi, Nora tak yakin bisa mengendalikan diri. Padahal beberapa hari ini adalah masa suburnya, yang riskan terjadi pembuahan bila mereka melakukan tanpa pengaman.

"Darling, ayo berangkat." Gelenyar yang merambat di tulang belakangnya mulai mengacaukan reaksi tubuh Nora. 

"Ya Tuhan, kenapa aku bisa sayang banget sama kamu sejak kita masih kecil, Cherrie?"

Dahi Nora mengerut sembari menelan ludah kasar. Satu lagi kenyataan yang baru ia tahu, bahwa Adrien sangat menyayanginya sejak mereka kecil.

"Darling?"

Adrien mengangkat badan dengan kedua lengan lurusnya menumpu di sebelah bahu Nora. Ia menarik bibir canggung karena ada bagian tubuhnya yang menggeliat ingin dipuaskan. Tapi, lelaki itu hanya mengembuskan udara dari mulutnya untuk mengusir hawa nafsu yang mulai menggerogoti nalarnya.

"Ayo, berangkat! Setan udah mbisikin aku supaya berbuat dosa." Lelaki itu pun meloncat turun dan masuk ke kamar mandi untuk menurunkan hasrat yang meletup.

Nora mengerti Adrien menahan keinginannya untuk menyentuhnya. Dia merasakan sesuatu yang keras saat lelaki itu nenindihnya. Mendengar suara air yang bergemericik, Nora akhirnya turun untuk bersiap pulang.

***

Pada pukul 19.25, mobil hatchback biru itu memasuki halaman rumah keluarga Bollen. Begitu mobil terparkir manis, mereka turun dari mobil. Adrien tahu, sejak memasuki tol Nganjuk, kegelisahan Nora tak mampu ia sembunyikan lagi. Dan kini, wajah Nora terlihat memutih seperti tembok rumahnya.

"Cherrie, ayo!" Adrien menggerakkan kepalanya sembari mengulurkan tangan kirinya.

Nora menggigit bibir sambil memainkan kain ujung blusnya. Ia berjalan pelan menghampiri Adrien.

"Aduh, belum apa-apa udah keringetan gini." Adrien merogoh sapu tangan dari sakunya dan menyeka dahi wanita di hadapannya.

"Aku takut … kamu dipukulin lagi. Selama ini kamu nggak pernah bales, Darling." Suara Nora mulai bergetar.

"Ya, gimana mau bales? Sekali tonjok, aku bisa nggak punya Papa," ujar pemuda itu sambil menata poni Nora. "Ayo!"

Adrien menggandeng tangan Nora yang juga sedingin tangannya. Walau ia tampak tenang, tetap saja jantungnya berdetak cepat saat hendak menghadapi papanya. Ia yakin, papanya akan marah besar.

Keduanya masuk dan langsung menuju ke ruang makan karena terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring.

"Pa!" sapa Adrien dengan suara serak begitu ia berada di ruang makan. Ia merasa tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.

Antoinne menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Adrien serta Nora. Melihat tatapan tajam lelaki berumur lebih setengah abad itu, Nora beringsut di balik raga kekar kekasihnya.

"Kamu sudah datang, Adri. Ayo, duduk! Ajak Nora duduk."

Jakun Adrien naik turun. Bola matanya bergulir memindai kondisi di ruang makan itu. Semua anggota keluarga lengkap ada di situ. 

Alis Adrien mengernyit dan berpikir apakah sang papa menunggu kedatangannya dan Nora untuk menghadiahinya hukuman?

💕Dee_ane💕

Nora jadi gampang mewek kena gombalan receh Adrien.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro