PART 35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


PART 35

Dibanding kemarin, hari ini terasa berjalan dengan lambat. Bintang baru pulang di malam hari karena selain menemani Julie berobat, dia menunggu ponselnya yang diperbaiki sampai normal kembali.

Sejak di kosan Julie, Bintang tak pernah tenang dan tak sabar untuk menghubungi Baskara. Kegelisahan terus saja menghampirinya. Muncul pemikiran untuk bertemu langsung, tetapi tak ada gunanya jika ponselnya tak bisa menyala.

Setelah tiba di rumah, Bintang langsung mengisi baterai ponselnya dan berbaring di sofa depan televisi yang menyala. Kedua kelopak matanya terasa berat dan dia tak bisa menahannya hingga akhirnya tertidur.

".... kecelakaan pesawat ...."

Bintang bangun dan langsung duduk karena terkejut mendengar suara televisi. Jantungnya berdegup kencang. Dia pikir yang barusan di dengarnya adalah mimpi, tetapi nyata di depan matanya. Sebuah acara televisi sedang membawakan berita tentang kecelakaan pesawat.

Bintang mengambil remote dan segera mematikan televisi itu. Dia tak ingin mendengar sesuatu yang hanya akan membuatnya khawatir berlebihan, yang berdampak pada rasa sakit di hati dan kegelisahan yang membuatnya bahkan sulit untuk berjalan dengan baik sekarang.

Dipegangnya kepalanya dengan pelan sembari menoleh ke dalam kamar yang pintunya terbuka. Dia beranjak dari ruangan tengah menuju kamarnya dan segera menyalakan ponsel setelah memastikan daya baterai ponselnya cukup.

Shareen: aku bakalan pulang besok. kunci semuanya. jendela, pintu. kalau ada yang datang, lihat dulu di jendela orangnya siapa. kalau kamu nggak kenal, hubungi aku cepat okay?

Bintang: Siap, kakak

Pesan yang Shareen kirim sekitar dua jam lalu dan Bintang baru membalasnya sekarang.

Bintang menarik tangannya dari rambutnya dan membuka pesan Baskara yang sempat dia blokir.

Baskara: maaf karena udah lukain julie. gue nggak nyangka kalau ancaman gue ke julie ngebuat lo semarah itu ke gue

Baskara: kemarin gue ngasih julie peringatan. gue pikir lo nggak akan sampai sedih karena itu. jadi gue minta maaf. gue juga bakalan minta maaf sama julie kalau udah pulang dan ketemu langsung.

Sekarang terjawab mengapa Baskara diam saja ketika Bintang bertanya. Bintang berbaring di tempat tidurnya dan membaca pesan Baskara yang lain. Masih banyak. Ada terlalu banyak pesan sampai Bintang merasakan kegelisahan yang lebih dalam.

Baskara: besok gue bakalan pergi. bukannya gue mau lari dari masalah, tapi emang kondisinya pas banget kayak gini. adik gue minta gue untuk nyusul, gue mikir kali ini harus nurutin dia karena selama ini gue hidup seolah nggak punya keluarga.

Baskara: gue udah janji sama dia buat nyusul, jadi gue mohon lo masih bisa nerima maaf gue kalau kita ketemu lagi nanti

Baskara: besok gue bakalan pergi, tadinya gue pengin ngajak lo ikut tapi sepertinya lo nggak akan terima tiket dari gue

Baskara: ini jadwal berangkat gue. gue tahu lo gak akan nganter sih, tapi gapapa

Baskara mengirim dokumen.

Bintang membuka berkas itu. File yang berisi tiket pesawat. Bintang terbangun dan menatap ke ruangan di mana TV sedang tak menyala, lalu dia menatap ponselnya lagi dan menggulirnya dengan tangan kaku. Seharusnya Baskara masih di dalam perjalanan pesawat.

Tidak. Tidak ada kaitannya. Tak ingin melihat berita saat ini dan lebih memilih untuk lanjut membaca pesan dari Baskara yang masuk hari ini.

Baskara: lo masih nggak bisa dihubungi

Baskara: hari ini gue bakalan pergi

Baskara: gue ke rumah lo dan nggak ada siapa-siapa, jadi gue mau langsung ke bandara

Baskara: gue pengin lihat lo untuk terakhir kali

Seolah kalimat itu adalah sebuah pertanda.

Bintang menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, menutup kedua matanya dengan lengan, dan membuang ponselnya ke samping.

Dia tidak ingin membaca pesan-pesan Baskara lagi karena tak ingin mengetahui sesuatu yang buruk—jika memang itu terjadi—yang hanya akan melukai hatinya. Namun, dia juga tidak bisa mengelak untuk ingin mengetahui pesan Baskara lainnya.

Baskara: walaupun gue bakalan balik beberapa hari lagi sih

Baskara: sepertinya lo lagi nggak baik-baik aja. dan kayaknya ngelihat gue juga cuma akan ngebuat lo emosi, ya?

Baskara: maaf karena gue nyebelin nge-chat terus. dari kemarin gue nggak tenang

Baskara: pesawatnya udah mau berangkat. gue harus matiin hp

Baskara: gue bakalan hubungin lo lagi kalau gue udah sampai. gue mungkin nggak hubungin lo kalau lagi transit

Baskara: sampai ketemu lagi, Bintang.

Tidak ada pesan lagi setelah itu.

Bintang kesal pada dirinya sendiri. Kesal dengan keadaan.

"Bahkan kalau lo mati juga gue nggak akan mau peduli lagi."

Kata-kata Bintang hari itu terlalu jahat. Bintang berusaha berdiri dan berhenti di dekat sofa depan televisi. Dia menyalakan televisi dan siaran kembali memberitakan hal yang sama.

Kecelakaan pesawat.

Nomor penerbangan yang tertera di berita sama dengan nomor penerbangan pada tiket Baskara.

***

Bintang tak bisa menangis. Hanya ada perasaan sesak di hatinya dan itu lebih membuatnya tak nyaman. Terkadang Bintang berpikir apakah dia sedang terkena serangan jantung? Atau dia mengalami sesak napas seperti asma atau semacamnya?

Sudah satu jam sejak Bintang duduk di depan mesin waktu yang sempat dia masuki. Dia kembali keluar dari sana membaca sebuah peringatan untuk tidak memakai mesin waktu dalam keadaan pikiran sedang kacau. Namun, bagaimana? Pikirannya sedang kacau sekarang bahkan jika dia berusaha untuk berpikir jernih. Dalam pikirannya hanya selalu menyalahkan diri sendiri.

Dia sudah tahu keadaan ini akan terjadi, tetapi tak menyangka perasaannya akan sekacau ini.

Bintang sudah memastikan berkali-kali nomor penerbangan Baskara dan menyococokkannya dengan berita kecelakaan pesawat yang beredar. Tak ada siapa pun yang menghubunginya terkait Baskara. Itu karena hanya dia yang tahu tentang Baskara yang sedang dalam perjalanan ke luar negeri selain keluarga Baskara.

Apakah ada cara untuk mengubah kejadian ini? Bintang sempat menertawakan pertanyaannya sendiri. Bukankah caranya ada di depan matanya sekarang? Bintang akhirnya berdiri dan memasuki ruang kecil itu tanpa memedulikan peringatan yang ada.

Lagipula apa pun yang akan dia lakukan sudah berjalan dengan semestinya.

Tak akan ada yang berubah karena apa pun yang dia lakukan, itulah yang sebenarnya terjadi.

***

BRAK

"BUKA WOI OYEEYE HUARI!"

"HARI! HARI RAYA! PINTUNYA BUKA DONG! NGGAK MAU NAMBAH?"

"Udah dia lagi tidur jangan diganggu."

"Ahahaha mana dia? Si Sialan bawa cewek? Si siapa? Aduh!"

"Ah? Oh? Ah? Yang kenalan di klub? Masih di kamar lagi asyik berdua kaliii."

"SATU BOTOL LAGI!"

"HOEEEK."

"JIJIK!"

"HARI BAKALAN MARAH! BERSIHIN BERSIHIN!!!"

"HOEEEK!"

"HARIII! ASKA MUNTAH! CEPAT BUKA PINTUNYA! MARAHIN DIA MARAHIN!"

BRAK

BRAK

BRAK

Berisik! Pejaman mata Bintang terbuka perlahan setelah mendengar teriakan beberapa laki-laki yang tak begitu jelas dia dengar. Bintang kembali memejamkan mata karena rasa sakit di kepalanya. Refleks, tangannya menyentuh kepala dan perlahan kelopak matanya kembali terbuka.

Samar-samar sepasang matanya menangkap dada telanjang seorang cowok. Bintang tertegun untuk sesaat. Wajahnya memerah sampai telinga, tetapi tetap memandang dada telanjang cowok itu.

Bintang tak bisa bersuara karena masih mencoba untuk mengingat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya ditambah melihat hal aneh di depannya sampai membuatnya tak berkutik.

Apa dia sedang bermimpi?

Bintang menaikkan pandangannya untuk melihat wajah asing yang sedang tertidur lelap. Pandangan Bintang turun melihat cowok itu tak memakai baju, hanya mengenakan celana jeans hitam yang ikat pinggangnya tak terpasang dengan sempurna. Cowok itu tertidur di atas selimut yang tak dia gunakan sama sekali.

Bintang mengernyit heran di tengah kesadarannya yang belum terkumpul sempurna. Dia memandangi wajah yang sedang terlelap di sampingnya itu. Ada perasaan seperti hati yang terluka, tetapi Bintang tak tahu apa sebabnya.

Kakak ini ... siapa?

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro