PART 53

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


PART 53

"TUNGGU!" Bintang menarik tangannya dari bibir Baskara, lalu mendorongnya. Baskara berhasil dia singkirkan dan Bintang segera turun dari tempat tidur, berlari ke sudut ruang, dan memandang Baskara dengan tatapan horor.

"LO GILA, YA?" Bintang mengambil apa pun di sekitarnya. Dia berhasil memegang sebuah lampu belajar sampai kabelnya terayun di lantai. "JANGAN MACEM-MACEM!"

Baskara ikut turun dari tempat tidurnya dan mendekati Bintang. Dia berhenti dan memegang kepalanya yang pusing.

"Lo nggak lagi mimpi!" teriaknya, lalu berlari keluar dari kamar itu dan terjatuh karena tersandung karpet. Dia berbalik dan Baskara langsung memeluknya hingga mereka jatuh bersamaan ke lantai, membuat punggung Bintang sakit juga kesusahan karena bobot tubuh Baskara yang berat.

Baskara tak melakukan apa pun selain memeluknya. Bintang bisa merasakan tubuh Baskara yang semakin hangat. Tangannya menyentuh dahi Baskara dan terkejut oleh suhunya yang semakin tinggi. Dia mendorong Baskara dengan susah payah dan berhasil menyingkirkan cowok itu, lalu duduk di atas karpet dan menaruh kepala Baskara di pahanya.

Baskara memejamkan mata dan gelisah. "Jangan pergi...," bisiknya sambil menggenggam tangan Bintang.

"Gue nggak akan pergi, kok." Bintang mengusap rambut Baskara. "Lo yang nggak boleh pergi."

Malam itu, Bintang menghabiskan waktu bersama Baskara dan berusaha untuk tidak tidur demi bisa melihat Baskara lebih lama.

***

"Selamat tinggal, Matahari."

Baskara membuka matanya dan langsung turun dari tempat tidur. Rasa pusing tiba-tiba membuatnya tak sampai berdiri dan berakhir duduk sambil menyeimbangkan tubuh. Apa yang dilakukannya itu hanya sesaat karena dia langsung berdiri untuk keluar dari kamar, lanjut untuk mencari Bintang.

Namun, tak ada Bintang. Bahkan jejaknya sekalipun. Dia membuka kamar kosong yang tak pernah dipakai, tetapi hanya berhenti di ambang pintu dan melihat ruangan yang hampa dan berakhir putus asa sambil menutup pintu kamar itu kembali.

Dia melihat waktu sudah terang di luar sana. Baskara memegang kepalanya yang pusing. Kaos bagian punggungnya basah oleh keringat. Dia membuka kaosnya, membuangnya ke lantai dengan sembarang, lalu duduk di sofa dan bersandar di sana sambil menatap langit-langit ruangan.

Napasnya memburu. Dia meneguk ludah sambil memejamkan mata.

Perasaan hampa itu muncul ketika dia merasa semua hal yang terasa nyata semalam itu adalah mimpi. Meski kehadiran Bintang terasa nyata, tetapi Baskara merasa ada banyak hal yang tak masuk akal. Tidak banyak yang tahu nama lainnya yang adalah Matahari, termasuk Bintang. Baskara belum pernah memberitahukan nama pemberian papa kandungnya itu kepada Bintang.

Mustahil Bintang memasuki apartemennya. Mustahil Bintang memakai bajunya yang sudah berbulan-bulan hilang entah ke mana. Mustahil Bintang memeluknya lebih dulu.

Semua tak masuk akal meski terasa nyata.

Satu-satunya hal masuk akal bahwa semua itu adalah mimpi.

Bel apartemennya berbunyi. Baskara bangkit sambil meremas rambutnya. Dia melihat Aska di kamera intekom, lalu membuka pintu untuk cowok itu.

"Gimana lo bisa naik?"

Aska melewati pintu sambil menenteng barang belanjaannya. "Gue bilang lo sakit. Jadi, dimudahin naik."

"Kenapa lo datang?" Baskara menutup pintu sambil mengusap lehernya yang kaku dengan tangan lain.

"Lo yang nge-chat gue, kan? Lo sakit. Ini aja gue terlambat karena baru bangun. Ehem. Sori, Bro," balas Aska sambil melirik Baskara takut-takut.

"Oh, chat?" bisik Baskara sambil memejamkan mata. Dia tak ingat, tetapi tak terlalu memusingkan hal itu dan berpikir bahwa dia mengirimkan pesan kepada Aska dalam keadaan tak sadar. "Lupain aja. Gue udah mendingan."

Percakapan dua cowok itu masih bisa Bintang dengar. Bintang sudah keluar dari persembunyiannya dan kini duduk di dekat pintu kamar sambil memeluk dirinya sendiri.

Bintang tak percaya tak bisa melihat Baskara lagi setelah ini. Meski telah diberi kesempatan satu malam bersama Baskara itu pun tak cukup 12 jam, tetapi Bintang bersyukur daripada tak bertemu Baskara sama sekali.

Walau nyatanya Bintang masih merasakan kehampaan. Dirinya merasa tak baik-baik saja karena Baskara tak ingat apa yang pernah terjadi.

***

Bintang terbangun mendengar suara khas dari pintu apartemen yang dibuka. Dia melihat sekeliling dan mengusap lehernya. Dia tak menyangka tertidur dengan posisi yang tak nyaman. Wajar bila dia ketiduran karena semalam belum tidur dengan baik. Bahkan ketika pagi tiba, dia masih duduk di samping Baskara hanya karena ingin melihat wajah Baskara untuk terakhir kalinya sebelum dia bersembunyi di kamar ini.

"Eh, eh. Lo langsung ke kamar aja. Gue kebelet mau ke kamar mandi."

Setelah mendengar suara Aska, Bintang langsung membelalak. Teringat momen yang pernah dia alami. Dia berjalan mundur dengan jantung berdegup kencang. Reaksi yang tak dapat dia hilangkan dari dalam dirinya karena sebentar lagi akan bertemu dengan dirinya sendiri. Bintang mondar-mandir beberapa saat hanya karena menunggu pintu kamar itu dibuka oleh dirinya sendiri di luar sana.

Pintu kamar itu terbuka perlahan. Bintang menutup mulutnya, menahan diri untuk tidak bersuara. Dia tertegun melihat dirinya sendiri.

Ini aneh.

Membuatnya merinding.

Dia memandang dirinya sendiri.

"Eh, kamarnya bukan di situ."

Suara Aska muncul. Tak berselang lama pintu kamar itu ditutup dengan keras. Bintang melepaskan tangannya dari bibir sambil mengarahkan tangannya ke dada dan merasakan degup jantungnya yang masih kencang.

Bintang memandang tangannya yang terasa aneh.

Atmosfer ini mirip sebelum dia menghilang di hadapan Baskara.

***

Bintang benar-benar kembali ke waktu yang seharusnya dan kembali duduk di depan mesin waktu. Merenung cukup lama sampai tak terasa waktu sudah berlalu berjam-jam.

Dia tak bisa menangis dan berkali-kali menarik napas dalam-dalam. Pasokan oksigen di paru-parunya terasa menipis. Bintang memejamkan matanya, berusaha untuk tegar dan menerima semua yang sudah terjadi.

Terdengar suara pintu yang baru saja dibuka, lalu suara langkah seseorang yang menuruni tangga. Bintang tak melihat siapa yang datang, tetapi dia sudah tahu itu adalah Shareen.

"Aku cariin kamu ternyata kamu di sini." Shareen berhenti di dekatnya, masih berdiri dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Sesuatu ... terjadi?"

Perempuan itu berjongkok di samping Bintang dan menangkup pipi Bintang. Sepasang mata Bintang menjelaskan semuanya.

"Kakak udah pulang?" tanya Bintang dengan suara serak. Dia tak menyangka matahari sudah bersinar di luar sana.

Shareen langsung menarik Bintang ke dalam pelukannya.

"Aku nggak bisa nangis. Mungkin karena waktu menjelajah waktu aku nangis terus jadi air mata aku kering?" bisik Bintang. "Rasanya sesak. Walaupun udah ketemu, rasanya masih sama kehilangan. Faktanya akan tetap sama. Baskara nggak ingat apa pun."

"Itu pilihan yang terbaik, Sayang," balas Shareen.

Bintang menjauh dan memandangi Shareen lekat-lekat. "Apa aku bisa pakai pakai sekali lagi untuk ubah masa lalu?"

"Mbak Ika selalu bilang semua yang terjadi pasti udah terjadi. Kalau pun kamu pakai sekali lagi, masa depan nggak ada yang bisa berubah. Apa yang kamu lakuin sudah seperti jalan takdir."

"Jadi, mau aku ketemu Baskara sampai ribuan kali pun, hasilnya akan tetap sama karena itu bagian dari takdir?"

"Ya," balas Shareen. "Itu yang Kakak tahu dari Mbak Ika dan almarhum Papa."

"Dia naik pesawat yang kecelakaan semalam."

Shareen mengelus lembut punggung Bintang. "Dia beneran naik pesawat?"

"Dia nggak bisa dihubungi. Dia bilang kalau transit nggak akan ngabarin. Nomor penerbangannya sama. Jam terbang dan semuanya. Sama."

Perempuan itu terdiam. Dia hanya teringat dengan apa yang pernah dia alami. Kesalahpahaman yang menjadi bagian dari takdir hidupnya saat menjelajah waktu. Akan tetapi, bagaimana pun takdirnya dan takdir Bintang tak sama. Dia tak bisa memberikan Bintang sebuah harapan karena jika tak sesuai dengan harapan maka hanya akan membuat Bintang menjadi lebih sakit hati.

"Aku nggak tahu harus gimana lagi," bisik Bintang dalam pelukan Shareen.

***

Bintang merasa pusing ketika bangun sore itu setelah tidur selama berjam-jam. Kamarnya gelap. Jendelanya tertutup rapat. Pintu kamar juga sengaja dia kunci agar Shareen tak masuk dan melihat kondisinya yang berantakan.

Dia belum berani melihat ponselnya yang terus berdering sampai akhirnya dia mematikan ponselnya hanya untuk menghindar dari informasi-informasi yang hanya akan membuatnya sedih. Dia sudah menebak bahwa notifikasi grup maupun personal yang datang itu berkaitan dengan Baskara. Belum 24 jam setelah mendengar berita pertama tentang pesawat kecelakaan, tetapi Bintang tahu berita akan cepat menyebar.

Bintang turun dari tempat tidur, berjalan ke jendela, lalu membukanya. Suasana sore yang hening. Terdengar suara kendaraan-kendaraan dari jauh. Langit gelap padahal masih pukul empat sore.

Bintang mengebuskan napasnya sambil menyandarkan kepala ke sisi ambang jendela. Pandangannya tertuju pada rerumputan di bawah sana. Lokasi yang pernah menjadi tempat Baskara terjatuh karena kabur lewat jendela kamarnya.

Waktu berjalan secepat itu. Semuanya pun tinggal kenangan.

Bintang merenung di sana selama belasan menit, lalu kembali ke tempat tidur dan membungkus dirinya dalam selimut. Diambilnya ponselnya yang tergeletak di dekat bantal. Bintang mengaktifkan kembali ponselnya. Jantungnya berdegup kencang lagi.

Beberapa detik setelah ponselnya kembali menyala, ada banyak notifikasi yang masuk. Baik grup maupun personal. Bintang menjauhkan ponselnya sesaat untuk mengumpulkan keberanian. Setelah merasa cukup tenang, dia mulai membaca pesan dari bawah yang semuanya dari anggota geng Barbieberry dan juga Julie.

Semakin Bintang membaca pesan-pesan itu, semakin Bintang dibuat mengernyit. Dia terbangun tiba-tiba dan menyalakan lampu, lalu kembali duduk di tempat tidurnya dan membaca semua pesan.

Diva: gue masih shock baskara anak artis yang itu

Acha: pantesan aja perawakannya gitu. bokap gue ngidolain euginia di masa muda dan patah hati karena ketahuan idolanya udah nikah. sama bule. berarti papanya baskara bule, dong?

Mae: Tapi suaminya yang sekarang bukan bule gak sih? sempet gue kepoin orangnya pengusaha lokal gitu loh tapi sukses

Acha: Wah parah parah. Di mana-mana tentang baskara muncul, terutama di info artis!

Muslimah: Ini dimulai dari mana sih? kok bisa heboh banget?

Bintang membaca hasil tangkapan layar yang dikirim oleh Acha ke dalam grup.

Penumpang yang batal menaiki pesawat tersebut adalah anak dari seorang aktris terkenal yang selama ini tak dipublikasikan.

Acha: Itu loh padahal tadi ada, sempet gue ss. Artikel lain katanya banyak yg ilang. Gara-gara euginia katanya keceplosan soal anaknya dan panik duluan dia pikir baskara ada dalam pesawat itu, padahal namanya gak terdaftar walaupun udah beli tiket. Semua dikuliti sama wartawan

Bintang memegang kepalanya yang berdenyut sakit. Tenggorokannya terasa kering. Dia membaca baik-baik pesan yang Acha kirim. "Namanya gak terdaftar...?"

Bukannya Baskara tak bisa dihubungi di waktu yang sama keluarnya berita itu?

Bintang terkejut mendengar suara bel rumah. Dia meneguk ludah dan harap-harap cemas dengan seseorang yang datang. Dia tak mau berharap lebih bahwa yang datang adalah Baskara, tetapi kakinya melangkah dengan lemas hingga tiba di dekat pintu.

Bahkan dia tak berani melihat lewat jendela siapa yang sebenarnya datang.

Bintang membuka pintu itu perlahan-lahan dan melihat seseorang dengan masker yang menutupi setengah wajahnya dan juga topi hitam sampai dahi dan matanya tak begitu terlihat.

Meskipun hampir seluruh wajahnya tertutupi oleh dua benda itu, tetapi Bintang bisa tahu bahwa di depannya adalah Baskara lewat perbandingan tinggi mereka.

"Ck, wartawan gila," gumam Baskara sambil memosisikan pandangan matanya untuk melihat Bintang. "Selamat sore."

"HUEEE...." Bintang menangis kencang setelah tubuhnya mematung beberapa saat.

Baskara sontak masuk dan menutup pintu. Refleks tangannya membekap mulut Bintang sambil menatap sekeliling ruangan dengan panik. "Lo ... kenapa?"

Bintang menghambur ke pelukan Baskara dan tak berhenti terisak. "Gue nggak mau lo mati... hiks. Gue nggak mau!"

"Gue berasa de javu," balas Baskara setelah hening beberapa detik. "Lo kayak pernah bilang itu di mimpi gue."

"Itu bukan mimpi. Itu nyata," balas Bintang sambil terus mengeratkan pelukannya.

Baskara masih terkejut karena perilaku Bintang yang tak biasa. Tangannya bahkan terentang ke samping kiri dan kanan. Sampai akhirnya dia menyadari bahwa Bintang sedih karena kecelakaan pesawat yang tak jadi dia naiki.

"Lo khawatirin gue?" bisik Baskara. Kedua tangannya perlahan berpindah ke punggung Bintang. "Beneran ngekhawatirin gue?"

"Bodoh. Lo aja yang nggak tahu gue sekhawatir apa. Lo nggak ingat apa pun."

"Ehm..."

"Gimana bisa?"

"Apanya?"

"Pesawat...."

"Oh, gue nggak jadi berangkat karena keinget sesuatu di mimpi gue."

"Mimpi...?" Bintang menjauh. "Waktu lo sakit itu?"

"Iya. Gue waktu itu nggak nyeritain detail mimpi gue. Di mimpi itu lo yang minta gue untuk nggak naik pesawat. Kepikiran aja kalau gue beneran mati. Padahal gue belum nyelesain masalah di antara kita."

"Terus... kenapa lo nggak bisa dihubungi?"

"Ah, itu. Gue kena copet. Terus gue pulang mikirin cara buat ketemu lo. Besoknya, gue nggak nyangka jadi ramai."

Bintang terdiam. Tak sadar tangannya sejak tadi mencengkeram jaket Baskara. Dia lalu menunduk, tertawa sambil menangis. Baskara menangkup kedua pipinya dan mengangkat wajahnya. Mereka saling tatap. Bintang memandang Baskara dengan tangis yang sudah mereda dan Baskara memandangnya dengan penuh kebingungan.

"Maaf. Waktu itu gue udah ngeluarin kata-kata yang nggak baik buat lo."

Baskara mengernyit. "Yang mana?"

Bintang tak menjawab, lalu memeluk Baskara lagi. "Jangan tinggalin gue lagi."

"Nggak akan. Sampai kapan pun gue nggak akan ninggalin lo."

Bintang memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya di dada cowok itu. Mereka sedekat itu tanpa status yang jelas. Tak pacaran, tetapi percakapan dan kedekatan mereka terasa seperti sepasang kekasih.

"Oh, gue hampir lupa sesuatu," kata Baskara sambil mendorong Bintang dan menatap matanya lekat-lekat. "Lo nggak suka hal romantis, kan?"

Bintang mengangguk pelan.

"Lo mau jadi pacar gue?"

"Mau."

Dengan begitu, mereka resmi berpacaran. Tanpa butuh waktu banyak bagi Bintang untuk berpikir.

Lalu ... tentang Dan.

Jika benar Dan adalah anaknya, lalu siapa ayah dari anak itu? Tak mungkin anak orang lain. Wajah Dan sangat mirip dengan seseorang yang dipandanginya saat ini. Itu sudah menjelaskan semuanya.

Hanya ada satu pilihan jawaban, yaitu;

Baskara Ardanu Davian.

*** 

☀️

⭐️

Extended Part 53 sudah dan hanya tersedia di https://karyakarsa.com/zhkansas

extended part ini jadi extended terakhir dan terpanjang dari cerita Matahari Dan Bintang jadi aku kasih lebih dari 2 cuplikan:

CUPLIKAN 1

CUPLIKAN 2

CUPLIKAN 3 

CUPLIKAN 4

Cara baca:

thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro