8. Wiwien Wintarto - Menentukan PoV

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tema : Cara Menentukan Sudut Pandang Yang Sesuai ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

POV atau point of view adalah fitur vital tempat kita sebagai penulis menceritakan sebuah kisah. biasanya juga disebut sebagai narrator angle atau sudut pandang narator (pencerita).

Seperti kita tahu, terdapat 3 jenis angle narator atau point of view (PoV) dalam penulisan fiksi:

1. PoV 1; yaitu mengisahkan cerita dari sudut pandang orang pertama "aku" narator, alias sang penutur cerita.

2. PoV 3; yang mengisahkan cerita dari sudut pandang "orang ketiga" yang tidak terlibat dalam cerita, alias mirip seperti dalang wayang kulit bercerita.

Ada satu lagi penggunaan sudut pandang, yaitu orang kedua, namun ini tidak populer dipakai.

PoV 2 lebih sering ditemui di karya-karya fiksi sastrawi, baik berupa puisi, cerpen, maupun novel. Dalam PoV 2, sang narator "aku" menceritakan satu kisah kepada satu orang tertentu "kamu" Bisa tokoh di dalam cerita "ingatlah kamu, Kekasih, pada malam ketika kita pertama kali bertemu?"

Bisa juga tokoh di luar cerita "Kau pasti pernah dengar sebuah cerita tentang
anak yang tak hormat pada orang tua lalu dikutuk menjadi batu."

Lalu bagaimana cara kita tahu PoV mana sesuai dengan cerita yang akan kita buat?

PoV 1 "aku" cocok digunakan untuk menceritakan kisah yang sangat personal, misal kisah cinta drama atau cerita yang diangkat dari kisah hidup nyata sang penulis. Ini karena dengan PoV 1,
kita hanya dapat mengungkap segala hal yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami satu tokoh saja, yaitu tokoh si "aku". Menceritakan kisah dengan PoV 1 sebenarnya adalah sama dengan menulis diary atau jurnal harian, hanya saja ditambahi dialog-dialog seperlunya.

Sedang PoV 3 cocok dipakai untuk menceritakan kisah yang bersifat lebih dinamis, dengan banyak alur (multiplot) dan jauh lebih banyak tokoh yang diceritakan (dibanding PoV 1 yang
notabene hanya menceritakan urusan satu tokoh saja, yaitu si "aku"). Maka bila secara genre, PoV 1 lebih cocok untuk romansa, PoV 3 lebih pas digunakan pada genre dengan lebih banyak aksi (laga), seperti detektif/spionase, cerita silat, petualangan, atau thriller aksi. Meski begitu, dalam beberapa kasus, terdapat beberapa judul novel misteri kriminal seperti karya-karya Agatha Christe, yang dituturkan dengan PoV 1.

Nah, yang belum banyak dipahami para penulis fiksi, bahkan yang berkategori super mega best seller sekalipun, adalah beberapa pedoman teknis penggunaan PoV yang harus digunakan secara disiplin. Salah satu yang paling sepele namun fatal adalah bahwa saat menggunakan PoV 1, si "aku" tidak dapat menceritakan segala sesuatu di mana dia tidak ada atau sudah tidak ada lagi di satu tempat. Mengapa? Karena penggunaan PoV 1, sefiksi-fiksinya, tetap harus mengikuti "hukum alam" kelumrahan kita manusia di alam nyata. Kita sendiri, saat ada di rumah, apa bisa menceritakan peristiwa yang detik sekarang ini tengah terjadi di rumah
gebetan? Logika fiksi untuk tokoh "aku" harus pula mengikuti kaidah tersebut.

Lucunya, ini justru kerap meleset di tangan penulis-penulis papan atas yang selalu kita puji sanjung karya-
karyanya.Di novel Laskar Pelangi ada adegan saat "aku" (Ikal) bersama kawan-kawannya mandi di sungai untuk menghilangkan gatal di badan sesudah menari Afro di karnaval Agustusan Pulau Belitong. Di situ, "aku" menceritakan isi pidato tokoh masyarakat di podium acara yang terletak jauh sekali dari sungai.
Di novel Pulang karya Tere Liye, ada adegan saat "aku" (Bujang) bertemu Presiden untuk menyampaikan ancaman kelompok mafia Keluarga Tong. Sesudah ngobrol, "aku"meninggalkan ruangan. Lalu kemudian tertulis di sana, "Sesudah aku pergi, Presiden mengatakan pada..." dan seterusnya.

Ini nampak sepele, dan tak pernah ada yang mempermasalahkan. Namun ini fatal karena menggunakan PoV 1, sebab sebagaimana kita saat mandi di sungai tak bisa mengisahkan sesuatu yang terjadi pada saat bersamaan di tempat jauh, Ikal seharusnya juga tak bisa memaparkan kata-kata pidato sang toko masyarakat karena ia tak ada di tempat di mana pidato terjadi, yaitu di podium acaea. Ia, dan teman-temannya, saat itu masih ada di sungai, yang jauh dari podium sehingga suara-suara dari podium tak bisa didengar dari sungai.

Dan bayangkan Bujang itu kita, maka sesudah kita meninggalkan ruangan pertemuan dengan Presiden atau Pak Lurah atau Kepala Sekolah, tentunya kita tak tahu apa yang terjadi di sana.
Mengapa? Ya karena kita sudah tidak ada lagi di sana.

Jika hendak dipaksa untuk tetap diceritakan, penjelasan khusus harus diperlukan agar fenomena terkait jadi masuk akal. Misal Ikal menjelaskan bahwa meski sungai berada jauh dari
podium acara, sound system yang dipakai pantia sangat bagus sehingga suara-suara pidato dari podium tetap bisa terdengar dari sungai.
Dan Bujang bisa tahu apa yang dilakukan Presiden sesudah ia tak ada lagi di ruangan pertemuan karena menyadap CCTV Istana Presiden atau lewat alat penyadap mikro audio yang ditaruh agen rahasia Keluarga Tong di sana. Which is sangat masuk akal karena, menurut
klaim Bujang, klan mafia Tong sangat berkuasa dan tentunya sangat resourceful.

Aturan lain terkait logika dunia manusia nyata dalam penggunaan PoV 1 adalah bahwa tokoh si "aku" hanya dapat menceritakan dirinya sendiri. Ia tak dapat menceritakan perasaan, pemikiran,
atau data dan info tokoh-tokoh lain yang ia temui sepanjang cerita, terutama tokoh utama kedua yang biasanya menjadi love interest si "aku". Jadi bagaimana cara si "aku" kemudian bisa mengetahui dunia sekelilingnya termasuk tokoh-tokoh lain? Ada beberapa cara:

1. Berasumsi alias menduga; yaitu saat si "aku" kenal orang baru. Dia akan mikir, "Ini orang kayaknya gini-gini nih." Sebagaimana kita juga gitu kalau pas ada kenalan baru. Dan sama kayak kita juga, dugaan si "aku" itu bisa salah, bisa benar.

2. Bertanya langsung pada tokoh bersangkutan; maka adegan ngobrol dan berbincang sangat penting, saat si "aku" mencoba menggali info tentang tokoh lain. Kalau dalam film atau series Amerika, ini biasanya terjadi saat si A nanya "Tell me all about yourself" dalam acara-acara
kencan sambil dinner di resto.

3. Tahu dari sumber lain, misal berita koran, berita media online, status dan foto-foto di medsos, atau buku harian.

4. Tahu dari tokoh lain, yaitu saat si "aku" ngegosip atau menggunjingkan tokoh tertentu. Kan kita saat kepo soal gebetan, biasa menggali info dari teman sebangku, sahabat dekat, atau tetangganya.

Sementara itu, penceritaan dengan angle ketiga (PoV 3) memerlukan keterampilan yang lebih canggih. Kita harus bisa menceritakan dunia di mana lebih dari satu tokoh berperan, bahkan kadang lebih dari tiga atau empat. Ini bisa sulit karena salah satu syarat kualitas tinggi satu
cerita adalah bila tokoh-tokohnya variatif, yaitu berbeda-beda total antara satu dengan lainnya.

Kan kita hidup di alam nyata juga ketemu dan kumpul dengan kawan-kawan, kerabat, orang serumah, yang semuanya beda-beda banget sama karakter diri kita, dan antara mereka itu sendiri. Untuk bisa menghadirkan tokoh-tokoh secara logis, tentu butuh kemampuan tinggi dari kita sebagai penulis dalam hal memahami karakter-karakter orang. Kita harus bisa menulis soal orang serius, orang dingin, orang jenaka, orang gokil, orang cerewet, dan lain sebagainya.

Sedetail dan senyata mungkin seperti apa adanya manusia-manusia di dunia nyata keseharian kita masing-masing. Dan untuk itu, seorang pengarang sangat perlu mempelajari psikologi, karena berdasarkan karakteristik-karakteristik psikologi, cara berpikir orang-orang terhadap hal yang sama bisa sangat beda.

Misal sama-sama putus pacaran, karakter orang menentukan sikap realistiknya terkait hal itu. Orang baper mungkin akan terpikir bunuh diri. Orang cool mungkin akan berakting lempeng dan berpura-pura sok kuat. Orang seni mungkin akan nulis lagu. Anak yang ikut ekskul debat
mungkin akan mempertanyakan dan mendebat keputusan putus itu; dan lain sebagainya.

SESI TANYA JAWAB

Nama: Farid Usman
Pertanyaan: Kalau misal aku punya dua tokoh tapi memakai POV 1, apa bisa peralihan sudut pandangnya ditentukan bebas?Misal awal cerita ganti-ganti tokoh menggunakan POV 1, terus pertengahan fokus ke satu tokoh. Apa bisa?

Jawaban:
Of course. Bisa bebas, terserah kita sebagai yang ngarang. Tapi beberapa penulis kawakan, seperti Dewie Sekar, mengganti POV tiap bab. Jadi misal bab 1 POV "aku" dari Zona, bab 2 POV Nora, begitu seterusnya.

Nama: Inez.
Pertanyaan: Bagaimana cara bikin Pov 3 serba tahu tapi bisa menonjolkan penokohan tanpa terkesan penulis terlalu ikut campur?

Jawaban:
Dengan mempertunjukkan pelan-pelan karakteristik 1-2 tokoh utama sedikit demi sedikit lewat pemikiran, perbuatan, dan dialog mereka. Jadi tidak dengan diungkap seketika bahwa si Harry "dia anak yang lucu dan humoris" atau Hermione "murid yang cerdas dan selalu serius belajar" tapi lewat detail adegan. Kalau dari satu scene ke scene berikutnya keliatan si Harry suka ngocol, pembaca pasti akan menyimpulkan sendiri, ooh ni Harry anaknya humoris.

Nama: Putri
Pertanyaan:
1) Ada yg bilang suara narator, suara penulis. Narator sama penulis itu hal yang sama atau beda sih, Kak? Atau bisa sama bisa juga beda.
2) Kak, PoV 3 terbatas sama PoV 1 ganti-gantian itu sama aja atau beda sih? Sedikit curhat, aku kan baru selesai nulis naskah yg pakai PoV 1 terus sekarang mau nulis naskah yg pakai PoV 3 terbatas. Nah, aku masih kebawa2 gaya nulis pake PoV 1. Apa aku ganti aja, ya, dari PoV 3 terbatas ke PoV 1 ganti-gantian.
3) Kalau misalnya kita pakai PoV 3 terbatas nih, Kak, narasinya itu pakai suara narator atau suara tokoh?

Lalu kalau PoV 3 serba tahu, narasinya itu pakai suara narator berarti, ya? Atau bagaimana?

Jawaban:
1) Sama, terutama saat pakai POV 1. Penulis bertindak sebagai salah satu (atau dua-tiga) tokoh yang menjadi narator lewat tuturan si "aku"
2) Tentu beda, meski memang sifatnya mirip, dalam hal bahwa segala hal terkait tokoh-tokoh lain tak dipaparkan seketika, melainkan lewat proses pendalaman yang dilakukan satu tokoh utama. Yang membedakan termasuk dalam gaya nulis. Narasi POV 1 boleh pakai bahasa semaunya, tergantung si "aku". Kalau "aku" slengean dan sering pake bhs slank, ya seperti itu juga nulisnya. Sebaliknya, narasi POV 3 kudu pake gaya penulisan sebaku dan seformal mungkin sesuai PUEBI.

3) Untuk POV 3 kita pakai suara narator murni (dalang). Meski biasanya ada 1 tokoh yang jadi author's surrogate, alias tempat penulis menumpahkan segala hal versi idealnya, baik dalam karakteristik tokoh maupun dalam cara berpikirnya.

Nama: -
Pertanyaan: Jika kita ingin menggunaan POV 3 dengan banyak tokoh, bagaimana sebaiknya penulisan naskahnya? Apakah harus diberi tanda ini POV si A, ini si B. Atau hanya diberi batas dan biarkan pembaca sendiri yang menebak.

Jawaban:
Lebih bagus jika dilepas aja, dan membuat pembaca menerka-nerka sendiri. Tapi beberapa penulis menandai perubahan POV dengan perbedaan jenis font di novel.

Nama: Ana
Pertanyaan: Saya pernah menemukan pergantian POV 1 ke POV 3 dalam sebuah novel yang saya baca. Lalu di novel yang lain, ada juga pergantian POV 1 yang di bawah judul bab ditulis POV (nama karakter).Saya ingin tahu, bagaimana pandangan Kak Wiwien sebagai seorang editor terkait hal ini.
Terima kasih.

Jawaban:
Sah-sah saja sih. Masih masuk hak prerogatif pengarang. Perpindahan POV bisa ditandai dengan banyak teknik, misal diawali dengan kepalaan nama tokoh, dengan ganti font, dll.

Nama: Fiana
Pertanyaan: Mengenai fenomena serangan 'aku' saat menulis POV 1. Terkhusus untuk pemula seperti saya yg baru mencoba pov1.

Bagaimana caranya melatih diri agar bisa menulis tanpa terlalu banyak 'aku'?

Jawaban:
Simpel. Ambil satu karya sastra (tinggi) dengan POV 1. Karya Eka Kurniawan, Rain Chudori, Pratiwi Juliani, atau Clarissa Gunawan, lalu jiplak plek ketiplek (tapi tentunya tidak untuk diterbitkan, cuman untuk drill latihan). Nanti lama-kelamaan akan mengikuti cara para penulis top itu dalam hal menggunakan "aku" secara menarik.

Nama: -
Pertanyaan: Kak wiwien tadi menyebutkan "narasi POV 3 kudu pake gaya penulisan sebaku dan seformal mungkin sesuai PUEBI." Tetapi kalau misalnya untuk dialog tokoh tidak memakai gaya penulisan yang terlalu baku atau formal bolehkah kak?

Jawaban:
Betul. Jadi kalau narasi bahasa baku, maka dialog terserah tokoh-tokohnya. Di sini terletak skill kita dalam hal psikologi manusia, untuk bisa bikin beda tiap tokoh hingga ke cara bicara, dialek, pilihan kata (diksi), hingga intonasi. Kan cara bicara anak SMA pasti beda dengan mahasiswa
pascasarjana, misalnya.

Dan bahasa baku narasi POV 3 hanya dalam kedisiplinan redaksional (penulisan), tapi bukan gaya tutur. Novel-novel seri Bilangan Fu dari Ayu Utami menggunakan tulisan formal dan baku
namun dengan gaya bahasa yang mengalir dan memikat.

Nama: Albar
Pertanyaan: Apakah ketidak konsistensi dalam mengambil sudut pandang suatu cerita memengaruhi kualitas cerita? Maksudnya, pengambilan sudut pandang yang semena-mena.

Contohnya bab satu pakai POV 1, bab dua pakai POV 1 tiba-tiba bab tiga sampai lima pakai POV 3, jadi semaunya gitu, Kak.
Apa lebih baik POV ini ada polanya? Atau tidak perlu?

Jawaban:
Yang terbaik tentu satu cerita, satu POV saja. Dan kalau pakai POV 1, ya cukup pakai "aku" dari satu tokoh saja sepanjang cerita. Banyak dikatakan bahwa pemakaian POV yang campur- campur menunjukkan belum adanya kedewasaan menulis, atau kemampuan nulisnya belum canggih. Tapi untuk latihan dan awal-awal menulis, gakpapa pakai campuran dan bahkan semena-mena. Semua kan berproses. Yang penting terus menggali skill dan memperluas wawasan bacaan sehingga kemampuan menulis terus meningkat dan pada akhirnya kita gak perlu lagi pakai POV hybrid (campuran).

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro