47-Kain Suci

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cantik itu bisa menjadi fitnah kalau kita gak bisa menjaga dan memeliharanya."

-Maryam-

•••

Setelah menyelesaikan segala tek-tek bengek pekerjaan rumah, aku segera bersiap untuk berangkat kuliah. Gila sih capeknya itu bukan main, dari selepas Subuh aku mencuci pakaian, menyapu dan mengepel lantai, belum lagi aku harus menyiapkan sarapan. Beuhhh, itu sangat menguras tenaga jiwa dan raga.

Kalau tak ingat sudah berjanji pada Mamah dan Papah akan menjadi istri yang baik, aku takkan pernah sudi melakukan segala jenis pekerjaan rumah. Berasa jadi pembokat dadakan dan badanku langsung pegal-pegal tak ketulungan. Kalau punya cukup dana dan modal aku pasti akan menyewa jasa seorang asisten rumah tangga, tapi sayang seribu sayang sekarang aku tak memiliki uang sebanyak itu. Alhasil akulah yang harus mengerjakan semua itu seorang diri.

Aku menulis sebuah note yang akan kutempelkan di kulkas untuk memberitahukan pada Arda kalau aku akan berangkat ke kampus. Dia sedang lari pagi di sekitaran kompleks, dari Subuh sampai sekarang belum balik-balik juga tuh orang. Hari ini dia bekerja shift siang jadi katanya untuk menjaga kesehatan serta memaksimalkan stamina, dia memutuskan untuk sedikit berolahraga. Entahlah padahal jika kupikir-pikir lebih baik dia gunakan saja waktunya untuk tidur dan beristirahat.

Tapi dia tak menghiraukan saranku dan malah berucap, "Tidur selepas Subuh itu gak dianjurkan, selain agama melarang, para tenaga medis pun bersepakat bahwa memang tidur setelah Subuh gak baik buat kesehatan." Begitulah jawaban yang Arda berikan tadi sebelum dia benar-benar pergi.

"Apa salahnya? Orang cuma tidur doang kok sampai ganggu kesehatan sih. Kan istirahat itu perlu emang sudah jadi kebutuhan. Terus kenapa lagi disangkut pautin sama agama? Yang penting kan kita sudah salat Subuh, kewajiban kita sebagai hamba sudah terpenuhi," selaku.

"Tidur setelah Subuh mencegah rezeki, karena pada saat itu adalah waktu di mana setiap manusia mencari rezeki mereka dan waktu dibagikannya rezeki. Tidur setelah Subuh suatu hal yang dilarang [makruh] kecuali ada penyebab atau keperluan," terangnya yang membuatku manggut-manggut paham.

Kalau memang waktu selepas Subuh adalah waktu dibagikannya rezeki, pasti Arda sudah kaya dari lahir dong ya? Sebab dia kan tidak pernah tidur setelah Subuh, maka secara otomatis uang dia pasti banyak tak berseri. Bukan malah seperti sekarang yang hanya sekadar buruh pabrikan.

"Hitungan matematika Allah sama manusia itu beda. Dan rezeki itu gak melulu soal uang, dikasih kesehatan, bisa bernapas, bisa makan, dan melihat keindahan ciptaan-Nya saja itu termasuk rezeki. Nikmat Allah yang tak ternilai harganya," cetus Arda tanpa diminta. Sepertinya dia memang sudah sangat mengenalku luar dalam. Tahu saja otakku yang sedang berpikir hal yang demikian.

Tapi apa yang dia katakan ada benarnya juga. Di luar sana ada sebagian orang yang harus menginap di rumah sakit karena kesehatannya terganggu. Bahkan ada juga yang harus bernapas menggunakan tabung oksigen yang harganya mahal, sedangkan aku bisa bernapas tanpa harus mengeluarkan modal sepeser pun.

Bisa makan layak dan enak tanpa perlu bersusah-susah dan mengorek tempat sampah. Hanya tinggal beli bahan makanan lalu memasaknya dan hidangan pun sudah tersaji di meja makan. Belum lagi Allah dengan begitu baiknya menganugerahkan netra untukku agar bisa melihat keindahan yang telah diciptakan-Nya.

Perkataan Arda sungguh menampar telak hatiku yang selalu perhitungan dan hanya mementingkan rezeki berupa uang. Aku hamba yang tak pernah mensyukuri nikmat-Nya. Kufur nikmat itulah julukan yang pantas disematkan untukku.

"Terus sangkut pautnya sama kesehatan apaan dong?" tanyaku penasaran. Dari jawaban sebelumnya saja dia sudah banyak memberikanku pelajaran agar menjadi hamba yang pandai bersyukur. Mungkin untuk jawaban berikutnya bisa lebih menyadarkanku lagi. Ya siapa tahu saja begitu.

"Tidur setelah Subuh gak baik untuk kesehatan, karena saat itu adalah jam tubuh mulai melakukan metabolisme dan pemanasan. Jika tertidur lagi maka ibarat kendaraan yang gak dipanaskan. Ketika bangun jam tujuh atau jam delapan pagi terasa masih lemas dan kurang bersemangat." Dia mengakhiri penjelasannya dengan sebuah sunggingan. Ternyata dia cukup cerdas juga, padahal dia hanya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan saja. Memang terkadang tingkat pendidikan dan gelar tidak menjamin seseorang bisa memiliki kecerdasan yang mumpuni.

Sarapan sudah siap di meja makan. Pakaian juga sudah aku siapkan. Aku berangkat ke kampus duluan.

Setelah itu aku langsung mengambil tas selempang yang sudah tersampir di kursi meja makan, bergegas cepat ke luar. Sudah beberapa hari ini aku tak ke kampus. Padahal aku sudah bertekad untuk menyelesaikan skripsi dalam waktu yang cepat. Terkadang apa yang sudah kita rencanakan dengan matang harus berakhir jauh dari harapan. Tapi tak apa setidaknya aku masih memiliki waktu untuk menyelesaikan tugas akhirku itu.

Hari ini pun aku sudah ada janji temu dengan dosen pembimbing untuk memberikan proposal skripsi yang sudah kususun rapi dan hanya tinggal beliau cek saja. Semoga saja tidak ada drama tempat sampah dan coretan tinta merah. Jika sampai hal itu terjadi sungguh kejam sekali.

Beliau terlalu sadis dan tak punya hati hingga mengotori hasil kerjaku, padahal aku membuatnya dengan susah payah. Sepertinya beliau itu tidak pernah merasakan bagaimana repot dan susahnya menjadi seorang mahasiswa tingkat akhir. Beliau lahir ke dunia sudah bergelar tanpa perlu berjuang untuk mendapatkan gelar tersebut.

Jika biasanya aku berangkat ke kampus diantar jemput Lukman, kali ini lain dan aku lebih memilih untuk memesan taksi online saja. Aku takut ada orang yang memergokiku lantas melaporkannya pada Mamah dan juga Papah. Kan itu bahaya, bisa digorok habis-habisan aku. Belum lagi aku pun sudah berjanji pada diriku sendiri akan menerima Arda sebagai suami. Aku takkan lagi bermain api, takut kebakaran nanti.

"Eh, kok sudah mau berangkat saja. Mau aku anterin gak?" Aku berpapasan di depan gerbang dengan Arda. Keringat masih bercucuran di sekitar dahi dan juga wajahnya. Rambutnya pun sudah basah oleh keringat.

"Gak usah. Aku sudah pesen taksi online kok," tolakku. Bisa lama kalau aku memilih untuk diantarkan Arda. Dia belum mandi dan aku tak mau menunggunya. Lagi pula aku tak ingin membuat dosen pembimbingku kesal karena aku yang terlambat datang. Bisa gagal wisuda kalau seperti itu ceritanya.

"Cancel saja, tunggu sebentar." Dia langsung melesat memasuki rumah tanpa memberikan waktu untukku menjawab.

Aku harus bagaimana sekarang? Menunggu Arda bersiap-siap atau menunggu taksi online datang. Belum selesai masalah kebimbanganku, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal masuk. Tanpa ragu aku langsung mengangkatnya. Siapa tahu saja penting.

Dan benar saja ternyata itu panggilan dari sopir taksi online yang kupesan. Aku dibuat kesal serta meradang saat telingaku mendengar bahwa sopir taksi yang sudah kutunggu-tunggu sedari tadi tidak bisa datang, dikarenakan istrinya yang sedang hamil mengalami kontraksi dan siap untuk melahirkan. Kalau tahu istrinya sedang hamil besar ya jangan ditinggalkan seorang dirilah.

Membahayakan istri dan juga calon buah hatinya itu sudah pasti, dan juga membuatku kesal karena menunggu kehadirannya. Huft! Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk diantar oleh Arda. Semoga saja dia tidak lama dan membuatku terlambat. Bisa berabe kalau sampai hal itu terjadi, mana tuh dosen pembimbing sok sibuk dan sangat susah untuk diajak bertemu. Dan sekarang giliran bisa meet up, masa iya aku membuatnya kecewa. Bisa hancur reputasiku.

Sekitar 10 menit berlalu akhirnya Arda nongol dengan kendaraan beroda duanya. Aku bernapas lega karena tak harus menunggu dia lebih lama. Tanpa pikir panjang aku langsung menjatuhkan bokong di jok penumpang. Memberikan instruksi agar Arda mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Di jam-jam seperti ini sangat rawan macet. Semoga saja untuk pagi ini tak berlaku dan lalu lintas di jalanan bisa lancar tanpa hambatan.

"Makasih yah, Mas," kataku saat sudah berada di depan gerbang kampus. Arda mengangguk dengan diiringi senyum tipis. "Iya, pulang jam berapa?" tanyanya.

Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, "Gak tahu tapi kayanya bakal lama sih." Aku ada janji temu dengan Maryam, katanya dia ingin menyampaikan sesuatu hal yang penting. Sudah lama juga aku tak melihat batang hidungnya.

"Maaf aku gak bisa jemput kamu soalnya aku harus kerja," ucapnya yang kubalas dengan anggukan singkat. "Iya gak papa. Aku bisa naik taksi online kok," sahutku.

Aku tak nyaman jika harus menggunakan ojol, karena memang aku sangat antipati dengan kendaraan beroda dua tersebut. Ini saja aku memaksakannya, karena memang Arda tidak memiliki mobil yang bisa kutumpangi. Inilah pahitnya jika memilih pasangan yang tak memiliki cukup modal.

Aku berjalan menyusuri jalanan, jarak dari gerbang ke ruang dosen lumayan jauh dan cukup menguras tenaga. Kampus ini terlalu luas dan membuat tungkaiku kelelahan. Suara-suara yang bersumber dari beberapa mahasiswa kurang kerjaan saling bersahutan, tapi aku sama sekali tak berselera untuk menyahuti perkataan-perkataan unfaedah mereka. Kupingku sudah kebal dengan gombalan tak bermutu mereka.

"Adara." Aku menoleh saat mendengar seseorang memanggilku. Keningku mengkerut bingung mendapati seorang wanita berpakaian serba hitam dan dengan dilengkapi sebuah kain yang menutupi wajahnya.

"Siapa yah?" tanyaku yang membuat matanya menyipit. Mungkin di balik cadarnya dia tengah tersenyum.

"Maryam. Kamu lupa sama aku?" sahutnya. Aku dibuat terperanjat kaget dengan apa yang baru saja kudengar. Maryam? Benarkah?

"Ish, baru beberapa hari gak ke kampus sudah kehilangan banyak kabar aja nih gue," cetusku sembari melanjutkan perjalanan dengan Maryam yang juga ikutserta di sampingku.

Aku mendengar tawa kecil darinya. "Apaan sih, Dar. Gak kok, aku cuma lagi belajar jadi hamba yang lebih taat lagi," katanya yang berhasil membuatku terdiam beberapa saat.

Maryam yang menurutku sudah sangat sempurna dan berakhlak mulia saja masih bilang mau belajar jadi hamba yang lebih taat lagi. Lalu apa kabar denganku yang masih gini-gini saja? Pakaianku memang tertutup tapi caraku dalam berpakaian masih sering mengikuti tren zaman. Aku sangat ogah jika ke kampus menggunakan baju kurung dan khimar lebar, takut dihina dan dicaci-maki oleh orang-orang bermulut pedas manis.

"Kok tiba-tiba, Mar?" tanyaku penasaran. Dia sudah taat bahkan aku yakin dia itu cerminan wanita shalihah, terus untuk apalagi dia menutupi wajah cantiknya dengan selembar kain hitam tersebut.

"Sebenarnya gak tiba-tiba juga. Aku sudah sejak lama ingin memakai niqab, cuma kedua orang tuaku melarang. Tapi setelah aku menikah dan meminta izin sama suamiku, alhamdulillah dia mengizinkannya," terang Maryam yang lagi-lagi membuatku terkejut bukan kepalang. Dia menikah tapi tak memberikan kabar serta undangan. Parah sekali anak ini.

"Kapan? Kok gak undang gue sih?" semburku yang justru disambut kekehan olehnya.

"Dua hari yang lalu, itu hanya akad saja Insya Allah walimahan-nya akhir bulan ini," ucapnya yang membuatku manggut-manggut paham.

"Gue mau tanya sesuatu sama lo, tapi maaf-maaf aja nih kalau pertanyaan gue menjurus ke masalah pribadi," kataku sedikit berbasa-basi.

"Tanya saja jangan sungkan." Aku mengangguk antusias saat mendapati lampu hijau darinya.

Aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. "Apa lo gak sayang muka cantik lo ditutupin kain itu?" aku menunjuk cadarnya, "gimana kalau orang-orang mikir lo buruk rupa?" sambungku.

Gerak tungkaiku dan juga Maryam terhenti sejenak. "Ya gaklah, Dar. Untuk apa juga memikirkan apa kata orang. Aku bercadar untuk Allah dan juga suamiku. Aku ingin hanya dia seorang saja yang bisa melihat wajahku," jelasnya yang membuatku tertegun.

"Saat aku sudah memutuskan untuk menikah dengan lelaki pilihanku, aku merasa bertanggung jawab untuk menjaga hatinya. Gak ada satu pun suami yang suka melihat istrinya digoda, dirayu, atau bahkan dikagumi oleh laki-laki lain. Dan dengan cara inilah aku menjaga pernikahanku. Cantik itu bisa menjadi fitnah kalau kita gak bisa menjaga dan memeliharanya," tutur Maryam dengan kedua sudut mata yang menyipit. Dia tengah memberikan senyuman terindah di balik cadarnya.

Mungkin inilah sebabnya kenapa Arda memintaku untuk tidak memakai make up berlebih. Dia hanya ingin menikmati wajah cantikku seorang diri saja. Egoiskah itu?

"Allah sudah melebihkan rupa yang indah untuk kita, tapi alangkah lebih baiknya jika kelebihan ini hanya kita perlihatkan pada orang-orang yang halal untuk melihatnya. Jangan sampai di akhirat nanti kita dimintai pertanggungjawaban dosa atas kelebihan fisik ini," tuturnya dengan tangan menyodorkan sehelai kain berwarna hitam padaku.

Aku mengernyit heran. Untuk apa dia memberikan benda semacam ini padaku yang jelas-jelas tidak menggunakannya. Jangankan untuk memakai, niat saja tidak ada. "Di balik setiap pujian menyimpan banyak ujian. Salah satunya rasa angkuh dan sombong diri yang berkembang dalam hati." Perkataan terakhir Maryam berhasil membuatku diam membisu. Ya Allah apa maksud dari semua ini?

~TBC~

Ketemu lagi nih yah, tiap malem ketemunya Adara lagi, Adara lagi, hehe ...
Masih penasaran dan nunggu lanjutannya gak nih?😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro