Catatan 11 [Edited]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Strategi Kara absen tiap makan malam, cukup membantu menghindar dari Mave. Namun sepertinya Mave tahu bahwa Kara berada di hotel ini hingga sekian minggu ke depan. Mave bisa saja menanyakan hal itu ke pihak hotel. Apalagi hampir tiap malam dia jadi penampil untuk orang yang itu-itu saja.

Hari ini setelah kegiatan karantina, Erick bersama beberapa peserta cowok jalan. Kara sendiri tak tahu tujuannya ke mana. Yang pasti setelah mereka kembali, Kara melihat Erick memanggul gitar.

Sorenya setelah beberapa jam, Kara hendak menemui Erick di lounge hotel belakang.

Dari kejauhan Erick tampak sendirian di sofa panjang, memeluk gitar, dan bersandung mengikuti petikan jari. Ini pertama kalinya Kara menyaksikan pacarnya memainkan alat musik tersebut.

Dari Jarak lima meter, Kara menyapa, "Er—." Sapaannya terhenti. Buru-buru Kara balik badan sebelum Erick menangkap kehadirannya. Cewek itu lalu cepat melipir ke salah satu tembok, bersembunyi.

Dia melihat Mave menuju sofa, dan membawa dua cangkir.

Wajah Mave ramah, seolah sedang menjamu sahabat lama. Cowok itu meletakkan kopi di meja dan duduk di samping Erick.

Sejak kapan mereka saling mengenal?

Erick jeda menyanyi, "Thanks," katanya pada Mave.

Kara mengintip dari balik tembok.

Erick lanjut memainkan gitar, Aku memang tak berhati besar, untuk memahami hatimu di sana | Aku memang tak berlapang dada untuk menyadari kau bukan milikku lagi. Kara jelas tahu yang dinyanyikan ini, Kisah Tak Sempurna single terbaru Samsons yang rilis beberapa pekan lalu.

"Lagu ini mengajak gue ke masa lalu," omong Mave tanpa melihat Erick.

Erick berhenti lagi memetik gitar. "Dengan?"

"Seseorang yang kini ngebuat gue percaya, pertemuan adalah aturan Tuhan yang paling jahil."

Erick mengetuk ujung jari di salah satu senar. "Sekarang dia di mana?"

"Dia di sini," sebut Mave.

Di persembunyiannya Kara terhenyak. Cewek itu menahan dada, Kara tahu cewek yang dimaksud Mave adalah dirinya.

Mave lalu merebut gitar dari Erick, lalu melanjutkan nyanyian Erick. Maafkan aku yang tak sempurna untuk dirimu.

Kara menutup mata, meresapi suara Mave. Enak di kuping.

"Tapi gue gak tahu apa dia ingat gue atau gak?" ucap Mave usai menghabiskan beberapa bait lagu. Mendadak suasana jadi sendu. "Eh kenapa gue jadi curhat?" sadar Mave kemudian, cowok itu lantas tertawa.

Sementara itu, Kara merasa cukup berada di balik tembok. Cewek itu memundurkan langkah hendak pergi.

Begitu balik badan, cewek itu mendengar panggilan Erick. "Kar?"

Langkah Kara otomatis henti. Erick menemukan dirinya. Cewek itu menoleh, menatap Erick dan Mave berganti-gantian.

"Kenalin nih temen baru gue," ujar Erick dengan sedikit teriakan.

Bahasa tubuh Kara langsung sungkan. Sungkan pada Mave yang tampak memperhatikan penuh.

Barang tentu Kara mustahil menghindar. Akhirnya dengan terpaksa Kara bergerak ke sofa, mendekati keduanya.

Kara lantas memilih duduk di samping Erick, sehingga pacarnya itu memisahkan jaraknya dengan Mave.

"Kenalin, Mr. M."

Mr. M? Mave menyembunyikan identitasnya?

Tanpa diminta, Mave langsung mengulurkan tangan ke arah Kara. Tentu uluran tangan Mave melewati depan Erick. Kara melihat saksama telapak tangan Mave yang terulur, telapak tangan yang dulu bisa dia sentuh kapan saja.

Mave menggerakkan jari, seolah meminta Kara menyalaminya.

Sembari memantau mata Mave, Kara menjabati tangan cowok itu, "Kara."

"Senang bertemu denganmu," balas Mave.

Kara senyum seringai.

"Gue lagi belajar main gitar," jelas Erick setelah jabat tangan Kara dan Mave lepas. "Gue minta diajarin Mr. M."

Mave angguk-angguk.

"Kemarin pas abis nyanyi di atas, gue samperin. Untungnya dia mau," cerita Erick. "Mau liat hasilnya?" tawar Erick ingin menunjukkan keahliannya belajar gitar. Cowok itu merebut kembali gitarnya dari Mave. Tanpa persetujuan Kara, Erick melanjutkan Kisah Tak Sempurna.

Dengar-dengarkan aku | aku akan bertahan sampai kapan pun | sampai kapanpun.

Jujur permainan gitar Erick tak semenawan Mave. Namun suara pacarnya itu tak buruk-buruk amat. Ketika bait-bait lagu terus dinyanyikan Erick, Kara menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Cewek itu mempertahankan sungguh-sungguh posisi matanya, agar tak melirik ke arah Mave.

Nyanyian Erick selesai.

"Mau lagu yang lain?" tanya Mave pada Erick.

"Besok!"

"Ya besok jadwal gue bukan di hotel," sebut Mave. "Nanti pas lusa aja."

"Terserah, lo kan gurunya."

Mave menyuruput kopi. Erick memainkan beberapa kunci, dan mengulang-mengulang petikan. Sementara itu Kara menjadi defensif, diam dan tak ingin terlibat dalam omongan dua cowok ini. Baginya cukup dengan keterkejutan ini.

Sepertinya cewek itu harus lebih siap lagi menemukan kejutan-kejutan lain.

***

[22 Mei 2007]

Besoknya demi menormalkan mood, Kara meminta Erick untuk jalan. Keluar, ke manapun, asal bisa Mave hilang dari kepala.

Erick membawa Kara ke pantai Ampenan. Jaraknya hanya butuh 20 menit dari hotel.

Langit di pantai Ampenan sore ini bersih, sebagian mulai memerah, lantaran mentari makin condong ke arah barat. Burung dara laut, berkawan-kawan muncul di langit pantai. Orang-orang sudah lumayan ramai memenuhi pinggir laut yang telah dibeton. Beberapa kafe sudah tergelar rapi. Pengunjung ramai berdatangan.

"Kenapa lo mendadak pengin jalan?" tanya Erick.

Kara membenarkan bajunya yang tertiup angin, "Entahlah, gue hanya pengin waktu bareng lo, lebih banyak."

Erick memalingkan muka pada Kara dengan alis yang nyaris bertaut. Jawaban Kara cukup aneh. Bukankah mereka selalu bersama?

Namun detik berikutnya Erick mencoba lebih positif.

Mereka terus menggenjot langkah. Erick mulai bicara progress-nya bermain gitar. Untunglah pacarnya tak menyinggung nama Mr. M. Kalau saja nama cowok itu tercetus, mood Kara bisa langsung buruk.

Dua menit berlalu Erick celetuk, "Jika suatu saat nanti lo gak menyukai gue, apa lo masih mau jalan bareng kayak gini?"

Kara menghentikan langkah. "Kenapa nanya gitu?"

"Bagi gue cinta semuda kita, gak bisa bertahan."

"Nanti adalah masa depan yang belum pasti. Dan saat ini adalah langkah yang sedang kita jalani. Kita gak harus berpikir terlalu jauh. Intinya sekarang, lo dan gue bersama," Kara bicara panjang lebar yang sejujurnya mengkhawatikan dirinya sendiri. Di Mataram ini—di luar dugaan dia bertemu Mave—yang sejauh ini merusak konsentrasinya.

Di salah satu bibir beton pembatas pantai tercipta keramaian. Sejumlah orang tampak berkerumun. Terdengar petikan gitar, dan suara nyanyian di tengah kerumunan. Erick menarik Kara mendekati keramaian.

Dengan masih mencekal lengan Kara, cowok itu berusaha menerobos kerumunan. Terdengar lirik lagu Makes Me Wonder milik Maroon 5. Dengan sedikit susah payah, Erick membawa Kara hingga paling depan.

Alangkah terkejutnya Kara, yang menyanyi adalah Mave.

Kara mendongak menjangkau dagu Erick yang tinggi. Cowok itu tersenyum pada Mave. Mave yang sadar akan kehadiran Erick membalas senyumnya. Mave sedikit bergoyang mengikuti petikan dan nyanyiannya.

I still don't have the reason | and you don't have the time | And it really makes me wonder.

Erick membungkuk dan berbicara dekat telinga Kara. "Kebetulan Mr. M perform di sini, ya sekalian nemuin dia."

Kara meminta jalan-jalan untuk menjauhkan Mave dalam pikiran, ternyata Erick sendirilah yang mengantarnya ke hadapan Mave.

Give me something to believe in | Cause I don't believe in you. —Mave terus bernyanyi.

"Gue panggil temen gue untuk bergabung," Mave bicara. "Erick....!!!" teriak Mave sembari mengarahkan tangan pada Erick. Orang-orang spontan menatap Erick.

"Maju?" Erick menunjuk dadanya. Setelah Mave mengangguk, cowok itu maju dan bersanding dengan Mave. Mave lantas melanjutkan petikan gitarnya.

Keduanya—Mave dan Erick, mantap bernyanyi.

Forget what you're going through | I get behind make your move | Forget about the truth.

Sejumlah kepala yang tahu lagu ini, ikut bernyanyi, menikmati pentas dua cowok tersebut. Sementara itu Kara seperti orang asing yang tersesat di kerumunan. Bertukar-tukar dia melihat Erick dan Mave. Keduanya bernyanyi lepas.

Nyanyian mereka kemudian berakhir.

Mave mengeluarkan kantong permen. Orang-orang yang sejak tadi menonton memberikan uang ke kantong.

Kerumunan pun perlahan bubar.

"Gue pikir lo bakal datang sendirian," komen Mave, setelah mereka memutuskan jalan. Mave meletakkan gitarnya di belakang punggung.

"Yang pengin jalan sebenarnya Kara. Bukan gue," klarifikasi Erick.

"O."

"Makanya gue ajak sekalian ke sini."

Mave mengeratkan tali gitar di depan dada. "Ya ginilah kehidupan gue di Lombok. Ngamen sana-sini, demi perut dan tabungan."

"Tapi seenggaknya lo bisa menghidupi diri lo sendiri. Lha gue, Kara? Duit masih minta ortu."

"Ya, keadaan yang memaksa gue begini."

Erick lalu meminta izin ke toilet.

Kara dan Mave menunggu di salah sudut, yang tepat menghadap senja. Keduanya dingin dan tak memulai obrolan setidaknya sampai Erick hilang di dalam toilet.

Angin sore makin kencang bertiup. Matahari makin barat di ujung sana. Mave dan Kara bersikap defensif seperti dua orang asing yang tak pernah bertemu. Kara menarik jarinya entah apa. Sementara Mave menjauhkan pandang ke ombak.

"Kalian satu sekolah?" akhirnya Mave angkat suara.

Tanpa menoleh Kara menjawab, "Ya."

"Aku juga liat Freya," tentu Mave tahu Putri Sekolah itu.

Keduanya diam lagi.

Tujuh detik berikutnya, Mave bicara lagi. "Aku liat Erick orang yang baik."

Kara langsung menerobos bola mata Mave dengan pandangannya. Dia tau hubunganku dengan Erick?

Tiba-tiba Mave mengulurkan tangan pada Kara. "Selamat ya."

Kara tak langsung menjabat. Bukankah kemarin mereka sudah salaman? Kara mengamati tangan Mave. "Untuk apa?"

"Untuk cinta di dalam hatimu," jawab Mave. "Kukira Erick akan punya segala yang kamu butuhin."

Mave menarik tangannya kembali, sebab Kara tak mau menjabatinya.

Dari depan sana, Erick muncul. Langkahnya setengah cepat.

"Santailah, Erick tak akan pernah tahu hubungan kamu dengan aku," ujar Mave sembari membenarkan letak gitar di belakang punggung.

Kara tak membalas apa pun.

Erick datang dan berdiri tepat di antara Kara dan Mave. "Selanjutnya kita ke mana?"

"Gue sih terserah kalian aja," jawab Mave.

"Bagaimana kalau kita makan?"

Kara menatap pacarnya. Makan? Berarti Mave masih akan bersama mereka. Cewek itu membuang napas panjang.

---

Mereka memutuskan singgah di salah satu kafe. Meja yang dipesan tepat di berada di bibir pembatas beton dengan laut.

Jujur Kara tak habis pikir bagaimana bisa pacarnya mengajak Mave makan. Bahkan sesampainya di meja Kara tampak bengong.

Hal itu membuat Mave berbisik refleks ke telinga cewek itu, ketika mereka masih berdiri. "Bersikap biasalah Kar."

Kara menegok Mave di belakang kepalanya.

"Aku adalah sahabat pacarmu," lanjut Mave. "Sebatas itu."

Erick yang berada di sisi meja yang lain, menarik kursi, dan menyilakan Kara duduk. Cewek itu langsung saja menuju kursi yang ditarik pacarnya. Erick duduk di samping Kara. Sementara Mave memenuhi kursi yang berhadapan dengan posisi Erick.

Dari meja yang dipesan, mereka bisa melihat air laut yang memerah oleh pantulan senja.

Mereka memesan sea food. Kompak, dengan menu yang sama.

"Kapan lo berencana balik ke Bandung?" tanya Erick pada Mave di sela-sela makan.

Kara langsung melirik pacarnya. Sepertinya tukar cerita pribadi pacarnya dengan Mave sudah sangat banyak. Buktinya Erick tahu tempat tinggal Mave sebelumnya.

"Belum ada rencana kapan, tapi kalo balik, aku penginnya ke Jakarta."

Uhuk! Mendadak Kara tersedak. Buru-buru cewek itu minum. Dia mengamati sekitar dengan sungkan.

"Lo gak apa-apa?" tanya Erick.

Kara menelan ludah, "Gue gak papa kok," Kara bohong. Omongan Mave tadi membuat khawatir. Bagaimana jika benar, Mave kembali ke Jakarta.

Erick lalu fokus lagi pada pembicaraan sebelumnya. "Kost lo di mana?"

"Daerah Gomong. Gue ngekost bareng teman band. Patungan," jelas Mave. "Gaji gue gak seberapa, makanya harus patungan."

"...."

"Gue juga harus ngirim duit ke Bandung."

Kara langsung teringat akan Tante Niar—Ibunda Mave. Terakhir bertemu beberapa bulan kemarin, saat itu Tante Niar tampak kuyu. Beliau bertengker hebat dengan Om Hariman.

Sungguh yang dilakukan Mave mencari uang hingga ke Lombok adalah perjuangan.

"Ibu lo sekarang?" tanya Erick lagi.

"Ibu gue baik-baik saja."

"Kalo ke Jakarta kabarin gue."

"Siap."

Sore itu, selepas makan, ketiganya duduk di pembatas beton, dan menggantung kaki. Erick membeli roti tawar, disuir-suir kecil, dan menjatuhkannya ke laut. Kerumunan ikan-ikan kecil mengerubung potongan-potongan roti.

Sementara itu langit makin keemasan. Bau laut makin terasa, mungkin lantaran angin yang bertiup. Di tempatnya Kara diam, dia tak ingin bicara.

---

Jam 7.26 malam. Erick dan Kara balik ke hotel.

"Mr. M sangat freindly," celetuk Erick sesaat di halaman hotel. "Muda, bersemangat, berani cari uang demi keluarga."

Bahkan jauh dari itu, Kara mengetahui kehidupan Mave. Cewek itu tak berniat mengomentari omongan pacarnya.

"Gue rasa, dia bisa jadi sahabat terbaik gue," lanjut Erick. "Seenggaknya dia lebih enak diajak ngobrol daripada Lero."

***

[23 Mei 2007]

Siang itu di sela-sela rehat pembekalan, Lero menelepon. Kara lalu teringat beberapa hari lalu ketika dia mengabaikan panggilan sahabatnya tersebut.

"Ya halo," jawab Kara, dengan nada suara setengah kencang, sebab dia mendengar suara seseorang di belakang suara Lero. "Lo lagi di mana?"

"Di—"

Terdengar suara lagi.

"Gue kayak dengar suara Bunda. Lo lagi ke rumah?"

"Rumah lo?" suara Lero terkesan kaget. "Gue lagi di tempat makan, itu suara pengunjung di belakang."

"O," sahut Kara. "Mirip suara Bunda soalnya."

"Hahaha, kayaknya lo lagi rindu Bunda deh," celetuk Lero. "Lo udah nelpon bunda belum?"

Astaga, Kara menepuk jidat. Selama di Lombok dia baru dua kali menghubungi Bunda, pertama saat baru tiba di hotel, yang kedua saat pembukaan acara karantina. "Kayaknya gue harus telepon Bunda."

"Trus kabar lo gimana?"

"Baik, Alhamdulillah."

"Kata Jessy, lo ketemu Mave di situ?"

Kara langsung mengubah cara duduknya. Ya, ketika dia memberi tahu Jessy soal Mave, dipastikan Lero juga akan tahu. "Dia manggung di hotel tempat kami nginap."

"Kabar dia?"

Mendadak Kara mematung. Buru-buru kabar, sementara situasi yang tercipta antara dia dan Mave begitu dingin. "Kelihatannya baik."

"Sampaikan salam gue ke dia."

Kara tak yakin bisa menyampaikan salam. Cewek itu melihat jam di pergelangan tangan. "Gue mau telepon Bunda dulu, mumpung masih ada waktu."

"Iya itu. Harus," sahut Lero. "Jaga kesehatan. Bye."

"Bye." Setelah sambungan telepon selesai, Kara menghubungi Bunda. Mungkin benar kata Lero, dia sepertinya rindu dengan Bunda. Untungnya Ayah sudah tinggal bareng mereka, sehingga Kara bisa tenang jika melakukan perjalanan jauh.

***

[24 Mei 2007]

Udah hampir seminggu lebih karantina berjalan. Hal itu membuat sebagian perserta sibuk, terlebih-lebih Erick yang notabenenya ketua kelas. Contohnya hari ini, dia harus menyusun schedule pekan ketiga, karena akan ada tour wisata ke beberapa lokasi.

Sorenya setelah karantina selesai, Erick langsung bertemu panitia.

Sementara itu, Kara hanya di kamar bertemankan Andini. Namun sore itu, tumben-tumbennya Freya datang ke kamar. Setahu Kara, Freya memang fokus pada kegiatan karantina ini. Sebagai juara Putri Sekolah membuatnya tertarik dengan hal-hal seperti ini, pariwasata dan wawasan nusantara.

Sore itu, Freya mengajaknya jalan-jalan sekitar hotel.

"Gimana dengan sepupu gue?" tanya Freya.

Kara menyampirkan sebagian rambutnya di belakang kuping.

"Katanya kalian jalan-jalan beberapa hari ini," lanjut Freya.

"Erick cerita ke lo."

"Kami dekat. Dia selalu cerita apa pun ke gue," Freya menjeda. "Dia bilang seneng banget beberapa hari ini, bisa barengan ama lo. Bisa ngelewatin waktu bareng-bareng, mendengar banyak hal dari lo."

Kara mengigit bibir. Erick tampak bahagia akhir-akhir ini, sementara dia tak demikian. Kehadiran Mave benar-benar sungguh merusak sebagian pikirannya.

"Dia sedang berlatih cord lagu samsons, demi lo," Freya masih lanjut bicara.

Kara paham itu.

"Tolong jangan ngecewain dia," sebut Freya.

Jujur saat ini, Kara tak ada selera omong. Dia lebih banyak mendengar nasihat dari Freya. Sepupu Erick ini seperti mengetahui dilematis yang melanda Kara. Semoga semua akan baik-baik saja.

---

Malamnya omongan Freya mengiang di kepala Kara. Cewek itu menyandarkan diri dekat jendela kamar. Dia butuh menjernihan pikiran.

Sebuah pesan singkat muncul di layar ponsel. Dari nomor tak dikenal.

Kara menekan tombol yes. Pesan terbuka. Hai apa kabar?

Dari siapa? Kara menaikkan alis. Seperti yang sering dia lakukan, Kara tak membalas pesan singkat dari nomor asing.

Cewek itu ke meja mengambil botol mineral dan meneguk air. Pesan baru muncul lagi, dari nomor tadi. Aku Mave.

Paru-paru Kara naik, dia menahan napas, dan perlahan mengembus. Di saat ingin menjernikan pikiran, kenapa selalu saja ada hal-hal tentang Mave yang tiba-tiba datang. Seperti angin yang selalu muncul sebelum hujan. Tapi..., Mave masih save nomor gue?

Kara menyeka tombol ponsel dengan jari. Pikirannya mendua, balas atau enggak.

Cewek itu memegang dahi. Mondar-mandir.

Pada akhirnya ketika sudah sepuluh menit berlalu, Kara tak membalas pesan. Sepertinya dia butuh Jessy atau Lero, butuh curhat akan segala mumet di kepala.


bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro