Catatan 13 [Edited]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[1 Juni 2007]

Tour dilanjutkan lagi ke Bukit Merese.

Kali ini persiapan panitia lebih banyak, sebab kemah berlangsung di perbukitan. Panitia tidak berkerja sama dengan siapapun. Hanya meminta izin kepada pemerintah setempat. Bukit Merese sendiri merupakan bukit gundul yang hampar oleh rerumputan. Bukit ini masih satu kawasan dengan Pantai Tanjung Aan.

Bukit Merese berbatasan langsung dengan pantai serta laut. Di beberapa bagian ada karang. Lokasi bukit ini berada di wilayah Kuta Lombok. Sekitar satu jam dari hotel.

Earphone kembali menemani perjalanan Kara.

Bus peserta hampir sampai tujuan. Bus paling depan turun duluan. Bus yang ditumpangi Kara menepi paling akhir. Begitu turun dan menjejak kaki di parkiran, Kara cengang luar biasa. Tujuh meter darinya, dia menemukan cowok jangkung bersetelan jaket. Cowok yang ingin dia tahu kabarnya beberapa hari ini, Mave!

Dia di sini?

Mave menopang sebelah tangannya di ujung headstock gitar. Dia berada di antara Erick dan beberapa panitia. Oke, sekarang penasaran Kara terbayar, Mave baik-baik saja. Kara lalu mengembangkan senyum, namun justru Erick yang membalasnya. Mave bersikap biasa, dia malah memperhatikan seri wajah Erick yang bahagia.

Sebelum menuju Bukit Merese, panitia membariskan peserta.

Kelompok mereka sama persis dengan kelompok kemarin. Artinya Kara, Freya, Anya dan Karin satu kelompok lagi.

Tenda didirikan beberapa meter dari tebing bukit. Kali ini panitia lebih melonggarkan peserta dan memfokuskan tour sebagai sarana refreshing.

Sore itu panitia menyiapkan sebuah area yang akan dijadikan tempat kumpul. Dibantu peserta pria, panitia mendirikan tiang-tiang lampu. Panitia lalu menginformasikan kalau nantinya akan ada beberapa instruktur seni—dari musik, tari dan puisi. Makanya tak heran Mave juga ada di situ. Tentu dia bergabung dalam jajaran instruktur musik.

---

Malam itu semua orang mengerubung area kumpul. Panitia dan semua instruktur berada di depan, dan menghadap peserta karantina. Kara sendiri masih di dalam tenda, dia kelupaan ponsel.

Begitu keluar, Kara mendapati seseorang di depan tenda. Mave!

"Kamu—" Kara sedikit sungkan.

"Mau gabung ke sana?" tunjuk Mave pada kerumunan.

"Iya," jawab Kara.

"O," balas Mave pendek. Cowok itu lantas berlalu ke arah belakang tenda.

Kara hanya melihatnya, hingga cowok itu menjauhkan pandang ke air pasang di bawah sana. Kara menoleh ke kerumunan sebentar, beberapa saat dia ragu, apakah harus bergabung dengan peserta atau mengikuti Mave.

Pada akhirnya dia memilih untuk bersisian dengan Mave.

"Gak jadi ke sana?" tanya Mave, dengan tatapan lurus ke depan.

"...," Kara tidak bisa menjawab.

"Btw, selamat ulang tahun," omong Mave kemudian.

Kara seketika menatap dagu Mave. Apakah dia baru ingat setelah beberapa hari aku ulang tahun? "Makasih."

"Aku pengin ngucapin dari kemarin. Tapi takutnya ganggu. Katanya Erick sedang bikin kejutan ke kamu."

Erick membocorkan kejutan yang dia bikin?

"Erick ngasih tahu gue soalnya."

Kara menghela napas. Pantas malam itu dia telepon.

"Kamu senang dengan kejutan Erick?"

Kara membunyikan jari-jarinya sebelum menjawab, "Setiap cewek yang diberi kejutan, pasti akan bahagia."

"Termasuk kamu?"

Pertanyaan balik Mave seperti sebuah interogasi. Bahagiakah aku malam itu? Kara sedikit tak yakin. Cewek itu kemudian mengubah topik obrolan. "Suasana di sini enak."

Mave tak langsung merespons. Dia tahu Kara lari dari topik sebelumnya. Cowok itu memutuskan tak lanjut membahas soal kejutan Erick. Dia memilih meladeni omongan Kara yang terakhir. "Ya, Lombok punya sejuta hal yang bisa kamu puji setiap harinya."

"Aku suka bunyi ombak itu," tunjuk Kara pada ombak yang membentur tebing tempat mereka berdiri.

"Kalo kamu mau, aku bisa antarkan kamu pada ombak-ombak lain."

Kara tak langsung menjawab.

"Gimana?" Mave meminta respons. "Besok, jam 5 pagi?"

Kara membuang napas.

Mave menggosok-gosokkan alas sepatu.

Dua menit berselang, Kara belum menyetujui. Kemudian—

"Ehm—" dehaman seseorang terdengar. Kara dan Mave kompak menoleh ke belakang. Di samping tenda ternyata berdiri Erick. Sejak kapan dia situ?

"Yang lain udah pada ngumpul," ujar Erick tujuannya ke Kara.

"Aku kelupaan hape," seru Kara, lalu beranjak dari situ.

Sementara itu Mave dan Erick tetap berada di tempat masing-masing. Rumput Bukit Merese seolah menahan alas sepatu keduanya. Erick masih di samping tenda. Sementara Mave masih di ujung tebing. Mereka saling hadang pandangan.

---

Semua peserta kini sudah lengkap di area kumpul. Mereka duduk bersila dengan posisi menghadap panitia. Sementara para instruktur duduk belakangnya.

Kelompok Kara duduk di ujung kiri. Dari tempatnya Kara bisa memantau posisi Mave.

Malam itu ada kelas singkat soal puisi, tari dan musik. Pelajaran langsung akan dimulai dengan praktek umum.

Begitu kelas musik dimulai Kara serius memperhatikan. Apalagi begitu Mave menjadi salah satu pemateri. Cowok itu mengajarkan bagaimana dengan mudah memainkan kunci-kunci gitar. Jika tahun-tahun kemarin Kara masih melihat Mave sebagai siswa, malam ini cowok itu berdiri sebagai pengajar.

Di sela-sela materi, beberapa kali Mave melirik posisi Kara. Cewek itu pun menyadarinya. Dan malam itu Mave menutup kelasnya dengan lagu dari Daughtry – It's not Over.

Sebelum panita membubarkan kegiatan, peserta diberi tugas per kelompok untuk membuat pertunjukkan besok. Peserta bebas memilih perform puisi, musik atau tari. Waktu yang diberikan hanya sehari, dan besok malam harus pentas. Mereka nantinya akan dipantau satu instruktur.

Setelah balik ke tenda masing-masing, Kara cs membahas pertunjukan besok. Freya yang dominan akhirnya memilih perform tari.

"Gimana kalo tari tradisional Lombok?" aju Freya.

"Apa gak kuno tuh?" bisik Anya.

"Itu tantangannya," sela Freya. "Bagaimana kita bisa ngilangin kesan kuno di tarinya."

"Boleh tuh," Karin setuju

"Trus nyari referensinya di mana?" Anya masih pesimis.

"Kan gampang, tinggal buka youtube, selesai!"

"Bener juga," sahut Anya.

Sementara Kara tak banyak berkomentar. Dia setuju-setuju saja. Mereka kemudian sepakat latihan jam 8 pagi.

***

[2 Juni 2007]

Kara bangun lebih awal pagi ini.

Sekarang pukul 05.05. Cewek itu memantau kawan-kawanya, mereka masih lelap. Kara meraih ponsel. Mengecek apa pun di dalamnya. Tak ada panggilan masuk, tak ada pesan.

Cewek itu lantas teringat tawaran Mave semalam.

Tawaran Mave serius?

Kara penasaran. Kalo janjinya jam 5 berarti sekarang harusnya Mave udah di luar. Kara lalu bangkit. Dia keluar tenda.

Dan— Benar saja, dua meter di depan tenda, hadir Mave. Cowok itu mengisi dua tangannya di saku jaket.

"Aku yakin kamu pasti pengin ikut."

Kara tak bisa memastikan penasaran di kepalanya termasuk bagian dari menerima tawaran Mave atau tidak.

Cowok itu lantas mendekat. Mave mengulurkan tangan, "Jadi tunggu apa lagi?"

Kara melihat uluran tersebut. Pergi enggak, pergi enggak, pergi enggak. Kara menoleh ke tenda di belakangnya. Sejurus kemudian entah dorongan dari mana cewek itu menerima uluran tangan Mave.

"Ayo," Mave menggenggam tangan Kara. Erat. Lalu membawanya pergi.

Kara seperti penurut, ketika Mave menuntunnya. Padahal hari masih gelap, dan di luar masih sangat dingin. Jujur di Jakarta meski dekat dia belum pernah merasakan telapak tangan Mave.

Cewek itu bahkan selalu melihat tangan mereka yang saling menggenggam.

"Kamu nggak nyaman dengan genggamanku?" sepertinya Mave memperhatikan mata Kara.

"Nggg—"

"Ya udah kalo gak nyaman," Mave melepas tangannya.

Bukan gak nyaman, tapi— Kara ingin menjelaskan namun suaranya seperti tertahan di tenggorokkan. Tapi aku—ngerasa seperti dilindungi.

Setelah turun dari bukit, keduanya menyusur ke arah utara lalu ke timur mengikuti garis pantai. Kata Mave mereka akan ke Pantai Tanjung Aan.

Sementara itu langit perlahan terang.

Mereka hampir sampai.

"Semangat Kar," sebut Mave ketika melihat Kara yang sedikit ngos-ngosan. Cowok itu memelankan laju jalan, dan membiarkan Kara sedikit bernapas. "Apa aku yang terlalu cepat?"

"Baru nyadar?"

"Ingin aku gendong?"

"Jangan aneh-aneh deh Mave."

"Kirain butuh."

Kara monyong bibir.

Mereka tiba di Tanjung Aan begitu matahari mulai menanjak. Kara memperhatikan sekeliling penuh takjub. Tanjung Aan memiliki garis pantai yang panjang, dengan pasir putih halus. Warna hijau laut kentara. Sementara bau laut menenangkan.

Kara yang tak sabar lalu berlari ke bibir pantai, membiarkan gulungan ombak kecil memukul-mukul kakinya.

"Ombak-ombak ini yang ingin kamu tunjukin ke aku?"

"Salah satu di antaranya," Mave mendekati Kara. "Coba kamu perhatiin bukit-bukit di sekitar, semuanya seolah melindungi pantai ini."

"Indah banget," puji Kara.

"Jakarta gak pernah nawarin hal kayak begini."

"Ya," jeda Kara. "Dan aku suka," sambungnya lalu menatap Mave. Kara sulit menutupi kalau dia bahagia pagi ini. Mungkin pemikiran dan garis wajah Mave berubah, namun kebiasaan menghadirkan hal-hal seru masih sama seperti di Jakarta.

Keduanya menyusur pantai.

"Jadi setelah ini, kamu masih akan pasif ke aku?" tanya Mave.

"Maksudnya?"

"Setelah kita bertemu kembali di sini, kamu banyak defensif. Dan jujur ini bikin aku gak leluasa ngajak kamu ngobrol."

"Bisa jadi."

"Jawaban yang ngambang," Mave cemberut. Tapi sebenarnya hari ini dia senang, karena Kara lebih banyak ngomong.

Mereka kemudian memutuskan duduk di pasir sambil menekuk lutut.

"Kabar ibumu gimana?" tanya Kara kemudian, dia ingat di pertemuan terakhir Tante Niar sedang bermasalah.

"Ibuku baik."

"Ibumu restuin kamu ke sini?"

"Ibu malah yang nyaruh. Kebetulan aku dapat tawaran dari cabang resto sebelumnya."

"Gitu," respons Kara pendek. "Lalu ayahmu?"

"Ayah jadi lebih baik sekarang. Dia bekerja sebagai buruh. Sesekali dia ke Jakarta melihat bekas perusahaan. Ayah masih berharap bisa memilikinya kembali."

Kara tak korek lanjut sebab dia tahu Mave malu jika menjelaskan tentang ayahnya.

Mereka lantas memperhatikan anak-anak kecil yang bermain pasir beberapa meter di ujung sisi kiri pantai.

"Sudah lama kita gak seperti ini," komentar Mave. "Berdua saja, tanpa Lero maupun Jessy."

Kara memainkan pasir di tangannya.

"Selama kita berpisah, kamu kangen gak ke aku?"

Seketika Kara menjamah sisi kiri wajah cowok itu. Kenapa Mave harus menghadirkan pertanyaan ini? Rindu? Sebuah kata yang hampir hilang, apalagi setelah kedatangan Erick.

Jika pertanyaannya apakah selama perpisahan mereka ada rindu. Jelas ada, Kara mengakuinya. "Rindu hanya sekelumit rasa yang menyiksa kita. Manusia punya banyak hal lain untuk merayakan kehidupan, bukan semata memelihara rindu."

"Jadi kamu kesiksa?"

Kara meluruskan pandang ke depan. "Aku tak pernah bilang merindukanmu."

"Jangan bohong Kar, apa arti air matamu di Bandung?"

Jujur Kara bingung mau jawab apa. "Perpisahan."

"Aku yakin lebih dari itu."

"Sudahlah," Kara menyerah tak punya bantahan yang tepat. Cewek itu lalu melihat jam di pergelangan tangan. Masih jam 7, waktu mereka masih banyak sebelum jadwal latihan tari. "Jadi kita hanya duduk di sini?" Kara ingin mengakhiri topik sebelumnya.

"Kamu ingin lihat ombak lain?"

"Rugi kalo kabur subuh-subuh tapi kita hanya di sini."

Mave kemudian berdiri. Cowok itu mengulurkan tangan ke Kara. Untuk kedua kalinya Kara harus menggenggam tangan Mave?

"Ayo," Mave menggerakkan tangannya yang terulur. "Akan kutunjukkan ombak di Kuta Lombok."

Kara meraih tangan Mave dan bangkit.

Mungkin sudah jalannya hari ini dia mengikuti rules yang dibuat Mave.

Mave yang tahu daerah-daerah sekitar lantas membawa Kara ke tujuan berikutnya. Mereka jauh jalan ke utara, melewati belakang bukit Merese dengan menyewa ojek. Lalu dengan beberapa menit mereka sampai di tujuan.

Sekali lagi Kara takjub ketika dipertemukan dengan pantai Kuta Lombok. Karakteristik pantainya hampir mirip Tanjung Aan, yang dikeliling bukit. Pasirnya putih dengan ombak kecil-kecil.

Namun kali ini Kara lebih menahan diri ke bibir pantai. Cewek itu membiarkan Mave duluan membasahi kakinya dengan ombak.

Kara mendekatinya.

"Jika pantai adalah tempat terakhir, aku berharap bisa menjadi ombak," tutur Mave. "Selalu pulang dengan gembira."

"...," Kara hendak berkomentar.

"Bukankah kamu suka ombak?"

Apalagi maksud Mave? Tadi di Tanjung Aan dia bicara soal rindu, sekarang malah ombak.

"Lupakanlah," Mave mengakhiri percakapannnya sendiri. "Jadi gimana? Kamu ingin mandi-mandi di sini? Atau—"

"Mandi-mandi? Menarik!"

Mendengar hal itu, Mave langsung mengangkat Kara di kedua tangannya. Kara yang kaget sempat berteriak sebelum Mave menjatuhkannya ke air.

"Aku bantuin kamu mandi," Mave tertawa lepas.

Kara cemberut. Dia lantas mengejar Mave dan mendorong cowok itu hingga basah seluruh tubuh. Alhasil keduanya berkejar-kejaran, seperti anak kecil. Lalu membiaskan tawa di udara, sebebas-bebasnya.

---

Pukul 09.17. Kara datang dengan baju basah.

Teman-teman setendanya sudah menunggu. Kara telat 1 jam lebih. Cewek itu menatap instruktur yang ada dengan raut maaf.

"Dari mana Kar?" tanya Freya.

"Gue— dari— mandi-mandi," ucap Kara bata. "Gak tahan liat pantai."

"Ya udah ganti baju dulu gih."

Kara pun ke tenda. Mengganti baju. Setelah itu dia bergabung dengan kawan-kawannya.

Menurut Freya mereka akan menarikan tari Gandrung khas suku Sasak. Di bawah komando instruktur mereka mempelajari gerakannya dari youtube. Mereka mendapat bimbingan satu jam dari instruktur. Setelah itu, Kara, Freya, Anya dan Karin harus berlatih sendiri.

Sebagai leader Freya berusaha sebaik mungkin. Namun yang terlihat amat lincah adalah Kara. gerakan-gerakannya bersemangat. Freya bahkan sampai bingung, biasanya orang yang sungkan datang telat, akan sedikit kurang konsentrasi. Tapi ini?

Kara meliuk tanggannya. Mengantar kakinya indah. Menggerakkan badannya pas irama.

Freya akhirnya memuji, "Kar, tarian lo keren."

"Oya?" Kara tak menyadarinya. Mungkinkah ini efek jalan-jalan bareng Mave?

---

Malam pementasan dimulai setelah jam 7. Panitia menyilakan setiap kelompok. Dimulai dari kelompok cowok. Hampir dominan kelompok cowok membawakan musik, hanya sebagian mempersembahkan puisi.

Tiba giliran kelompok cewek. Tim Kara jadi peserta pertama. Ketika maju, teriakan langsung membahana. Kemungkinan karena ada Freya, soalnya dia tampil cantik malam ini dengan sapuan make up tipis.

Sementara Kara yang hafal gerakan Gandrung, mencoba berikan terbaik. Anya dan Karin pun demikian. Selama menari beberapa kali Andini memberikan jempol pada Kara. Di tempat berbeda Erick dan Mave memperhatikan.

Namun menurut Kara tatapan Mave, lebih tajam dan mencuri.

Begitu selesai pentas, panitia mengumumkan kelompok terbaik. Beruntungnya, kelompok Kara menjadi yang terbaik. Freya terlihat amat bangga.

"Selamat ya kelompok kamu terbaik," sebut Erick ketika pentas bubar. Cowok itu mengantar Kara ke tenda.

"Berkat jasa Freya."

"Tapi ada kamu juga kan?"

"Thanks."

"Jujur tarianmu lebih rapi," puji Erick.

Kara mendaratkan telunjuk di bibir. "Sssst, awas kedengaran sepupu kamu."

Erick kemudian tertawa.

Melewati dua tenda terakhir, lagi-lagi Kara mendapati Mave tak jauh dari posisi mereka. Cowok itu langsung balik badan. Sepertinya dia hendak menghampiri, namun mungkin karena ada Erick di situ, dia tak jadi menghampiri Kara.

Kara tak tahu apakah Erick juga melihat Mave?

Kara dan Erick terus mengayuh langkah.

---

"Selamat," ucap Mave. Dia mengamati punggung Kara dan Erick yang menjauh.

Cowok itu tak ingin beranjak dari tempatnya sampai Kara masuk tenda.

Mave cepat pergi setelah Erick mengucapkan selamat malam, semoga pacar Kara itu tak melihatnya.

***

[3 Juni 2007]

Pagi ini, Kara giat di tenda. Ketika teman-temannya masih lelap, cewek itu sudah bangun beberes. Kadang nyanyi-nyanyi.

Bahagia ini jika faktor kemenangan semalam, rasanya bukan itu. Faktor menghabiskan pagi bareng Mave? Sepertinya itu lebih tepat.

Kara kemudian keluar tenda. Beberapa orang menyapanya. Cewek itu lalu memusat perhatian ke arah tenda panitia dan instruktur. Tentu pagi ini yang ingin dilihatnya adalah Mave. Sayang selama sepuluh menit yang dia lihat hanyalah para panitia.

Cewek itu lalu berkeliling, tak sengaja bertemu Erick.

"Mo ke mana?" tanya Erick.

"Ini keliling doang," jawab Kara. "Sebentar masih ada kelas seni lagi?"

"Hari ini jam bebas," jelas Erick. "Sebagian panitia dan instruktur sudah balik."

Berarti Mave ikutan balik.

"Mereka balik semalam setelah pentas selesai," lanjut Erick.

Astaga, jangan-jangan semalam Mave ingin mengatakan sesuatu sebelum balik. Kara mendadak buru-buru izin ke tenda. Dia meninggalkan Erick.

Cewek itu gegas.

Sesampianya di tenda, Kara mengecek ponsel. Benar, Mave meninggalkan pesan.

Hai, mungkin kamu udah tidur. Aku baru nyampe kosan. Btw, selamat ya udah menang. Kara tersenyum.

Cepat Kara membalas, terima kasih.

"Ngapain senyum-senyum sendiri?" dari belakang Freya menegur. Cewek itu memperhatikan Kara sejak masuk tenda.

"Hah?" refleks Kara.

"Sms dari Erick?"

"Bukan," jawab Kara pendek. "Sms dari temen."

---

Jam bebas hari itu kemudian dimanfaatkan Erick untuk mengajak Kara menjelajahi pantai di bawah Bukit Merese. Apalagi sunset kelihatan sempurna sore ini. Warnanya oranye kilau. Membentang di langit Lombok. Sementara itu deru ombak dan tiupan angin memainkan musik alam. Menenangkan di kuping.

"Gak terasa kita hampir tiga minggu di sini," komentar Erick.

"Iya," jawab Kara pendek.

"Kamu happy?"

"Tentu," Kara mengangguk. "Emangnya kamu enggak?"

"Aku—" jeda Erick. Cowok itu fokus pada kawanan burung yang terbang rendah. "Kamu akrab dengan Mr. M?"

Kara menghentikan langkah.

"Dia sahabat yang baik?" tanya Erick lagi.

"Kenapa nanya gitu?"

"Selain aku, di sini dia hanya ngobrol dengan kamu. Jika dia baik ke aku, pasti dia baik ke kamu."

Apakah Erick diam-diam tahu semua aktifitas aku bareng Mave di sini? Kara tak berniat merespons Erick. Erick cemburu?

Selanjutnya yang terjadi adalah kebisuan.

Tak ada yang memulai obrol, setidaknya sampai langkah-langkah mereka semakin jauh.

....bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro