Catatan 15 [B]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Pukul 20.05]

Mobil yang dikemudi Ayah sudah meninggalkan rumah sakit. Hasil pemeriksaan Bunda memuaskan. Menurut dokter, bunda harus sering-sering berlatih jalan.

Setengah perjalanan, pesan Lero muncul di layar. Sorry tadi gue ada urusan.

Kara mengetik pesan balasan. Gak apa-apa. Sekarang udah perjalanan balik.

Salam ya ke ortu lo.

Walaikum salam.

***

[22 Agustus 2007]

Persiapan menuju ujian nasional membuat seluruh siswa sibuk. Beberapa siswa yang merasa kurang, harus mengambil les privat. Sementara sebagian membeli banyak buku, termasuk Kara dan Jessy.

Dan hari ini mereka janjian ke toko buku. Hendak mencari kitab pamungkas anak kelas 3, Detik-Detik Ujian Nasional.

Masuk ke toko buku langganan, Kara dan Jessy langsung menuju buku pelajaran, dan berdiri di rak yang memajang buku khusus ujian nasional.

Kara mengambil satu buku yang sangat tebal. Berwarna biru pudar. "Kayaknya ini bagus deh," celetuk Kara. "Ada soal-soal latihannya juga."

Jessy menelusur buku khusus Bahasa Inggris. "Gue kayaknya butuh ini," Jessy menoleh. "Bahasa Inggris gue kan ancur."

Setelah mengantongi Buku, Kara dan Jessy ke toko baju. Kara merasa perlu menambah koleksi jaket, sementara Jessy butuh jeans baru.

Di toko baju, Kara langsung mengerubung koleksi jaket, sementara Jessy berada di gantungan baju paling ujung demi memburu jeans yang dia suka. Kara menyortir beberapa jaket. Cewek itu lantas memegang bahan jaket dengan motif polkadot. Sepertinya dia belum punya jaket motif ini.

Tiba-tiba Jessy datang dan menggoyang siku Kara. "Kar lo liat ke sana deh, ada Erick."

Kara langsung menoleh ke arah vertikal, lima meter dari posisinya berdiri. Yap, di deretan rok dia menemukan Erick. Kara memandang cowok itu, pun sama, Erick melakukan hal serupa.

Dua detik kemudian, seorang cewek muncul dari balik deretan rok. Cewek itu mencocokkan rok yang dia tenteng, lalu meminta penilaian Erick.

Kara memutuskan lanjut memilih jaket.

Sementara Erick terlibat obrolan dengan cewek itu.

"Itu kayaknya Liza deh. Anak kelas sebelah," seru Jessy.

"Iya gue tau."

"Kok bisa ya deket ma Liza. Padahal kan selama ini, gue gak pernah ngeliat mereka ngob—"

"Bukan urusan gue," Kara langsung memotong. Sesaat cewek itu berhenti memilih baju. Dia menghela napas panjang. Entahlah ada sesuatu yang tidak enak menjalari kapiler darahnya. Kara kembali melirik ke arah Erick, di sana mantannya itu memperlakukan Liza dengan sangat nyaman.

"Kita pindah toko aja," Kara langsung bergerak mundur.

"Kok pindah? Gue kan belum ambil jeans yang di belakang?"

Kara tak peduli, cewek itu terus menggenjot langkah.

Erick dan Liza melihat Kara yang terburu-buru. Bahkan langkah kakinya semakin cepat mendekati pintu keluar.

"Pelan-pelan," seru Jessy setengah bisik-bisik.

Kara tetap melanjutkan jalan.

Sampai di luar, Jessy ceramah, "Dengan lo menghindar kek gini, seolah negasin kalo lo cemburu."

Kara menghentikan langkah. Cewek itu menekuk kepala, benarkah dia cemburu? Entahlah. Kara kemudian menghadap sohibnya ini, "Gue hanya gak pengin lama-lama satu ruangan dengan mereka."

Jessy berusaha mencerna omongan kawannya ini. Sudah lama dia mengenal Kara, dan dia yakin sohibnya sedang bohong. "Tapi gue perhatiin, belakangan ini Erick sering jalan dengan beberapa cewek deh."

"Gue gak peduli," Kara menyambung langkah lagi.

Jessy mengekori, namun sohib itu malah melewati dua toko baju. Jessy tambah bingung ketika Kara menjangkau lift. "Loh, kok malah turun?"

"Gue udah gak mood. Balik aja."

"Tau gini gue ambil jeans tadi, Kar?" keluh Jessy.

***

[24 Agustus 2007]

Seluruh kelas IPA hari ini mempelajari matematika di pemantapan. Sebagian pembahasan ternyata sesuai dengan buku yang dibeli Kara dan Jessy kemarin.

Seperti biasa pemantapan ujian nasional selesai jam 2.

Lero memutuskan pulang duluan, katanya ingin bertemu seseorang. Alhasil Kara dan Jessy sepakat pulang bareng.

"Tadi beberapa yang diajar Bu Selin, ada loh di buku yang kita beli," tutur Jessy, mereka hampir dekat gerbang sekolah.

"Sebagian besar malah," timpal Kara.

"Gue jadi deg-degan," Jessy menahan dadanya. "Ngapain berhenti?" tanya Jessy tiba-tiba ketika Kara diam di tempat. "Ada apa?" Jessy yang masih bingung kemudian mendapat jawaban mengapa Kara berhenti. Di sana, selurus gerbang—pas di depan jalan ada Erick dan Freya yang terlibat obrolan. "O mereka?"

"Iya."

"Kar," Jessy berkacak pinggang. "Harusnya kalo lo gak ada apa-apa, gak usah ngerasa aneh gitu." Jessy tetap pengin jalan.

"Tunggu aja kenapa sih?" Kara menahan lengan Jessy.

---

"Lo gak langsung pulang?" tanya Freya ke Erick.

Kepala cowok itu celingak-celinguk memantau kendaraan. Hari ini dia sengaja tidak membawa motor. "Lo gak ngasi tau orang rumah dulu?"

"Biarin itu urusan gue!"

"Lo pergi dengan masih pake seragam gini?"

"Kan tinggal mampir di mal, beli baju. Susah amat!"

Freya ikutan celingak-celinguk. "Emang lo nyari apa?"

"Jemputan."

"Andra? Mau latian panjat?"

"Bukan!"

"Siapa?"

"Lama-lama lo kayak emak-emak. Bawel," semprot Erick sedikit kesal.

Selang sekian menit, mobil yang ditunggu Erick muncul. Mobil jazz merah itu menepi tepat di samping mereka. Kaca depannya turun otomatis. Seorang cewek berada di belakang setir.

Freya menunjukkan wajah tak suka. "Cewek siapa lagi ini?" omong Freya memelankan suara.

"Teman gue."

"Teman dari mana?" roman Freya makin gerah. Erick seolah mencari banyak pelampiasan.

"Gak usah banyak nanya kek nenek-nenek gitu." Erick menjangkau mobil. "Gue pergi dulu." Cowok itu membuka pintu sebelah dan masuk.

Mobil pun langsug melesat pergi, dan Freya hanya bisa geleng-geleng.

---

Sementara itu di belakang sana, Jessy menjadi orang paling penasaran. "Itu bukan Liza kan? Keliatan lebih tua deh. Udah kayak mbak-mbak!"

Kara datar.

"Ganti-ganti mulu," Jessy masih cerocos. "Gue malah jadi kasihan."

Roman Kara perlahan sendu.

Mendadak di depan, Freya menoleh. Dia bisa melihat Jessy dan Kara yang berada dekat pos satpam. Kara yang seperti tertangkap, langsung mundur dan balik badan. Sementara Jessy kaget dan mematung. Lima detik berikutnya baru Jessy sadar, Kara meninggalkannya. Cepat-cepat cewek itu mengejar sohibnya yang balik lagi ke dalam.

***

[25 Agustus 2007]

Pukul 02.01 pagi.

Drrrt... drrrt... drrrt. Kara terbangun, getar ponsel di meja menganggu tidurnya. Dengan setengah malas, cewek itu meraba ponsel di meja dekat ranjang. Posisi kepalanya masih di bantal.

Dapat, Kara menatap layar ponsel.

Panggilan masuk dari Erick! Sontak Kara bangkit dan bersila.

Erick telefon?

Kara mengikis layar ponsel dengan ujung jari. Untuk apa? Ketika panggilan berakhir, Kara me-silent ponsel. Jika Erick menghindar, harusnya dia tak menelepon malam-malam begini. Pelan-pelan ingatan Kara mundur ke beberapa bulan lalu di Mataram. Ingat sewaktu Mave menghubunginya malam-malam.

---

Pukul 02.15

Freya terkejut. Padahal baru saja dia melelapkan mata. Ponsel di samping bantal membangunkannya. Cewek itu kaget nama Erick muncul. Tidak biasanya sepupunya menghubungi malam-malam begini.

Freya menekan tombol hijau.

"Selamat malam, apakah ini dengan Freya?" terdengar suara bass di ujung telepon.

"Iya saya sendiri," ekspresi Freya bingung.

"Saya menghubungi anda, karena pemilik hape ini terlantar di jalan Gatot Subroto."

Freya langsung panik. "Terlantar? Pak dia sepupu aku."

"Orangnya lagi muntah-muntah, sepertinya mabuk."

"Astaga!"

"Kondisinya gak bagus. Mbak harus ke sini."

"Kalo begitu tolong sms alamat lengkapnya," Freya turun dari ranjang. "Tolong jaga dia Pak, sebentar lagi aku ke sana."

Sesaat Freya mondar-mandir. Dia bingung apa yang harus dilakukan.

Tiba-tiba dengan masih mengenakan piama Freya menuju halaman dan mengetuk sebuah pondok yang terpisah dari rumah utama. Pondok tersebut merupakan rumah tinggal pembantu. Cewek itu ke pintu paling kiri. Dia hendak membangunkan Mang Asep, sopir pribadi ayahnya.

Syukurlah Mang Asep bersedia mengantarnya.

Sopir tersebut mengeluarkan mobil, dan mereka meninggalkan rumah.

Sepanjang perjalanan Freya gelisah. Kenapa sepupunya bisa mabuk. Selama ini Erick tak pernah bersentuhan dengan alkohol. Sementara itu Mang Asep melajukan dua kali lipat kecepatan mobil. Jalan sunyi memuluskan hal itu.

Setelah memastikan lokasi Gatot Subroto, Freya meminta Mang Asep jalan pelan. Di depan dia melihat seorang pria berusia kira-kira 40an—di trotoar. Di sampingnya tergeletak Erick. Freya meminta mobil berhenti, dan segera turun bersama Mang Asep.

Freya bisa menerka apa yang terjadi usai menemukan klub malam yang hanya berjarak sepuluh meter dari tempat mereka.

"Freya ya?" bapak itu memastikan.

"Kondisinya gimana?" Freya malah bertanya. Di mengerubung tubuh Erick yang telentang di dasar trotoar. Sementara Mang Asep ikut mengerubung di sisi sebelah. Freya memegang lengan Erick. Kerah baju sepupunya penuh muntah.

"Mabuk berat ini!" kira pria itu. "Tadi aku menelepon beberapa nomor yang berada di panggilan terakhir. Cuman kamu yang angkat."

Uhuk-uhuk. Erick batuk-batuk, tubuhnya guncang-guncang.

"Makasih pak."

"Gue di—" Erick melantur. "Ini kenapa dingin?"

"Mang Asep bantuin masukin ke mobil," seru Freya kemudian.

"Baik Non."

Orang tadi ikut membantu mengangkat tubuh Erick.

Freya lantas membuka pintu mobil. Mereka meletakkan Erick hati-hati di jok belakang.

"Sekali lagi terima kasih pak," hatur Freya pada bapak yang menelponnya lalu pamit pergi bersama mobil yang dikemudi Mang Asep.

"Mau dianter ke mana Non? Ke rumah Den Erick?" tanya Mang Asep selepas mobil meninggalkan Gatot Subroto.

Freya berpikir sebentar. Tidak mungin membawa Erick ke rumahnya. Bisa-bisa ayahnya marah besar. Erick adalah anak pertama, sering jadi panutan dalam keluarga. Dan mabuk bukanlah hal yang disukai ayah Erick. "Kita bawa ke rumah aja," putus Freya.

"Serius Non?"

"Kar... Kara...," terdengar suara Erick.

Mang Asep memonitor tubuh Erick dari spion di atas dasbor. "Den Erick nyebut nama siapa Non?"

"Bukan siapa-siapa."

Selama ini boleh jadi Erick bisa jalan dengan cewek mana pun, namun hatinya tetap bertaut pada Kara. Buktinya dalam keadaan mabuk pun nama Kara bisa tercetus. Bukankah orang mabuk bisa meluapkan emosi secara jujur?

Sesampainya di rumah, Freya meminta Mang Asep membawa Erick ke pondok, "Bawa Erick ke kamar Mang Asep aja."

"Gak ke dalam aja?" tunjuk Mang Asep ke pintu rumah. "Kamar Mang Asep sempit, gak nyaman."

"Gak apa-apa, kalo ke dalam ayah bakalan tau. Itu lebih bahaya," jelas Freya. "Ayo cepat."

"Iya—iya Non."

Freya ikut menggotong Erick, cewek itu terlihat susah payah. Mereka meletakkan tubuh Erick yang kini sudah lelap di ranjang kecil milik Mang Asep.

Freya menghela napas, sembari memperhatikan roman muka Erick yang lesu. Ada sirat lelah di sana. Latihan panjat yang intens, jalan dengan banyak cewek, dan kini mabuk-mabukkan; sungguh efek Kara benar-benar nyata sekarang.

"Mang sementara tidur di lantai aja dulu."

"Mang Asep mah bisa tidur di mana aja, Non."

"Nanti subuh aku ke sini lagi. Mudah-mudahan dia sudah sadar."

Freya melangkah keluar, dan kemudian balik badan ketika sampai di depan pintu. "Tolong jangan bilang sama Ayah ma Ibu. Kejadian ini hanya Mang Asep dan aku yang tau," ultimatum Freya.

"Siap Non!" Mang Asep membuat gerakan hormat.

....bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro