Catatan 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[07 September 2007]

"Diharapkan semua siswa fokus menghadapi ujian," umum kepala sekolah dalam apel pagi ini.

Sudah hampir 15 menit beliau memberikan arahan di lapangan. Kepala sekolah menegaskan hasil ujian menentukan kelulusan. Artinya jika nilai ujian tak memenuhi standar, harus mengulang tahun depan.

Sebagian siswa langsung waswas.

Sebagian yang lain takut membayangkan kalau mereka gagal. Kara membidik Jessy yang berada tiga deret di belakangnya. Sahabatnya itu tampak biasa aja.

"Sekarang semuanya bisa kembali ke kelas," kepsek membubarkan apel.

Kara yang hendak menghampiri Jessy, kemudian tertahan. Entah dari mana tiba-tiba Freya muncul. Sepupu Erick itu sama kaget juga.

Kara menyapa sungkan, "Frey."

"Hai," balas Freya. "Lama gak ngobrol."

"Iya nih," jawabnya masih sungkan.

"Mau ke kelas?"

Kara belum mau menjawab. Semoga aja nggak ada bahasan soal Erick, doanya dalam hati. "Iyah."

"Rencana kuliah di mana nanti?" tanya Freya.

"Belum juga lulus, Frey."

"Sapa tau ada gambaran."

"Nanti liat deh," jawab Kara. "Ya udah gue ke kelas dulu." Kara sengaja mengakhiri obrolan agar pembicaraan tak ke mana-mana.

---

Freya masih tak beranjak dari tempatnya ketika Kara sudah hilang di pintu kelasnya. Sampai detik ini, dia masih bingung kenapa Erick bisa secinta itu pada Kara.

Tiba-tiba sms masuk di layar ponsel Freya.

Dari Erick.

Selesai membaca, pesan kedua muncul. Gue tunggu di halte deket rumah.

---

Pulang sekolah, Freya langsung ke ATM. Cewek itu melakukan penarikan. Empat juta rupiah. Dari ATM dia menupangi ojek, menuju sebuah halte.

Janjian ketemu Erick.

Dari kejauhan, sosok Erick sudah tampak. Cowok itu mengenakan seragam, dan menyandarkan punggung kirinya ke tiang halte. Terdapat empat orang lain, duduk-duduk di sekitar.

Freya membeliak ketika ojek berhenti tepat depan halte. Cewek itu tak percaya dengan apa yang dilihatnya dari Erick. Lengan sepupunya ini penuh dengan garis-garis hitam. Freya gegas turun dan duduk di samping sepupunya.

"Sorry udah nyusahin," ujar Erick.

"Lo nato sekarang?" Freya tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.

"Iyah!" jawab Erick setengah kesal. "Gak usah kayak bokap gue deh. Nanya-nanya gak jelas!"

Freya geleng-geleng. Dia lekat mengamati tato-tato itu. Gambarnya rumit dan berkelok-kelok.

"Mana uangnya?" tagih Erick.

Freya membuka tas. Begitu memberikan uang, sebuah tulisan di lengan nadi Erick tampak. Tulisan itu bentukan dari empat huruf; kara.

Freya seketika menghunjam bola mata Erick. Sepupunya sampai harus mengabadikan nama Kara di lengannya? Secinta itukah Erick pada Kara? Perlahan Freya merasa kasihan, Kara jadi efek yang tak baik bagi sepupunya.

"Nanti gue ganti uangnya," janji Erick, lalu bangkit.

Cowok itu bersiap-siap menaiki bus yang kebetulan berhenti. Dengan sigap Erick loncat ke pintu bus. Dia kemudian menoleh. "Sabtu ini gue tanding panjat, kalo mau lo bisa dateng," ucapnya lalu berdesakkan di dalam.

***

[08 September 2007]

Besoknya!

Tentu tulisan di lengan Erick membuat Freya ingin sekali bertemu Kara. Namun sepertinya cewek tak punya nyali menyambangi kelas Kara. Setiap mau ke sana, seperti ada bagian dalam dirinya yang enggan. Apalagi, sepintas Kara sudah tampak baik-baik saja tanpa Erick.

---

Pukul 12.49

Pulang sekolah Kara, Jessy dan Lero semobil lagi. Mereka akan ke rumah Kara duluan. Terdengar lagu Samsons dari sound mobil. Jessy yang akhir-akhir ini hapal lagu Samsons (karena tertular Kara), ikut nyanyi.

Lero menurunkan volume lagu. "Eh gue lupa, kemarin Mave ngajakin nonton weekend ini," bocor Lero.

"Di mana?" refleks Jessy.

"21. Pada mau gak?"

"Boleh," Jessy setuju.

"Gimana Kar?" aju Lero.

"Gue sih ayuk aja," sambut Kara.

"Oke sip, nanti gue kabarin Mave," Lero memutar setir, lalu membesarkan kembali sound.

***

Weekend tiba!

Sudah 30 menit Kara, Mave, Jessy dan Lero dalam perjalanan ke mal. Mereka menumpangi mobil Mave.. Mereka sengaja pergi lebih awal, agar bisa jalan-jalan bentar, atau makan-makan sebelum nonton.

"Emang film apaan Mave?" tanya Jessy yang duduk di jok belakang samping Lero.

"Mau yang romance atau action?"

"Romantis aja."

"Cintapuccino?" tawar Mave.

"Film yang dari novelnya Icha Rahmanti kan?" Kara menebak. "Aku sempat baca novelnya."

"Ya udah nonton itu aja," timpal Lero, dan semuanya setuju.

Mereka tiba di mal sebelas menit berikutnya. Halaman kiri mal, sore itu lumayan ramai. Banyak orang berkerumun. Sepertinya ada acara, suara MC terdengar. Kara, Mave, Jessy dan Lero tak hirau, mereka menapaki anak tangga ke pintu utama mal.

"Dan masuk kitake babak final kategori speed, yang mempertandingkan dua atlet yang memenangkan laga semifinal tadi," suara MC samar. "Arwin Bermuda di jalur kiri, dan jalur kanan Maverick Adianto Guntur!"

Langkah Kara tertahan. Meski samar dia familier dengan nama itu.

"Lo kenapa?" tanya Jessy. Mereka sudah pintu masuk.

Lero dan Mave ikut bingung. Ekspersi Kara aneh.

"Kalian duluan, nanti gue nyusul," perintah Kara ke teman-temannya, dia harus memastikan apa yang didengar tadi. "Nanti sms lokasi kalian."

Meski bingung, Mave, Lero dan Jessy membiarkan Kara. Ketiganya lanjut ke lantai dua.

Begitu tiga temannya hilang dalam penglihatan, Kara langsung gegas, dia kembali ke halaman, dan mempercepat gerak kaki ke arah kiri gedung.

Di halaman kiri gedung, berjubel banyak orang. Terdapat dua dinding panjat. Dan perkiraan Kara sepertinya benar. Cewek itu lalu menerobos kerumunan, agar dapat memastikan atlet yang bertanding.

Setelah susah payah, akhirnya Kara bisa menemukan dua atlet yang siaga di depan dinding. Dan tepat, di salah satu dinding memang ada Erick. Tapi Kara kemudian cengang, dia kaget dengan lengan Erck yang tato.

"Kedua atlet bersiap," sebut MC lagi.

Keterkejutan lain terjadi. Tak sengaja Kara bersirobok pandang dengan Freya. Cewek itu berada di baris paling depan.

Buru-buru Kara menunduk.

---

Sepertinya itu Kara.

Freya celingukkan. Cewek sangat yakin penglihatannya tidak salah, tapi kenapa tiba-tiba Kara menghilang? Apa ini hanya halusinanasi gue doang? Atau karena mungkin beberapa hari ini gue pengin ketemu Kara?

---

Kara memilih mundur, dan mencari tempat aman. Dia berdiri di sisi tembok gedung yang jauh dari jangkauan Freya. Selain itu dari tempatnya dia cukup leluasa menonton Erick.

Hitungan mundur di layar terlihat, 3, 2, 1!

Buru-buru dua atlet itu naik meraih poin panjat.

Kara antusias, berharap Erick lebih cepat.

Cewek itu mengepalkann tangan semangat, ketika kurang dari enam detik, Erick nyaris menyentuh puncak.

Tetapi..., tiba-tiba semua penonton kaget, termasuk Kara. Saat hendak menyentuh poin terakhir, Erick tergelincir jatuh. Sepertinya poinnya licin.

Lawannya pun menyentuh puncak.

"Sayang sekali, Maverick harus terjatuh, dan pemenang kategori speed ini adalah Arwin!" umum MC.

Erick yang masih tergantung di tali menunduk. Kecewa. Begitupun dengan Kara.

Dua atlet tersebut turun. MC mendekati pemenang, dan menanyakan perasaan sang juara setelah memenangkan turnamen ini.

Rasanya cukup melihat Erick sejauh ini. Kara menjauh dari tembok dan hendak menyusul kawan-kawannya.

"Kalo kamu?" tanya MC pada Erick.

"Jujur gue kecewa," tutur Erick.

Kara tetap jalan.

"Meski hanya runner up, kemenangan ini gue berikan untuk orang yang selalu ada di hati gue."

Kara berhenti.

"Dan itu Freya, sepupu gue!"

Semua orang tepuk tangan dan mengarah ke Freya.

Bukan, bukan gue orang yang di hati Erick sekarang. Dia sudah move on. Kara melanjutkan langkah. Cewek itu mengambil ponsel dan mengecek sms dari kawan-kawannya.

---

Kara menemui tiga temannya di salah satu restoran cepat saji. Namun di meja hanya ada Mave dan Jessy.

Kara menarik bangku dan duduk. "Sorry lama. Lero mana?"

"Ke toilet," Jawab Jessy.

"Mau pesan apa," tanya Mave.

Kara melihat-lihat buku menu.

"Tadi emang ke mana?" tanya Mave kemudian.

"Enggak, gue ke ATM bentar tadi," kilah Kara.

"Tapi kok lama?" Jessy langsung menyambar.

Mave yang tidak engah, kemudian sadar dengan pertanyaan Jessy. Di mesin ATM kan tidak butuh waktu lama, antriannya pun paling beberapa saja.

"E—" Kara bingung mau jawab apa.

"Baru datang?" Mendadak Lero muncul. "Gue ganti menu deh kayaknya, tadi bikin mules."

Alhamdulillah kemunculan Lero menghentikan interogasi sahabat-sahabat. Kara lalu menanyakan apa yang dimakan Lero tadi agar obrolan tak kembali ke awal.

---

Pukul 19. 17

Freya menyapu medali perak yang dipegang, lalu fokus pada tengkuk Erick yang berada di jok depan, mereka menumpangi taksi. Sepupunya ini seolah tak suka dengan medali yang didapat. Bahkan sepanjang perjalanan pulang pulang, Erick dominan diam.

"Terima kasih, kemenangan lo didedikasiin ke gue," sebut Freya.

"Ambil aja. Dibawa ke rumah juga gak dianggap bokap."

Penampilan Erick yang karuan akhir-akhir, membuat ayah tak respect. Mereka bakhan kerap terlibat adu mulut, malah sekarang Erick disekolahkan di pinggiran Jakarta dan itu bukan sekolah favorit.

Berarti tadi ketika dia bilang senang pas ditanya mc itu boong.

"Gue hanya pengin jadi nomor satu, gak mau yang kedua. Menjadi yang kedua itu nyakitin."

Freya tahu arah pembicaraan sepupunya. "Tadi gue seperti ngeliat Kara," bocor Freya.

Erick tertawa. "Lo coba hibur gue?"

"Serius, tapi gue agak kurang yakin sih."

"Lo sendiri gak yakin, malah berusaha yakinin gue," Erick remeh. Cowok itu mengeratkan sabuk pengaman. "Jangan berisik gue mo tidur, capek." Erick menyandarkan kepala ke jok. "Bang lambatin kecepatannya ya," katanya pada supir taksi.

---

Pukul 21.03

"Lusa nyokap lo pemeriksaan lagi kan?" tanya Lero begitu mereka keluar bioskop. Sekian kali mengantar ibu Kara, membuatnya tahu jadwal rutin pemeriksaan.

"Iya," jawab Kara. "Mau ikut nganterin?"

"Boleh juga tuh," terima Lero. "Kalian gimana?" tanya Lero ke Jessy dan Mave.

"Boleh," sambut Mave. Dia belum pernah mengantar ibu Kara.

"Gue kayaknya ada urusan deh," Jessy coba-coba ingat apakah lusa ada agenda atau tidak. "Kalo gak sibuk, bakal gue kabarin. E, tapi tadi filmnya bagus ya?" Jessy tiba-tiba ingat film yang mereka tonton. "Kapan-kapan kita nonton lagi, double date gitu."

Kara spontan melirik sahabatnya. Double date? Dia dan Mave kan gak—

"Maaf, maksudnya pergi berempat," Jessy meralat omongannya.

Sementara itu Mave menatap Kara.

"Doa temen kadang manjur loh," goda Lero. Bermaksud untuk jodohin Mave dan Kara (lagi). "Bener gak Jess?"

"Bisa jadi."

Kara yang merasa tergoda buru-buru jalan duluan. Jadi pusat godaan bikin pipinya merah.

---

Pukul 21.59

Mave menepikan mobil depan rumah Kara. Kini memang tinggal mereka berdua. Jessy dan Lero sudah diantar.

Mave menyalakan lampu diatas dasboar. Mesin mobil masih terdengar.

"Aku duluan ya," ucap Kara, hendak membuka pintu.

"Tunggu."

Kara batal buka pintu. "Apa?"

Mave membuka laci, mengambil dua buah kertas. "Ini, tiket konser mini Samsons."

Kara membelalak. Cepat cewek itu mengambil tiket yang terulur. "Really?"

"Ya!"

Kara membalik-balikkan kertasnya. 13 September 2007, pukul 19.00, Ballroom Kuningan City.

"Gimana mau gak? Kita berdua!"

"Tentu, tentu saja!" ucap Kara berbinar. Jujur cewek ini tidak menyangka akan mendapat kejutan malam ini. Mave selalu tahu cara bikin dia happy. "Kalo gitu, gue ke dalam." Kara membuka pintu mobil.

"Goodnight," ucap Mave.

"Goodnight too."

***

[10 September 2007]

"Mau ke mana Mave? Gak ke resto?" tanya Ayah.

Mave tampak rapi dengan kemeja flanel dan celana pendek. "Mau ke rumah temen."

"Trus resto?"

"Udah ngecek tadi pagi, beberapa kerjaan sudah Mave titip ke Pak Haris."

Ayah angguk-angguk. "Emang pergi sendirian?"

"Bareng Lero."

"Anaknya om Panca?"

"Ya."

Ayah memperhatikan anaknya lama, sekitar 3 menit. "Ya udah baliknya jangan kemalaman. Ayah yang pengin nunjukin laporan cabang kita yang di Bogor."

"Siaap bos!"

Dari rumah, Mave langsung menjemput Lero. Sore ini mereka sepakat mengantar ibu Kara ke rumah sakit. Jessy tak ikut, dia ada acara.

Sesampainya di rumah Kara, mereka langsung berangkat ke rumah sakit. Kara dan Bunda menempati jok belakang.

Dalam perjalanan beberapa kali Bunda berkomentar soal kebaikan teman-teman Kara. Selama ini semuanya care. Meluangkan waktu menemani beliau ke rumah sakit. "E, tapi yang dulu sering ke rumah, udah jarang datang?"

"Siapa?" tanya Kara refleks.

"Yang gondrong."

Lero dan Mave saling lirik.

"Erick ya itu namanya," Bunda ingat.

"Udah pindah sekolah Bun," jujur Kara.

"Balik ke Bandung?"

Akh Bunda makin penasaran? "Sepertinya masih di Jakarta," jawab Kara.

Lero dan Mave kompak mengintip Kara dari spion di atas dasbor. Jawaban Kara terdengar yakin.

"O," ujar Bunda pendek.

Untunglah setelah itu obrolan soal Erick selesai.

Mereka tiba di rumah sakit sepuluh menit kemudian.

Lero sigap membuka pintu, dan menuntun Bunda turun. Beberapa kali mengantar, dia seolah hapal akan tugasnya.

Kara buru-buru ikut membantu.

"Bunda kan udah bisa jalan sendiri, gak usa dipegang," tolak Bunda lantaran Lero memapah beliau. "Kalo gini kan Bunda kayak nenek-nenek."

Lero tertawa.

Sementara itu Mave mengikuti di samping. Lero yang sebegitu care-nya ke Bunda membuat Mave lumayan iri. Dia juga pengin berada di posisi Lero. Terakhir kali ngobrol bareng Bunda juga hampir setahun lalu, dan semua terlihat berubah—sosok Bunda benar hapal kawan-kawan Kara satu per satu.

Pemeriksaan hari ini cuma sebatas ct scan dan saraf saja.

Kara, Mave dan Lero menunggu di depan ruang pemeriksaan.

"Enak ya sebentar lagi kalian lulus," komentar Mave. "Rencana lanjut ke mana?"

Lero yang sibuk dengan ponselnya, berhenti mengetik. "Bokap pengin gue lanjut ke Jepang. Ngambil manajemen," ada nada tak bangga di situ.

"Tapi lo sendiri maunya?"

"Gue penginnya di Jakarta aja." Lero membuang napas. "Bahkan bokap udah ngurus paspor dan visa gue."

"Jessy udah tau?" Kara bertanya.

"Dia udah tau kok."

"Berarti kita bakalan jauh dong?" Mave menyeka tangannya.

"Tapi dari kemarin gue udah diskusiin ini ke bokap. Bokap bilang, gue bisa di Jakarta asal nilai ujian gue bagus."

"Kalo kamu Kar?" tanya Mave ke Kara.

"Aku di Jakarta aja. Keuangan keluaraga aku kan gak bagus."

Mave kemudian angguk-angguk.

.....bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro