🐏21. Peraturan Rumah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nebul kok belom sampe-sampe, ya, Ona?" tanya Asya sembari melirik arloji merah mudanya yang ia lingkarkan di tangan sebelah kiri.

Keduanya masih terduduk manis di ruang sofa tamu. Sesekali mengecek ponsel, berharap Nebula mengirimkan pesan, seperti mau membawakan mereka sebungkus sate ayam gitu.

"Nanti juga sampe, Sya. Lagi teduh kali karena hujannya deres banget. Eh, apa jangan-jangan dia di jalan kesamber petir dan pingsan?! Nggak mungkin, ini cuman pikiran gue aja, sip." Astaga, bisa-bisanya penyakit pikirannya itu kambuh. Bagaimana jika omongan adalah doa? Waduh, bisa bahaya.

Ya ... tapi mau bagaimana lagi, karakter mereka itu sebenarnya tak beda jauh. Cuman yang satu masih bisa mengatasi, lalu kalau Nebula, sudah tahu sendiri apa yang akan terjadi selanjutnya.

Asya mengembuskan napasnya kasar. Seharusnya tadi dia enggak mengiyakan ajakan Halona untuk pergi duluan. Kalau begini, jadinya 'kan kasihan Nebula. Padahal bisa pulang bareng pake taksi daring. Tak jelas pula sekarang Nebula diantar siapa, semoga saja sama Arcas.

Hingga seorang gadis kecil yang tak lain lagi adalah Nash datang menghancurkan lamunan mereka. Gadis itu datang membawakan dua kotak susu vanila yang masih berkeringat dingin, lantas menaruhnya di atas meja.

"Ayah maksa Nash kasih Kakak Ona sama Kakak Asya minum. Kenapa coba tadi pake nolak permintaan Bibi?!" seru gadis berkucir dua itu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Maafin kita, ya, Nash," balas Halona dengan senyum super ramahnya.

"Ya udah, itu bawa susunya! Kata Ayah, Kakak-Kakak boleh masuk kamar Kak Nebul. Tapi awas, ya, kalau barangnya dicuri kayak si Prinses yang ambil laptop Kakak!" peringat Nash.

Pokoknya apa pun yang berkaitan dengan Nebula, ialah penjaganya. Awas saja, kalau sampai ada yang berani macam-macam, maka gadis berkaos kuning Gudetama dengan rok pendek putih itu siap maju ke garis terdepan!

"Oke, makasi banyak, Nash!" seru Halona yang langsung bangkit sembari menatap layar ponselnya dan berlari kecil ke lantai atas untuk naik ke kamar Nebula. Sementara Asya, cewek itu justru menebar senyuman sembari mengangguk pada Nash dan membawa dua kotak susu yang seenaknya ditinggalkan oleh Halona.

"Kak Sya ora odo sopan-sopanne. Koyok ora odo mulut buat ngomong makasih," ujar Nash sambil melempar lirikan tajam ke arah Asya yang baru saja menginjakkan kaki di tangga pertama.

(Kak Sya nggak ada sopan-sopannya. Kayak nggak ada mulut buat ngomong makasih)

"Tadi Sya udah nganggukkin kepala. Nash nggak liat?"

Nash menggeleng cepat. "Itu namanya lagi ngomong iyo, bukan makasih!"

"Kakak Ona udah ngumpet ke kamar Kak Nebul, kok dia nggak ditahan? Cuman Sya doang?" protes Asya sambil memanyunkan bibirnya lima senti.

"Urusan Nash sama Kak Asya! Coba Kak Sya ulangin ngomong makasihnya! Nash mau denger."

"Nash, udah, ya. Sya ngantuk." Asya membuka mulutnya sambil menutup pelan-pelan. Berharap bocah kecil itu segera pergi dan tidak mengganggu dirinya lagi.

Sip, lama-lama Asya bakal kapok main ke rumah Nebula. Kenapa hari ini si adik kecil tidak pergi les saja bersama sang ayah seperti biasanya? Lalu dilanjut pergi makan sampai malam tiap kali mereka datang. Katanya, sih, biar enggak ganggu kerja Nebula. Kan selain berfungsi sebagai sahabat, Asya sama Halona juga suka disuruh-suruh untuk bantu endorse.

Lagi pula hidup seorang Nebula dan Nash itu enak. Semua sudah tercukupi karena sang ayah yang memiliki beberapa cabang restoran—walau tak pernah Nebula beri tahu apa namanya. Jadi, seharusnya Nash tak perlu repot-repot mengganggu teman kakaknya karena bisa bermain di mal.

"Nggak boleh kayak gitu!" teriak Nash yang langsung berlari dan menarik tangan Asya sampai cewek itu turun dari tangga.

"Astaga, Nash kenapa gangguin temen kakak terus?" tanya Karma yang akhirnya keluar dari kamar sembari membawa gulungan koran. Ini, nih, yang ia takutkan apabila Nash sedang libur les, lalu mengganggu teman-teman Nebula yang tak mau menuruti perintahnya.

Suara bariton yang baru saja memasuki area tangga naik seketika membuat Asya bernapas lega. Ya ampun, akhirnya penyelamat datang. Tak perlu ia menguras emosi.

"Ayah! Kakak itu nakal nggak punya sopan santun."

"Loh, Nash ngomongnya bisa normal?" tanya Asya sambil membelalakkan kedua bola matanya lebar.

"Maaf, anaknya kalau sama orang asing memang suka begitu," balas Karma yang langsung berjalan dan menyejajarkan tingginya dengan Nash.

Pria itu sontak mengusap lembut puncak kepala sang putri kecil. "Nash, lain kali nggak boleh, ya, gangguin temen kakak. Mereka kan mau main doang."

Bukannya mengangguk patuh, sang gadis kecil justru menggeleng sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Asya. "Cepet ulangi! Soalnya Kakak Asya udah masuk ke lingkungan Nash, jadi harus patuh sama peraturan yang udah dibuat Nash!"

Mengembuskan napasnya kasar, lantas Karma melayangkan telapak tangannya ke depan bibir Nash. Menutup bibir gadis itu agar diam, kemudian berkata, "Udah, Nash masuk kamar. Biar ayah yang ngomong sama Kakak Asya. Oke?"

Entah ada mantra apa yang dibacakan Karma, Nash mengangguk dan berlari kecil ke dalam kamar. Lantas karena hal itu, Karma pun melangkah mendekati Asya.

Asya bernapas lega usai sang gadis pengganggu akhirnya lenyap dari permukaan. Walau beberapa detik kemudian, jantungnya mendadak berdebar saat sebuah dering ponsel bergetar di area saku roknya.

Usai menatap siapa nama yang tertera, gadis itu sontak mengangkatnya. Hanya butuh beberapa detik, bibir sang gadis kembali bergetar. Menimbulkan rasa sesak yang begitu dalam sampai tak sadar bahwa beberapa tetes air mata sudah mendarat di area pipinya.

"I-iya, Sya udah mau pulang," lirih sang gadis sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku.

Lututnya mendadak lemas, bahkan hampir terjatuh apabila Karma tak sesegera mungkin menangkap pergelangan tangannya. Sedikit memejamkan mata, tapi ternyata seluruh organ tubuhnya tak bisa diajak bekerja sama. Air matanya lolos begitu saja kala mengingat apa yang terucap oleh lawan bicaranya di seberang sana. Bagaimana jika ...? Astaga, kenapa sifat overthinking Nebula harus menular di saat-saat seperti ini?!

"Sya izin p-pulang dulu. Makasih, Om. Maaf sudah merepotkan." Usai berucap, gadis itu sontak berlari dari tempat ia berpijak. Meninggalkan Karma sendirian yang justru ikut terdiam sambil menatap kepergian gadis itu.

"Sya marah sekali dengan Nash? Maafin dia, ya," teriak Karma yang mungkin bisa meredakan perasaan tak enaknya.

Tak ada jawaban, gadis itu terlalu cepat 'tuk menghilang dari balik pintu masuk. Membuat Karma akhirnya mengembuskan napas kasar dan kembali untuk menasihati Nash.

"Sya?" panggil Nebula yang baru saja menginjakkan kaki di garasi. Gadis itu terdiam, menatap ke arah Asya yang entah mengapa berlari sambil menumpahkan air mata. Hingga ketika sebuah taksi melintas, gadis itu berlari masuk ke dalamnya.

Hah, apa, sih? Kenapa aneh kali gadis itu? Tadi pas dirinya masih terdiam di halte dan tak berani mengangkat telepon dari Halona karena takut disamber petir--kayak kata ibunya--enggak boleh main ponsel waktu hujan, rasanya tak ada sesuatu yang mendesak di rumah. Soalnya misal ada pun, pasti Karma yang menghubungi.

"Makanya kalau punya adek tuh suruh jaga sikap. Kita nggak ada yang tau kondisi hati orang lagi kayak gimana. Mungkin lagi ada masalah keluarga atau apa, terus dia kesel sama Nash."

Nebula menghela napasnya kasar. Ih, dasar lelaki tidak berguna! Lagian, Asya enggak pernah kayak gini sebelumnya. Tapi apa jangan-jangan yang diucapkan oleh Arcas itu memang benar adanya?

Ada yang bisa tebak enggak si Asya kenapa? Sama ... aku juga bingung kenapa anaknya aneh begitu.

Btw, gimana kabar kalian hari ini?

Vitamin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro