Dialog Dapur (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rupanya bukan tanpa alasan bawang merah mendapat julukan si penabur air mata. Kali ini aku sudah membuktikan sendiri dengan memotong bawang merah itu menjadi lapisan tipis. Ibu menyuruhku mengupas dan memotong beberapa siung untuk dicampur dalam sambal terasi. Katanya, semakin banyak bawang merah, semakin enak rasanya. Lagi-lagi, demi mendapatkan label menantu ideal, aku menuruti kata Ibu tanpa banyak tanya. Termasuk saat mataku mulai pedih dan tanpa disadari air mataku sudah meler ke mana-mana.

"Masa' motong bawang merah aja sampai nangis? Koe kan kerja di majalah fashion. Pasti sering motong-motong baju, to?" Ibu tampak geram setelah setengah jam berlalu, aku masih belum juga menyelesaikan bahan-bahan untuk sambal terasi.

Hanya butuh lima siung bawang merah, dua siung bawang putih, cabe rawit merah, tomat, gula jawa, dan terasi. Namun, bawang merah, sang empunya rasa membuatku nyaris tidak berkutik. Mengupas dan mengiris bawang merah tidak semudah bawang putih. Bagian yang paling sulit dari ini semua justru betapa si bawang merah ini paling jago membuatku tumpah ruah tidak terkendali.

"Syana enggak motong baju, Bu. Syana cuma editor tulisan." Jawabanku sangat tidak relevan dengan situasi saat ini. Baju dan bawang merah tidak sama. "Jadi, kalau tulisannya mau diterbitkan, harus Syana cek dulu benar salahnya. Kalau sudah oke, baru boleh naik cetak."

Ibu hanya manggut-manggut. Ia tampak mengerti dengan pekerjaanku. "Oh, Ibu paham. Kayak supervisor gitu, ya? Dulu, pas Ibu masih kerja di pabrik, waktu masih muda, ada juga yang kayak gitu. Kerjanya ngeliatin laporan, kalau sudah oke dia tanda tangan."

Gantian aku yang mengangguk. Aku tidak pernah tahu bahwa Ibu pernah kerja di pabrik. Mas Bagas tidak pernah cerita malah.

"Kalau supervisor itu sudah atasan banget, Bu. Hampir jadi bos. Kalau Syana, belum. Semoga bisa naik jabatan. Amin."

"Kalau kamu naik jabatan, gajimu tambah besar, Nduk?" tanya Ibu.

Aku mengangguk. "Iya, Bu. Mungkin bisa empat atau mungkin lima sebulannya."

"Lima ratus ribu? Mbok yo, koe nang omah wae, Syaaan."

Jika kukatakan gajiku bisa lebih besar dari gaji Mas Bagas, apa Ibu akan tersinggung? Tidak seharusnya. Bagaimana pun juga, kami sudah sepakat untuk saling terbuka masalah keuangan. Namun, bagaimana jika Ibu tipikal wanita yang tidak mau superioritas kaum suami dikalahkan nominal gaji kaum istri. Bagaimana jika Ibu justru melarang aku naik jabatan karena takut ego Mas Bagas yang malah terancam?

"Ya, kurang lebih segitu lah, Bu. Kalau beli lipstik dan bedak, masih cukup."

"Koe ki wis ayu lho, Nduk. Apalagi yang mau dipermak?" Ibu memujiku. Ya, walaupun hanya pujian fisik, setidaknya ini membuatku bahagia. Membuatku nyaris terenyuh karena kukira Ibu tidak pernah menyukaiku. "Awalnya, Ibu kira, Bagas pacaran sama bule, pas kalian pertama ke rumah dulu. Ibu enggak nyangka, akhirnya menikah juga."

"I-iya, Bu. Udah mau dua tahun juga," sambungku.

"Dua tahun menikah, udah bisa masak masakan favorit Bagas apa saja?"

Lagi-lagi, pertanyaan yang paling tidak kusukai. Aku tidak tahu masakan favoritnya. Ia selalu suka semua yang aku beli. Bahkan ketika kami sama-sama malas jajan di luar, semangkuk mie rebus yang diaduk dengan telur, juga katanya sudah jadi makanan terenak yang pernah ia makan. Atau mungkin, karena itu satu-satunya masakan yang pernah aku buat untuknya?

"Baru ... mi rebus, Bu." Aku menjawab jujur. Daripada ditagih masak ini itu, lebih baik mengaku lebih awal bahwa aku memang tidak kenal bawang merah, bawang putih, dan teman-temannya ini.

"Indomie rebus?" Ibu tampak kaget.

Lagi-lagi aku menelan malu. Menantu macam apa yang cuma bisa masak Indomi. Aku tahu aku gagal, tetapi Mas Bagas tidak pernah menuntut apa pun. Aku kan jadi tidak tahu harus belajar masak atau bagaimana. Ia justru membiarkanku fokus pada pekerjaan dan tidak pernah minta dimasakkan apa. Aku tidak sepenuhnya salah, kan?

"Nggak bisa kalau terus-terusan kayak gini. Mulai hari ini, kamu tiap pagi dan sore harus belajar masak sama Ibu!" perintah Ibu tegas.

Mulutku nyaris menganga saking kagetnya. Aku? Masak? Tiap hari? Tidakkah Ibu tahu apa yang terakhir kali terjadi saat aku masak? Nyawaku dan Mas Bagas nyaris jadi korban!

"Dan kupas semua bawang merah bawang putih ini! Manfaatkan waktu hari libur untuk menyetok bumbu!"

Aku akan tewas. Itu artinya seharian full ini aku harus berteman dengan bawang merah. Air mataku mungkin sudah kering saking kebanyakannya.

~~~

Bersambung aja deh yaaa~ kekacauan Syana dan Bagas kita simpan buat besok. Tetap semangat para pejuang mantu ideal~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro