Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ya Allah, akulah hamba-Mu yang selalu merasa sombong.

Padahal aku hanyalah seperti butiran buih di lautan.

Kecil dan tak terlihat.

*****

Ini kali pertama aku naik pesawat plat merah Saudi Arabia, karena memang ini juga pertama kalinya aku akan pergi umroh. Aku, Mama dan Om Hasan mendapat kursi di bagian tengah, dengan konfigurasi tempat duduk 2-3-3, jarak antar kursinya ternyata lebih besar dari pesawat plat merah Indonesia, apalagi LCC*. Mungkin karena orang Arab tubuhnya besar-besar.

Penerbangan kami ini katanya akan ditempuh dalam waktu sembilan jam. Jakarta ke Madinah. Sebenarnya ada pesawat langsung dari Palembang ke Madinah, tetapi aku ingin merasakan menaiki maskapai asal Saudi Arabia ini, walaupun kami harus transit dulu di Jakarta sebelum menuju ke Madinah. Kata temanku di kantor yang sudah mencoba naik maskapai ini, fasilitasnya memang lebih bagus, walau katanya pramugarinya sering menolak kalau ingin difoto.

Saat aku cerita pada mama, kata mama wajar saja. Tidak semua orang ingin difoto, kan? Apalagi niat kami untuk beribadah, artinya selama perjalanan yang dilakukan adalah memperbanyak zikir. Ini juga pesan Shafa dan Kak Khansa padaku. Tetapi pramugarinya memang cantik-cantik sekali. "Excuse me," ucapnya sambil tersenyum lalu membagikan makanan untuk aku, mama dan Om Hasan.

Untuk ukuran orang Indonesai, porsi makanan maskapai ini cukup besar. Lihat saja apa yang ada di depanku saat ini, untuk sekali hidangan ada roti lengkap dengan selai dan mentega, puding, jus jeruk dan makanan utamanya. Makanan utamanya, nasi berbumbu dengan potongan daging. "Makan anget-anget kayak gini lebih enak rasanya," kata Om Hasan pada aku dan mama.

Om Hasan memang sudah beberapa kali umroh bersama keluarganya. Kali ini beliau menemani kami, karena kata Kak Khansa, aku dan mama harus didampingi mahram. Om Hasan adalah adik mamaku dan beliau untungnya mau menemani kami. Sebenarnya setelah aku tanya ke bagian travel bisa pergi tanpa mahram, nanti ada surat keterangan mahrom. Namun Kak Khansa lagi-lagi menjelaskan padaku, lebih aman pergi dengan adanya mahrom. Aku sampai dijelaskan hadisnya tentang larangan wanita safar tanpa mahram, dan ternyata hadis yang membahas ini banyak sekali, yang aku ingat hadis Imam Bukhari.

"Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safat sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa marham (yang menyertainya).*" Bahkan kata Kak Khansa, dulu ketika ada salah satu sahabat Rasulullah yang ingin berperang, sementara istrinya ingin pergi haji, Rasulullah menyuruh sahabat itu untuk pergi bersama istrinya menunaikan ibadah haji. Artinya pergi bersama mahram ini adalah sebuah keutamaan. Jadi aku ambil amannya saja dengan mengajak Om Hasan untuk menemani kami.

Kadang, di saat seperti ini lah yang membuatku merindukan papa. Tetapi, aku tidak akan mengatakannya pada mama. Karena tidak mau mama juga merasa sedih juga. Aku mungkin wanita yang mandiri dalam segala hal, namun tetap saja butuh sosok laki-laki, kan? Kata Kak Khansa, hidup ini memang saling melengkapi. Itu kenapa hubungan Allah mengatur hubungan tidak hanya kepada-Nya, namun juga ke sesama manusia.

Palembang 2008...

"Lho, Medina kok masuk sekolah?" tanya salah satu guruku. Bukan beliau saja yang terkejut dengan kehadiranku di sekolah, tadi pagi saat aku masuk ke kelas, teman-temanku juga bertanya-tanya, harusnya aku tidak masuk sekolah selama seminggu, kenapa baru dua hari aku sudah masuk sekolah lagi. Ya, ini dua hari setelah papa meninggal. Mataku masih bengkak, sesak itu masih ada, namun aku tetap harus ke sekolah.

"Nggak papa, Bu. Nanti takut ketinggalan pelajaran," ucapku. Aku melihat dari sudut mata, beberapa teman-temanku berbisik-bisik. Aku tahu mereka membicarakanku, namun aku sudah terbiasa dengan hal ini.

"Nanti kalau ketinggalan, kamu bisa ke kantor untuk nanya materi pelajarannya," ucap guruku.

Dan aku hanya menjawab beliau dengan senyuman, lalu membuka buku catatanku dan mulai mendengarkan penjelasan guruku.

Saat jam istirahat, aku memilih diam di kelas dan menyalin pelajaran dua hari kemarin saat aku tidak masuk sekolah. Aku sudah meminta Ike untuk membawakan catatan pelajaran kemarin. "Aku melihat beberapa temanku memperhatikanku lalu kembali berbisik-bisik." Tadi aku sempat mendengar kalau mereka mengatakan aku terlalu ambisius, tidak punya hati, karena langsung sekolah padahal tanah kuburan papaku saja masih basah.

Aku tidak menanggapi ucapan mereka semua, mencoba menebalkan telinga. Betapa mudahnya mereka mengatakan hal itu, sedangkan mereka sendiri mungkin tidak merasakan apa yang aku rasakan. Kalau aku berada di rumah saja dan tidak melakukan apa-apa, yang bisa kulakukan hanya menangis. Aku tidak mau terpuruk seperti itu, karena aku tahu, papa akan sedih melihatku seperti itu.

*****

Palembang 2010...

Lulus SMA dan memasuki dunia baru, dunia perkuliahan. Setelah pertimbangan matang selama ini, akhirnya aku memutuskan untuk kuliah di sekolah kedinasan. Pilihannya STAN atau STIS, dan aku memilih STIS. Setelah melewati proses seleksi yang ketat, akhirnya setahun yang lalu, aku diterima di sini. Dan sekarang aku resmi berkuliah di kampus STIS. Ini kali pertama aku jauh dari mama. Sebenarnya, waktu SMA pun aku wajib tinggal di asrama sekolah, namun kali ini berbeda, karena aku dan mama harus berpisah kota. Mama di Palembang dan aku di Jakarta. Walaupun banyak keluargaku juga yang berdomisili di sini.

Mama agak berat untuk melepaskanku, karena aku semata wayang, perempuan pula. Namun, aku meyakinkan mama kalau semua akan baik-baik saja.

Aku memilih sekolah kedinasan karena kelak aku bisa langsung bekerja dan diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Sekolah di sini juga bebas biaya, walaupun biaya pendaftaran, pembelian seragam, kegiatan orientasi dan buku penunjang perkuliahan tidak termasuk. Mahasiswa STIS juga akan mendapatkan uang saku, istilahnya Tunjangan Ikatan Dinas.*

Teman-temanku yang tahu aku memilih STIS, agak tercengang, karena menurut mereka, aku harusnya kuliah kedokteran. "Kenapa nggak ambil kedokteran aja? Kamu kan pinter, Din."

Biasanya pertanyaan semacam itu hanya kujawab dengan senyuman. Memangnya kuliah di STIS tidak pintar? Seleksi masuknya saja dengan persaingan yang ketat. Dari ribuan yang ikut test, hanya diambil enam ratus orang saja. Lagipula setiap orang punya dream job masing-masing, kan?

"Hah!"

Aku mengangkat kepala dari laptop dan membenarkan letak kacamataku saat melihat siapa yang duduk di depanku. "Kenapa mukanya kusut amat?" tanyaku pada Ando.

"Pusing," katanya sambil menggaruk kepalanya.

Ando adalah pacarku. Dia juga sama-sama kuliah di sini bersamaku. Kami satu angkatan, test masuk STIS juga bersama. Aku dan Ando mulai berpacaran saat kelas tiga SMA. Aku mengenalnya dari temanku. Aku tahu saat menjalin hubungan dengan Ando, banyak yang bilang kalau Ando memanfaatkanku, apalagi saat tahu kalau Ando juga diterima di sini bersamaku. Tetapi menurutku, Ando tidak pernah memanfaatkanku sama sekali. Kalaupun dia mendapat keuntungan dariku, itu semata karena aku yang ingin membantunya.

"Pusing kenapa, sih?" tanyaku.

Ando menatapku. "Gimana kalau aku kena DO?"

Aku mengerutkan kening. "Kenapa kamu bilang gitu? Pesimis banget." Aku tahu sistem penilaian di STIS begitu ketat, jika tidak mencapai nilai minimum, maka akan di drop out. Tidak boleh ada nilai E, nilai D atau D+ tidak lebih dari satu di mata kuliah inti.

"Aku tadi dipanggil sama Bu Lia," ucapnya dengan suara pelan.

"Harusnya dari awal aku memang nggak memaksakan diri. Ini bukan hasilku, makanya aku nggak bisa bertahan."

Aku diam sambil memandang wajah Ando yang frustrasi. Oke, aku akui kalau aku memberikan contekan padanya, saat seleksi dulu. Namun aku pikir ini langkah awal untuk Ando untuk mencari jati dirinya dan berjuang untuk bisa bertahan di sini.

"Kita putus aja ya, Din."

Kali ini aku seperti terkena petir di siang bolong. "Maksudnya?"

"Aku malu sama kamu, Din. Kamu murid pintar, dari dulu. Di sini pun, kamu selalu jadi pusat perhatian. Selama ini aku coba untuk nebelin telinga, tapi aku nggak tahan. Aku nggak mau jadi benalu dan juga beban buat kamu. Kita putus aja ya."

Aku terdiam mendengar penjelasannya. Aku diputuskan karena terlalu sempurna, begitu kan maksud Ando?

*****


LCC : Low-cost carrier : Maskapai penerbangan yang memberikan tarif rendah namun dengan menghapus beberapa layanan penumpang biasa.

HR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/172), Muslim (Hal. 978) dan Ahmad I/222 dan 246)

Tunjangan Ikatan Dinas berlaku untuk mahasiswatahun 2018 ke bawah. Untuk 2019 ke atas, fasilitas ini dihapuskan.

Saat itu, test Seleksi Kompetensi Dasar belum menggunakan sistem CAT/ Komputerisasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro